Preloader logo

Persis siapkan Judicial Review Perppu 2/2017

BANDUNG (sigabah.com)—Keluarnya Perppu no 2 tahun 2017 dinilai sebagai berpotensi bagi rezim untuk memberangus lawan politiknya, hal tersebut dibuktikan dengan dihilangkannya proses pengadilan yang fair dalam pembubaran ormas.

Sebagai komitmen nyata menjaga keutuhan NKRI, Pimpinan Pusat Persatuan Islam (PP Persis) melakukan langkah-langkah strategis guna menolak Perppu yang dinilai menjadi permasalahan bangsa Indonesia.

Upaya tersebut diantaranya dengan jalur konstitusional melalui gugatan Judicial Review Perppu ke Mahkamah Konstitusi. Selain itu Persis pun beraudiensi dengan pimpinan DPR RI, agar menolak Perppu tersebut menjadi undang undang.

Selain itu, PP Persis juga menggunakan proses edukasi masyarakat tentang apa dampak negatif yang akan muncul dari Perppu ini jika terus diberlakukan. Kelangsungan ormas-ormas Islam dan ormas lainnya yang dinilai subjektif oleh rezim yang berkuasa saat ini, konflik horizontal bisa saja terjadi.

Salah satu cara edukasi yang sudah ditempuh adalah dengan focus group discussion (FGD) dengan menghadirkan pakar-pakar hukum di kantor PP Persis, Sabtu (22/07/2017). Setelah dikaji secara objektif dan ilmiah, ternyata Perppu no 2/2017 menjadi murni problema hukum ketatanegaraan Indonesia, bukan masalah setuju atau tidak setuju pembubaran suatu ormas.

Dalam FGD tersebut, Dr. Indra Perwira, SH. menyampaikan beberapa poin penting.

Pertama, substansi pengaturan Perppu khususnya mengenai ketentuan pidana telah melanggar asas hukum pidana. “Tidak ada orang yang dapat dipidana tanpa perbuatan pidana. Perbuatan pidana tentunya adalah perbuatan yang konkrit objeknya perbuatannya dan akibatnya dijabarkan dalam pasal pidana”, ujarnya.

Indra juga mengkritisi frasa “dan lain lain” tidak diperbolehkan dalam legal drafting dikarenakan akan membuka peluang penafsiran sepihak oleh penegak hukum padahal pasal perundang-undangan harus berfrasa konkrit.

Indra pun melanjutkan, bahwa dalam Perppu diatur anggota dan atau pengurus ormas semuanya bisa dikenakan pidana. Hal ini dinilainya sebagai hal bertentangan dengan tujuan pemidanaan, harusnya bukan untuk memenjarakan dan memberikan nestapa tetapi untuk pembinaan.

Indra juga menyoal tentang kegentingan yang memaksa sebagai dasar menerbitkan perppu oleh presiden adalah hegemoni waktu. Dalam hal terjadi suatu kejadian nyata yang memerlukan penanganan segera namun hukum yang ada belum mengatur penanganan segera tersebut.

Diungkapkan juga, bahwasanya konsep pemikiran sebuah ormas tidak bisa dikenakan sanksi sepanjang tidak terwujud dalam pergerakan yang merugikan bagi masyarakat.

Indra mengingatkan bahwa di undang undang 17/2013 ada tahapan dari teguran peringatan sampai pembekuan.

“Mekanisme tersebut masih bisa ditempuh pemerintah pada saat ini tanpa harus ada perppu dikarenakan tidak ada cear and present dangerous. Bahkan saat perppu diterbitkan sampai terbit surat pembubaran HTI, itu mengambil waktu berhari-hari yang dengan itu saja sudah menggugurkan dalih kegentingan yang memaksa”, ungkapnya.

Jika merujuk undang-undang nomor 12 tahun 2011 Perppu tidak boleh memuat ketentuan sanksi pidana. DPR sudah seharusnya melakukan sidang untuk merespon kegentingan yang memaksa.

Prof. Asep Warlan pakar hukum yang ikut FGD di kantor PP Persis, turut menyampaikan pandangannya.

Menurutnya, ancaman yang serius yang dimaksud pemerintah tidak boleh hanya berdasarkan praduga dan asumsi. Bahkan kalkulasi pun tidak diperbolehkan. Disebutkan juga oleh Warlan, pengaturan mengenai ormas bukan rumpun hukum pidana tapi rumpun hukum administrasi.

“Pemerintah seharusnya tidak menyikapi ormas dengan contrario actus dikarenakan ormas adalah salahsatu wujud hak asasi manusia untuk berkumpul”, ujar Warlan.

Pembubaran parpol saja dinilainya harus melalui lembaga pra-pradilan, maka ormas pun demikian. Lembaga Yudisial dilibatkan untuk menjaga due proces of law.

“Secara substansi dan tujuan, pengaturan Perppu ormas ini telah menggunakan asas contrario actus bukan pada tempatnya dan justru mengancam Indonesia sebagai negara hukum”, jelasnya.

Pandangan hukum lainnya disampaikan oleh Prof. Dr. Atip Latiful Hayat. Disorotinya kedaruratan pada hakikatnya adalah meniadakan larangan yang dengan itu mensyaratkan keterpaksaan dan sifat sementara. UUD 1945 mengenal dua jenis kedaruratan yaitu darurat karena perang sebagaimana dalam pasal 12, dan kedua adalah kedaruratan yang memberikan justifikasi bagi negara untuk membat peraturan darurat yaitu dalam pasal 22.

“Keadaan darurat harus berdasarkan ukuran adanya bahaya nyata atau bahaya nyata atas ketertiban umum”, ucap Atip.

Atip mengingatkan bahwa fungsi Perppu adalah instrumen normalisasi agar keadaan genting yang terjadi dengan perpu ini bisa kembali normal dan terkendali, bukan sebaliknya.

Dalam konsideran Perppu ormas dinyatakan bahwa perpu ini lahir karena penilaian adanya ormas yang dianggap pemerintah menyimpang atau bertentangan dengan pancasila.

“Pertimbangan tersebut jelas menempatkan pemerintah sebagai pemilik hegemoni tafsir atas pancasila yang dengan ini rentan disalahgunakan. Seharusnya penilaian ini didasarkan pada utusan pengadilan”, tuturnya.

Prosedur pembentukan, substansi dan penerapan hukum harus tunduk kepada due procces of law.

Atip menilai Perppu ini pada faktanya cenderung ditujukan kepada ormas tertentu, khususnya ormas-ormas Islam. Dalam substansi pengaturannya dapat menimbulkan ketidakpastian hukum dan tindakan semena-mena dari pemerintahan.

Atip juga menerangkan Perppu ormas menggunakan prinsip pembatasan HAM sebagaimana juga dianut oleh Bangkok Declaration 1993. Namun syarat pembatasannya yang tidak sesuai karena alasan yang digunakan bukan didasarkan kepada hal yang nyata melainkan hanya asumsi belaka.

Dalam penjelasan Perppu dikatakan bahwa penerbitan Perppu 2/2017 sesuai dengan pasal 4 ICCPR. Namun perpu ini tidak memperhatikan dua syarat agar memenuhi substansi kedaruratan yang memberikan wewenang kepada negara untuk melakukan pembatasan HAM.

“Dua syarat itu adalah; The situation must amount to publict emergency, wich treatens the life of nations. Dan, State party must have offically proclaimed a state of emergency“, ujarnya.

persis.or.id | sigabah.com

Your email address will not be published. Required fields are marked *

#main-content .dfd-content-wrap {margin: 0px;} #main-content .dfd-content-wrap > article {padding: 0px;}@media only screen and (min-width: 1101px) {#layout.dfd-portfolio-loop > .row.full-width > .blog-section.no-sidebars,#layout.dfd-gallery-loop > .row.full-width > .blog-section.no-sidebars {padding: 0 0px;}#layout.dfd-portfolio-loop > .row.full-width > .blog-section.no-sidebars > #main-content > .dfd-content-wrap:first-child,#layout.dfd-gallery-loop > .row.full-width > .blog-section.no-sidebars > #main-content > .dfd-content-wrap:first-child {border-top: 0px solid transparent; border-bottom: 0px solid transparent;}#layout.dfd-portfolio-loop > .row.full-width #right-sidebar,#layout.dfd-gallery-loop > .row.full-width #right-sidebar {padding-top: 0px;padding-bottom: 0px;}#layout.dfd-portfolio-loop > .row.full-width > .blog-section.no-sidebars .sort-panel,#layout.dfd-gallery-loop > .row.full-width > .blog-section.no-sidebars .sort-panel {margin-left: -0px;margin-right: -0px;}}#layout .dfd-content-wrap.layout-side-image,#layout > .row.full-width .dfd-content-wrap.layout-side-image {margin-left: 0;margin-right: 0;}