Hari ini, Rabu, 17 Agustus 2016, negara kita genap berusia 71 tahun. Usia yang relatif tua kalau ukuran manusia, tentu telah melewati banyak musim, mengalami macam perubahan dan tuntutan zaman, dan pasti banyak pelajaran yang bisa dipetik.
Negara kita memang telah merdeka. Namun sebagai bangsa, apakah kita telah benar-benar merdeka? Jawabannya bisa ’ya’ ataupun ’tidak’. Jika merdeka yang dimaksud adalah bebas dari penjajahan fisik bangsa lain, jawaban ‘ya’ tepat untuk dilontarkan. Namun, jika maksudnya terlepas dari “penjajahan hidup layak”, tentu saja jawaban ‘tidak’ dapat diterima. Karena faktanya masih banyak warga negara yang tak bersekolah, rakyat masih miskin, banyak anak bangsa ini yang tidak bisa hidup layak dengan sandang, papan dan pangannya terpenuhi. Mengapa ini bisa terjadi, bukankah negara kita kaya?
Literatur yang kita baca tentang data kekayaan yang dimiliki oleh negara kita memang menunjukkan hal itu. Emas kita adalah terbaik. Cadangan gas alam terbesar di dunia, terdapat di blok cepu dan natuna. Batu bara yang kita punya berkualitas terbaik didunia ada di Kalimantan Timur. Hutan tropis kita terluas di dunia, menjadi salah satu paru-paru dunia. Laut kita juga terluas, bisa menambah pendapatan negara dengan sumber daya alam di dalamnya. Jadi, mengapa negara sudah merdeka namun rakyatnya masih tetap “terjajah”?
Jawaban Al-Qur’an hanya satu: “Bangsa Indonesia masih menjadi bangsa yang kufur.” Allah Swt. berfirman:
لَئِنْ شَكَرْتُمْ لَأَزِيدَنَّكُمْ وَلَئِنْ كَفَرْتُمْ إِنَّ عَذَابِي لَشَدِيدٌ
“Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Kami akan menambah (nikmat) kepadamu, dan jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), maka sesungguhnya azab-Ku sangat pedih.” (QS Ibrahim: 7)
Harus menjadi kesadaran kolektif seluruh anak bangsa ini, baik para pemimpin maupun rakyatnya, bahwa kemerdekaan merupakan salah satu karunia besar dari Allah Swt. kepada bangsa Indonesia. Ia merupakan nikmat urutan kedua sesudah nikmat kehidupan. Namun ia tetap berada pada satu urutan di bawah nikmat termahal, nikmat keimanan. Sebagaimana terhadap berbagai nikmat lainnya, Allah Swt. memerintahkan anak bangsa negeri ini untuk mensyukurinya. Sebab mensyukuri nikmat akan menghasilkan pelipatgandaan nikmat itu sendiri. Sedangkan kufur nikmat akan menyebabkan nikmat itu berubah menjadi sumber bencana bahkan azab. Bencana yang dimaksud bukan saja bencana alam, namun juga bencana sosial.
Syukur nikmat, sebagaimana didefinisikan sebagian ulama, mengandung makna:
إِسْتِعْمَالُ النِّعْمَةِ فِي الطَّاعَةِ لِزِيَادَةِ النِّعْمَةِ
“menggunakan kenikmatan di jalan ketaatan agar kenikmatan tersebut bertambah.”
Apabila kita sebagai suatu bangsa pandai memanfaatkan nikmat kemerdekaan dengan menjalani kehidupan berbangsa, bermasyarakat dan bernegara penuh dengan berbagai program ketaatan kepada Allah Swt., niscaya nikmat tersebut akan Allah Swt. tambah kepada kita semua. Namun sebaliknya, nikmat kemerdekaan malah akan terasa menjadi sumber bencana dan bahkan azab, bilamana kemerdekaan itu kita sikapi dengan menjalani kehidupan berbangsa, bermasyarakat dan bernegara jauh dari tuntunan Ilahi. Bukankah saat sedang terjepit oleh para penjajah hanya Allah Swt. yang kita panggil dan mohonkan pertolongan-Nya? Di saat yang sama, pekik “Allaahu Akbar” dan ungkapan Allah Maha Besar menjadi motivasi bangsa ini dalam berjuang berabad-abad mengusir para penjajah kafir Inggris, Portugis, Belanda dan Jepang.
Hakikat Kemerdekaan
Fakta sejarah menunjukkan bahwa jauh sebelum ada Magna Carta tahun 1215, sebelum Amerika mengumumkan Declaration of Independence tahun 1776, sebelum PBB mengumumkan Universal Declaration of Human Rights tahun 1948, Islam semenjak awal, semenjak tahun 600-an, telah mengumandangkan seruan kebebasan, kemerdekaan, dan keadilan bagi umat manusia.
Semenjak tumbuhnya di Mekah, Islam telah menentang penindasan masyarakat kuat terhadap masyarakat lemah. Spirit penentangan ini dapat kita lihat dari banyaknya ayat-ayat keadilan sosial yang turun pada fase-fase awal Islam di Mekah.
Sejarah telah membuktikan bahwa jauh sebelum berbagai bangsa menyatakan: “tidak pada perbudakan”, jauh sebelum perbudakan dihapuskan secara total dari muka bumi, Islam telah menekankan dengan kuat ajaran pembebasan para budak. Bahkan, pembebasan budak menjadi bentuk denda yang lazim dalam Islam. Ajaran pembebasan demikian itu terjadi pada zaman di mana perbudakan telah menggurita sedemikian kuat di tengah-tengah masyarakat Arab ketika itu.
Jadi, tiap individu dapat dikatakan merdeka jika dirinya telah menjadi pribadi yang mandiri. Ia mampu mewujudkan penghambaan hanya kepada Allah semata, sebagai Pencipta dan Penguasa Seluruh Hamba, dengan mengikis sifat penghambaan kepada sesama hamba Allah. Ia dapat keluar dari “dunia yang sempit” menuju “dunia yang luas”. Ia telah terbebas dari kesewenang-wenangan menuju keadilan. Kemerdekaan ini terefleksi dalam doa yang diajarkan pribadi nan agung, Rasulullah saw.: ”Wa a’udzubika min ghalabatid dayni wa qahrir rijaal (Dan aku berlindung kepada-Mu dari jeratan hutang dan dominasi orang lain).”
Kemerdekaan yang dimaksud tentu saja bukan kebebasan tanpa batas. Kebebasan tanpa menafikan batasan-batasan Dzat yang telah menciptakannya, karena kebebasan tanpa batas Ilahi sejatinya bukan merdeka sebab hawa nafsu telah “menjajah” dirinya sendiri (QS. An-Nazi’at: 37-41).
Dengan demikian, suatu bangsa, menurut pandangan Islam, baru akan disebut merdeka bilamana individu dan kelompok masyarakatnya sadar dan berusaha keras memposisikan dirinya selaku hamba Allah Swt. semata dalam segenap dimensi kehidupannya. Dengan perkataan lain, kemerdekaan seseorang atau suatu bangsa sangat ditentukan pada seberapa besar upaya individu atau bangsa tersebut menjadikan tauhid: Laa ilaaha illallaah sebagai motivator dan inspirator utama pembebasan diri atau bangsa dari dominasi apapun atau siapapun selain Allah Swt. sehingga akan lahir kehidupan yang bersih, seimbang dan adil serta sejahtera. Sebaliknya, ia akan segera divonis tidak merdeka atau belum merdeka bilamana ia masih menghambakan dirinya kepada sesama manusia atau bangsa lain; menghambakan dirinya kepada “uang dan jabatan”; mengukur kemajuan berdasarkan “atribut dan topeng” kehidupan semata, sehingga kehidupan masyarakat tetap mengalami degradasi dan degenerasi dalam segala bidang. Keadilan sosial-ekonomi tidak tegak, jurang antara lapisan kaya dan lapisan miskin masih menganga lebar.
Dari situ kita dapat memahami, meski sudah 71 tahun Indonesia merdeka sejatinya bangsa kita belum merdeka, karena kita belum mampu memutus rantai kemiskinan, baik miskin mental-spiritual maupun miskin ekonomi-financial; belum mampu memutus rantai pengangguran, memutus rantai ketimpangan dan kesenjangan sosial.
Karena itu, mari kita wujudkan kemerdekaan sejati negeri ini dengan mengikis belenggu “penghambaan makhluk” disertai berbagai program ketaatan kepada Allah Swt., agar segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia terlindung dari bencana alam dan azab sosial. Wallaahu A’lam.
By Amin Muchtar, sigabah.com/beta
untuk merdeka yang sebenernya adalah dengan mensyukuri apa yang sudah diberikan oleh Allah SWT
karena kita kurang bersyukur jadinya semua di ambil lagi oleh Allah SWT