Preloader logo

8 Tahapan Genosida Terhadap Rohingya oleh Myanmar

BANDUNG (sigabah.com)—Dari tahun ke tahun kondisi etnis minoritas Muslim Rohingya tidak membaik di Myanmar. Tahun ini, puluhan ribu Rohingya kembali mengungsi ke Bangladesh karena desa-desa mereka dibakari tentara Myanmar, mereka dibunuhi.

Ini bukan kali pertama perlakuan serupa dialami oleh Rohingya. Di antara yang terparah adalah tahun 2012 dan 2015, puluhan hingga ratusan Rohingya tewas dalam konflik yang melibatkan warga mayoritas Buddha di Rakhine dan bahkan tentara Myanmar.

Lembaga HAM Human Right Watch dalam laporannya soal tragedi tahun 2012 yang membuat 125 ribu Rohingya terusir ke Bangladesh—belum kembali hingga sekarang—menyebut kekerasan terhadap etnis minoritas Muslim itu adalah “pembersihan etnis” atau genosida.

Tanda-tanda genosida jelas terlihat, walau pemerintah Myanmar membantahnya. Menurut situs berita PBB, UN Dispatch, Myanmar telah memenuhi delapan tahapan genosida yang ditetapkan oleh organisasi pencegah genosida, Genocide Watch.

Di antara delapan langkah genosida tersebut adalah: Klasifikasi, simbolisasi, dehumanisasi, terorganisir, polarisasi, persiapan, dan penyangkalan:

Klasifikasi dan simbolisasi

Menurut Genocide Watch, klasifikasi dan simbolisasi adalah langkah awal genosida yaitu membedakan antara “kita dan mereka”, mempromosikan perbedaan, bukannya persamaan. Seperti halnya Nazi membedakan “warga Jerman dan Yahudi” pada Perang Dunia II.

Menurut UN Dispatch, Rohingya diklasifikasikan sebagai “orang lain”, berbeda dengan rakyat Myanmar keseluruhan. Mereka tidak pernah menjadi warga negara Myanmar kendati tinggal beberapa generasi di negara itu.

Bagi orang Myanmar, Rohingya adalah pendatang ilegal dari Bangladesh, dipanggil “Benggala”. Menurut UN Dispatch, simbolisasi yang kuat bahwa Myanmar ingin membedakan Rohingya dari warga negara mereka. Myanmar tidak mengakui kata “Rohingya” sebagai etnis minoritas di negara itu. Tahun 2015, lima orang ditangkap dan dipenjara karena mencetak kalender yang menampilkan Rohingya sebagai salah satu etnis Myanmar.

Pengungsi Rohingya (Foto: AP Photo/S. Yulinnas)

Dehumanisasi

Menurut Genocide Watch, klasifikasi dan simbolisasi banyak terjadi di seluruh dunia dan tidak selalu mengarah kepada genosida jika tidak disertai dengan dehumanisasi. Dehumanisasi adalah meniadakan sifat kemanusiaan terhadap sebuah golongan. Mereka dianggap hama, penyakit, yang harus dipinggirkan.

Rohingya dalam hal ini mengalaminya. Karena tidak memiliki status warga negara, kehidupan mereka melarat, jaminan pendidikan dan pekerjaan terbatas karena tidak punya kartu penduduk. Kehidupan mereka di bawah standar dan kebebasan mereka dibatasi.

Tahun 2013, usai konflik setahun sebelumnya, pemerintah Myanmar bahkan membatasi Rohingya hanya boleh punya dua anak saja. Kebijakan ini hanya berlaku untuk Rohingya, terutama di kota Buthidaung dan Maundauw, yang populasinya 95 persen Muslim, seperti dikutip dari Al Jazeera.

Kebijakan ini menjadikan Myanmar satu-satunya negara di dunia yang menerapkan pembatasan jumlah anak hanya kepada etnis dan warga beragama tertentu.

Terorganisir

Genosida selalu dilakukan secara terorganisir, biasanya digawangi oleh pemerintah. Dalam beberapa kasus, pemerintah menggunakan militan untuk membersihkan etnis agar lepas dari tanggung jawab, salah satunya adalah militan Janjaweed di Darfur.

Rohingya kerap jadi sasaran penghakiman massa, terutama warga Buddha Rakhine. Di tahun 2012, pemerintah seakan tutup mata atas kekerasan terhadap Rohingya bahkan memperburuknya dengan membatasi pergerakan mereka.

Tahun 2016 dan sekarang, tentara pemerintah malah terlibat dalam kekerasan terhadap Rohingya. Desa-desa mereka dibakar secara terorganisir.

Human Right Watch dalam laporannya Februari lalu mengatakan tentara Myanmar membunuhi dan memperkosa orang-orang Rohingya. Termasuk korban mereka adalah anak-anak dan bayi.

Pengungsi Rohingya. (Foto: REUTERS/Mohammad Ponir Hossain)

Polarisasi

Polarisasi adalah pemisahan yang ekstrem antara sebuah kelompok dengan kelompok lainnya. Propaganda pemisahan ini didengungkan dengan nyaring, berupa pelarangan menikah dengan mereka atau bahkan berinteraksi.

Sejak Rohingya diserang karena dianggap memperkosa seorang wanita Buddha tahun 2012, kebencian etnis menyeruak di Rakhine. Kelompok-kelompok Buddha radikal yang digawangi biksu Wirathu menyebarkan ujaran kebencian terhadap Muslim Rohingya, menyebarkan pamflet dan dokumen provokasi soal Rohingya.

Bahkan dalam beberapa kasus, seperti ditulis UN Dispatch, mereka terang-terangan menyerukan “pembersihan etnis”. Pemerintah Myanmar, sementara itu, tidak berbuat apa-apa untuk menghentikan penyebaran propaganda mematikan tersebut.

Persiapan

Dalam langkah persiapan, calon korban genosida diidentifikasi dan dipisahkan berdasarkan etnis atau agama mereka. Daftar orang-orang yang akan mati dibuat. Menurut Genocide Watch, dalam langkah ini, mereka dikumpulkan di tempat kumuh, kamp konsentrasi, atau di wilayah miskin sumber daya agar mati kelaparan.

Hal ini bisa terlihat dalam kasus Rohingya. Pemerintah Myanmar memisahkan mereka dengan warga lain, berkumpul di permukiman khusus Rohingya.

Dikutip CNN tahun 2014, Rohingya dibatasi pergerakannya hanya di wilayah mereka sendiri. Di Sittwe, sebelumnya Rohingya hidup berdampingan dengan Rakhine, namun kini sulit menemukan Rohingya berjalan bebas di jalanan kota itu. Mereka diisolasi dari dunia luar dan semakin tidak berdaya.

Bekas pembakaran rumah etnis Rohingya di Myanmar (Foto: Soe Zeya Tun/Reuters)

Pemusnahan

Di tahap pemusnahan, genosida dilakukan. Genocide Watch menggunakan kata “pemusnahan” karena bagi pelaku genosida mereka tidak sedang membantai atau membunuh, tapi memusnahkan hama karena korban dianggap bukan manusia. Hal ini dilakukan oleh Nazi dalam pembantaian Yahudi di tahun 1940-an.

Sejak tahun 2012, upaya pembersihan etnis dilakukan terhadap Rohingya. Pemerintah Myanmar tidak melakukan apa pun untuk mencegahnya jika saja tidak ditekan oleh pemerintah Barat. Tahun 2016 dan 2017 pembantaian yang sama terjadi lagi.

John McKissick, Pejabat badan pengungsi PBB, UNHCR, mengatakan pemerintah Myanmar melancarkan pembersihan etnis terhadap Rohingya.

“Tentara Rohingya membunuh, menembak para pria, membantai anak-anak, memperkosa wanita, membakar, dan menjarah rumah, memaksa orang-orang ini menyeberangi sungai ke Bangladesh,” kata McKissick seperti dikutip dari BBC.

Penyangkalan

Penyangkalan adalah langkah ke delapan yang pasti ada dalam berbagai kasus genosida. Genocide Watch mengatakan, “pelaku genosida menggali kuburan massal, membakar mayat-mayat, coba menutupi bukti dan mengintimidasi saksi mata. Mereka membantah telah melakukan kejahatan, malah menyalahkan para korban.”

Pelaku genosida bisa bergerak bebas sampai tertangkap dan diadili di pengadilan internasional. Tanpa niatan politik untuk menangkap dan mengadili, pelaku genosida bisa bebas, seperti halnya Pol Pot atau Idi Amin.

Penyangkalan ini telah lama dilakukan oleh Myanmar. Pemerintah Suu Kyi membantah seluruh tuduhan pembersihan etnis yang ramai berdatangan. Aung San Suu Kyi sendiri yang membantahnya dalam wawancara yang dikutip The Guardian April lalu.

Aung San Suu Kyi. (Foto: RETUERS/Soe Zeya Tun)

Bahkan dalam peristiwa terbaru ini, Myanmar menyalahkan kelompok pemberontak ARSA yang membakar desa-desa Rohingya, padahal saksi mata mengatakan sebaliknya: Tentara yang membantai mereka.

Jumlah etnis Muslim Rohingya yang tewas di Myanmar saat ini jauh lebih banyak ketimbang yang dirilis pemerintah Aung San Suu Kyi.

Menurut Juru bicara lembaga aktivis Rohingya di Eropa, European Rohingya Council (ERC), Anita Schug, antara 2.000 dan 3.000 Muslim Rohingya terbunuh di negara bagian Rakhine hanya dalam waktu tiga hari, dari Jumat hingga Minggu lalu. Aktivis Myanmar lainnya mengatakan jumlahnya mencapai 800 orang.

Sedikitnya 18.500 Rohingya kini mengungsi ke Bangladesh, kabur dari pembantaian di rumah mereka sendiri.

kumparan.com | sigabah.com