Husain Al-Habsy, direktur pesantren Islam YAPI Bangil, Jawa Timur, pada tahun 1980-an mengirim sejumlah santrinya untuk belajar di Hauzah Ilmiyah Qum, Iran. Sepulang dari Qum, para santri menyebarkan ajaran Syi’ah melalui sejumlah kegiatan, baik di bidang politik, pendidikan, media, sosial, ekonomi, maupun kesehatan.
Di bidang media, mereka membuat majalah, koran, televisi, penerbitan buku dan selebaran. Majalah seperti majalah alQuds diterbitkan di kedutaan Iran di Jakarta berbahasa Indonesia. Majalah Al-Mawaddah diterbitkan oleh IJABI. Majalah Al-Huda diterbitkan oleh Syi’ah di Jakarta. Majalah Al-Hikmah diterbitkan oleh yayasan Al-Muthahhari. Majalah Al-Musthafa diterbitkan oleh Syi’ah di Jakarta. Dan untuk penerbitan buku, mereka memiliki lebih dari lima penerbitan. Yang salah satunya adalah penerbit “raksasa” di Indonesia, yaitu Mizan.
Syi’ah serius menyebarkan pahamnya melalui buku. Mereka bersikeras meracuni umat Islam melalui beragam jenis tulisan. Mulai dari tulisan (seperti) ilmiah, hingga tulisan fiksi/sastra. Pun dengan musuh islam lainnya; seperti Komunis, Yahudi, dan Liberal. Buku dinilai menjadi “alat perang” yang lembut. “Alat Perang” bernama buku itu bahkan bisa lebih berbahaya dari ledakan bom. Sejarah pernah mencatat pembakaran buku yang dilakukan PKI di Universitas Indonesia dan Perpustakaan USIS. Pembakaran itu merupakan indikasi betapa buku dianggap sesuatu yang berbahaya bagi PKI. Selain membakar, PKI pun melakukan penahanan dan pelarangan buku karya Hamka dan pengarang anti-komunis lainnya.
Tahun 2014, Syi’ah menerbitkan buku provokatif berjudul Polemik Sunni Syiah: Jawaban atas Kesalahan-Kesalahan Prof Dr Maman Abdurrahman. Alih-alih ingin membuat buku bantahan ilmiah, buku tersebut malah menampakan sisi subyektifitas yang berlebihan. Tidak tampak spirit ilmiah, yang ada hanyalah luapan emosi.
Dalam beritanya, syiahindonesia.com (situs milik Sunni) merangkum beberapa kandungan provokatif dalam buku karya kader Syi’ah tersebut. Berikut adalah poin-poinnya: (1) Mengandung tendensi, hinaan bahkan pelecehan terhadap Prof. Maman khususnya dan PERSIS sebagai Jamiyyah, (2) Gaya bahasa emosional dan jauh dari nilai Ilmiah, (3) Cenderung provokatif dan penuh kebencian, (4) Membenturkan dan mengadudomba Persis dengan ormas lain khususnya NU, (5) Seperti biasa, isi materi buku penuh dengan hinaan kepada Sahabat Rasul, (6) Penuh dengan kutipan dari pernyataan kaum Liberal di dalam maupun luar negeri.
Jauh sebelum terbitnya buku tersebut, pada 2002 lalu, kader PDIP luncurkan buku berjudul, “Aku Bangga jadi Anak PKI”. Begitu percaya diri Dr. Ribka Tjiptaning mengangkat judul “telanjang” seperti itu. Padahal, mayoritas rakyat Indonesia jelas menolak keberadaan PKI. Saudaraku, jika mereka yang melakukan kebathilan saja berani dan bangga akan perbuatannya, kenapa kita yang yakin berada dalam jalan haq harus malu dan sembunyi-sembunyi menyampaikan kebenaran?
Perang pemikiran yang dilancarkan melalui medium tulisan sudah sangatlah lumrah. Namun ketika isinya berupa cercaan yang tak berdasar, agaknya terlalu “keren” untuk kita sebut buah pemikiran. Tapi lepas dari itu, apa yang sudah dilakukan Syi’ah dan Komunis lewat buku-bukunya harus menjadi motivasi bagi kita untuk melawan. Ya, ini saatnya kita berbuat. Sampaikan yang haq itu haq, yang bathil itu bathil. Sampaikan walau akan terasa pahit. Jangan mau kalah oleh mereka! Ingatlah, bahwa kita berkewajiban untuk melakukan amar ma’ruf dan nahyi munkar. Allah Ta’ala berfirman, “Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah.” (QS. Ali Imran: 110).
Sayyid Quthb pernah mengatakan, “Sebutir pelurumu yang menembus kepalaku hanya akan membunuhku. Tapi tulisan dan buah pikiranku akan menembus jutaan kepala manusia.” Senada dengan langkah Sayyid Quthb, A.Hassan pun memilih menulis sebagai salah satu jalan perjuangan. Pun dengan M.Natsir dan tokoh-tokoh Persis lainnya di era Soekarno. Karya tulis yang dituangkan di antaranya merupakan tulisan bantahan terhadap paham-paham yang menyimpang dari Islam.
Apa yang telah dipaparkan hanyalah salah satu alasan kenapa pelajar Persis harus (produktif) menulis. Adanya serangan dari Syi’ah maupun musuh Islam lainnya bukanlah satu-satunya alasan untuk menulis. Responsif ketika ada serangan lawan itu wajib, namun menulis tanpa harus menunggu merasa “diserang” pun adalah sebuah keharusan.
Sebab merasa atau belum merasa diserang adalah persoalan “kepekaan” kita dalam membaca keadaan. Jadi, menulislah, walau sedang merasa aman. Sekali lagi, walau sedang merasa aman. Namun ingat! Merasa aman itu tidak berarti aman. Sabda Rasulullah Saw, “Barangsiapa di antara kamu melihat perbuatan munkar, maka hendaklah merubahnya (memberantasnya) dengan kekuatan tangan; maka jika tidak sanggup, hendaklah ubah dengan kemampuan lisan; maka jika tidak sanggup pula, maka hendaklah diingkari dengan hatinya, dan itulah selemah-lemahnya iman” (HR.Muslim).
Bukalah jendela kamar itu, lihat apa yang terjadi di luar rumah. Lihat apa yang tengah menimpa umat. Cermati apa yang sedang diperbuat para pembenci islam. Mereka menuduh islam sebagai penebar ancaman. Mereka meracuni pikiran umat dengan beragam paham. Tidakkah kita melihat bahwa semua itu adalah bentuk kemunkaran?
Untuk pelajar Persis, ini saatnya Antum berbuat. Antum bukan sekelompok orang yang bisa diam melihat kemunkaran. Antum hidup dan dibentuk sebagai generasi militan. Ingat apa yang disampaikan KH.A.Latief Muchtar, “kita bukan pengikut dari generasi pendahulu, melainkan pelanjut.” Maka, Antum tak harus menjadi A.Hassan atau M.Natsir. Antum cukup belajar dan menyerap perjuangan keduanya dalam menuliskan ide. Dan itu harus dilakukan sekarang juga! Ya, menulislah sekarang juga atau kalah selama-lamanya! Wallahu A’lam
Hilman Indrawan, Penulis “Buku Tauhid Hasan”
Editor: Amin Muchtar, Sigabah.com/beta
Sumber: Al-Quranul Karim, Penerbit Qordoba. Imam Al-Mundziri, Ringkasan Shahih Muslim, (Bandung: Jabal, 2013). Taufik Ismail, Gagalnya Kudeta PKI, (Jakarta: Republika, 2015). Tim Penulis An-Najah, Syi’ah: Kawan atau Lawan (Surakarta: Pena Ummah, 2013), www.syiahindonesia.com