Preloader logo

“Jangan Curigai Sumbangan Kami!”

BANDUNG (sigabah.com) — NIAT yang baik seharusnya berbuah baik. Bahkan dalam Islam, niat baik, meskipun tak sempat dilaksanakan, tetap akan diganjar pahala.

Sebaliknya, niat jahat, baru akan diganjar dosa jika sudah terlaksana. Artinya, jika niat jahat tersebut sudah berubah menjadi aksi, maka ia barulah dihukumi bersalah. Begitulah Islam mengajarkan.

Namun, bila melihat fenomena belakangan ini, kita menemukan hal yang bertolak belakang. Transaksi uang dari masyarakat kepada ulama untuk mendanai Aksi Bela Islam –baik 411 (4 November) maupun 212 (2 Desember)– dicurigai memiliki niat jahat. Kok bisa?

Adalah Kepolisian Negara Republik Indonesia belakangan ini telah mencurigai Ustadz Bachtiar Nasir, Ketua Gerakan Nasional Pengawal Fatwa (GNPF) MUI, Islahuddin Akbar, seorang pegawai Bank, dan Adnin Armas, Ketua Yayasan Keadilan Untuk Semua (Justice For All), melakukan persekongkolan jahat. Tak tanggung-tanggung, kejahatan yang ditudingkan kepada mereka adalah pencucian uang!

Rekening Yayasan Justice For All, pimpinan Adnin Armas, memang telah disepakati oleh pengurus GNPF untuk dipakai menampung dana umat. GNPF sendiri, sebagai kelompok adhoc yang dibentuk secara spontan, tak mungkin memiliki rekening bank.

Namun, justru lewat yayasan inilah tuduhan itu dialamatkan. Semua pengurus yayasan, termasuk pembina dan pengawas, dipanggil polisi untuk dimintai keterangannya. Adian Husaini, ulama dari Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia, selaku pembina, ditanya selama hampir 10 jam di ruang Bareskrim Polri. Rumah Adnin Armas, peneliti pada Institute for Study of Islamic Thought and Civilization (INSISTS), digeledah selama 5 jam, mulai tengah malam hingga subuh dini hari.

Biasanya, aksi pencucian uang dilakukan oleh para koruptor dan maling yang berupaya menyembunyikan hasil jarahannya, dengan cara melakukan berbagai transaksi keuangan agar uang tersebut seolah-olah berasal dari kegiatan yang sah.

Namun kali ini, tudingan tersebut dialamatkan kepada ulama yang belakangan ini sangat aktif melakukan pembelaan kepada Islam dan al-Qur’an. Ini jelas amat keji bila ternyata tak terbukti.

Lazimnya tindakan pencucian uang, selalu diawali oleh tindak pidana yang menghasilkan “uang haram”. “Uang haram” inilah yang kemudian ingin dicuci supaya terlihat “halal”.

Lantas, uang siapakah yang dinilai haram oleh Kepolisian dalam arus transaksi pendanaan Aksi Bela Islam? Uang masyarakat yang ingin menyumbang aksi lewat rekening Yayasan Justice For All? Atau, uang yayasan hasil penggalangan dana masyarakat yang diserahkan Adnin kepada Ustadz Bachtiar Nasir lewat pegawai Bank, Islahuddin?

Jika uang masyarakat yang dicurigai polisi, ini sungguh tindakan yang naïf. Artinya, polisi telah mencurigai masyarakat yang ingin berjuang membela agamanya. Padahal, ada lebih dari 3 ribu pendana dalam aksi ini.

Namun, jika uang milik yayasan hasil penggalangan dana umat –yang dicurigai, bukankah yayasan memang tak boleh berlama-lama menyimpan dana tersebut dan harus segera diserahkan kepada pihak GNPF untuk dimanfaatkan? Mengapa polisi justru mencurigainya? Apakah polisi menemukan indikasi penyelewengan?

Hal yang lebih menggelitik, mengapa polisi amat berminat mengusut perkara ini sementara para penyumbang tak ada –setidaknya sampai hari ini– yang mempersoalkannya? Bahkan belakangan para penyumbang justru membentuk Aliansi Muhsinin sebagai wadah untuk menyuarakan bahwa mereka sama sekali tak mempersoalkan aliran dana tersebut?

Mengapa pula polisi memberi prioritas pengusutan kepada perkara ini sementara begitu banyak kasus pencucian uang yang memang telah nyata indikasinya dan menimbulkan kerugian negara dalam jumlah besar?

Polisi harus terbuka menjawab semua pertanyaan ini kepada masyarakat. Jika tidak, masyarakat justru akan balik mencurigai pihak kepolisian memiliki niat jahat mengkriminalisasi ulama. Ini berbahaya! Jangan sampai muncul gerakan baru bertema, “Jangan curigai sumbangan kami!”

Wallahu a’lam.*

hidayatullah.com|sigabah.com

Your email address will not be published. Required fields are marked *

#main-content .dfd-content-wrap {margin: 0px;} #main-content .dfd-content-wrap > article {padding: 0px;}@media only screen and (min-width: 1101px) {#layout.dfd-portfolio-loop > .row.full-width > .blog-section.no-sidebars,#layout.dfd-gallery-loop > .row.full-width > .blog-section.no-sidebars {padding: 0 0px;}#layout.dfd-portfolio-loop > .row.full-width > .blog-section.no-sidebars > #main-content > .dfd-content-wrap:first-child,#layout.dfd-gallery-loop > .row.full-width > .blog-section.no-sidebars > #main-content > .dfd-content-wrap:first-child {border-top: 0px solid transparent; border-bottom: 0px solid transparent;}#layout.dfd-portfolio-loop > .row.full-width #right-sidebar,#layout.dfd-gallery-loop > .row.full-width #right-sidebar {padding-top: 0px;padding-bottom: 0px;}#layout.dfd-portfolio-loop > .row.full-width > .blog-section.no-sidebars .sort-panel,#layout.dfd-gallery-loop > .row.full-width > .blog-section.no-sidebars .sort-panel {margin-left: -0px;margin-right: -0px;}}#layout .dfd-content-wrap.layout-side-image,#layout > .row.full-width .dfd-content-wrap.layout-side-image {margin-left: 0;margin-right: 0;}