Preloader logo

Nobar Film Pengkhiatan PKI: Menyoroti Dasamuka

Oleh Agus Wahid (Peneliti Lembaga Garuda Indonesia)

Perintah sang Panglima TNI. Itulah nonton bareng film G 30 September PKI. Dan catatan lapangan menunjukkan, instruksi atau himbauan itu ditaati oleh banyak elemen masyarakat dengan penuh antusias. Sempat menuai pro-kontra, apalagi instruksinya bukan dari sang penguasa. Tapi atas nama pencegahan secara dini dan demi kepentingan keselamatan bangsa-negara film pengkhiatan PKI harus ditayangkan kembali setelah tak tayang tiga tahun.

Ada satu hal yang layak kita telaah lebih jauh. Yaitu, ada beberapa muka atau wajah merespons rencana dan realisasi pemutaran film G 30 S PKI itu. Pertama, antusiasme masyarakat atas rencana dan realisasi pemutaran film yang berdurasi sekitar 3 jam itu. Antusiasme mereka tak lepas dari aksi atau manuver sebagian anak bangsa ini yang sejak pemerintahan sekarang begitu gamblang memperlihatkan keberaniannya mengumbar jatidiri sang komunis, melalui lambang Palu-Arit atau lainnya.

Di mata publik yang tak sejalan dengan faham komunis, aksi dan atau manuver itu langsung dikaitkan dengan kebiadaban komunis. Itulah yang harus dicegah dan karena itu pemutaran film pengkhianatan PKI diharapkan menjadi upaya membangkitkan kesadaran tentang ancaman yang sudah di depan mata. Jika kita cermati panorama aksi dan gerakan terencana yang telah tercium Badan Intelegen Strategis (BAIS) TNI, maka bukan ilusi kualitas ancamannya.

Data atau temuan BAIS kiranya jauh lebih credible dari hasil survey Saiful Mujani Research Center (SMRC). Meski dapat dipertanggungjawabkan secara metodologis, tapi ketika tentukan sasaran responden di sanalah titik lemah riset. Sudah ada sikap subyektif dalam memilih responden. Sikap inilah yang layak dipertanyakan integritasnya. Sangatlah mungkin, jutaan anak-bangsa yang antikomunis tidak masuk dalam repondennya. Bagi umat, hasil riset SMRC bisa dinilai merupakan pelecehan sistimatis-terencana. Karena itu, hasil riset itu terlihat bukan hanya tendensius, tapi perlu kita gugat lebih jauh, ada agenda apa di balik skenario riset yang menegasikan potensi kebangkitan komunis di Tanah Air ini. Sekedar mencari kue lalu rela melacurkan diri, atau memang ada proyek besar tentang penguatan sekulerisasi?

Sungguh disayangkan jika arahnya hanya sekedar memburu rente, padahal potensi destruksinya tidak hanya nyawa bagi siapapun yang kontra komunis, tapi juga kehancuran yang lebih jauh: sistem ketata-negaraan dan landasan filosif negara pun akan direkonstruksi. Dan lebih dari itu, negeri ini hanya akan menjadi puing-puing sejarah yang pernah menyematkan agama dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Sila pertama dari Pancasila akan lenyap. Dan bukan tak mungkin, ketika komunis naik ke panggung kekuasaan, maka nasib muslim bahkan para nasionalis yang setia Pancasila akan bernasib seperti muslim di Rohingya. Dikejar dan dibantai. Tidak tertutup kemungkinan akan terjadi ethnic cleansing yang lebih massif sebagai artikulasi balas dendam atau pengejewantahan faham revolusioner itu.

Menyadari potensi kebiadaban itu, maka siapapun dari anak bangsa ini dari anasir partai politik, komunitas agama, bahkan barisan pertahanan dan keamanan seperti tentara layak menghembuskan kesadaran anti komunisme. Jadi, tendensinya bukan mobilisasi politik atau politisasi atas isu komunisme, tapi deminsi yang lebih mendasar: keselematan bangsa dan negara yang sarat dengan prinsip kemanusiaan. Dan ini amanat konstitusi. Jika ada komponen yang menolaknya minimal keberatan terhadap upaya penyelamatan itu ia atau mereka layak kita curigai sebagai bagian dari komunis.

Kalangan penolak itu sebagai wajah kedua kini bergentayangan. Atas nama HAM atau dalih lainnya, mereka berusaha menggiring opini publik untuk melupakan tragedi kemanusiaan. Kadang menggunakan sendi atau ajaran agama: memaafkan. Memang, memaafkan sangat mulia, tapi tidak harus melupakannya. Dan melupakan bukanlah berarti dendam, tapi sikap kewaspadaan. Dan kewaspadaan terhadap komunisme dalam konteks Indonesia wajib aini karena rentetan sejarah kelam, tidak hanya tahun 1965, tapi jauh sebelumnya seperti dari tahun 1945 hingga 1949 yang tak pernah sunyi dari gerakan-gerakan pemberontakan PKI.

Sekali lagi, memaafkan dan atau rekonsiliasi yes. Tapi, tidak berarti mengubah fakta sejarah, dari sang pengkhianat menjadi korban. Memang, tak sedikit dari anak bangsa ini yang jadi korban (tertuduh), padahal dirinya sama sekali tak sejalan bahkan tak pernah mengikuti gerakan komunis itu. Kelompok ini layak kita cari dan dibela karena memang jadi korban. Namun, ketika ia atau mereka memang aktivis dan beperan aktif dalam gerakan revolusioner itu, maka data faktual itu tidak boleh digeneralisasi sebagai korban.

Lalu, bagaimana dengan anak-cucu para pengkhianat komunis yang jelas-jelas tidak terlibat dalam pemberontakan? Mengapa tetap harus diburu? Mereka generasi tak berdosa. Mengapa harus menelan hukuman? Di satu sisi, memang tidaklah fair penghukuman kepada pihak yang tidak terlibat. Tapi di sisi lain ada kecenderungan kuat tentang transformasi sikap ideologis yang bersifat geneologis. Dengan pijakan pemikiran yang bersifat preventif-futuristik, maka anak-cucu PKI memang harus dihadang hak-hak politiknya karena potensi kebahayaannya. Dan jika kita cermati dinamika beberapa tahun kemudian bermunculanlah generasi penerus keluarga PKI yang kini menunjukkan sikap komunisnya secara terbuka. Mereka seperti menantang untuk meneruskan jejak orang tua atau kakek-neneknya yang berideologi revolusioner itu. Inilah yang takmpaknya dibaca oleh para pemimpin bangsa negeri ini sehingga keluarlah TAP MPRS No. 25 Tahun 1966 tentang larangan komunisme di Indonesia. TAP ini merupakan sikap preventivitas maksimal. Tragedi kemanusiaan akibat penerapan ideologi komunis tidak boleh terjadi lagi.

Dan wajah ketiga adalah jatidirinya komunis, tapi dirinya sejalan dengan posisi politiknya tidak mau menunjukkan jatidiri yang sebenarnya. Jatidirinya ditutup sedemikian rupa. Meski demikian, topeng itu perlahan-lahan terbuka dengan sendirinya. Jika kita cermati perilakunya, kita saksikan kebijakan yang relatif membiarkan gerakan ekspresif pro komunisme bahkan melarang sweeping kepada warga negara yang kibarkan bendera atau berkaos Palu Arit; adanya agenda pendidikan sejumlah elitis kita ke negara-negara komunis, antara lain Vietnam dan China. Dan sebaliknya, memberi ruang untuk kunjungan para kader Partai Komunis China bersinggah dan berbincang-bincang dengan pemimpin negeri ini. Dan belum lama ini munculnya himbauan agar ada revisi film G 30 S PKI.

Sebagian publik mempertanyakan, whats wrong with film G 30 S PKI? Dengan diplomatis, film itu perlu disempurnakan. Memang, banyak analis sudah dapat membaca arahnya dan siapa pemesannya. Dalam hal ini satu hal yang tak bisa dipungkiri adalah nuansa kuat tentang keterlibatan Bung Karno dalam peristiwa September 1965 itu, di samping peran Soeharto yang begitu cepat mengatasi krisis kekuasaan itu.

Mencermati upaya penghapusan kesan kuat peran Soekarno, maka kita dapat membaca arah dari instruksi revisi film G 30 S PKI itu. Semakin kuat publik membaca arah instruksi sejalan dengan para reaktor anti pemutaran film G 30 S PKI adalah kalangan kader dari suatu partai yang dipimpinnya. Mereka seperti dikerahkan untuk membangun opini publik secara massif-ekstensif untuk menghilangkan kesan nuansa Soekarno dalam tragedi September itu. Yang menjadi persolan, itu realitas sejarah. Dan karya Arifin S. Noor itu telah terekam publik sekian lama.

Meski demikian, instruksi atau menimal himbauan itu tidak seutuhnya negatif. Justru dari sisi lain sungguh bermakna positif. Kita tahu bahwa pengkhianatan PKI dan kekejamannya tidak hanya pada 1965. Juga, tidak hanya di tengah Jakarta dan sekitarnya. Justru, jauh sebelumnya kita catat dalam sejarah, dalam rentang waktu 1945 1949, bahkan di tahun 1952 sampai 1953, bukan hanya ketegangan yang bersifat elitis, tapi terjadi aksi-aksi horisontal, terjadi di berbagai daerah. Itulah sejumlah tragedi yang layak diangkat ke permukaan dalam karya-karya film pendek ataupun film berdurasi panjang. Berangkat dari himbauan ataupun instruksi revisi film G 30 S PKI, kini ada peluang besar untuk menghadirkan film-film kebiadaban komunis sepanjang sejarah di Tanah Air.

Kehadiran film-film komunis itu insya Allah akan memperkuat titik kesadaran anak bangsa Indonesia. Karenanya, kita perlu menyambut positif himbauan atau instruksi revisi itu. Ada hikmah (blessing indisguise) di tengah upaya mereduksi citra negatif manusia-manusia komunis. Demi keselamatan bangsa-negara tercinta ini, himbauan dan atau isntruksi itu harus diterjemahkan lebih jauh dalam bentuk karya-karya film seputar PKI di Tanah Air ini.

Akhirnya, kita secara sadar menyaksikan banyak wajah (dasamuka) dalam menghadapi panorama potensi kebangkitan komunisme di negeri ini. Sebuah renungan, apakah kita tetap lelap dan lalai atas tipu daya insan komunis, atau tetap tersadar dengan catatan perjalanan hitam mereka di negeri Pertiwi ini? Hanya manusia stupid yang menganggap sepi ancaman laten komunis itu. Belum berkuasa saja sudah menelan korban ratusan ribu anak-bangsa yang tak berdosa, apalagi berkuasa secara legal-formal dan eksis. Bisa jadi, jutaan manusia muslim dan nasionalis akan “memerahkan” sungai-sungai dan lautan. Bagai Sungai Tigris (Irak) yang airnya berubah merah akibat ribuan mayat pembantaian Jengis Khan dulu.(*)

teropongsenayan.com | sigabah.com

Your email address will not be published. Required fields are marked *

#main-content .dfd-content-wrap {margin: 0px;} #main-content .dfd-content-wrap > article {padding: 0px;}@media only screen and (min-width: 1101px) {#layout.dfd-portfolio-loop > .row.full-width > .blog-section.no-sidebars,#layout.dfd-gallery-loop > .row.full-width > .blog-section.no-sidebars {padding: 0 0px;}#layout.dfd-portfolio-loop > .row.full-width > .blog-section.no-sidebars > #main-content > .dfd-content-wrap:first-child,#layout.dfd-gallery-loop > .row.full-width > .blog-section.no-sidebars > #main-content > .dfd-content-wrap:first-child {border-top: 0px solid transparent; border-bottom: 0px solid transparent;}#layout.dfd-portfolio-loop > .row.full-width #right-sidebar,#layout.dfd-gallery-loop > .row.full-width #right-sidebar {padding-top: 0px;padding-bottom: 0px;}#layout.dfd-portfolio-loop > .row.full-width > .blog-section.no-sidebars .sort-panel,#layout.dfd-gallery-loop > .row.full-width > .blog-section.no-sidebars .sort-panel {margin-left: -0px;margin-right: -0px;}}#layout .dfd-content-wrap.layout-side-image,#layout > .row.full-width .dfd-content-wrap.layout-side-image {margin-left: 0;margin-right: 0;}