Setiap amal memiliki karakter dan konsekuensi yang berbeda. Tergantung pada amal yang dikerjakan. Ada yang harus mengorbankan waktu, harta, tenaga atau bahkan jiwa sekalipun. Adanya konsekuensi bukan berarti amal itu boleh ditinggalkan. Karena, salah satu tuntutan dalam beramal adalah siap untuk berkorban.
Dalam melaksanakan amal haji misalnya, seseorang pasti harus siap mengorbankan harta dan tenaganya agar bisa menyelesaikan haji dengan sempurna. Demikian juga dengan amal ibadah lainnya, seperti perintah amar ma’ruf nahi munkar. Ia juga akan melahirkan konsekuensi yang menuntut siapa saja yang menegakkan amal ini untuk mengorbankan tenaganya, hartanya atau bahkan jiwanya sekalipun.
Ali bin Mudrik meriwayatkan dari Abu Amir Al-Asy’ari bahwa Nabi saw. berkata kepadanya, “Wahai Abu Amir, tidakkah engkau beramar makruf nahi munkar?” Mendapat pertanyaan tersebut, ia menjawab dengan membaca ayat berikut:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا عَلَيْكُمْ أَنْفُسَكُمْ لا يَضُرُّكُمْ مَنْ ضَلَّ إِذَا اهْتَدَيْتُمْ إِلَى اللَّهِ مَرْجِعُكُمْ جَمِيعًا فَيُنَبِّئُكُمْ بِمَا كُنْتُمْ تَعْمَلُونَ
“Hai orang-orang yang beriman, jagalah dirimu. Tiadalah orang yang sesat itu akan memberi mudharat kepadamu apabila kamu telah mendapat petunjuk. Hanya kepada Allah kamu kembali semuanya, maka Dia akan menerangkan kepadamu apa yang telah kamu kerjakan.” (QS. Al-Mâidah: 105)
Mendengar jawaban tersebut, Rasulullah pun marah besar dan bersabda, “Apa yang kalian ketahui tentang ayat ini? Sesungguhnya ayat ini maksudnya adalah, ‘Wahai orang-orang yang beriman, tidaklah menyusahkan kalian orang-orang yang tersesat dari orang-orang kafir jika kalian telah mendapatkan petunjuk’.” (HR. Ahmad dan Ath-Thabrani)
Dalam riwayat lain dari Abu Bakar Ash Shiddiq Ra, disebutkan bahwa beliau juga pernah menegur mereka yang salah dalam memahami ayat di atas dengan berkata,
إِنَّ النَّاسَ إِذَا رَأَوْا الظَّالِمَ فَلَمْ يَأْخُذُوْا عَلَى يَدَيْهِ اَوْشَكَ أَنْ يَعُمَّهُمُ اللهُ بِعِقَابٍ مَنْهُ
“Wahai manusia, sesungguhnya engkau membaca ayat ini (ayat di atas—edt). Sesungguhnya aku mendengar Rasulullah bersabda: ‘Sesungguhnya manusia jika telah melihat orang zalim lalu mereka tidak mencegahnya maka dikhawatirkan, Allah akan segera menimpakan bencana dari-Nya terhadap mereka semuanya secara menyeluruh’.” (HR At-Tirmidzi dan Ahmad).
Ibnul Mubarak menerangkan tentang firman Allah, “Bagimu diri-diri kamu!” Ini merupakan ungkapan bagi semua kaum mukminin yang maknanya, “Bagi kalian penganut agama kalian.” Ini sebagaimana firman Allah, “Janganlah kalian membunuh diri kalian!” Seakan-akan mengatakan, “Hendaklah kalian saling beramar makruf dengan sebagian yang lain. Dan hendaklah mencegah sebagian yang satu dengan yang lainnya.”
Ini adalah dalil atas wajibnya amar makruf dan nahi munkar. Tidaklah menyusahkan kalian kesesatan kaum musyrikin, orang-orang munafik, dan Ahli Kitab. Hal ini karena amar makruf berlaku bagi kaum muslimin dari mereka yang telah melakukan dosa.
Imam Al-Qurthubi mengatakan dalam kitab tafsirnya, Al-Jami‘ li Ahkamil Qur’an bahwa Abu Abid Al-Qasim bin Sallam menyatakan, “Tidak ada ayat lain dalam Kitab Allah yang menggabungkan antara nasikh dan mansukh selain ayat ini.” Ulama yang lain mengatakan, “Yang me-nasakh adalah firman Allah “idza ihtadaitum” Adapun maksud dari hidayah dalam konteks ini adalah amar makruf nahi munkar. Wallâhu a‘lam.
Amar makruf nahi munkar dilakukan ketika potensi keberhasilannya besar. Atau ketika hak orang yang terzalimi punya peluang besar untuk dikembalikan meskipun harus dengan paksaan. Hal ini dilakukan selama orang yang memerintah tidak takut bahaya yang akan ia dapatkan, atau tidak ada potensi bencana yang akan dialami kaum muslimin seperti putusnya persatuan. Atau bisa juga karena bahaya ini akan dialami sebagian golongan masyarakat.
Jikalau hal-hal tersebut dikhawatirkan bisa terjadi, maka hendaklah, “Perhatikanlah diri kalian sendiri,” dan sampai di sini saja. Orang yang bertugas melakukan nahi munkar tidak disyaratkan harus orang yang adil. Ini merupakan pendapat segolongan ulama. (Al-Jami‘ li Ahkamil Qur‘an, juz VI hal. 342)
Amar makruf nahi munkar adalah syariat yang tidak lepas dari kehidupan sosial umat Islam. Tujuannya sama-sama mengajak kepada kebaikan dan melarang setiap kemunkaran yang dapat merusak lingkungan serta prilaku manusia. Adanya konsekuensi berupa perlawanan atau ancaman itu pasti, tapi bukan berarti syariat itu boleh ditinggalkan begitu saja atau bahkan distigmakan sebagai ajaran yang anarkis. Sebab, ia adalah syariat yang tetap ada hingga hari kiamat nanti. Wallahu a’lam bis shawab!
By Fakhruddin (Kiblat.net), diolah dari buku “Jangan Bikin Rasul Marah” karya M. Ali Utsman Mujahid, Penerbit Aqwam, Solo