Hadis Ke-2, kata Imam al-Bukhari:
حَدَّثَنِي مُحَمَّدٌ حَدَّثَنَا عَبْدُ اللهِ بْنُ يَزِيدَ حَدَّثَنَا سَعِيدٌ قَالَ حَدَّثَنِي أَبُو الْأَسْوَدِ عَنْ عُرْوَةَ قَالَ قَالَتْ عَائِشَةُ رَضِيَ اللهُ عَنْهَا كَانَ أَصْحَابُ رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عُمَّالَ أَنْفُسِهِمْ وَكَانَ يَكُونُ لَهُمْ أَرْوَاحٌ فَقِيلَ لَهُمْ لَوِ اغْتَسَلْتُمْ
“Muhammad telah menceritakan kepada saya, (ia berkata) ‘Abdullah bin Yazid telah menceritakan kepada kami (ia berkata), Sa’id telah menceritakan kepada kami, ia berkata, ‘Abu Al Aswad telah menceritakan kepada saya, dari ‘Urwah, ia berkata, ‘Aisyah Ra berkata, ‘Para sahabat Rasulullah saw. adalah para pekerja mandiri (berdikari), dan mereka berbau kurang sedap (ketika hadir ke masjid waktu Jumat), sehingga dikatakan kepada mereka: ‘Seandainya kalian mandi lebih dahulu’.”
Penjelasan (Syarah) Hadis
Pertama, perkataan Aisyah:
كَانَ أَصْحَابُ رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عُمَّالَ أَنْفُسِهِمْ
“Para sahabat Rasulullah saw. adalah para pekerja mandiri.”
Di sini digunakan sebutan “para pekerja mandiri” (عُمَّالَ أَنْفُسِهِمْ), sementara dalam beberapa riwayat lain menggunakan sebutan berbeda, seperti Mahanah Anfusihim[1] (مَهَنَةَ أَنْفُسِهِمْ); Muhhaan Anfusihim[2] (مُهَّانَ أَنْفُسِهِمْ); Ahl ‘amalin[3] (أَهْلَ عَمَلٍ). Meski berbeda sebutan namun semuanya menunjukkan makna yang sama, yaitu pada masa-masa awal ketika mereka belum punya pekerja (khadim), mereka mengelola pekerjaan secara langsung dengan “tangan mereka sendiri” tanpa bantuan orang lain. [4] Kondisi ini lebih jelas dinyatakan dalam riwayat Muslim sebagai berikut:
كَانَ النَّاسُ أَهْلَ عَمَلٍ وَلَمْ يَكُنْ لَهُمْ كُفَاةٌ فَكَانُوا يَكُونُ لَهُمْ تَفَلٌ فَقِيلَ لَهُمْ لَوْ اغْتَسَلْتُمْ يَوْمَ الْجُمُعَةِ
“Orang-orang adalah ahli kerja, dan mereka tidak punya pekerja, maka mereka berbau kurang sedap (ketika hadir ke masjid waktu Jumat), sehingga dikatakan kepada mereka seandainya kalian mandi lebih dahulu pada hari Jumat’.” [5]
Pada hadis ini, jenis pekerjaan yang mereka kelola tidak disebutkan, namun pada riwayat lain dengan jelas dinyatakan bahwa mereka mengolah tanah pertanian.
فَكَانُوا يُعَالِجُونَ أَرَضِيهِمْ بِأَيْدِيهِمْ
“Mereka mengolah tanah pertanian mereka dengan tangan sendiri.” HR. Abu Hanifah dan al-Baihaqi. [6]
Ini menunjukkan bahwa profesi mereka sebagai petani. Dengan demikian, para sahabat Rasulullah saw. yang dimaksud pada hadis di atas dari kalangan Anshar, sebab profesi mereka mayoritas sebagai petani. Sementara kalangan Muhajirin mayoritas berprofesi sebagai pedagang. Profesi mereka itu dijelaskan oleh Abu Huraerah. Pertama, tentang profesi kaum Muhajirin, Abu Huraerah menyatakan:
وَإِنَّ إِخْوَتِى مِنَ الْمُهَاجِرِينَ كَانَ يَشْغَلُهُمْ صَفْقٌ بِالأسْوَاقِ ، وَكُنْتُ أَلْزَمُ رَسُولَ اللَّهِ ( صلى الله عليه وسلم ) عَلَى مِلْءِ بَطْنِى ، فَأَشْهَدُ إِذَا غَابُوا ، وَأَحْفَظُ إِذَا نَسُوا
“Sesungguhnya saudara-saudaraku dari kaum Muhajirin mereka disibukan dengan tepuk tangan di pasar (kiasan berdagang). Sedangkan Aku selalu menetap atau tidak meninggalkan Rasulullah saw. ‘karena memenuhi perutku’ Maka Aku hadir ketika mereka absen dan aku hapal ketika mereka lupa.”
Pernyataan ini diungkapkan Abu Huraerah untuk menanggapi sebagian orang yang mempertanyakan: mengapa Abu Huraerah banyak meriwayatkan hadis dibandingkan dengan para sahabat yang lain. Padahal ia bergaul dengan Nabi saw. hanya 4 tahun (masuk Islam tahun 7 perang Khaibar) tapi hadisnya banyak. Sedangkan para sahabat dari kaum Muhajirin dan Anshar yang telah lama bergaul dengan Nabi hadisnya tidak sebanyak itu?
Selain itu, perkataan ini hendak menunjukkan bahwa Abu Huraerah tidak membicarakan faktor penyebab keutamaan dilihat dari aspek keislaman, hijrah, dan persahabatan dengan Rasul, karena dari aspek-aspek ini sahabat lain lebih istimewa. Namun yang dibicarakan adalah aspek pergaulan atau interaksi ilmiah (mulaazamah). Dari aspek ini Abu Huraerah lebih unggul dari para sahabat lainnya. Meski demikian, aspek ini dibicarakan oleh Abu Huraerah bukan dalam konteks pamer kehebatan ilmu atau paling semangat mencari ilmu, melainkan sebagai uslub tawaadhu’ (gaya ungkap merendahkan diri) dengan menyatakan:
عَلَى مِلْءِ بَطْنِى
“karena memenuhi perutku” Artinya, Abu Huraerah merasa cukup dengan makanan yang ada dan tidak mampu mengumpulkan harta selebih dari makanan pokok. Dengan perkataan lain, asal bisa makan.
Kedua, tentang profesi kaum Anshar, Abu Huraerah menyatakan:
وَكَانَ يَشْغَلُ إِخْوَتِي مِنْ الْأَنْصَارِ عَمَلُ أَمْوَالِهِمْ وَكُنْتُ امْرَأً مِسْكِينًا مِنْ مَسَاكِينِ الصُّفَّةِ أَعِي حِينَ يَنْسَوْنَ
“Dan saudaraku dari kaum Anshar, mereka disibukan dengan mengurus hartanya. Sedangkan aku adalah orang miskin di antara orang miskin penghuni suffah. Aku ingat ketika mereka lupa.” [7]
Dalam riwayat Muslim dengan redaksi:
إِنَّ إِخْوَانِى مِنَ الأَنْصَارِ كَانَ يَشْغَلُهُمْ عَمَلُ أَرَضِيهِمْ
“Dan saudaraku dari kaum Anshar, mereka disibukan dengan mengurus tanah pertanian mereka.”[8]
Keterangan di atas menunjukkan bahwa nilai dan potensi aset umat Islam saat itu sangat besar, baik dalam bentuk aset berwujud (property) milik kaum Anshar maupun aset tidak berwujud (ketrampilan atau skill) milik kaum Muhajirin. Keunggulan kedua aset itu telah disinergikan oleh Nabi saw. melalui program muakhat (ikatan saudara seiman), pada tahun 1 H., setelah Nabi saw. menetap di Madinah lima bulan, dengan melibatkan sebanyak 186 orang kaum Muhajirin dan Anshar, antara lain Abdurrahman bin Auf (Muhajirin) dengan Sa’ad bin ar-Rabi’, milyarder kaum Anshar. Saat itu, kaum muhajirin sangat membutuhkan harta dan tempat tinggal, karena kekayaan mereka ditinggalkan di Mekah ketika datang perintah untuk berhijrah.
Sehubungan dengan program muakhat itu, Abdurrahman bin Auf menyatakan:
لَمَّا قَدِمْنَا الْمَدِينَةَ آخَى رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بَيْنِي وَبَيْنَ سَعْدِ بْنِ الرَّبِيعِ فَقَالَ سَعْدُ بْنُ الرَّبِيعِ إِنِّي أَكْثَرُ الْأَنْصَارِ مَالًا فَأَقْسِمُ لَكَ نِصْفَ مَالِي وَانْظُرْ أَيَّ زَوْجَتَيَّ هَوِيتَ نَزَلْتُ لَكَ عَنْهَا فَإِذَا حَلَّتْ تَزَوَّجْتَهَا
“Ketika kami (kaum muhajirin) datang ke Madinah, Rasulullah saw. mempersaudarakan saya dengan Sa’ad bin ar-Rabi.” Saad bin ar-Rabi berkata, “Saya adalah orang Anshar yang terkaya, maka saya akan bagi setengah harta saya bagimu dan lihatlah mana istri saya yang kamu sukai saya akan ceraikan dia untukmu, maka jika telah lepas (selesai iddahnya) nikahilah dia olehmu”
قَالَ فَقَالَ لَهُ عَبْدُ الرَّحْمَنِ لَا حَاجَةَ لِي فِي ذَلِكَ هَلْ مِنْ سُوقٍ فِيهِ تِجَارَةٌ قَالَ سُوقُ قَيْنُقَاعٍ قَالَ فَغَدَا إِلَيْهِ عَبْدُ الرَّحْمَنِ فَأَتَى بِأَقِطٍ وَسَمْنٍ قَالَ ثُمَّ تَابَعَ الْغُدُوَّ
(Rawi berkata) Maka Abdurrahman bin Auf berkata, “Aku tidak memerlukan hal itu (dalam riwayat lain ia berkata: Semoga Allah memberkahi keluarga dan hartamu), apakah ada pasar tempat jual-beli? (dalam riwayat lain: Tunjukanlah aku ke pasar)” Dia berkata, “Pasar Qainuqa’ (Dalam riwayat lain: mereka menunjukan kepada ku pasar Bani Qainuqa’). Maka pagi harinya Abdurrahman pergi ke tempat itu, lalu datang membawa keju dan mentega. (Rawi berkata) kemudian ia melakukan pekerjaan itu berturut-turut setiap pagi (menunjukkan dagangnya laris).
فَمَا لَبِثَ أَنْ جَاءَ عَبْدُ الرَّحْمَنِ عَلَيْهِ أَثَرُ صُفْرَةٍ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ تَزَوَّجْتَ قَالَ نَعَمْ قَالَ وَمَنْ قَالَ امْرَأَةً مِنْ الْأَنْصَارِ
Tak lama kemudian Abdurrahman datang dengan membawa bekas warna kuning (noda parfum) di bajunya. Maka Rasulullah saw. bertanya, “Apakah kamu sudah nikah?” Ia menjawab, “Benar” Rasul bertanya lagi, “Dengan siapa?” Ia menjawab, “Wanita Anshar”( putri Anas bin Rafi’ bin Imri al-Qais bin Zaid)
قَالَ كَمْ سُقْتَ قَالَ زِنَةَ نَوَاةٍ مِنْ ذَهَبٍ أَوْ نَوَاةً مِنْ ذَهَبٍ فَقَالَ لَهُ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَوْلِمْ وَلَوْ بِشَاةٍ
Rasulullah saw. bertanya, “Berapa banyak mas kawinnya?” Ia menjawab, “emas sebesar biji” Rasul bersabda kepadanya, “Walimahlah walaupun hanya dengan seekor kambing.” [9]
Sinkronisasi antara aset berwujud dengan tidak berwujud telah menghasilkan keunggulan kompetitif yang berkelanjutan (Sustainable Competitive Advantage) meski populasi pertumbuhan umat Islam saat itu amat sedikit. Hingga tahun 10 H. diperkirakan hanya 200 ribu orang di seluruh dunia.
Kedua, perkataan Aisyah:
وَكَانَ يَكُونُ لَهُمْ أَرْوَاحٌ فَقِيلَ لَهُمْ لَوِ اغْتَسَلْتُمْ
“dan mereka berbau kurang sedap (ketika hadir ke masjid waktu Jumat), sehingga dikatakan kepada mereka: ‘Seandainya kalian mandi lebih dahulu’.”
Dalam riwayat lain disebutkan:
وَكَانُوا إِذَا رَاحُوا إِلَى الْجُمُعَةِ رَاحُوا فِي هَيْئَتِهِمْ فَقِيلَ لَهُمْ لَوْ اغْتَسَلْتُمْ
“Dan ketika menghadiri shalat Jum’at, mereka tetap dalam keadaan mereka masing-masing (lusuh dan kotor dengan pakaian kerjanya), maka dikatakan kepada mereka, ‘Seandainya kalian mandi terlebih dahulu’.” [10]
Maksudnya, para sahabat Rasulullah dari kaum Anshar datang dari dataran tinggi Madinah sebelah timur dengan jarak sekitar 4 Mil dari Madinah, dan daerah itu merupakan daerah pertanian. Pada hari Jumat mereka hadir ke masjid dalam keadaan lusuh dan kotor mengenakan pakaian yang digunakan saat bekerja di ladang masing-masing, sehingga menimbulkan bau kurang sedap bagi jamaah yang hadir waktu itu. Lalu mereka disuruh mandi untuk membersihkan badan dan menghilangkan bau.[11]
Adapun hubungan hadis Aisyah ini (hadis ke-2) dengan bab keutamaan “bekerja dengan tangan sendiri” dilihat dari kasab kaum Anshar. Ia lebih mengutamakan mengolah lahan pertanian dengan “tangan sendiri” demi kebutuhan hidupnya daripada bergantung kepada bantuan orang lain. Jadi, aksentuasi (penitikberatan) Imam al-Bukhari dalam hadis ini terletak pada kasab pertanian (الزراعة).
By Amin Muchtar, sigabah.com/beta
[1] HR. Al-Bukhari, Shahih al-Bukhari, I:307, No. 861.
[2] HR. Abu Dawud, Sunan Abu Dawud, I:97, No. 352; Ibnu Hiban, Shahih Ibnu Hiban, IV:38, No. 1236.
[3] HR. Muslim, Shahih Muslim, II:581, No. 847.
[4] Lihat, Ma’alim as-Sunan, karya al-Khathabi, I:111; Syarh Sunan Abu Dawud, karya al-‘Ainiy, II:175.
[5] Lihat, Shahih Muslim, II:581, No. 847.
[6] HR. Abu Hanifah, Musnad Abu Hanifah, II:887; al-Baihaqi, as-Sunan al-Kubra, VI:127.
[7] HR. Al-Bukhari, Shahih al-Bukhari, II:722, No. 1942
[8] Lihat, Shahih Muslim, IV:1940, No. 2492. Diriwayatkan pula oleh Ahmad dengan sedikit perbedaan redaksi. Lihat, Musnad Ahmad, II:274, No. 7691
[9] Lihat, Shahih al-Bukhari, II:722, No. 1943.
[10] Lihat, HR. Al-Bukhari, Shahih Al-Bukhari, I:307, No. 861; Abu Dawud, Sunan Abu Dawud, I:97, No. 352; Ibnu Hiban, Shahih Ibnu Hiban, IV:38, No. 126
[11] Lihat, Syarh at-Tirmidzi, karya Syekh as-Syanqithi, Juz 20, hlm. 46.