BANDUNG (SIGABAH.COM) — Saksi ahli hukum pidana dari Universitas Katolik Parahyangan Bandung, C Djisman Samosir mengatakan, Pasal 156 dan Pasal 156 a Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) tidak secara tegas menentukan klasifikasi seseorang melakukan penodaan agama.
Menurut Djisman, dalam kasus pidato Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) soal surat Al Maidah ayat 51 sulit membuktikan apakah ada unsur niat melakukan penodaan agama atau tidak.
“Dalam pasal ini tidak diatur secara tegas, secara eksplisit. Sementara hukum pidana itu harus gramatikan, mengatur secara tegas,” kata Djisman, saksi ketiga dalam persidangan kasus dugaan penistaan agama ke-15 di Auditorium Kementerian Pertanian, Jakarta Selatan, Selasa (21/3/2017).
Terlebih, lanjut dia, pada saat mantan Bupati Belitung tersebut melakukan pidato, respons masyarakat Kepulauan Seribu biasa saja. Oleh karenanya, ia menyarankan pembuktian dalam kasus Ahok perlu meminta pandangan ahli lain.
“Pasal yang ada sekarang baru spesifik mengatur hukuman untuk tindakan penyebaran terhadap suku, golongan, pemerintah, dan kelompok tertentu,” paparnya.
Pasal 156 mengatur hukuman pidana penjara paling lama empat tahun untuk seseorang yang dengan sengaja menyatakan perasaan permusuhan, kebencian, atau penghinaan terhadap suatu atau beberapa golongan rakyat Indonesia. Sementara, Pasal 156a mengatur pidana penjara paling lama lima tahun untuk seseorang yang secara spesifik mengeluarkan perasaan atau melakukan perbuatan yang pada pokoknya bersifat permusuhan, penyalahgunaan, atau penodaan terhadap suatu agama yang dianut di Indonesia. (plt)
teropongsenayan.com | sigabah.com