Preloader logo

KONSEP MANUSIA : ELEMEN FITHRAH

Sekarang kita bakalan bahas manusia menurut pandangan Ibnu Taimiyah. Menurut beliau, manusia itu dikasih 2 fithrah. Yang pertama, beliau sebut alFithrah alMunazzalah, yaitu fithrah yang diturunkan, maksudnya adalah wahyu. Jadi wahyu itu fithrah. Karena manusia itu kan punya dimensi ilahiyyah dan dia dituntut buat mengoptimalkan dimensi itu, sementara dia penuh keterbatasan, maka wahyu adalah sebagai pembimbingnya, yang memberi petunjuk.

Fithrah yang kedua ada 3 elemen: Pertama, disebut Quwwatul ‘Aql (kekuatan akal); kedua, disebut Quwwatus Syahwat (kekuatan syahwat); ketiga disebut Quwwatul Ghadhab (kekuatan jaga diri).

Pertama,Quwwatul ‘Aql. Akal itu kan fungsinya mengikat. Mengikat informasi, pesan, dan yang lainnya. Dengan kekuatan akal inilah manusia bisa bedain mana yang baik, mana yang engga baik, mana yang benar mana yang salah, dan pada puncaknya, dengan kekuatan akalnya manusia bisa menjadi ma’rifat kepada Allah Swt. Itulah sebetulnya tujuan hidup manusia: Ma’rifatullah.

Yang kedua,Quwwatus syahwat, yaitu kemampuan buat menginduksi hal-hal yang baik, yang bisa menyenangkan syahwati. Syahwat itu engga selalu berkonotasi negatif. Syahwat itu kurang lebih maksudnya dorongan dari dalam diri. Jadi manusia yang normal adalah manusia yang punya syahwat. Laki-laki, meskipun dia sadar dirinya engga seganteng Aliando, tetep aja yang dia cari adalah perempuan cantik. Perempuan juga walaupun dia sadar engga secantik Dian Sastro dia tetep pingin cari yang ganteng (menurut subjektifitasnya masing-masing). Masuk ke toko baju, dari rumah niat mau beli satu, tapi giliran udah di tkp karena banyak banget model yang bagus ditambah lagi diskon gede eh dia ngambil 5. Nah itu beberapa contohnya. Jadi pokoknya syahwat itu suatu dorongan dari dalam untuk menyenangkan diri. mata itu kan senengnya liat yang indah-indah, kuping itu senengnya denger yang merdu-merdu, lidah itu senengnya ngerasain yang enak-enak dan sebagainya…

Tapi…. Quwwatus syahwat ini, punya aturannya. Ga semua syahwat boleh diikutin. Sebagai muslim yang baik, ada rambu-rambu yang harus kita taati. Yaitu lewat rambu-rambu yang udah dikasih sama Allah, biar kita jadi manusia yang adil; bisa menempatkan sesuatu pada tempatnya, sesuai harkat dan martabatnya.  Kalau engga ngikutin rambu-rambu, bakalan celaka tuh. Liat perempuan cantik, langsung aja disikat, itu namanya zina. Liat barang yang kece, langsung diambil, itu namanya mencuri.

Yang ketiga, Quwwatul ghadhab, yaitu kekuatan buat menghindari hal-hal yang membahayakan. Jadi ini udah jadi fithrah manusia. Bahkan anak kecil aja, kalau dia lagi lari terus didepannya ada kali atau sungai, dia bakal mendadak berhenti. Karena ada sesuatu yang bisa membahayakan, Itu fithrah.

Tapi anehnya sekarang banyak orang yang malah ingin mencelakakan dirinya. Kita liat misal di jalanan. Banyak orang terutama anak muda, yang malah dilepas remnya, kebut-kebutan di jalan raya, akhirnya kan kecelakaan, dan bukan cuma dia yang rugi tapi juga orang lain. Itu sebenernya dia udah keluar dari fithrahnya. sebenernya dari kendaraan itu udah ngasih gambaran fithrah. Engga ada satupun kendaraan di dunia ini yang engga ada rem. Apa coba kalo ada? Pesawat? Tetap ada juga. Yaaa walaupun pas diatas engga dipake, tapi kan waktu udah dibawah, pas mendarat, tetap pake rem.

Itu pengertian dan contoh dari jenis fithrah menurut Ibnu Taimiyah. Sekarang gimana kaitan? Jadi kaitannya tuh kayak gini, kalau Quwwatul aql kita dikendaliin sama syahwat dan ghadhab maka hasilnya adalah nafs al-amarah. Jadi rumus nafs al-amarah ini adalah kekalahan, ketidakberdayaan akal dalam menghadapi syahwat dan ghadhab.

Balik lagi ke contoh yang soal liat perempuan cantik. Ketika syahwat udah menguasai akal, maka hilang yang namanya akal sehat itu. Engga mikir panjang, jadinya zina. Abis ngelakuin itu baru sadar, gimana kalau gini- gimana kalau gitu. Dan yang paling bahaya, kalau udah terjerumus kedalam nafs-al amarah ini, kesananya bakal ada kecenderungan buat bikin dosa-dosa yang lainnya.

Dalam kehidupan, akal itu penting dalam menghadapi arus kehidupan. Kalau kita refleksikan konsep ini dalam keseharian, bakalan banyak banget kita liat orang-orang (atau mungkin juga diri kita sendiri) yang syahwatnya  terkadang lebih berpengaruh besar ketimbang akal. Contoh, penghasilan & fasilitas hidup yang diimpikan. Misal nih, ketika kita udah berkeluarga. Pendamping satu, punya anak dua, satu bulan punya penghasilan 10 juta. Lumayan kan? Tapi syahwat kita tinggi, ah saya pingin punya rumah 3 tingkat, mobil mewah, pembantu 3 orang, wahh… kebayang deh bahagianya hidup. Tapi pas udah di kalkulasi, ternyata cicilan tiap bulan 15 juta. Gimana mau bahagia? Tidur aja jadi susah, banyak pikiran, gimana idup tenang? Maksud hati ingin hidup mapan dan tenang, tapi malah jadi banyak beban dan kelilit hutang?

Beda ceritanya kalau akal kita bisa mengendalikan syahwat. Ah keluarga saya kecil. Rumah 2 tingkat saja sudah cukup, lebih bahkan. Kendaraan, karena fungsi utamanya adalah sebagai saran transportasi, gausah lah yang mewah dulu, yang sedang-sedang saja. Pembantu, ah, sepertinya suami-istri bisa bagi-bagi tugas buat ngurus rumah aja mah. Akhirnya? Setelah dikalkulasikan masih sisa 3-4 juta. Bisa dipake nabung, bisa dipake sedekah. Kan bahagia?

Hikmahnya apa? Keinginan itu setiap orang juga pasti ada. Tapi kemudian mampu mengendalikannya dengan baik, engga setiap orang bisa. Disinilah fungsinya akal itu… Inilah yang dimaksud dengan nafs al-muthmainnah kebalikannya dari nafs al- amarah, yakni ketika akal mampu mengendalikan syahwat dan ghadhab.

By Azmi Fathul Umam

Editor: Amin Muchtar, sigabah.com/beta

There are 2 comments
  1. Sunaryadi

    Pak Uatadz ana ingin men down load kajian uatadz, bagaimana caranya, krn klu di copy paste, tulisan arabnya susunannya jadi gak betul. Mohon bantuan dan solusinya. Syukron.

    • adminsiaga

      Contact Person +62 896-8374-6759 (Ibad)

Your email address will not be published. Required fields are marked *

#main-content .dfd-content-wrap {margin: 0px;} #main-content .dfd-content-wrap > article {padding: 0px;}@media only screen and (min-width: 1101px) {#layout.dfd-portfolio-loop > .row.full-width > .blog-section.no-sidebars,#layout.dfd-gallery-loop > .row.full-width > .blog-section.no-sidebars {padding: 0 0px;}#layout.dfd-portfolio-loop > .row.full-width > .blog-section.no-sidebars > #main-content > .dfd-content-wrap:first-child,#layout.dfd-gallery-loop > .row.full-width > .blog-section.no-sidebars > #main-content > .dfd-content-wrap:first-child {border-top: 0px solid transparent; border-bottom: 0px solid transparent;}#layout.dfd-portfolio-loop > .row.full-width #right-sidebar,#layout.dfd-gallery-loop > .row.full-width #right-sidebar {padding-top: 0px;padding-bottom: 0px;}#layout.dfd-portfolio-loop > .row.full-width > .blog-section.no-sidebars .sort-panel,#layout.dfd-gallery-loop > .row.full-width > .blog-section.no-sidebars .sort-panel {margin-left: -0px;margin-right: -0px;}}#layout .dfd-content-wrap.layout-side-image,#layout > .row.full-width .dfd-content-wrap.layout-side-image {margin-left: 0;margin-right: 0;}