Preloader logo

UMMAT BANGKIT UNTUK NKRI

Oleh KH Bachtiar Nasir (Ketua GNPF)

Inilah tiga modal kebangkitan ummat Islam yang wajib kita syukuri. Pertama, Allah SWT turunkan izzah kepada ummat Islam Indonesia. Kedua, Allah berikan kekuatan Persaudaraan dan Persatuan ummat Islam. Ketiga, Allah berikan gerakan kebangkitan  melalui Shalat Subuh Berjamaah.  Saya yakin ummat Islam Indonesia ingin bersaudara dan persaudaraan itu kita kokohkan untuk persatuan Indonesia. Karenanya, kebangkitan ummat harus dimaknai sebagai upaya untuk mengokohkan NKRI.

Ini adalah aset luar biasa jika negara khususnya rezim saat ini menilai positif apa yang dianugerahkan Allah SWT kepada ummat Islam Indonesia. Tapi sayangnya banyak orang gagal paham. Kebangkitan Islam Indonesia tidak dipandang murni izzah dari Allah SWT. Bersatu dan bersaudara justru dianggap sebagai ancaman. Ini adalah kekeliruan dan harus kami sampaikan.

Kepada Presiden, aparat keamanan, seluruh stake holder bangsa ini, dan seluruh pemimpin partai, jangan menganggap kebangkitan ummat Islam hari ini sebagai ancaman bagi kekuasaan. Kami yang berada di episentrum gerakan ummat ini tidak punya kepentingan lain kecuali ingin Indonesia: BANGKIT, MAJU, DAN BERADAB.

Tidak ada keinginan untuk menggulingkan siapa pun. Tidak ada keinginan untuk menjatuhkan siapa pun. Yang kami tuntut adalah hak kami, yaitu tegakkan keadilan. Hak kami adalah tegakkan hukum berdasarkan keadilan dan tegakkan keadilan berdasarkan hukum.

Kenapa begitu mudah aparat memanggil ulama hanya dengan satu laporan. Laporan yang mungkin penuh rekayasa. Tetapi untuk satu penista agama saja begitu sulit ditangkap? Dan yang lebih menyakitkan, Islam selalu dituduh intoleran, ummat Islam selalu dituduh anti- Bhinneka Tunggal Ika, ummat Islam selalu dituduh anti-NKRI bahkan setiap gerakan unmat Islam dianggap anti-Pancasila.

Demi Allah, Demi Allah. Ummat Islam paling merah putih di republik ini. Para ulamalah yang menyusun Pancasila dan mereka pula yang paling mengorbankan segenap jiwa dan raga untuk bangsa dan sampai hari ini para ulama masih konsisten untuk itu.

Sekali lagi kepada seluruh komponen bangsa ini, pandanglah peristiwa 212 sebagai anugerah Allah untuk Indonesia secara utuh, tatap anugerah ummat Islam ini sebagai aset bangsa. Di depan mata, ummat Islam sudah bersaudara dan persaudaraan ini kita harus alokasikan untuk persatuan Indonesia.

Selain sebagai penduduk mayoritas, maka siapa pun pemodal di negeri ini akan hancur jika ummat Islam berhenti membeli produk mereka. Semua yang disebut konglomerat yang ingin mengeruk keuntungan dari negeri ini akan hancur karena pasarnya adalah ummat Islam. Jika ummat Islam sudah bersatu begitu gampangnya menghancurkan kekuatan apa pun di Indonesia ini termasuk kekuatan konglomerasi dan oligarki.

Andai pemangku kekuasaan negeri ini memandang positif terhadap takdir Allah yang diturunkan di Indonesia ini dengan cara menatap ummat Islam secara positif, dan memposisikan ulama sebagai mitra penguasa, dan melihat fatwa ulama sebagai bagian yang tak terpisahkan dengan the living law. Ingat bahwa hukum Islam sudah ada sebelum kekuasaan ini ada, hukum Islam sudah menjadi pedoman orang-orang Indonesia sebelum pemerintahan ada pada saat ini. Hukum ini kemudian dijadikan landasan hukum berbangsa dan bernegara.

Kriminalisasi kepada ulama dan terorisasi kepada lembaga kemanusiaan dengan menuduh bekerja sama dengan teroris dunia,  tidak menyurutkan kepercayaan ummat kepada ulamanya. Itu juga tidak menyurutkan ummat Islam untuk berinfak. Bahkan itu yang memicu ummat Islam untuk meningkatkan nilai infaknya.

Persempit ruang perbedaan, perbanyak persaudaraan. Persempit ruang lawan, perbanyak perkawanan. Terakhir adalah sabar. Kebangkitan Islam tidak dimulai dengan bakar-bakaran, kebangkitan Islam tidak harus chaos dan anarkis. Kebangkitan Islam tidak harus seperti Kasus 98, peristiwa tahun 74.

Mari sambut kebangkitan Islam dari Indonesia dan berpikir positif terhadap fenomena Islam saat ini. Berpeganglah kepada Islam dan berislamlah sampai mati.

[belaquran.com/sigabah.com]

Your email address will not be published. Required fields are marked *

#main-content .dfd-content-wrap {margin: 0px;} #main-content .dfd-content-wrap > article {padding: 0px;}@media only screen and (min-width: 1101px) {#layout.dfd-portfolio-loop > .row.full-width > .blog-section.no-sidebars,#layout.dfd-gallery-loop > .row.full-width > .blog-section.no-sidebars {padding: 0 0px;}#layout.dfd-portfolio-loop > .row.full-width > .blog-section.no-sidebars > #main-content > .dfd-content-wrap:first-child,#layout.dfd-gallery-loop > .row.full-width > .blog-section.no-sidebars > #main-content > .dfd-content-wrap:first-child {border-top: 0px solid transparent; border-bottom: 0px solid transparent;}#layout.dfd-portfolio-loop > .row.full-width #right-sidebar,#layout.dfd-gallery-loop > .row.full-width #right-sidebar {padding-top: 0px;padding-bottom: 0px;}#layout.dfd-portfolio-loop > .row.full-width > .blog-section.no-sidebars .sort-panel,#layout.dfd-gallery-loop > .row.full-width > .blog-section.no-sidebars .sort-panel {margin-left: -0px;margin-right: -0px;}}#layout .dfd-content-wrap.layout-side-image,#layout > .row.full-width .dfd-content-wrap.layout-side-image {margin-left: 0;margin-right: 0;}