“Kembali akan terpaut rasa rindu yang mendalam, saat keindahannya akan segera kutinggalkan. Tempat yang bersejarah. Tempat yang dirindukan umat Islam sedunia. Ya, aku harus kembali ke tempat itu. Untuk mencium kembali Hajar Aswad. Kembali menangis sendu di Masjidil Haram, menikmati penyesalan atas jutaan alpa yang telah kutimbun selama di Jakarta. Bersyukur aku bisa ibadah senikmat ini. Mudah-mudahan aku bisa segera kembali ke tempat ini.” Tulisku dalam status Facebook sebelum meninggalkan Kota Mekah.
Pergi Haji atau Umroh bagiku adalah wisata paling romantis yang pernah aku rasakan. Bagaimana tidak, di sana aku bisa merasakan sensasi menangis di masjid paling eksotis di dunia. Di usiaku yang masih 36, aku sudah bergelar haji, dan sudah pergi umroh sebanyak lima kali. Ini prestasi bagiku. Kini aku dipanggil haji muda. Aku dihormati banyak orang. Ah benar-benar nikmat menjadi seorang muslim sepertiku. Aku bisa menunaikan semua rukun Islam. Bahkan aku berencana akan kembali pergi ibadah haji. Aku ingin memastikan bahwa aku benar-benar akan menjadi ahli surga.
Lima tahun lalu, saat pertama kali berangkat Umroh dengan paket plus Istanbul, aku berfikir bahwa aku telah dekat dengan surga. Harumnya sudah tercium sejak aku duduk di pesawat menikmati perjalanan suci. Saat itu aku yakin Tuhan telah memilihku sebagai salah satu penghuni surgaNya. Terlebih saat orang-orang menyambut kepulanganku. Mereka semua mengatakan padaku, bahwa aku ini orang yang dipilih Tuhan untuk menuju rumahNya. Ya, aku amini semua itu dengan terus mengumpulkan uang untuk menjadikan umroh sebagai perjalanan rohani tahunan.
***
Pasar Tanah Abang, Jakarta
Seperti biasa, setiap bulannya istriku selalu mengganti mukenanya. Pun denganku yang rutin membeli baju koko dan sarung. Tak lupa sajadah dan sorban pun rutin kami beli setiap bulannya. Allah itu indah dan cinta keindahan, maka dari itu aku selalu menjaga keindahan pakaian shalat keluarga.
“Mukena ini harganya satu juta tujuh ratus ribu, Bu haji.” Kata seorang pedagang sembari memperlihatkan beberapa model.
“Gimana, Pak?” Tanya istriku.
“Ya udah, kalo itu bisa membuat khusyu shalat, ambil aja.”
Aku bahagia diberi istri yang paham akan keindahan. Ia selalu memilih pakaian terbaik untuk beribadah. Ia tidak mau menggunakan mukena yang biasa-biasa. Untuk ibadah itu kita harus gunakan pakaian yang paling bagus. Begitu katanya. Ya, aku setuju. Di rumah, tak ada satu pun mukena atau sajadah yang murah. Karena bagiku, beribadah itu mesti maximal. Surga kan mahal, jadi wajar jika aku keluarkan kocek yang tidak sedikit.
Bicara soal nominal yang aku keluarkan untuk ibadah, ada seorang penceramah yang tampaknya iri padaku. Padahal, bukankah dalam Islam iri dengki itu dilarang? Dalam ceramahnya saat shalat Jumat, ia menyindirku, “Untuk apa pergi ke tanah suci setiap tahun, sedangkan tetangga sebelah dibiarkan menahan lapar?” Aku yakin, ia sedang iri kepadaku. Sebagai seorang penceramah senior, ia belum juga dipercaya Allah untuk pergi haji, makanya ia iri padaku. Terus soal tetangga yang kelaparan, kenapa harus menyalahkan yang pergi haji? Toh, pergi haji itu ibadah yang mulia, yang diridhoi, kenapa malah digugat?
By Hilman Indrawan, Pelopor Komunitas Madrasah Pena
Editor: Amin Muchtar, sigabah.com/beta