Hari Jum’at yang cerah, dipenuhi berkah. Saatnya bersiap-siap melaksanakan shalat Jum’at. Pakai koko dan kopiah, serta wangi-wangian, tidak lupa sarung Samarinda yang baru aku beli seminggu yang lalu. Jam menunjukan setengah dua belas, matahari hampir berada di ubun-ubun kepala yang terbungkus kopiah. Orang-orang sudah berkumpul di teras masjid. Ada yang merokok sambil menceritakan pengalaman masa lalu, ada juga yang celingak-celinguk seperti aku mencari tempat penyimpanan sandal super aman.
“Dulu, Jang, waktu muda bang Rahmat tidak pernah takut berkelahi…hahaha,” Bang Rahmat membuka cerita masa lampau sambil mengeluarkan asap rokok dari mulutnya.
“Tidak Islami, tidak mendidik. Cerita macam apa itu?” gerutuku dalam hati.
“Hahaha,” serentak mereka yang berada di teras tertawa seakan mengiyakan cerita bang Rahmat.
Rokok habis, cerita pun tak berujung. Akhirnya mereka masuk ke dalam masjid. Aku mengikuti, sebab tak ada lagi yang menarik di teras. Ku lihat sekeliling, barisan sudah mulai dipenuhi para jamaah. Di barisan depan terlihat ada Kosasih memakai setelan jas abu-abu, juga Dani dengan kemeja biru mirip pekerja pabrik yang sedang istirahat jam makan siang.
“Alhamdulillah, sudah penuh jamaah ternyata” gumamku dalam hati
Aku duduk di barisan ketiga. Di sampingku ada Helmi yang sebentar lagi akan melepas masa lajangnya, umurnya jauh di bawahku.
11.45, belum ada khatib yang datang melalui pintu khusus sebelah kiri mimbar. Suasana hening, jamaah saling melirik satu sama lain, berharap sang khatib segera datang. Namun, tetap tak ada tanda-tanda siapa khatib Jum’at kali ini.
“Tiiit…tiiit…tiiit…” bunyi alarm jam digital, sudah waktunya adzan dzuhur.
Muadzin resah, begitu juga para jemaah.
“Apa Jum’atan kali ini harus batal saja, karena khotib belum datang” sebagian jemaah berbicara. Suasana riuh seketika. Jemaah seperti ayam yang kehilangan induknya, berciak-ciak memanggil. Baru kali ini khatib telat datang ke masjid.
“Apa para Ustadz sudah pension. Macam pegawai negeri saja pension,” seorang kakek yang duduk di sudut masjid mulai menggerutu.
“Tuhan tidak pernah memberi jatah pensiun pada Ustadz,” candaku yang belum terlalu khawatir.
“Gimana nih,” muadzin mulai bertanya pada jemaah yang ada di sebelahnya.
“Gak tau, Wan,” jawab jemaah yang berada di sebelah Muadzin
“Kamu saja yang menjadi khatib, kasian jemaah,” muadzin mencoba memberi tanggung jawab yang Maha berat.
“Kita tunggu sebentar lagi.”
Jemaah masih melirik, ada yang ke samping, ke belakang. Kebingungan. Ini hal yang paling menakutkan sepanjang sejarah.
Kalau saja bapakku dulu mengirimku ke pesantren, mungkin aku bisa menjadi khatib dadakan untuk keadaan seperti ini. Tapi bapak malah mengirimku ke STM (Sekolah Teknik Mekanik), yang hanya mengajarkan bagaimana cara memperbaiki mesin, dengan pengharapan bisa dapat kerja cepat. Namun, tak sanggup memperbaiki saat-saat tak ada khatib di masjid.
“Sial,” sesalku yang menuruti kata bapak dulu
Teringat kata-kata bapak dulu, “Jang kalau punya ijazah STM, kamu bisa dapat kerja dengan cepat, kerjanya enak, duitnya banyak”. Pemahaman orang tua yang berpegang bahwa hidup selalu tentang uang.
Aku mulai gelisah, Jum’at yang berkah ini harus terhenti karena tak ada khatib.
“Bagaimana ini,” merutuki hidupku yang sekolah salah jurusan.
Lulusan STM tidak bisa jadi khatib, sebab pemahamanku tentang agama masih dangkal. Mana mungkin aku menjelaskan tentang mesin di mimbar, itu sungguh mustahil. Aku terus menyesali diri sambil berharap ada yang naik mimbar kosong itu.
Apa ini tanda-tanda kiamat, ya ini sudah kiamat bagiku. Tempat berpijak umat kini tak ada di mimbarnya. Kosong melompong. Tak ada yang berdiri di sana, yang ada hanya suara riuh keresahan umat yang lapar gizi-gizi rohani yang harusnya disampaikan khatib.
Sepuluh menit berlalu, penantian yang sia-sia. Tak ada yang datang, tak ada pula yang menggantikan. Aku berdo’a, semoga ada pahlawan yang sudi memberikan sepatah dua patah ayat Allah di Jum’at hari ini.
Akhirnya ada yang berdiri, dan mengucapkan salam.
“Siapa gerangan pahlawan tak berkuda itu, yang menyelamatkan kami dari musibah ini” tanyaku.
Tatang maju, dan seluruh jemaah mengucapkan, “Alhamdulillah”. Masih ada harapan ternyata untuk kami mendapatkan keberkahan. Allah menguji kesabaran kami kali ini. Ini sebuah pertolongan yang amat berharga, sebuah pengalaman berharga, agar kami berpikir bagaimana membangun sebuah generasi masjid selanjutnya.
Shalat Jum’at pun selesai. Sandal masih aman di tempatnya. Kejadian tadi menjadi perbincangan hangat, warga kampung masih resah karena takut hari Jum’at yang akan datang hal tadi terulang. Ada yang mengusulkan pindah masjid, ada juga yang mengusulkan harus buat regenerasi baru.
Menurutku, ide membentuk regenerasi baru adalah ide yang tepat. Generasi muda kampung harus ada yang mampu menjadi garda terdepan umat.
***
Dua hari kemudian aku menemui Kosasih dan Dani. Aku berencana membentuk kumpulan remaja masjid.
“Kos, bisa kita bicara sebentar,” ajakku pada Kosasih.
“Ya, ada apa?” Kosasih penasaran.
“Ada perlu sebentar.”
“Ini bukan obrolan rahasia seperti rapat gerakan untuk mengkudeta pemerintah kan?” tanya Kosasih sambil bercanda.
“Ini lebih dari pada gerakan kudeta, Kos. Ini gerakan umat menuju kemajuan,” kataku sambil sedikit bercanda dengan maksud suasana menjadi cair.
“Hahaha,” kami berdua tertawa.
Lalu Dani datang. “Ada apa ini? Ketawa ko gak ajak-ajak.”
“Begini Kos, Dani, aku ingin bertemu kalian bermaksud untuk membicarakan perihal pembentukan kembali remaja masjid di kampung kita ini. Aku mulai khawatir setelah melihat kejadian Jum’at kemarin. Aku takut para Ustadz benar-benar pensiun mengajari ilmu agama.”
“Kumpulan remaja masjid ya?” Kosasih menjawab seperti kebingungan.
“Kalian kan keluaran pesantren, pasti lebih paham maksudku, masih ingat kejadian Jum’at lalu?” tanyaku pada mereka.
“Iya aku masih ingat,” jawab Kosasih.
“Aku juga berpikiran demikian, tapi aku sibuk dengan pekerjaanku di Jakarta, biasa kebutuhan rumah tangga yang melilit,” jawab Kosasih yang sedikit mengeluh.
“Begini saja, aku paham keadaanmu Kos. Yang perlu kita lakukan hanya mengumpulkan para remaja yang ada di kampung, lalu mengarahkannya” kataku.
Kosasih sudah berkeluarga, dan mempunyai seorang anak. Aku memaklumi keadaannya yang tidak bisa sepenuhnya membantu. Paling tidak sebulan sekali jika dia libur Kosasih dapat berkumpul.
“Jadi, kapan kita kumpulkan para remaja,” tanya Dani yang semakin antusias.
“Besok gimana? Hari ini kita beritahu para remaja seusai shalat maghrib,” jawabku yang ikut bersemangat.
Mereka mengangguk menandakan kesediaannya.
Siulan burung dan desir angin menambah merdu obrolan kami kala itu. Nikmat Allah yang tiada terhingga, menambah semangat membangun generasi penerus masjid. Kami pun pulang dengan membawa optimisme.
***
Lembayung masih tampak. Usai shalat maghrib kami bertiga duduk di depan teras masjid. Ada pula Rival dan Oci di sana, santri Madrasah Aliyah kelas 10 yang menjadi buruan kami, pionir para remaja di kampung ini. Kuhampiri mereka dan mengabarkan kalau besok setelah isya kita berkumpul di masjid dengan membawa remaja putra dan putri lainnya untuk membicarakan pembentukan remaja masjid.
Rival dan Oci menyetujuinya. Semangat muda mereka berapi-api seperti pejuang yang sedang berperang. Sebab mereka pun berpikir perlunya penerus untuk menghadapi krisis kekosongan mimbar.
Para remaja pun berkumpul, mirip rapat pemuda pada masa kemerdekaan lampau. Penuh semangat, remaja-remaja ini cikal bakal kemajuan umat di masa depan. Pembentukkan remaja masjid berjalan lancar. Rival yang menjadi ketua dan Oci yang menjadi wakilnya. Di usia belia seperti mereka sudah tertanam rasa kepedulian terhadap agamanya. “Subhanallah.”
Dan aku pun pulang membawa rasa bangga, dan harapan agar tak ada lagi kejadian mimbar yang kosong.
By: Moch. Dzikri Noor, MADRASAH PENA