Riuh suara anak-anak di setiap sudut masjid terdengar terbata-bata. Tangannya berusaha mengeja huruf demi huruf dalam buku Iqra, “Cara Cepat Belajar Membaca al-Qur’an.” Sesekali teriakan-teriakan kecil terdengar dari pelataran masjid. Dua orang anak tengah bertengkar, Syamsul Bahri, anak nakal 11 tahun, biang onar dan kegaduhan kala itu, hingga akhirnya si anak nakal diadili oleh ustadz bijaksana, pengurus masjid dan wali dari santri yang telah dipukuli.
***
Aroma solar mulai tercium beberapa meter dari tempat ku berdiri diiringi deru mesin desel yang memecah pendengaranku. Aku masih berdiri, sesekali memerhatikan laki-laki tua tengah menyapu pelataran mesjid di seberang sana. Rasa lelah, putus asa, hingga kekosongan jiwa kini hilang begitu saja sesaat setelah kaki ini kupijakkan di tanah kelahiranku. Rasa riang kini terhambur melepas rindu 13 tahun yang lalu. Rindu pada alam meski tak sesegar dulu, pada masyarakat meski tak seramah dulu, pada ustadz bijaksana, pengurus mesjid yang rendah hati, dan pada mesjid itu, bangunan suci yang kini terlihat kumuh ditengah bangunan megah yang hampir tak ku kenali.
“Ayo Mak, kita main kesana…ke istana!” kenangku beberapa tahun yang lalu ketika meminta ibu mengantarkanku menuju bangunan itu. Bangunan suci yang berdiri di antara rumah-rumah sederhana beralaskan papan dan berdindingkan bilik itu baru selesai dibangun dan dibersihkan. Menaranya yang terbuat dari bambu menjulang tinggi, terlihat jelas dari pekarangan rumahku. Saat itu, jalanan kampung penuh dengan masyarakat, terhuyung-huyung pergi kesana. Ibu bilang sebentar lagi akan ada syukuran atas dibangunnya bangunan itu, bangunan yang dibuat dengan cinta dan keikhlasan warga di sana.
“Bangunan itu, namanya mesjid nak, tempat orang-orang muslim beribadah, tempat sujud (shalat), mengaji, dan kegiatan ke-Islaman lainnya.”
“Aku boleh ke sana gak, Mak?”
“Boleh sekali nak, datanglah kesana setiap adzan berkumandang dan setiap maghrib tiba, ajak teman-temanmu juga dan bawa kitab ini.”
Mak menyerahkan kitab yang masih bersih, terlihat baru membelinya
“Buku apa ini, Mak?”
“Bawa saja dan berikan pada pak Ustadz Muhidin, dia akan mengajarimu membacanya” perintah Mak padaku.
Menjelang datangnya maghrib, Mak membimbingku berwudhu, untuk kemudian memakaikan baju koko yang masih bersih dan sarung bapak yang terlihat lusuh. Di jalanan sorak sorai ricuh terdengar teman-teman sebayaku pergi menuju masjid. Satu persatu membawa kitab yang sama yang masih baru supaya diberikan pada Ustadz Muhidin. Dari kejauhan beliau tengah berdiri menyambut kami sambil tersenyum melambaikan tangannya.
Satu persatu kami menyalami beliau. Pintu pun dibuka lebar. Kami tersebar berhamburan memasuki masjid.
“Ayo semuanya duduk anak-anak, kita sama-sama mengaji di sini, tapi sebelumnya kita harus shalat maghrib dulu!” perintah Ustadz pada kami.
“Tapi kami gak tahu bacaannya, pak Ustadz.”
“Ikuti saja bapak, ya!”
Menjemput malam yang kian pekat, satu persatu orang tua kami datang membawa obor dan cempor yang dinyalakan. Kami pulang menuju rumah berharap hari esok segera datang lagi dengan cepatnya.
“Mak, tadi pak Ustadz membacakan cerita seru pada kami.”
“Cerita apa nak?”
“Cerita ayam jantan dan burung merpati. Di sebuah hutan hiduplah berbagai jenis hewan, ada singa, harimau, badak, serigala, ayam jago, hingga burung merpati. Di dalam hutan, ayam jago berlagak angkuh dan sombong. Ia membangga-banggakan diri karena punya mahkota di kepala. Tapi aneh ya Mak, mengapa ia selalu iri kepada merpati, dan selalu mengejek buruk merpati padahal ia sudah punya mahkota?”
“Karena merpati punya banyak kelebihan, ia setia dan tak pernah mendua. Ia akan tahu ke mana jalan pulang, tahu bagaimana bekerjasama, dan tidak punya empedu, tidak menyimpan kepahitan, sehingga tidak menyimpan dendam.”
“Kamu harus hidup seperti merpati, nak!” ucapnya sambil mengelus kepalaku, hingga tak kudengar lagi suara Mak.
Tak terasa waktu terus berjalan, sama seperti hari-hari sebelumnya. Kami semakin bersemangat dan senang menerima ilmu dari pak Ustadz. Doa-doa pendek dan surat-surat dari Juz ‘Ama terus diulang-ulang hingga kami hafal. Tak lupa pak Ustadz pun membacakan cerita kepada kami, setiap yang telah pak Ustadz ajarkan dan ceritakan, tak lupa k ceritakan kembali kepada Mak yang sudah siap mendengarkanku setiap malamnya.
***
Langit seolah runtuh saat menginjakan kaki di bangku SMP. Hal yang tidak kuinginkan dan harapkan menghampiri. Sebuah musibah besar sekaligus pukulan untukku. Mak meninggal karena terserang DBD, hingga akhirnya aku prustasi dan hilang kendali, sebab kurasa Mak satu-satunya orang terdekat yang kupunyai di dunia ini.
Riuh suara anak-anak di setiap sudut masjid terdengar terbata-bata. Tangannya berusaha mengeja huruf demi huruf dalam buku Iqra “Cara Cepat Belajar Membaca al-Qur’an.” Sesekali teriakan-teriakan kecil terdengar dari pelataran masjid. Dua orang anak tengah bertengkar, Syamsul Bahri, anak nakal 11 tahun lah biang onar dan kegaduhan kala itu, hingga akhirnya si anak nakal diadili oleh ustadz bijaksana, pengurus mesjid dan wali dari santri yang telah dipukuli.
Yah itu adalah aku, si anak nakal yang telah berhasil dibuat marah oleh wahyudin, anak orang terpandang di kampungku. Aku naik pitam ketika dia bilang aku anak haram yang ditinggalkan bapaknya pergi jauh dari kampung ini.
Kubogem pelipisnya hingga berdarah, dan akhirnya ia mengadu. Bapaknya datang ke masjid menyeret dan menendangku, hampir aku terpental. Namun, pak Ustadz dan pak Sahidi menengaraiku, aku dibawa ke mihrab masjid untuk diinterogasi. Namun, keluarga korban tetap tak terima, beruntung aku mendapat pembelaan dari ustadz bijaksana, hingga akhirnya aku terbebas dari tuntutan, meskipun image anak nakal tercap padaku di kampung itu.
Tak tahan mendengar hasutan dan cemoohan masyarakat kampung terhadapku, pak Ustadz mengirimku ke sebuah pesantren di Jawa Timur. Aku dititipkan pada salah seorang ustadz di sana agar dididik dan bina supaya menjadi orang.
Aku merasa tak ada seorang pun warga di kampungku yang sayang padaku, termasuk pak Muhidin, ustadz bijaksana dan pak Sahidi, pengurus mesjid yang juhud. Namun, lewat sepucuk surat dan beberapa puluh ribu uang yang beliau titipkan pada ustadz di pondok pesantren, aku merasa pak Muhidin orang yang masih peduli padaku.
Sebuah pesan yang sampai saat ini masih kupegang teguh dan tak ku lupakan, lewat filosofi bambu beliau berpesan dalam surat itu, “Jadilah kamu seperti bambu, menjadi manusia yang lentur tetapi kuat, kuat tetapi lentur, teguh pendirian,dan tetap bijaksana.”
***
Lama terdiam, laki-laki tua itu menatapku sambil tersenyum, kuhampiri seketika kugenggam dan kuciumi jemari kurusnya yang keriput.
“Bapak sehat, Pak?”
“Alhamdulillah nak,” suara serak parau itu baru kudengar kembali, kusadari telah banyak perubahan pada dirinya, ia benar-benar telah berubah menjadi lebih tua.
“Pak Sahidi masih ingat saya?”
Pak Sahidi memandangku dalam, sesekali mengernyitkan dahinya yang tipis setipis kulit ari.
“Bapak lupa, Nak…”
Tiba-tiba, hentakan tangan pak Sahidi menarik jemariku, menyeret kaki lemah memasuki masjid. Aroma pewangi ruangan tersebar dari berbagai penjuru, karpet polos berwarna hijau terhampar bersih dan rapi, memaksaku bersujud mengagungkan asmanya.
Selesai shalat 2 rakaat tahiyatul masjid, pak Sahidi tengah duduk di sudut masjid, dengan khusyunya membaca al-Qur’an, mulutnya komat-kamit hingga tak sedikitpun kudengar suaranya. Ia beringsut saat kuhampiri, seketika bacaannya terhenti, dan al-Qur’an yang dipegangnya diletakan di atas papan rehal. Aku tersenyum padanya, tetapi ia terdiam, riak air dimatanya yang bening seolah ingin segera tumpah.
“Akhirnya kamu kembali, Sul…Akhirnya kemenangan itu akan datang…”
Aku menatapnya lekat, kubiarkan ia menghapus dukanya dengan bercerita. Kini semakin terasa ada keperihan menyayat hati dan rasa sedih tak tertahankan. Air mataku pun tumpah setelah mendengar langsung atas meninggalnya ustadz bijaksana, pak ustadz Muhidin, guru mengajiku yang tak pernah lelah mendidik dan mengajariku.
Di sudut masjid, kudengar tumpah ruah cerita beliau, seolah waktu berputar kembali. Aku memasuki lorong waktu yang tak ingin kembali pada waktu nyata.
Masih terdengar riuh anak-anak yang mengaji terbata-bata, ekspresi pak ustadz Muhidin yang bercerita, penuhnya jalanan kampung dengan cempor-cempor yang menyala, dan senyuman hangat para ibu menyambut anaknya pulang mengaji dengan bangga.
Kini nostalgia itu sirna dengan realitas yang ada, jalanan sepi, cahaya lampu di sepanjang jalanan hanyalah penerang biasa, tak ada suara anak-anak di dalam masjid, yang ada hanya beberapa kakek tua yang sudah ringkih masih memegang teguh keimanan mereka.
Aku menyadari, kini Islam tengah dalam bahaya, menjalar hingga sampai ke kampungku. Perkataan Muhammad al-Fatih, penakluk Konstantinopel membuatku merenung.
“Jika kalian tidak lagi mendengar riang tawa dan gelak bahagia anak-anak di masjid, waspadalah saat itu kalian dalam bahaya.”
Ya… kampungku memang tengah dalam bahaya…
Tiba-tiba, perhelatan sengit semakin riuh antara amanah dan harga diri di kampung ini. Namun, suara batin membuncah pada sebuah pinta. Semoga diri yang terseok dan jauh dari kata sempurna mampu menjadi pribadi yang berkualitas hingga berani mengembalikan kemakmuran menegakkan panji-panji Islam di tanah kelahiranku di mesjid tercinta ini.
***
Aku tersadar, pekerjaan kampus tengah menantiku. Saat malam menyelimuti, untuk terakhir kalinya kupandangi masjid itu, tulisan “Masjid Jami al-Ikhlas” tertanam kuat di atas tiang penyangga di teras masjid. Untaian tangan pak Sahidi pun terlepas, senyuman terakhirnya melepas kepergianku.
Ya…satu tahun lagi aku akan kembali, tuk menemukan keagungan dalam pekerjaan yang penuh pahala dan komitmen, berharap menjadi salah seorang di antara tujuh orang yang mendapat naungan di padang mahsyar yang tidak ada naungan selain naungan Allah:
“Imam yang adil, pemuda yang tumbuh berkembang untuk beribadah kepada Allah, seorang laki-laki yang hatinya terikat dengan mesjid, dua orang laki-laki yang saling mencintai karena Allah, berkumpul dan berpisah karena Allah, seorang laki-laki yang diseru oleh perempuan yang mempunyai harta dan kecantikan untuk berzina namun ia mengatakan, sesungguhnya aku takut kepada Allah, seorang laki-laki yang berinfak secara sembunyi-sembunyi, hingga tangan kirinya tidak mengetahui apa yang diinfakkan tangan kanannya, dan laki-laki yang mengingat Allah ketika sendirian.”
Semoga aku mampu, gumamku dalam hati.
By: Siti Sholihah, MADRASAH PENA
menarik sekali artikelnya, sukses..