BANDUNG (sigabah.com)—Lembaga Bantuan Hukum Street Lawyer menegaskan bahwa jeratan pidana penodaan, penghinaan dan perendahan Bendera Negara Pasal 66 sub 67 Undang-Undang 24 Tahun 2009 terhadap Nurul Fahmi peserta Aksi Bela Ulama 161, karena membawa pataka merah putih berkalimah tauhid “Laailahailallah Muhammadarrasulullah” menunjukkan criminal justice system tidak lagi ditujukan untuk penanggulangan kejahatan di masyarakat, melainkan untuk penanggulangan “Syiar Islam dalam Merah Putih.”
“Tidak berlebihan kami menyatakan seperti itu. Sebab saat Bapak menginjak Merah Putih pada Peringatan Hari Kesaktian Pancasila, penegak hukum hanya tutup mata. Hal sama pula terjadi pada ‘Bendera Merah Putih Metallica’ ataupun ‘Bendera Merah Putih Kita Indonesia’, yang seakan-akan ‘Pisau’ penegak hukum menjadi tumpul,” kata kuasa hukum Nurul Fahmi, Rangga Lukita surat terbukanya kepada Presiden, Jakarta, Sabtu (21/1/2017).
Namun, lanjutnya, apabila dengan umat yang menuntut keadilan “Pisau” tersebut menjadi sangat tajam dan memberikan luka.
“Kami tidak ingin masuk kepada substansi perkara yang merupakan kewenangan pengadilan untuk menilainya. Kami hanya ingin mengingatkan kepada Bapak bahwa Negara ini berdiri dan dipertahankan oleh tak terhingganya ‘Darah-darah Syuhada’, yang dalam meraih dan mempertahankannya melafazkan Kalimah Tauhid sebagaimana tertulis di pataka yang dibawa klien kami tersebut,” tegas Rangga.
Menurut Rangga, sebagai Presiden dan Kepala Negara, Joko Widodo mempunyai kewajiban untuk memastikan tegaknya Konstitusi Pasal 28 D ayat (1), yang menjamin setiap orang, tidak peduli apakah Presiden ataupun rakyat jelata mendapatkan perlakuan yang sama di hadapan hukum (Equality before the law).
“Namun sulit bagi kami mempercayai Bahwa bapak telah bekerja keras untuk menegakkan konstitusi tersebut, apabila dihadapkan pada fakta-fakta penggunaan ‘pisau penegakan hukum’ sangat tajam kepada klien kami dan ulama pemersatu umat 411, 212 (GNPF), yang sedang menuntut keadilan dari Negara ini,” jelasnya.
Akhirnya, sambung Rangga, ia menghimbau agar rezim yang sedang Jokowi pimpin ini untuk tidak alergi atau merasa terancam dengan Gerakan-gerakan umat yang menuntut keadilan.
“Di mana klien kami menjadi bagian daripadanya. Tentunya Bapak tidak ingin rezim ini dicatat sejarah sebagai rezim Islamophobia,” tandasnya.
Selain Rangga, pernyataan sikap juga ditandatangani oleh Kuasa Hukum di antaranya, Desnata, S.H., M.H., Muhammad Kamil Pasha, S.H., M.H., Juanda Eltari, S.H., Sumadi Atmadja, S.H., Erisamdy Prayatna, S.H.
Sumber: voa-islam.com