Bandung (sigabah.com) – AL-QURAN dan Sunnah Nabi Shalallahu ‘Alaihi Wassallam memposisikan para ulama pada derajat yang tinggi dan terhormat. Mereka tidak sama posisinya dengan kaum awam nan jahil (QS: az-Zumar:9). Dengan ilmu yang mereka miliki derajat diangkat sekian derajat di atas kaum yang jahil (QS: al-Mujadilah:11). Maka sangat masuk akal jika mereka adalah makhluk Allah yang takut (khasy-yah) kepada-Nya (QS: Fathir:28).
Dalam sabdanya Nabi Shalallahu ‘Alaihi Wassallam menyebut mereka sebagai “waratsatul-anbiya’” (pewaris para nabi: yang mewarisi dan mewariskan ilmu kepada umat ini (HR. Ibn Hibban, Abu Dawud, Ibn Majah, dan ad-Darimi).
Bahkan wafatnya seorang alim menjadi sebab dicabutnya ilmu. Dan dicabutnya ilmu merupakan satu tanda akan terjadinya hari Kiamat (HR. al-Bukhari)
Bahkan, Abdullah ibn Amr ibn al-‘Ash menyatakan bahwa beliau mendengar Rasulallah Shalallahu ‘Alaihi Wassallam bersabda demikian,
إن الله لا يقبض العلم انتزاعا، ينتزعه من العباد. ولكن يقبض العلم بقبض العلماء. حتى إذا لم يبق عالما، اتخذ الناس رؤوسا حهالا، فسئلوا، فأفتوا بغير علم، فضلوا وأضلوا
“Sesungguhnya Allah tidak mencabut ilmu secara langsung dari para hamba. Namun Allah mencabut ilmu dengan cara mewafatkan para ulama. Sehingga jika tidak ada lagi seorang alim pun, manusia memilih orang-orang jahil sebagai pemimpin mereka. Pemimpin jahil ini kemudian ditanya, lalu memberi fatwa (jawaban) tanpa dasar ilmu sehingga sesat dan menyesatkan.” (HR. al-Bukhari dan Muslim).
Dan tentunya masih banyak sabda beliau tentang kedudukan para ulama. Oleh karena itu umat diwajibkan taat kepada mereka. Ketika menafsirkan kata “ulul amri” dalam QS: an-Nisa’:59 para ulama banyak yang memaknainya dengan para ulama, atau ahli fiqih dan agama. Ini, misalnya, pandangan Mujahid, ‘Atha’, al-Hasan al-Bashri, dan Abu al-‘Aliyah. (Imam Ibn Katsir, Tafsir al-Qur’an al-‘Azhim (Kairo: Dar al-Hadits, 1432 H/2011 M), 1/638). Tentu selama mereka tidak mengajak umat untuk melakukan kemaksiatan dan menentang ajaran Allah.
Kebangkitan Umat
Kemudian, dalam sejarah, ada satu hal penting berkaitan dengan peran ulama dalam kebangkitan umat. Ini satu hal yang tak dapat dinafikan. Peran mereka sangat besar dalam hal ini.
Kita mengenal mujahid hebat pembebas Baitul-Maqdis atau al-Aqsha dari tangan kaum Salibis, Shalahuddin al-Ayyubi. Tapi siapa kira peran ilmu yang disebarkan oleh Imam Abu Hamid al-Ghazali dan Syekh Abdul Qadir al-Jailani begitu kuat terpatri dalam jiwanya.
Jika ada Mujahid sehebat Muhammad al-Fatih yang membebaskan Benteng Konstantinopel pada 1514 M, maka di belakang dia ada seorang alim yang hebat bernama Syekh Syamsuddin.
Pun Saifuddin Quthuz, panglima Perang ‘Ain Jalut, tak lepas dari peran seorang alim hebat al-‘lzz ibn Abdissalam yang digelar sebagai “Sulthanul ‘Ulama” (Sultan Para Ulama).
Di Indonesia pun demikian. Kebangkitan Islam dalam ranah pendidikan Islam tak lepas dari sosok hebat KH. Ahmad Dahlan yang dirikan Persyarikatan Muhammadiyah pada 1912. Demikian pula Nahdlatul Ulama (NU) yang tak lepas dari sosok KH. Hasyim Asyari. Di Persis pula ada Ahmad Hassan yang telah lahirkan pemikir dan seorang alim hebat, M. Natsir. Ini sekadar contoh tanpa menafikan gerakan kebangkitan yang lain.
Dan hari ini umat kembali bangkit dengan mengatasnamakan membela para ulama. Maka, sekali lagi, umat memang selalu akan bangkit selama ada kedekatan dengan para ulama. Kalau menjauh maka kebangkitan itu pun takkan pernah mewujud.
Untuk itu, umat harus membela para ulama dari bentuk kriminalisasi apapun. Dalam kondisi saat ini aroma kriminalisasi terhadap ulama begitu terasa.
Maka, umat harus melawan bentuk usaha kriminalisasi terhadap para pewaris nabi ini. Jika tidak, maka umat akan kembali jatuh, terpuruk, terjajah, dan akhirnya mati. Untuk itu, ayo bangkit bersama ulama!
Penulis aktif di Majelis As-Shuffah
[hidayatullah.com/sigabah.com]