BANDUNG (SIGABAH.COM) — Ketua Dewan Pembina GNPF MUI yang juga Imam Besar Front Pembela Islam (FPI), Habib Rizieq Shihab, menjelaskan, penafsiran Pancasila tergantung siapa yang merawatnya.
“Saat Pancasila itu dirawat oleh Bung Karno (Presiden pertama RI. Red), yang mengagumi pemikiran Karl Marx, dan yang mencetuskan politik Nasakom (Nasional, Agama, Komunis), maka Orde Lama di bawah pimpinan Bung Karno menafsirkan Pancasila yang sesuai bisa menjadi pembenaran untuk adanya komunis,” ujarnya.
“Itu fakta,” imbuh Habib Rizieq saat ditemui hidayatullah.comdi kediamannya di Jl Petamburan III, Jakarta, belum lama ini.
Padahal jika ditelusuri, kata dia, sila pertama Pancasila, yaitu Ketuhanan Yang Maha Esa, bertolak belakang dengan ideologi Komunisme, Marxisme, Leninisme, maupun Ateisme.
“Tapi karena rezim penguasanya mencetuskan politik Nasakom yang di dalamnya ada komunis, tentu, kan, harus disesuaikan. Supaya kelihatannya tidak bertentangan dengan ideologi negara. Nah, akhirnya Pancasila ditafsirkan sesuai dengan keinginan si perawat,” jelasnya.
Begitu pula saat Pancasila masuk era Orde Baru. “Kita tahu saat itu bahwa Soeharto ini, dia Muslim, tapi terpengaruh dengan budaya-budaya Kejawen.”
Sehingga, di era presiden kedua itu, kata Habib Rizieq, Pancasila ditafsirkan untuk menjadi pembenaran bagi lahirnya aliran kepercayaan.
“Aliran kepercayaan sampai masuk dalam putusan Tap MPR. Jangan lupa! Berarti, kan, di sini Pancasila tergantung siapa yang merawat,” lanjutnya.
Begitu Pancasila masuk di era reformasi, yang cenderung mengusung paham-paham liberal, kata dia, akhirnya Pancasila ditafsirkan dengan tafsir liberalisme.
“Sampai Pancasila itu dijadikan payung untuk melindungi aliran sesat, melindungi penista agama, semuanya pakai nama Pancasila. Antum (Anda) lihat sekarang, kan?! Nah, berarti Pancasila tergantung siapa yang merawat,” ungkapnya.
Umat Islam Merawat Pancasila
Oleh karena itu, kata Habib Rizieq, tidak ada pilihan bagi umat Islam kecuali merawat Pancasila dengan rawatan Islam. Jangan biarkan Pancasila itu ditafsirkan seenaknya oleh orang-orang di luar Islam.
Sebab, kata dia, Pancasila sebenarnya merupakan ijtihad para ulama dulu yang masuk di BPUPKI (Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia) dan PPKI (Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia).
“Seperti KH Wahid Hasyim, (KH Hasyim) Asy’ari, ada KH Abdul Kahar Muzakir dari Muhammadiyah, ada KH Agus Salim. Jangan lupa tuh,” paparnya.
Karena Pancasila peninggalan para ulama, tambahnya, maka Pancasila harus ditafsirkan sesuai dengan keinginan para peletak Pancasila itu sendiri, yaitu ulama.
“Enggak mungkin donk ulama menafsirkan Pancasila dengan tafsir-tafsir yang bertentangan ajaran Islam.
Jadi kalau Antum punya pertanyaan tadi, bagaimana cara kita menafsirkan Pancasila? Tafsirkan sesuai dengan ajaran Islam, rawat Pancasila dengan rawatan Islam. Enggak, enggak ada pilihan lain,” tandasnya menjelaskan.
hidayatullah.com | sigabah.com