BANDUNG (sigabah.com) — Kesetiaan bangsa Indonesia pada Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) adalah sumpah setia yang telah diikrarkan bangsa ini pada tanggal 28 Oktober 1928. Kesetiaan ini jugalah yang diikrarkan ummat Islam Indonesia hingga hari ini dari berbagai penjuru nusantara.
Karenanya, kesetiaan ummat Islam pada NKRI tidak bisa dipertanyakan. Tanpa kesetiaan ummat pada NKRI, apa jadinya bangsa ini? Jika Islam tidak menghormati perbedaan sehingga dituduh intoleran dan anti-Bhinneka Tunggal Ika, bisa dipastikan Indonesia tidak akan pernah ada. Dengan begitu, Islam tidak bisa dipisahkan dari NKRI, dituduh anti-Pancasila dan anti-Bhinneka Tunggal Ika. Banyak opini berkembang seolah ingin memisahkan unmat Islam dengan Pancasila dan NKRI. Bahkan ingin memisahkan antara ummat dan ulama. Ulama direndahkan bahkan dihina.
Ulama kharismatik KH Ma’ruf Amin pun tak luput dari penghinaan dalam sidang penistaan agama dengan terdakwa Basuki Tjahaja Purnama. Beliau adalah Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) sekaligus Rais Am Syuriah Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU). Tak hanya ulama MUI yang direndahkan tetapi MUI secara kelembagaan pun didiskreditkan. Pendapat dan Sikap MUI yang berada di atas Fatwa MUI dipersoalkan. Tata cara pengambilan keputusan MUI pun diragukan. Padahal disinilah semua maslahat keummatan dibicarakan dan diputuskan.
Namun semua tuduhan, penghinaan, dan penistaan kepada agama serta ulama dan ummat tidak bisa disikapi dengan aksi kekerasan. Islam adalah agama damai dan setia pada NKRI sehingga masalah-masalah kebangsaan harus disikapi dengan cara bermartabat.
Ketua Gerakan Nasional Pengawal Fatwa (GNPF) MUI KH Bachtiar Nasir dalam acara Subuh Berjamaah di Masjid Baitul Mughni Jakarta mengatakan, ada yang ingin membenturkan ummat, tapi Allah melindungi kita. Ummat Islam cinta damai, toleran, dan tidak ingin kerusuhan bagi bangsa ini. “Ummat Islam hingga saat ini masih berpegang pada Sumpah Pemuda. Kami bangsa Indonesia bertumpah darah yang satu, tanah Indonesia. Berbangsa yang satu, bangsa Indonesia, dan menjunjung bahasa persatuan, Bahasa Indonesia,” ungkap Sekjen Majelis Intelektual dan Ulama Muda Indonesia (MIUMI) Pusat ini.
Menurut dia, hari ini ummat Islam paling bertanggung jawab untuk melanjutkan cita-cita pendiri bangsa ini dengan mengisi kemerdekaan untuk kemajuan bangsa. Memang, kata dia, tidak sedikit di kalangan ummat yang menginginkan revolusi. Namun bagi GNPF, revolusi sebenarnya sedang berjalan. “Kapan revolusi? Ini sedang berjalan. Kok tidak ada bakar-bakaran? Itu bukan revolusi kita. Revolusi kita adalah menguatkan aqidah, akhlak, ibadah, ilmu, badan, ekonomi. Dengan begitu, kebangkitan Islam sudah di depan mata dengan cara-cara damai dan konstitusional,” katanya.
Kepada ratusan jamaah yang memadati shalat berjamaah subuh di Masjid Baitul Mughni, KH Bachtiar berpesan, “jadilah pelaku kebangkitan Islam. Jadilah seorang Islam pembawa kedamaian. Memang perlu pengorbanan, harta bahkan nyawa. Tapi toh kita akan mati semua. Tidak ada yang mulia dan nikmat kecuali kita persembahkan untuk Islam. Diri serta harta kita hanya untuk Islam dan mati dalam keadaan Islam.”
Dia melanjutkan, hidup ini akan indah kalau kita mendapat taufiq, yaitu apa yang kita inginkan itu yang diinginkan oleh Allah. Sederhana sekali. Yang diinginkan banyak orang, apakah sesuai dengan kehendak Allah? Seharusnya, bagaimana supaya selera kita sesuai dengan selera Allah.
Inilah izzah Islam, ummat Islam Indonesia dipaksa bersaudara. Persatuan itu tidak akan datang kecuali karena Allah yang menyatukan hati kita. Setelah izzah itu datang, kita diberikan persaudaraan dan persatuan.
“Puncak penistaan Islam di dunia ini sudah mulai. Insya Allah Fajar Islam akan muncul di muka bumi. Kebangkitan Islam di depan mata. Izzah Islam akan muncul dari Asia Tenggara, dan titik kebangkitannya ada di Indonesia,” katanya. *azh