Sebagaimana telah kita ketahui bahwa ibadah gerhana disyariatkan pada tahun 10 H, saat terjadi Gerhana matahari annular (cincin), pada tanggal 29 Syawal 10 H bertepatan dengan 27 Januari 632 M, pukul 8.30 pagi waktu Madinah. Gerhana waktu itu bertepatan dengan wafatnya Ibrahim, putra Nabi saw. pada usia 17 bulan (lahir Jumadil Ula tahun 9 H.). [1]
Ketika itu Nabi saw. mengajarkan kepada umat Islam untuk menyambut peristiwa gerhana dengan pelaksanaan ibadah, meliputi: (1) berdoa kepada Allah dan beristigfar, (2) bertakbir, (3) Salat gerhana sebanyak 2 rakaat, (4) khutbah gerhana, dan (5) bersedekah.
Di sini perlu disampaikan catatan bahwa tertib urutan pelaksanaan bentuk-bentuk ibadah di atas, selain khutbah setelah shalat, bukanlah kemestian. Sebab hasil penelusuran terhadap hadis-hadis tentang itu menunjukkan urutan bervariasi.[2]
Berkenaan dengan takbir gerhana kita mendapatkan petunjuk dari sejumlah riwayat yang menjelaskan perintah takbir pada saat kejadian itu semuanya menggunakan kalimat yang sama: Kabbiruu (bertakbirlah), tanpa dijelaskan redaksi dan teknis pelaksanaanya. Tidak dijelaskan itu, apakah menunjukkan lil ithlaq atau lil ‘ilmi bih ? Jika lil Ithlaq berarti bebas atau tidak ditentukan, misalnya cukup dengan ucapan Allahu akbar. Sementara lil ‘ilmi bih berarti sudah diketahui oleh para sahabat redaksi takbir dan teknis pelaksanaanya, sebagaimana takbiran iedul fitri dan iedul adha.
Dalam hal ini, kami cenderung kepada pendapat yang menyatakan lil ‘ilmi bih, dengan alasan sebagai berikut:
Pertama, dilihat dari aspek tarikh tasyri’ (sejarah penetapan) bahwa takbiran iedul fitri dan iedul adha lebih dahulu disyariatkan (Tahun 2 H), sehingga pada saat Nabi saw. memerintah takbir gerhana (Tahun 10 H), beliau tidak perlu lagi memberitahukan redaksi dan teknis pelaksanaanya. Kedua, dilihat dari segi sumber ilmu, redaksi takbir bersumber dari shahabat Nabi saw., bukan dari Nabi saw. secara langsung. Penjelasan shahabat tentang redaksi takbir tidak membatasi hanya untuk event iedul fitri dan iedul adha semata.
Syaikhul Islam Ibnu Hajar al-Asqalani menjelaskan:
وَأَمَّا صِيْغَةُ التَّكْبِيْرِ فَأَصَحُّ مَا وَرَدَ فِيْهِ مَا أَخْرَجَهُ عَبْدُ الرَّزَّاقِ بِسَنَدٍ صَحِيْحٍ عَنْ سَلْمَانَ قَالَ:كَبِّرُوْا اللَّهُ أَكْبَرُ اللَّهُ أَكْبَرُ اللَّهُ أَكْبَرُ كَبِيْرًا…
“Adapun shighah (bentuk) takbir, maka yang paling shahih adalah hadis yang ditakhrij oleh Abdur Razaq dengan sanad sahih dari Salman, ia berkata, “Takbirlah, Allaahu Akbar, Allaahu Akbar, Allaahu Akbar, kabiira.” [3]
Selanjutnya Ibnu Hajar juga menjelaskan
وَقِيْلَ يُكَبِّرُ ثِنْتَيْنِ بَعْدَهُمَا لا إله إلا اللَّه و اللَّهُ أَكْبَرُ اللَّهُ أَكْبَرُ وللَّهِ الْحَمْدُ جَاءَ ذلِكَ عَنْ عُمَرَ وَابْنُ مَسْعُوْدٍ
“Dan dikatakan ia bertakbir dua kali (Allahu Akbar, Allahu Akbar), setelah itu Laa ilaha illallahu Allahu Akbar, Allahu Akbar Walillahilhamd. Keterangan itu bersumber dari Umar dan Ibnu Mas’ud.” [4]
Keterangan di atas menunjukkan bahwa redaksi takbir, sesuai dengan petunjuk sahabat, hanya dua macam:
- Allahu Akbar, Allahu Akbar, Allahu Akbar kabiran.
- Allahu Akbar, Allahu Akbar, Laa ilaha illallahu Allahu Akbar, Allahu Akbar Walillahilhamd.
Redaksi takbir demikian itu menjadi pegangan madzhab Hanafi, Hanbali, Imam asy-Syafi’I dalam fatwa lama (qawl qadiim), dan sekelompok ulama salaf.
Sedangkan lafal takbir dengan tambahan lain selain di atas, tidak ditemukan bersumber dari Nabi saw. maupun para shahabat, misalnya:
- Lafal Allahu Akbar, Allahu Akbar, Allahu Akbar kabiira dengan tambahan wa lillaahilhamdu
- Lafal Allahu Akbar, Allahu Akbar, Allahu Akbar Laa ilaaha illallaah wahdahu laa syariikalah
- Lafal panjang sebagai berikut
اللَّهُ أَكْبَرُ كَبِيرًا وَالْحَمْدُ لِلَّهِ كَثِيرًا وَسُبْحَانَ اللَّهِ بُكْرَةً وَأَصِيلًا اللَّهُ أَكْبَرُ وَلَا نَعْبُدُ إلَّا اللَّهَ مُخْلِصِينَ له الدَّيْنَ وَلَوْ كَرِهَ الْكَافِرُونَ لَا إلَهَ إلَّا اللَّهُ وَحْدَهُ صَدَقَ وَعْدَهُ وَنَصَرَ عَبْدَهُ وَهَزَمَ الْأَحْزَابَ وَحْدَهُ لَا إلَهَ إلَّا اللَّهُ وَاَللَّهُ أَكْبَرُ
Menurut Ibnu Hajar:
وَقَدْ أُحْدِثَ فِي هَذَا الزَّمَانِ زِيَادَةٌ فِي ذَلِكَ لَا أَصْلَ لَهَا
“Pada zaman ini telah diciptakan tambahan pada lafal itu yang tidak mempunyai sumber sama sekali (Laa asla lahaa).” [5]
Sementara teknis takbiran pada masa itu dilakukan dalam beragam cara, baik sendirian, bersama-sama atau saling bergantian sesuai dengan yang dilakukan di masa Rasulullah saw. berdasarkan hadis sebagai berikut:
وَعَنْ أُمِّ عَطِيَّةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهَا قَالَتْ : أَمَرَنَا رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ نُخْرِجَهُنَّ فِي الفِطْرِ وَاللأَضْحَى….وَالْحُيَّضُ يَكُنْ خَلْفَ النَّاسِ يُكَبِّرْنَ مَعَ النَّاسِ. وَلِلْبُخَارِيِّ : قَالَتْ اُمُّ عَطِيَّةَ : كُنَّا نُأْمَرُ أَنْ نُخْرِجَ الْحُيَّضَ فَيُكَبِّرْنَ بِتَكْبِيْرِهِمْ.
Dari Umi Athiyah ra, ia mengatakan, “Rasulullah saw. memerintahkan kami untuk mengajak keluar mereka (perempuan yang haid) pada hari raya iedul fitri dan adha…., dan perempuan-perempuan yang haid di belakang orang-orang, mereka bertakbir bersama orang-orang.” Dan menurut riwayat Al-Bukhari: Umu Athiyah berkata,”Kami diperintah mengajak keluar perempuan-perempuan yang haid, maka mereka bertakbir dengan takbirnya mereka (kaum laki-laki).” [6]
Aspek pandalilan hadis di atas, sekiranya kaum laki-laki tidak melantunkan takbirnya tentu saja kaum wanita yang berada di belakang kaum lak-laki tidak akan takbir mengikuti takbir mereka.
Dengan demikian, bertakbir sendirian, bersama-sama maupun saling bergantian, kesemua itu tidak lepas dari pelaksanaan melantunkan takbir. Jadi, semua cara telah memenuhi perintah atau anjuran bertakbir.
Kesimpulan
Redaksi Takbir gerhana sama dengan takbir iedul fitri dan iedul adha
By Amin Muchtar, sigabah.com/beta
Baca Analisa Takbiran Gerhana di sini
Baca Menyambut Gerhana Teristimewa di sini
Baca Panduan ibadah Gerhana di sini
Baca Khutbah Nabi saat Gerhana di sini
Baca Analisa Posisi Tangan Ketika Shalat Gerhana di sini
[1]Lihat, Taudhihul Ahkam ‘an Bulugh al-Maram, III:60.
[2]Misalnya, dalam riwayat al-Bukhari disebutkan dengan urutan sebagai berikut: “Berdoa kepada Allah, bertakbir, salat, dan bersedekah.” (Lihat, Shahih Al-Bukhari, I:354, No. 997) Dalam riwayat Muslim, Ahmad, al-Baihaqi disebutkan dengan urutan sebagai berikut: “Takbir, Berdoa kepada Allah, salat, dan bersedekah.” (Lihat, Shahih Muslim, II:618, No. 901, Musnad Ahmad, VI:164, No. 25.351, As-Sunan al-Kubra, III:340, No. 6157). Sementara dalam riwayat Ibnu Khuzaimah disebutkan dengan urutan sebagai berikut: “Salat, dzikir kepada Allah, berdoa kepada Allah, dan bersedekah.” (Lihat, Shahih Ibnu Khuzaimah, II:329, No. 1400)
[3]Lihat, Fath al-Bari Syarh Shahih al-Bukhari, Dar al-Rayan li al-Turats, Kairo, 1986, II: 536.
[4]Ibid. Menurut Abdul Aziz ath-Tharifi, “Riwayat dua kali takbir itulah yang benar.” Lihat, Syarh Hadits Jabir fii al-Hajj, hlm. 67
[5]Ibid. Dikutip pula oleh Imam asy-Syaukani dalam Nail al-Awthar, VI:37
[6]Lihat, Nail al-Awthar, III : 349
Lampiran Surat Edaran Gerhana