Di era globalisasi sekarang ini, penyebaran dan percepatan informasi mudah sekali dilakukan. Hal ini membuat kita makin mudah juga buat cari informasi yang kita mau, tanpa harus ada upaya yang terlalu keras. Semisal dengan adanya handphone; waktu kita mau tau tentang suatu informasi, kita cukup browsing di hape, tanpa harus pergi ke jalan atau toko buku buat cari koran dulu misalnya. Apalagi dengan adanya media sosial semacam facebook, twitter, dan sejenisnya, kita bakal bisa update informasi tiap jam bahkan menit. Mau itu soal politik, ekonomi, sosial, agama, olahraga, atau hanya sekedar curhatan temen di media sosial.
Hal ini jelas sangat membantu mempermudah kehidupan kita, bener ga sih? Tapi… selain memberi dampak positif, yakni mempermudah memperoleh informasi, di sisi lain kemajuan teknologi juga menyimpan potensi bahaya yang gabisa dianggap remeh lohh… contohnya adalah penyebaran paham-paham atau ide yang menyimpang. Kemajuan teknologi informasi ini, dijadiin media buat propaganda ide-ide sesat, tapi dikemas ‘seapik’ mungkin, sehingga kita mungkin ga sadar kalau informasi yang kita terima, sebagian ada sisipan propagandanya. Mereka mainnya cantik, haluus sekali. Mereka siapa? Ya udah pasti musuh-musuh Islam, tujuannya ya tentu untuk merusak nilai-nilai Islam itu sendiri. Merusak keyakinan kita pada agama sendiri, atau setidaknya membuat pandangan kita jadi ‘blur’. Semakin (terlihat) bias batas antara yang benar dan yang salah.
Setelah muncul yang namanya sekularisme, pluralisme, dan liberalisme, kini marak juga istilah “Humanisme”. Apa itu Humanisme? “Humanis” dan “isme”. Humanis itu artinya manusia, kemanusiaan. Kita sebagai manusia udah pasti harus punya rasa humanis; Mencintai, mengasihi, menyayangi. Sementara isme bisa diartiin sebagai paham atau aliran. Disinilah yang jadi masalah, ketika humanis digabung sama isme menjadi Humanisme, maka rasa kemanusiaan itu akan menjadi lebih “diagungkan” dibanding dengan yang lain, karena udah jadi paham.
Jadi ide Humanisme ini adalah sebuah cara berpikir bahwa peri kemanusiaan adalah satu-satunya tujuan. Lebih ekstrim lagi, humanisme ini ngajak manusia berpaling dari Tuhan yang menciptakan mereka, dan hanya mementingkan keberadaan mereka (manusia) sendiri. Bahkan menurut Harun Yahya dalam bukunya “Ancaman global Freemasonry” Humanisme ini nyaris identik dengan Atheisme (engga percaya adanya Tuhan). Cara pandang yang kayak gini udah pasti berbahaya.
Seorang pakar pemikiran Islam di Indonesia Dr. Adian Husaini, di salah satu acara seminarnya pernah berbagi cerita, gimana ide Humanisme ini udah “berhasil” masuk ke pemikiran masyarakat muslim, khususnya para remaja yang masih mencari jati diri. Beliau pernah ditanya oleh seorang anak SMA seperti ini “Adilkah Allah memasukkan ke dalam surga orang-orang jahat, hanya karena dia beragama Islam? Dan adilkah Allah memasukkan ke dalam neraka orang-orang baik, hanya karena dia tidak beragama Islam?” kemudian Dr. Adian balik bertanya ke anak itu “Yang kamu maksud baik dan tidak baik itu siapa?” kemudian anak itu menyebut beberapa tokoh “Semisal Thomas Alva Edison penemu bola lampu listrik. Yang temuannya itu bisa kita manfaatkan sampai hari ini, termasuk untuk ikut kajian keislaman, juga Nelson Mandela yang berhasil menghapuskan sistem Apartheid (Sistem yang mendiskriminasi orang berkulit hitam), dia pejuang kemanusiaan, dia suka menolong orang, dia baik sama semua orang” Bila ada pertanyaan seperti itu menghampiri kita, kira-kira jawabnya gimana? Hehehe….
Dalam kesempatan itu beliau melanjutkan ceritanya “Maka saya jawab, iya betul dia itu orang baik, sama manusia dia berbuat baik, suka menolong. Tapi dia engga baik sama Tuhan. Dia engga mau mengakui Allah satu-satunya Tuhan. Dia tidak mengakui Nabi Muhammad itu sebagai utusan Allah Swt. Tidak mengakui Tuhan, tidak mengakui utusan Tuhan, itu masalah. Tidak mengakui utusan presiden aja masalah kok. Apalagi ini utusan Tuhan ditolak. Terlebih jika ada yang ngaku-ngaku sebagai utusan Tuhan, ah, itu lebih parah lagi” beliau menambahkan, makannya yang pertamakali diminta dari manusia itu bukan amal, tapi pengakuan. Dalam surat Toha ayat 14 “Sesungguhnya aku ini adalah Allah. Tidak ada Tuhan (yang hak) selain Aku, maka sembahlah Aku, dan dirikanlah shalat untuk mengingat Aku” ‘Aku ini Allah, maka sembahlah Aku’ manusia diminta mengakui dulu Allah itu Tuhannya. Baru kemudian diminta amal ‘shalatlah untuk mengingat Aku’.
Jadi, tidak mengakui apa yang semestinya diakui itu tidak baik. Jangan sampai deh, kita termakan oleh ide-ide Humanisme. Indikator baik dan tidak baik itu dinilai dari segi kemanusiaan. Humanisme sekuler. Ga penting orang itu agamanya apa, imannya apa, yang penting dia berbuat baik, maka dia disebut orang baik. Inilah tantangan kita hari ini dan hari-hari ke depan. Kalau kita engga ada upaya buat membentengi diri kita, cepat ataupun lambat kita bakal “termakan” sama ide-ide dan pemikiran semacam ini.
By Azmi Fathul Umam
Editor: Amin Muchtar, sigabah.com/beta