Preloader logo

MEMELIHARA DIRI DARI GIBAH

Allah Swt. berfirman:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اجْتَنِبُوا كَثِيرًا مِنَ الظَّنِّ إِنَّ بَعْضَ الظَّنِّ إِثْمٌ وَلَا تَجَسَّسُوا وَلَا يَغْتَبْ بَعْضُكُمْ بَعْضًا أَيُحِبُّ أَحَدُكُمْ أَنْ يَأْكُلَ لَحْمَ أَخِيهِ مَيْتًا فَكَرِهْتُمُوهُ وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ تَوَّابٌ رَحِيمٌ

“Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan purba-sangka (kecurigaan), karena sebagian dari purba-sangka itu dosa. Dan janganlah mencari-cari keburukan orang dan janganlah menggunjingkan satu sama lain. Adakah seorang di antara kamu yang suka memakan daging saudaranya yang sudah mati? Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya. Dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Penerima Taubat lagi Maha Penyayang.” QS. Al-Hujurat:12

I. Pengertian Gibah

A. Secara Bahasa

الغِيبَةُ لُغَةً مِنَ الْغَيْبِ وَهُوَ كُلُّ مَا غَابَ عَنْكَ

Secara bahasa, kata gibah berasal dari kata ghaib, yaitu segala sesuatu yang tersembunyi darimu.

قَالَ مُرْتَضَى الزَّبِيْدِيْ: وَالغَيْبَةُ مِنَ الغَيْبُوبَة وَالْغِيْبَةُ مِنَ الإِغْتِيَابِ يُقَالُ : إِغْتَابَ الرَّجُلُ صَاحِبَهُ اغْتِيَاباً إِذَا وَقَعَ فِيْهِ

Imam Murtadha az-Zabidi berkata, “Kata ghaibah berasal dari kata ghaibubah dan kata gibah berasal dari kata ightiyab. Dikatakan seseorang menggibah sahabatnya dengan sebenarnya apabila ia mencela padanya.” [1]

وَسُمِّيَتِ الْغِيْبَةُ بِذلِكَ لِغِيَابِ الْمَذْكُوْرِ حِيْنَ ذَكَرَهُ الآخَرُوْنَ

“Menggunjing dinamai demikian (gibah)  karena ketidakhadiran orang yang disebut ketika dirinya disebutkan oleh orang lain.”

B. Secara Istilah

فَقَالَ الرَّاغِبُ : هِيَ أَنْ يَذْكُرَ الْإِنْسَانُ عَيْبَ غَيْرِهِ مِنْ غَيْرِ مُحْوِجٍ إِلَى ذِكْرِ ذَلِكَ .

Ar-Raghib berkata: “Gibah adalah seseorang menyebut aib orang lain tanpa berkeperluan untuk menyebutkan itu.”

وَقَالَ الْغَزَالِيّ : حَدُّ الْغِيبَة أَنْ تَذْكُر أَخَاك بِمَا يَكْرَههُ لَوْ بَلَغَهُ

Al-Ghazali berkata: “Batasan Gibah adalah engkau menyebut saudaramu dengan sesuatu (aib) yang ia membencinya sekiranya hal itu sampai kepadanya.”

وَقَالَ اِبْن الْأَثِير فِي النِّهَايَة : الْغِيبَة أَنْ تَذْكُر الْإِنْسَان فِي غِيبَته بِسُوءٍ وَإِنْ كَانَ فِيهِ

Ibnu al-Atsir berkata, dalam kitabnya an-Nihayah: “Gibah adalah engkau menyebut kejelekan-kejelekan seseorang ketika ia tidak ada dihadapannya meskipun hal itu benar ada pada dirinya.”

وَقَالَ النَّوَوِيُّ فِي الْأَذْكَارِ تَبَعًا لِلْغَزَالِيِّ : ذِكْرُ الْمَرْءِ بِمَا يَكْرَهُهُ سَوَاءٌ كَانَ ذَلِكَ فِي بَدَنِ الشَّخْصِ أَوْ دِيْنِهِ أَوْ دُنْيَاهُ أَوْ نَفْسِهِ أَوْ خَلْقِهِ أَوْ خُلُقِهِ أَوْ مَالِهِ أَوْ وَالِدِهِ أَوْ وَلَدِهِ أَوْ زَوْجِهِ أَوْ خَادِمِهِ أَوْ ثَوْبِهِ أَوْ حَرَكَتِهِ أَوْ طَلَاقَتِهِ أَوْ عُبُوْسَتِهِ أَوْ غَيْرَ ذَلِكَ مِمَّا يَتَعَلَّقُ بِهِ ، سَوَاءٌ ذَكَرْتَهُ بِاللَّفْظِ أَوْ بِالْإِشَارَةِ وَالرَّمْزِ

An-Nawawi berkata, dalam kitabnya al-Adzkar dengan mengikuti batasan Al-Ghazali: “Gibah adalah menyebut seseorang dengan sesuatu (aib) yang ia membencinya, sama saja baik tentang badan seseorang, agamanya, dunia, diri, sifat fisik, perilaku, harta, orang tua, anak, istri, pembantu, baju, gerak, perceraiannya, kemuraman wajah, maupun lain sebagainya yang berhubungan dengan dirinya. Sama saja Anda menyebutkannya dengan ucapan, isyarat atau  tanda.” [2]

II. Perbedaan Gibah dengan Perbuatan buruk Lainnya

Nabi saw. membedakan antara Gibah dengan perbuatan buruk yang lain, misalnya dengan Buhtan. Perbedaan itu diterangkan dalam hadis berikut:

عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- قَالَ أَتَدْرُونَ مَا الْغِيبَةُ. قَالُوا اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَعْلَمُ. قَالَ ذِكْرُكَ أَخَاكَ بِمَا يَكْرَهُ. قِيلَ أَفَرَأَيْتَ إِنْ كَانَ فِى أَخِى مَا أَقُولُ قَالَ « إِنْ كَانَ فِيهِ مَا تَقُولُ فَقَدِ اغْتَبْتَهُ وَإِنْ لَمْ يَكُنْ فِيهِ فَقَدْ بَهَتَّهُ.

Dari Abu Hurairah Ra. bahwa Rasulullah saw. bersabda, “Tahukah kalian apa itu ghibah?” Mereka menjawab, “Allah dan Rasul-Nya yang lebih mengetahui.” Rasulullah bersabda, “Engkau menyebut saudaramu dengan sesuatu yang tidak ia sukai.” Ditanyakan, “Bagaimana pendapat Anda, jika apa yang aku katakan itu benar-benar ada pada dirinya?” Rasulullah menjawab, “Jika apa yang engkau katakan memang benar ada pada dirinya berarti engkau telah menggunjingnya dan jika tidak ada berarti engkau telah membuat kedustaan atasnya.” HR. Muslim. [3]

Selain berbeda dengan Buhtan, gibah juga berbeda dengan ifkun dan syatmun. Aspek perbedaannya dijelaskan oleh Imam Al-Hasan al-Bisri sebagai berikut:

ذِكْرُ الْغَيْرِ بِمَا يُكْرَهُ ثَلاَثَةٌ: الْغِيْبَةُ وَالْبُهْتَانُ وَالْإِفْكُ وَكُلٌّ فِيْ كِتَابِ اللهِ عَزَّ وَجَلَّ، فَالْغِيْبَةُ: أَنْ تَقُوْلَ مَا فِيْهِ وَالْبُهْتَانُ: أَنْ تَقُوْلَ مَا لَيْسَ فِيْهِ، وَالْإِفْكُ: أَنْ تَقُوْلَ مَا بَلَغَكَ عَنْهُ

“Menyebut orang lain dengan sesuatu yang tidak disukai ada tiga macam: Gibah, Buhtan, dan Ifkun, semuanya terdapat dalam Kitabullah Azza wajalla. (1) Gibah menyebut kejelekan-kejelekan orang lain yang ada pada dirinya; (2) Buhtan menyebut kejelekan-kejelekan orang lain yang tidak ada pada dirinya; (3) Ifku mengatakan sesuatu yang sampai kepadamu tentang orang lain.” [4]

Dalam redaksi lain, ifkun dinyatakan:

أَنْ تَقُوْلَ فِيْ إِنْسَانٍ مَا بَلَغَكَ عَنْهُ، فَتَنْقُلُهُ دُوْنَ التَثَبُّتِ وَالتَّيَقُّنِ مِنْ صِدْقِهِ

“Ifku adalah engkau mengatakan sesuatu kepada seseorang berdasarkan berita yang sampai kepadamu tentangnya, lalu disebarkannya tanpa ketetapan bukti dan tidak meyakini dengan pasti kebenarannya.”

Aspek perbedaan dengan Syatmun dijelaskan oleh Imam al-Jurjani sebagai berikut:

الْغِيْبَةُ ذِكْرُ مَسَاوِئِ الإِنْسَانِ فِيْ غَيْبَتِهِ وَهِيَ فِيْهِ وَإِنْ لَمْ تَكُنْ فِيْهِ فَهِيَ بُهْتَانٌ وَإِنْ وَاجَهَهُ فَهُوَ شَتْمٌ

Imam al-Jurjani berkata: “Gibah adalah menyebut kejelekan-kejelekan seseorang yang ada pada dirinya pada waktu ia tidak ada (dihadapannya). Jika tidak ada pada dirinya maka disebut buhtan. Dan jika di hadapannya maka disebut Syatm.” [5]

Sementara perbedaan dengan namimah, dapat diketahui dari kriteria Ar-Raghib al-Ashfahâniy berikut ini:

النَمُّ إِظْهَارُ الَحَدِيْثِ بِالْوِشَايَةِ وَ النَمِيْمَةُ الْوِشَايَةِ

 “An-Nammu adalah memperlihatkan suatu ucapan adu domba (fitnah), dan namimah adalah adu domba (fitnah).” [6]

Demikian pula perbedaan dengan hasud, dapat diketahui dari kriteria Ar-Raghib al-Ashfahâniy:

تَمَنِّي زَوَالِ نِعْمَةٍ مِنْ مُسْتَحِقٍّ لَهَا، وَرُبَّمَا كَانَ مَعَ ذٰلِكَ سَعْيٌ فِي إِزَالَتِهَا.

 “Hasud adalah harapan hilangnya nikmat dari orang yang memilikinya dan seringkali disertai usaha dalam menghilangkan nikmat tersebut.” [7]

Kesimpulan

Dari berbagai penjelasan di atas, dapat kita simpulkan perbedaan antara gibah, buhtan, syatmun, ifkun, dan namimah sebagai berikut:

  1. Gibah adalah menyebut kejelekan-kejelekan seseorang yang ada pada dirinya secara tidak langsung atau tidak dihadapan orangnya.
  2. Buhtan adalah menyebut kejelekan-kejelekan seseorang yang sebenarnya tidak ada pada dirinya secara tidak langsung atau tidak dihadapan orangnya.
  3. Syatmu adalah menyebut kejelekan-kejelekan seseorang secara langsung di hadapan orangnya.
  4. Ifku menyebarkan kabar tentang seseorang tanpa bukti dan tidak mengecek kebenarannya.
  5. Namimah adalah ucapan dari seseorang kepada orang lain dengan tujuan menimbulkan perselisihan atau adu domba (fitnah).

III. Hukum Perbuatan Gibah

Pada ayat di atas, status hukum gibah diungkap dengan kalimat berikut:

{وَلا يَغْتَبْ بَعْضُكُمْ بَعْضًا}

“dan janganlah sebagian kamu menggunjing sebagian yang lain.” (QS. Al-Hujurat: 12)

Ayat ini menunjukkan larangan berbuat gibah terhadap orang lain. Larangan ini dijelaskan dan dikukuhkan oleh Nabi saw. melalui berbagai sabdanya, sebagaimana diterangkan di atas dan juga hadis lainnya, sebagaimana dikutip oleh Imam Ibnu Katsir berikut ini:

عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ: قُلْتُ لِلنَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: حَسْبُكَ مِنْ صَفِيَّةَ كَذَا وَكَذَا! قَالَ غَيْرُ مُسَدَّدٍ: تَعْنِي قَصِيرَةً فَقَالَ: لَقَدْ قُلْتِ كَلِمَةً لَوْ مُزِجَتْ بِمَاءِ الْبَحْرِ لَمَزَجَتْهُ. قَالَتْ: وَحَكَيْتُ لَهُ إِنْسَانًا، فَقَالَ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: مَا أُحِبُّ أَنِّي حَكَيْتُ إِنْسَانًا، وَإِنَّ لِي كَذَا وَكَذَا.

Dari Aisyah Ra., ia mengatakan, “Saya pernah mengatakan kepada Nabi Saw. perihal keburukan Safiyyah, para rawi selain Musaddad menyebutkan bahwa Safiyyah itu wanita yang pendek. Maka Nabi Saw. bersabda, ‘Sesungguhnya kamu telah mengucapkan suatu kalimat (yang berdosa); seandainya kalimat itu dilemparkan ke dalam laut, tentulah dia dapat mencemarinya.’ Ia (Aisyah) berkata, ‘Saya menceritakan perihal seseorang kepada beliau, Maka beliau saw. bersabda, ‘Aku tidak suka bila aku menceritakan perihal seseorang, lalu aku mendapatkan anu dan anu (yakni dosa)’.” HR. Abu Dawud dan At-Tirmidzi

عَنْ حَسَّانِ بْنِ الْمُخَارِقِ أَنَّ امْرَأَةً دَخَلَتْ عَلَى عَائِشَةَ، فَلَمَّا قَامَتْ لِتَخْرُجَ أَشَارَتْ عَائِشَةُ بِيَدِهَا إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ –أَيْ: إِنَّهَا قَصِيرَةٌ–فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: إغْتَبْتِيهَا

Dari Hassan bin Al-Mukhariq, bahwa pernah seorang wanita menemui Aisyah di dalam rumahnya. Ketika wanita itu berdiri dan bangkit hendak keluar, Aisyah berisyarat kepada Nabi saw. dengan tangannya yang menunjukkan bahwa wanita itu pendek. Maka Nabi Saw. bersabda, ‘Engkau telah berbuat gibah.” HR. Ibnu Jarir ath-Thabari

Ayat dan hadis-hadis di atas menunjukkan bahwa Gibah adalah perbuatan haram, dan hukum ini telah disepakati semua ulama, kecuali dalam beberapa perkara yang telah diyakini berhubungan dengan kemaslahatan hukumnya dibolehkan, seperti dijelaskan pada bagian akhir. Selain dari yang dibolehkan, gibah diharamkan secara tegas dan ada peringatan yang keras terhadap pelakunya. Karena itulah maka Allah Swt. menyerupakan pelakunya bagaikan memakan daging manusia yang telah mati. Hal ini diungkapkan oleh Allah Swt. melalui firman-Nya:

{أَيُحِبُّ أَحَدُكُمْ أَنْ يَأْكُلَ لَحْمَ أَخِيهِ مَيْتًا فَكَرِهْتُمُوهُ}

“Sukakah salah seorang di antara kamu memakan daging saudaranya yang sudah mati? Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya.” (Al-Hujurat: 12)

Kata Imam Ibnu Katsir:

أَيْ كَمَا تَكْرَهُوْنَ هذا طَبْعًا، فَاكْرَهُوُا ذَاكَ شَرْعًا فَإِنَّ عُقُوْبَتَهُ أَشَدُّ مِنْ هذَا وَهذَا مِنَ التَّنْفِيْرِ عَنْهَا وَالتَّحْذِيْرِ مِنْهَا كَمَا قَالَ عليه السلام فِيْ الْعَائِدِ فِيْ هِبَتِهِ

“Yakni sebagaimana kamu tidak menyukai hal tersebut secara naluri, maka bencilah perbuatan tersebut demi perintah syariat, karena sesungguhnya hukuman yang sebenarnya jauh lebih keras daripada yang digambarkan. Ungkapan seperti ayat di atas hanyalah untuk menimbulkan rasa antipati terhadap perbuatan tersebut dan sebagai peringatan agar tidak dikerjakan. Perihalnya sama dengan apa yang dikatakan oleh Rasulullah Saw. sehubungan dengan seseorang yang mencabut kembali hibahnya:

كَالْكَلْبِ يَقِيءُ ثُمَّ يَرْجِعُ فِي قَيْئِهِ

“seperti anjing yang muntah, lalu memakan kembali muntahannya.”

Dan sebelum itu beliau Saw. telah bersabda:

لَيْسَ لَنَا مَثَلُ السَّوْءِ

“Tiada bagi kami perumpamaan yang buruk.” [8]

IV. Perintah Menjaga Kehormatan orang Islam dan Ancaman Gibah

Selanjutnya, Imam Ibnu Katsir menyajikan berbagai hadis yang menunjukkan perintah menjaga kehormatan orang Islam dan ancaman perbuatan gibah, antara lain Rasulullah saw. dalam haji wada’ mengatakan dalam khutbah-nya:

إِنَّ دِمَاءَكُمْ وَأَمْوَالَكُمْ وَأَعْرَاضَكُمْ عَلَيْكُمْ حَرَامٌ كَحُرْمَةِ يَوْمِكُمْ هَذَا فِي شَهْرِكُمْ هَذَا فِي بَلَدِكُمْ هَذَا

“Sesungguhnya darah kalian, harta kalian, dan kehormatan kalian diharamkan atas kalian sebagaimana kesucian hari, bulan, dan negeri kalian ini.”

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ ، قَالَ : قَالَ رَسُولُ اللهِ صلى الله عليه وسلم : كُلُّ الْمُسْلِمِ عَلَى الْمُسْلِمِ حَرَامٌ مَالُهُ وَعِرْضُهُ وَدَمُهُ حَسْبُ امْرِئٍ مِنَ الشَّرِّ أَنْ يَحْقِرَ أَخَاهُ الْمُسْلِمَ.

Dari Abu Hurairah Ra., ia berkata, “Rasulullah saw. bersabda, ‘Diharamkan atas orang muslim harta, kehormatan, dan darah orang muslim lainnya. Cukuplah keburukan bagi seseorang bila ia menghina saudaranya yang muslim.” HR. Abu Dawud

عَنْ أَبِي بَرْزَةَ الأَسْلَمِيِّ ، قَالَ : قَالَ رَسُولُ اللهِ صلى الله عليه وسلم : يَا مَعْشَرَ مَنْ آمَنَ بِلِسَانِهِ ، وَلَمْ يَدْخُلِ الإِيمَانُ قَلْبَهُ ، لاَ تَغْتَابُوا الْمُسْلِمِينَ ، وَلاَ تَتَّبِعُوا عَوْرَاتِهِمْ ، فَإِنَّهُ مَنِ اتَّبَعَ عَوْرَاتِهِمْ يَتَّبِعُ اللَّهُ عَوْرَتَهُ ، وَمَنْ يَتَّبِعِ اللَّهُ عَوْرَتَهُ يَفْضَحْهُ فِي بَيْتِهِ.

Dari Abu Barzah Al-Aslamiy, ia berkata, “Rasulullah saw. bersabda, ‘Hai orang-orang yang beriman dengan lisannya, tetapi iman masih belum meresap ke dalam kalbunya, janganlah kalian menggunjing orang-orang muslim, dan jangan pula kalian menelusuri aurat mereka (mencari-cari kesalahan mereka). Karena barang siapa menelusuri aurat mereka, maka Allah akan balas menelusuri auratnya. Dan barang siapa ditelusuri auratnya oleh Allah, maka Allah akan mempermalukannya di dalam rumahnya.” HR. Abu Dawud

عَنِ الْبَرَاءِ بْنِ عَازِبٍ قَالَ: خَطَبَنَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ حتى أَسْمَعَ الْعَوَاتِقَ فِي بُيُوتِهَا أَوْ قَالَ: فِي خُدُورِهَا فَقَالَ: يَا مَعْشَرَ مَنْ آمَنَ بِلِسَانِهِ، لَا تَغْتَابُوا الْمُسْلِمِينَ، وَلَا تَتَبَّعُوا عَوْرَاتِهِمْ، فَإِنَّهُ مَنْ يَتْبَعْ عَوْرَةَ أَخِيهِ يَتْبَعِ اللَّهُ عَوْرَتَهُ، وَمَنْ يَتْبَعِ اللَّهُ عَوْرَتَهُ يَفْضَحْهُ فِي جَوْفِ بَيْتِهِ

Dari Al-Barra bin Azib Ra., ia berkata, “Rasulullah Saw. berkhotbah kepada kami sehingga suara beliau terdengar oleh kaum wanita yang ada di dalam kemahnya atau di dalam rumahnya masing-masing, beliau Saw. bersabda, ‘Hai orang-orang yang beriman dengan lisannya, janganlah kalian menggunjing orang-orang muslim dan jangan pula menelusuri aurat mereka. Karena sesungguhnya barang siapa menelusuri aurat saudaranya, maka Allah akan membalas menelusuri auratnya. Dan barang siapa auratnya ditelusuri oleh Allah, maka Dia akan mempermalukannya di dalam rumahnya.” HR. Abu Ya’la

عَنِ ابْنِ عُمَرَ؛ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: يَا مَعْشَرَ مَنْ آمَنَ بِلِسَانِهِ وَلَمْ يُفْضِ الإيمانُ إِلَى قَلْبِهِ، لَا تَغْتَابُوا الْمُسْلِمِينَ، وَلَا تَتَبَّعُوا عَوْرَاتِهِمْ؛ فَإِنَّهُ مَنْ يَتَّبِعْ عَوْرَاتِ الْمُسْلِمِينَ يَتْبَعِ اللَّهُ عَوْرَتَهُ، وَمَنْ يَتْبَعِ اللَّهُ عَوْرَتَهُ يَفْضَحْهُ وَلَوْ فِي جَوْفِ رَحْلِهِ. قَالَ: وَنَظَرَ ابْنُ عُمَرَ يَوْمًا إِلَى الْكَعْبَةِ فَقَالَ: مَا أَعْظَمَكِ وَأَعْظَمَ حُرْمَتَكِ، وَلَلْمُؤْمِنُ أعظمُ حُرْمَةً عِنْدَ اللَّهِ مِنْكِ

Dari Ibnu Umar, bahwa Rasulullah Saw. bersabda, “Hai orang-orang yang beriman dengan lisannya, tetapi iman masih belum meresap ke dalam hatinya, janganlah kalian menggunjing orang-orang muslim, dan jangan pula menelusuri aurat mereka (mencari-cari kesalahan mereka). Karena sesungguhnya barang siapa gemar menelusuri aurat orang-orang muslim, maka Allah akan menelusuri auratnya. Dan barang siapa auratnya telah ditelusuri oleh Allah, maka Allah akan mempermalukannya, sekalipun ia berada di dalam tandunya.” Dan pada suatu hari Ibnu Umar memandang ke arah Ka’bah, lalu berkata, “Alangkah besarnya engkau dan alangkah besarnya kehormatanmu, tetapi sesungguhnya orang mukmin itu lebih besar kehormatannya daripada engkau di sisi Allah.” HR. Abu Bakar Ahmad ibnu Ibrahim Al-Ismaili

عَنْ وَقَّاصِ بْنِ رَبِيعَةَ عَنِ الْمُسْتَوْرِدِ ، أَنَّهُ حَدَّثَهُ أَنَّ النَّبِيَّ صلى الله عليه وسلم قَالَ : مَنْ أَكَلَ بِرَجُلٍ مُسْلِمٍ أَكْلَةً فَإِنَّ اللَّهَ يُطْعِمُهُ مِثْلَهَا مِنْ جَهَنَّمَ ، وَمَنْ كُسِيَ ثَوْبًا بِرَجُلٍ مُسْلِمٍ فَإِنَّ اللَّهَ يَكْسُوهُ مِثْلَهُ مِنْ جَهَنَّمَ ، وَمَنْ قَامَ بِرَجُلٍ مَقَامَ سُمْعَةٍ وَرِيَاءٍ ، فَإِنَّ اللَّهَ يَقُومُ بِهِ مَقَامَ سُمْعَةٍ وَرِيَاءٍ يَوْمَ الْقِيَامَةِ.

Dari Waqqas bin Rabi’ah, dari Al-Mustawrid, bahwa ia menceritakan kepadanya, bahwa Nabi saw. bersabda, ‘Barang siapa memakan (daging) seorang muslim (yakni menggunjingnya) sekali makan (gunjing), maka sesungguhnya Allah akan memberinya makanan yang semisal di dalam neraka Jahanam. Dan barang siapa memakaikan suatu pakaian terhadap seorang muslim (yakni menghalalkan kehormatannya), maka Allah akan memakaikan kepadanya pakaian yang semisal di dalam neraka Jahanam. Dan barang siapa berdiri karena ria dan pamer terhadap seseorang, maka Allah akan memberdirikannya di tempat pamer dan ria kelak di hari kiamat.” HR. Abu Dawud

عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: لَمَّا عُرِج بِي مَرَرْتُ بِقَوْمٍ لَهُمْ أَظْفَارٌ مِنْ نُحَاسٍ، يَخْمُشُونَ وُجُوهَهُمْ وَصُدُورَهُمْ، قُلْتُ: مَنْ هَؤُلَاءِ يَا جِبْرَائِيلُ ؟ قَالَ: هَؤُلَاءِ الَّذِينَ يَأْكُلُونَ لُحُومَ النَّاسِ، وَيَقَعُونَ فِي أَعْرَاضِهِمْ

Dari Anas bin Malik, ia berkata, “Rasulullah saw. bersabda, ‘Ketika saya dimikrajkan, saya melewati suatu kaum yang berkuku dari tembaga, mereka mencakar wajah dan dada mereka. Saya bertanya, ‘Siapa mereka wahai Jibril?’ Jibril menjawab, ‘Mereka orang-orang yang memakan daging orang lain (menggunjing orang lain) dan menjatuhkan kehormatan orang-orang lain?’.” HR. Abu Dawud

وَقَدْ رَوَاهُ الْحَافِظُ الْبَيْهَقِيُّ مِنْ حَدِيثِ يَزِيدَ بْنِ هَارُونَ: حَدَّثَنَا سُلَيْمَانُ التَّيْمِيُّ قَالَ: سَمِعْتُ رَجُلًا يُحَدِّثُ فِي مَجْلِسِ أَبِي عُثْمَانَ النَّهْدِي عَنْ عُبَيْدٍ -مَوْلَى رَسُولِ اللَّهِ -أَنَّ امْرَأَتَيْنِ صَامَتَا عَلَى عَهْدِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، وَأَنَّ رَجُلًا أَتَى رَسُولَ اللَّهِ فَقَالَ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، إِنَّ هَاهُنَا امْرَأَتَيْنِ صَامَتَا، وَإِنَّهُمَا كَادَتَا تَمُوتَانِ مِنَ الْعَطَشِ أرَاهُ قَالَ: بِالْهَاجِرَةِ فَأَعْرَضَ عَنْهُ أَوْ: سَكَتَ عَنْهُ فَقَالَ: يَا نَبِيَّ اللَّهِ، إِنَّهُمَا وَاللَّهِ قَدْ مَاتَتَا أَوْ كَادَتَا تَمُوتَانِ. فَقَالَ: ادْعُهُمَا. فَجَاءَتَا، قال: فجيء بِقَدَحٍ أَوْ عُسّ فَقَالَ لِإِحْدَاهُمَا: قِيئِي فَقَاءَتْ مِنْ قَيْحٍ وَدَمٍ وَصَدِيدٍ حَتَّى قَاءَتْ نِصْفَ الْقَدَحِ. ثُمَّ قَالَ لِلْأُخْرَى: قِيئِي فَقَاءَتْ قَيْحًا وَدَمًا وَصَدِيدًا وَلَحْمًا وَدَمًا عَبِيطًا وَغَيْرَهُ حَتَّى مَلَأَتِ الْقَدَحَ. فَقَالَ: إِنَّ هَاتَيْنِ صَامَتَا عَمَّا أَحَلَّ اللَّهُ لَهُمَا، وَأَفْطَرَتَا عَلَى مَا حَرَّمَ اللَّهُ عَلَيْهِمَا، جَلَسَتْ إِحْدَاهُمَا إِلَى الْأُخْرَى فَجَعَلَتَا تَأْكُلَانِ لُحُومَ النَّاسِ.

Al-Hafizh Al-Baihaqi meriwayatkan hadis melalui Yazid bin Harun, ia berkata, “Sulaiman At-Taimi menceritakan kepada kami, ia berkata, ‘Saya mendengar seorang lelaki bercerita di Majelis Abu Usman An-Nahdi, dari Ubaid maula Rasulullah Saw. Bahwa di masa Rasulullah Saw. pernah ada dua orang wanita yang sedang shaum, dan seorang lelaki datang kepada Rasulullah saw. melaporkan, ‘Wahai Rasulullah, di sini ada dua orang wanita yang shaum, tetapi keduanya hampir saja mati karena kehausan,’ perawi mengatakan bahwa ia merasa yakin penyebabnya adalah karena teriknya matahari di tengah hari. Rasulullah Saw. berpaling darinya atau diam tidak menjawab. Lelaki itu kembali berkata, ‘Wahai Nabi Allah, demi Allah, sesungguhnya keduanya sekarat atau hampir saja sekarat.” Maka Rasulullah Saw. bersabda, ‘Panggillah keduanya.’ Lalu keduanya datang. Maka didatangkanlah sebuah wadah atau mangkuk, dan Nabi saw. berkata kepada salah seorang wanita itu, ‘Muntahlah!’ Wanita itu mengeluarkan muntahan darah dan nanah sehingga memenuhi separuh wadah itu. Kemudian Nabi saw. berkata kepada wanita lainnya, ‘Muntahlah!’ Lalu wanita itu memuntahkan nanah, darah, muntahan darah kental, dan lainnya hingga wadah itu penuh. Kemudian Nabi saw. bersabda, ‘Sesungguhnya kedua wanita ini shaum dari apa yang dihalalkan oleh Allah bagi keduanya, tetapi keduanya tidak shaum dari apa yang diharamkan oleh Allah atas keduanya; salah seorang dari keduanya mendatangi yang lain, lalu keduanya memakan daging orang lain (menggunjingnya).” Hal yang sama telah diriwayatkan oleh Imam Ahmad dan Ibnu Abu Addi.

عَنِ ابْنِ عَمٍّ لِأَبِي هُرَيْرَةَ أَنَّ مَاعِزًا جَاءَ إِلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، إِنِّي قَدْ زَنَيْتُ فَأَعْرَضَ عَنْهُ قَالَهَا أَرْبَعًا فَلَمَّا كَانَ فِي الْخَامِسَةِ قَالَ: “زَنَيْتَ”؟ قَالَ: نَعَمْ. قَالَ: “وَتَدْرِي مَا الزِّنَا؟ ” قَالَ: نَعَمْ، أَتَيْتُ مِنْهَا حَرَامًا مَا يَأْتِي الرَّجُلُ مِنَ امْرَأَتِهِ حَلَالًا. قَالَ: “مَا تُرِيدُ إِلَى هَذَا الْقَوْلِ؟ ” قَالَ: أُرِيدُ أَنْ تُطَهِّرَنِي. قَالَ: فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: “أَدْخَلْتَ ذَلِكَ مِنْكَ فِي ذَلِكَ مِنْهَا كَمَا يَغِيبُ المِيل فِي الْمُكْحُلَةِ والرِّشاء فِي الْبِئْرِ؟ “. قَالَ: نَعَمْ، يَا رَسُولَ اللَّهِ. قَالَ: فَأَمَرَ بِرَجْمِهِ فَرُجِمَ، فَسَمِعَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ رَجُلَيْنِ يَقُولُ أَحَدَهُمَا لِصَاحِبِهِ: أَلَمْ تَرَ إِلَى هَذَا الَّذِي سَتَرَ اللَّهُ عَلَيْهِ فَلَمْ تَدَعْهُ نَفْسُهُ حَتَّى رُجمَ رَجْمَ الْكَلْبِ. ثُمَّ سَارَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ حَتَّى مَرّ بِجِيفَةِ حِمَارٍ فَقَالَ: أَيْنَ فُلَانٌ وَفُلَانٌ؟ انْزِلَا فَكُلَا مِنْ جِيفَةِ هَذَا الْحِمَارِ” قَالَا غَفَرَ اللَّهُ لَكَ يَا رَسُولَ، اللَّهِ وَهَلْ يُؤكل هَذَا؟ قَالَ: “فَمَا نِلْتُمَا مِنْ أَخِيكُمَا آنفا أشد أكلا من، وَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ، إِنَّهُ الْآنَ لَفِي أَنْهَارِ الْجَنَّةِ يَنْغَمِسُ فِيهَا”

Dari salah seorang anak paman Abu Hurairah, bahwa Ma’iz datang kepada Rasulullah Saw., lalu berkata, “Wahai Rasulullah, sesungguhnya aku telah berzina.” Rasulullah Saw. berpaling darinya hingga Ma’iz mengulangi ucapannya sebanyak empat kali, dan pada yang kelima kalinya Rasulullah Saw. balik bertanya, “Kamu benar telah zina?” Ma’iz menjawab, “Ya.” Rasulullah Saw. bertanya, “Tahukah kamu apakah zina itu?” Ma’iz menjawab, “Ya, aku lakukan terhadapnya perbuatan yang haram, sebagaimana layaknya seorang suami mendatangi istrinya yang halal.” Rasulullah Saw. bertanya, “Apakah yang engkau maksudkan dengan pengakuanmu ini?” Ma’iz menjawab, “Aku bermaksud agar engkau menyucikan diriku (dari dosa zina).” Maka Rasulullah Saw. bertanya, “Apakah engkau memasukkan itumu ke dalam itunya dia, sebagaimana batang celak dimasukkan ke dalam wadah celak dan sebagaimana timba dimasukkan ke dalam sumur?” Ma’iz menjawab, “Ya, wahai Rasulullah.” Maka Rasulullah Saw. memerintahkan agar Ma’iz dihukum rajam, lalu Ma’iz dirajam. Kemudian Nabi Saw. mendengar dua orang lelaki berkata. Salah seorang darinya berkata kepada yang lain (temannya), “Tidakkah engkau saksikan orang yang telah ditutupi oleh Allah, tetapi dia tidak membiarkan dirinya hingga harus dirajam seperti anjing dirajam?” Kemudian Nabi Saw. berjalan hingga melalui bangkai keledai, lalu beliau Saw. bersabda, “Dimanakah si Fulan dan si Fulan? Suruhlah keduanya turun dan memakan bangkai keledai ini.” Keduanya menjawab, “Semoga Allah mengampunimu, ya Rasulullah, apakah bangkai ini dapat dimakan?” Nabi Saw. menjawab: Apa yang kamu berdua katakan tentang saudaramu tadi jauh lebih menjijikkan daripada bangkai keledai ini rasanya. Demi Tuhan yang jiwaku berada di dalam genggaman kekuasaan­Nya, sesungguhnya dia sekarang benar-benar berada di sungai-sungai surga menyelam di dalamnya.” HR. Abu Ya’la

عَنْ جَابِرِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ قَالَ: كُنَّا مَعَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَارْتَفَعَتْ رِيحُ جِيفَةٍ مُنْتِنَةٍ، فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: أَتَدْرُونَ مَا هَذِهِ الرِّيحُ؟ هَذِهِ رِيحُ الَّذِينَ يَغْتَابُونَ الْمُؤْمِنِينَ

Dari Jabir bin Abdullah Ra., ia berkata, “Kami bersama Nabi saw., lalu terciumlah bau bangkai yang sangat busuk. Maka Rasulullah Saw. bersabda, ‘Tahukah kalian, bau apakah ini? Ini adalah bau orang-orang yang suka menggunjing orang lain’.” HR. Ahmad

 عَنْ جَابِرٍ قَالَ: كُنَّا مَعَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي سَفَرٍ فَهَاجَتْ رِيحُ مُنْتِنَةٌ ، فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: إِنَّ نَفَرًا مِنَ الْمُنَافِقِينَ اغْتَابُوا نَاسًا مِنَ الْمُسْلِمِينَ، فَلِذَلِكَ بُعِثَتْ هَذِهِ الرِّيحُ وَرُبَّمَا قَالَ: فَلِذَلِكَ هَاجَتْ هَذِهِ الرِّيحُ.

Dari Jabir, ia berkata, “kami bersama Nabi saw. dalam suatu perjalanan, tiba-tiba terciumlah bau yang sangat busuk. Maka Nabi saw. bersabda, ‘Sesungguhnya sejumlah orang-orang munafik telah menggunjing seseorang dari kaum muslim, maka hal tersebutlah yang menimbulkan bau yang sangat busuk ini. Dan barangkali beliau Saw. bersabda, ‘Karena itulah maka tercium bau yang sangat busuk ini’.” HR. Abdu bin Humaid

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: مَنْ أَكَلَ مِنْ لَحْمِ أَخِيهِ فِي الدُّنْيَا، قُرِّب لَهُ لَحْمُهُ فِي الْآخِرَةِ، فَيُقَالُ لَهُ: كُلْهُ مَيْتًا كَمَا أَكَلْتَهُ حَيًّا. قَالَ: فَيَأْكُلُهُ ويَكْلَحُ وَيَصِيْحُ

Dari Abu Hurairah Ra., ia berkata, “Rasulullah saw. bersabda, ‘Barang siapa memakan daging saudaranya sewaktu di dunia (yakni menggunjingnya), maka disuguhkan kepadanya daging saudaranya itu kelak di akhirat, lalu dikatakan kepadanya, ‘Makanlah ini dalam keadaan mati sebagaimana engkau memakannya dalam keadaan hidup.’ Beliau bersabda, ‘Maka ia memakannya dan ia muram serta memekik’.” HR. Abu Ya’la

V. Cara Bertobat dari Gibah

Ayat di atas diakhiri dengan kalimat:

وَاتَّقُوا اللَّهَ

“Dan bertakwalah kepada Allah.” (QS. Al-Hujurat: 12)

Kata Imam Ibnu Katsir:

أَيْ فِيْمَا أَمَرَكُمْ بِهِ وَنَهَاكُمْ عَنْهُ فَرَاقِبُوْهُ فِيْ ذلِكَ وَاخْشَوْا مِنْهُ

Yaitu, dengan mengerjakan apa yang diperintahkan oleh Allah kepada kalian dan menjauhi apa yang dilarang oleh-Nya, maka merasalah diri kalian berada dalam pengawasan-Nya dan takutlah kalian kepada-Nya.

إِنَّ اللَّهَ تَوَّابٌ رَحِيمٌ

“Sesungguhnya Allah Maha Penerima tobat lagi Maha Penyayang.” (QS. Al-Hujurat: 12)

أي: تَوَّابٌ عَلَى مَنْ تَابَ إِلَيْهِ رَحِيْمٌ بِمَنْ رَجَعَ إِلَيْهِ وَاعْتَمَدَ عَلَيْهِ

Yakni, Maha Penerima tobat terhadap orang yang mau bertobat kepada-Nya, lagi Maha Penyayang kepada orang yang kembali ke jalan-Nya dan percaya kepada-Nya.

قَالَ الْجُمْهُوْرُ مِنَ الْعُلَمَاءِ طَرِيْقُ الْمُغْتَابِ لِلنَّاسِ فِيْ تَوْبَتِهِ أَنْ يَقْلَعَ عَنْ ذلِكَ وَيَعْزِمَ عَلَى أَلاَّ يَعُوْدَ. وَهَلْ يُشْتَرَطُ النَّدْمُ عَلَى مَا فَاتَ؟ فِيْهِ نِزَاعٌ وَأَنْ يَتَحَلَّلَ مَنِ الَّذِيْ اغْتَابَهُ.

Jumhur ulama mengatakan bahwa cara bertobat dari menggunjing orang lain ialah hendaknya yang bersangkutan bertekad untuk tidak mengulangi lagi perbuatannya. Akan tetapi, apakah disyaratkan menyesali perbuatannya yang telah lalu itu? Masalahnya masih diperselisihkan. Dan hendaknya pelakunya meminta maaf kepada orang yang digunjingnya.

وَقَالَ آخَرُوْنَ: لاَ يُشْتَرَطُ أَنْ يَتَحَلَّلَهُ فَإِنَّهُ إِذَا أَعْلَمَهُ بِذلِكَ رُبَّمَا تَأَذَّى أَشَدَّ مِمَّا إِذَا لَمْ يَعْلَمْ بِمَا كَانَ مِنْهُ، فَطَرِيْقُهُ إِذًا أَنْ يُثْنِيَ عَلَيْهِ بِمَا فِيْهِ فِيْ الْمَجَالِسِ الَّتِيْ كَانَ يَذُمُّهُ فِيْهَا وَأَنْ يَرُدَّ عَنْهُ الْغِيْبَةَ بِحَسَبِهِ وَطَاقَتِهِ فَتَكُوْنَ تِلْكَ بِتِلْكَ

Ulama lainnya mengatakan bahwa tidak disyaratkan meminta maaf dari orang yang digunjingnya, karena apabila dia memberitahu kepadanya apa yang telah ia lakukan terhadapnya, barangkali hatinya lebih sakit daripada seandainya tidak diberi tahu. Dan cara yang terbaik ialah hendaknya pelakunya membersihkan nama orang yang digunjingnya di tempat yang tadinya dia mencelanya dan berbalik memujinya. Dan hendaknya ia membela orang yang pernah digunjingnya itu dengan segala kemampuan sebagai pelunasan dari apa yang dilakukan terhadapnya sebelum itu. Pendapat ini berdasarkan pertimbangan hadis sebagai berikut:

أَنَّ سَهْلَ بْنَ مُعَاذِ بْنِ أَنَسٍ الجُهَنِيّ أَخْبَرَهُ، عَنْ أَبِيهِ، عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: مَنْ حَمَى مُؤْمِنًا مِنْ مُنَافِقٍ يَعِيبُهُ، بَعَثَ اللَّهُ إِلَيْهِ مَلَكًا يَحْمِي لَحْمَهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ مِنْ نَارِ جَهَنَّمَ. وَمَنْ رَمَى مُؤْمِنًا بِشَيْءٍ يُرِيدُ شَيْنَهُ، حَبَسَهُ اللَّهُ عَلَى جِسْرِ جَهَنَّمَ حَتَّى يَخْرُجَ مِمَّا قَالَ

Bahwa Sahl bin Mu’adz bin Anas Al-Juhani telah menceritakan kepadanya (Ismail bin Yahya) dari ayahnya, dari Nabi Saw., beliau bersabda, “Barang siapa membela seorang mukmin dari orang munafik yang menggunjingnya, maka Allah mengirimkan malaikat kepadanya untuk melindungi dagingnya kelak di hari kiamat dari api neraka Jahanam. Dan barang siapa menuduh seorang mukmin dengan tuduhan yang ia maksudkan mencacinya, maka Allah menahannya di jembatan neraka Jahanam hingga ia mencabut kembali apa yang dituduhkannya itu.” HR. Ahmad

قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَا مِنْ امْرِئٍ يَخْذُلُ امْرَأً مُسْلِمًا فِي مَوْضِعٍ تُنْتَهَكُ فِيهِ حُرْمَتُهُ وَيُنْتَقَصُ فِيهِ مِنْ عِرْضِهِ إِلَّا خَذَلَهُ اللَّهُ فِي مَوْطِنٍ يُحِبُّ فِيهِ نُصْرَتَهُ وَمَا مِنْ امْرِئٍ يَنْصُرُ مُسْلِمًا فِي مَوْضِعٍ يُنْتَقَصُ فِيهِ مِنْ عِرْضِهِ وَيُنْتَهَكُ فِيهِ مِنْ حُرْمَتِهِ إِلَّا نَصَرَهُ اللَّهُ فِي مَوْطِنٍ يُحِبُّ نُصْرَتَهُ

Rasulullah saw. bersabda, “Tidaklah seseorang menghina seorang muslim di suatu tempat yang menyebabkan kehormatannya dilecehkan dan harga dirinya direndahkan, melainkan Allah Swt. akan balas menghinanya di tempat-tempat yang ia sangat memerlukan pertolongan-Nya. Dan tidaklah seseorang membela seorang muslim di suatu tempat yang menyebabkan harga diri dan kehormatannya direndahkan, melainkan Allah akan menolongnya di tempat-tempat yang ia sangat memerlukan pertolongan-Nya.” HR. Abu Dawud. [9]

VI. Pengecualian dari Hukum Gibah

Imam Ibnu Katsir berkata:

وَالْغِيْبَةُ مُحَرَّمَةٌ بِالإِجْمَاعِ، وَلاَ يُسْتَثْنَى مِنْ ذلِكَ إِلاَّ مَا رَجَحَتْ مَصْلَحَتُهُ كَمَا فِيْ الْجَرْحِ وَالتَّعْدِيْلِ وَالنَّصِيْحَةِ كَقَوْلِهِ صلى الله عليه وسلم  لَمَّا اسْتَأْذَنَ عَلَيْهِ ذلِكَ الرَّجُلُ الْفَاجِرُ

Gibah adalah perbuatan yang haram menurut kesepakatan semua ulama, tiada pengecualian selain dalam hal-hal yang telah diyakini kemaslahatannya, seperti dalam hal jarh dan ta’dil (menerangkan tentang sifat baik-buruk para perawi hadis) serta dalam masalah nasihat. Seperti sabda Nabi Saw. ketika ada seorang lelaki pendurhaka meminta izin masuk menemuinya:

ائْذَنُوا لَهُ، بِئْسَ أَخُو الْعَشِيرَةِ

“Izinkanlah dia masuk, dia adalah seburuk-buruk saudara satu kabilah.”

وَكَقَوْلِهِ لِفَاطِمَةَ بِنْتِ قَيْسٍ وَقَدْ خَطَبَهَا مُعَاوِيَةُ وَأَبُوْ الْجَهْمِ

Juga seperti sabda Nabi Saw. kepada Fatimah binti Qais Ra. yang dilamar oleh Mu’awiyah dan Abdul Jahm. Maka Nabi Saw. bersabda kepadanya memberinya nasihat:

أَمَّا مُعَاوِيَةُ فَصُعْلُوكٌ وَأَمَّا أَبُو الْجَهْمِ فَلَا يَضَعُ عَصَاهُ عَنْ عَاتِقِهِ

“Adapun Mu’awiyah, maka dia adalah seorang yang miskin, sedangkan Abul Jahm adalah seorang yang tidak pernah menurunkan tongkatnya dari pundaknya (yakni suka memukul istrinya).”

Selanjutnya, Imam Ibnu Katsir menyatakan:

وَكَذَا مَا جَرَى مَجْرَى ذلِكَ ثُمَّ بَقِيَتْهَا عَلَى التَّحْرِيْمِ الشَّدِيْدِ، وَقَدْ وَرَدَ فِيْهَا الزَّجْرُ الأَكِيْدُ

Demikian pula diperbolehkan dalam hal-hal lain yang bertujuan semisal. Sedangkan yang selain dari itu tetap diharamkan dengan tegas, dan ada peringatan yang keras terhadap pelakunya (sebagaimana dijelaskan di atas). [10]

By Amin Muchtar, sigabah.com/beta

[1]Lihat, Taj al-‘Arus min Jawahir al-Qamus, III:500

[2]Lihat, Fath al-Bari Syarh Shahih al-Bukhari, Juz 17, hlm. 207

[3]Lihat, Shahih Muslim, IV:2001, No. 2589

[4]Lihat, Tafsir al-Qurthubi, Juz 16, hlm. 335; Ihya ‘Ulumuddin, III:193

[5]Lihat, At-Ta’rifat, hlm. 210

[6]Lihat, Mufradat Alfazh Al-Qur’an, III:489

[7]Lihat, Al-Mufradât fii Gharib Al-Quran, hlm. 132

[8]Lihat, Tafsir Ibnu Katsir, VII:380

[9]Lihat, Tafsir Ibnu Katsir, VII:384

[10]Lihat, Tafsir Ibnu Katsir, VII:380

There is 1 comment
  1. terima kasih sudah berbagi min
    semoga ktia semua terjaga aminnn
    karena banyak banget dosanyaa

Your email address will not be published. Required fields are marked *

#main-content .dfd-content-wrap {margin: 0px;} #main-content .dfd-content-wrap > article {padding: 0px;}@media only screen and (min-width: 1101px) {#layout.dfd-portfolio-loop > .row.full-width > .blog-section.no-sidebars,#layout.dfd-gallery-loop > .row.full-width > .blog-section.no-sidebars {padding: 0 0px;}#layout.dfd-portfolio-loop > .row.full-width > .blog-section.no-sidebars > #main-content > .dfd-content-wrap:first-child,#layout.dfd-gallery-loop > .row.full-width > .blog-section.no-sidebars > #main-content > .dfd-content-wrap:first-child {border-top: 0px solid transparent; border-bottom: 0px solid transparent;}#layout.dfd-portfolio-loop > .row.full-width #right-sidebar,#layout.dfd-gallery-loop > .row.full-width #right-sidebar {padding-top: 0px;padding-bottom: 0px;}#layout.dfd-portfolio-loop > .row.full-width > .blog-section.no-sidebars .sort-panel,#layout.dfd-gallery-loop > .row.full-width > .blog-section.no-sidebars .sort-panel {margin-left: -0px;margin-right: -0px;}}#layout .dfd-content-wrap.layout-side-image,#layout > .row.full-width .dfd-content-wrap.layout-side-image {margin-left: 0;margin-right: 0;}