Sekarang sudah diakhir bulan Desember, dalam hitungan jam tahun 2015 akan pergi meninggalkan kita. Tempat-tempat hiburan seperti cafe, diskotik, karaoke dan hotel pun sudah di penuhi pernak-pernik Tahun Baru dan sudah mempersiapkan berbagai program buat kemeriahan pesta nanti malam. Tak sedikit dari tempat-tempat hiburan yang menyediakan dorprize, lucky draw, bahkan artis terkenal di datangkan buat penyambutan dan kemeriahan acara tersebut. Penjual kado serta kartu ucapan laris manis di bulan ini. Beginilah suasana tahun baru. Namun tahukah kita tentang asal usul Tahun Baru Masehi ??
Asal Muasal Tahun Baru 1 Januari
Tahun baru dalam kalender umum atau kalender Gregorian dimulai pada tanggal 1 Januari. Dalam satu tahun, kalender Gregorian berlangsung dari 1 Januari hingga 31 Desember, atau 365 hari. Masyarakat umumnya menyebut Januari sebagai bulan pertama, Februari sebagai bulan kedua, dan seterusnya hingga Desember sebagai bulan keduabelas. Kalender umum ini berasal dari Romawi. Agak aneh, sebab umumnya masyarakat empat musim memulai tahun baru pada musim semi dan menjelang bulan purnama. Padahal 1 Januari masih berada di musim dingin dan masih lama menuju bulan purnama penuh yang jatuh sekitar Maret atau bahkan April.
Bagaimanakah sejarah munculnya 1 Januari sebagai tahun baru? Sebelum tahun 708 AUC (waktu itu orang Romawi masih menggunakan kalender Ab Urbe Condita [AUC], yakni berdasarkan berdirinya kota Roma pada 753 tahun sebelum Masehi), orang Romawi memasuki tahun baru pada setiap 1 Maret. Maret adalah bulan pertama yang menandakan dimulainya musim semi dan menjelang bulan purnama penuh yang pertama dalam 365 hari itu. Musim semi selalu dijadikan patokan tahun baru, yang diartikan sebagai kehidupan baru. Orang Italia menyebut musim semi dengan la primavera, artinya kehidupan yang pertama.
Bukti bahwa Maret sebagai bulan pertama masih dapat dilihat hingga kini, yakni dengan nama bulan-bulan. Bulan ke-7 disebut September (septem = tujuh), bulan ke-8 disebut Oktober (octo = delapan), bulan ke-9 disebut November (novem = sembilan), dan bulan ke-10 disebut Desember (decem = sepuluh). Dahulu bulan Juli dan Agustus disebut Bulan Ke-5 (Mensis Quintilis) dan Bulan Ke-6 (Mensis Sextilis). Hingga jelasnya bahwa berdasarkan nama bulan-bulan tersebut akan urutan bulan dalam kalender.
Akhir tahun 46 SM, Julius Gaius Caesar (59 – 44 SM) menetapkan sistem kalender baru, yakni sistem solar (matahari) dari sebelumnya sistem lunar (bulan). Sistem kalender baru itu ditetapkan untuk diberlakukan pada 1 Januari, yang sebelum itu hanya merupakan hari biasa. Pada waktu itu, 1 Januari masih termasuk bulan ke-11 dan masih dalam tahun 46 SM. Dengan pemberlakuan kalender ala-Julius Caesar tersebut – kemudian dikenal sebagai kalender Julian – maka 1 Januari menjadi tahun baru. Sebenarnya, 1 Januari hanya merupakan peringatan pemberlakuan kalender baru tersebut. Untuk menghormatinya, bulan kelahiran Julius Caesar, yakni Bulan Ke-5, diubah dengan namanya, yakni Juli.
Sistem kalender Julian ini menghitung bahwa satu tahun terdiri dari 355,25 hari. Setiap empat tahun sekali, terjadilah perpanjangan bulan Februari. Yakni 24 Februari, atau dies sextilis (hari keenam sebelum permulaan Maret), terjadi dua hari berturut-turut untuk tanggal yang sama, misalnya 24 Februari hari Rabu dan keesokannya adalah 24 Februari hari Kamis. Bulan-bulan Maret, Mei, Juli, dan Oktober berjumlah 31 hari, sama hingga kini. Bulan Februari 28 hari. Sedangkan bulan-bulan April, Juni, Agustus, September, November, Desember, dan Januari berjumlah 29 hari.
Jumlah hari dalam bulan-bulan 29 hari, bulan kabisat, dan jumlah hari dalam setahun kemudian dibarui di zaman Kaisar Augustus pada tahun 6 SM. Untuk menghormati dan mengenang Kaisar Augustus, maka Bulan Ke-6 (Mensis Sextilis) diganti namanya menjadi Bulan Agustus.
Koreksi jumlah hari kembali dibarui oleh Gereja Roma pada tahun 1577 terhadap kalender Julian dan Augustan. Kali ini dilakukan oleh pihak Gereja Roma Katolik. Pada tahun 1582, atas perintah Konsili Trente (1545-1563) pada tahun 1577 oleh Paus Gregorius XIII (1502-1585) dikoreksi bahwa hari-hari dalam setahun berjumlah 365,2422 hari, bukan 365,25 hari sebagaimana kalender Julian. Akibatnya adalah waktu yang berjalan setiap tahun lebih lambat 11,25 menit. Nampaknya perbedaan waktu tidak terlalu berarti, namun jika dihitung sejak tahun 45 SM hingga tahun 1582, maka telah terjadi keterlambatan waktu 18.303,75 menit dalam 1.627 tahun, atau 12,7109375 hari.
Perbedaan ini cukup signifikan, dan dapat mengganti pengaturan waktu pada masa-masa kemudian. Penyesuaian segera dilakukan. Melalui keputusan inter gravissimas pada 24 Februari 1582, Paus Gregorius XIII menyatakan bahwa sesudah tanggal 4 Oktober 1582 (Kamis) langsung masuk ke tanggal 15 Oktober 1582 (Jumat) esok harinya. Jadi hanya dipercepat sepuluh hari, padahal seharusnya 12-13 hari keesokan harinya. Lantas tahun pergantian abad (semisal: 1700, 1800, 1900) yang tidak habis dibagi 400, ditiadakan dari kabisat dan dianggap tahun biasa. Maka jadilah kelender sebagaimana terpampang di rumah-rumah kita.
Asal Muasal Pesta Tahun Baru
Di zaman Romawi kuno, pesta tahun baru adalah pesta yang diadakan buat memperingati Dewa Janus. Dewa Janus adalah Dewa pintu dari semua permulaan. Oleh sebab itu Dewa Janus di gambarkan mempunyai dua muka (bermuka dua). Menurut catatan dari Encarta Reference Library Premium 2005, “Orang yang pertama yang membuat penanggalan kalender adalah Kaisar Romawi yang terkenal bernama Gaisus Julius Caesar. Kalender itu di buat pada Tahun 45 Sebelum Masehi jika menggunakan standar tahun yang di hitung mundur dari kelahiran Yesus Kristus.”
Berdasarkan itu maka penanggalan setelah kelahiran Yesus Kristus diberi tanda AD (bahasa latin, Anno Domini, yang berarti in the year of our lord alias Masehi. Kata Masehi sendiri di ambil dari kata Al-Masih atau Yesus. Sementara itu untuk zaman pra sejarah di sematkan BC (Before Christ ) alias SM (Sebelum Masehi). Karena kemeriahan pesta tahun baru waktu itu maka Pope (Paus) Gregory III tidak mensia-siakan kesempatan tersebut. Paus pun memodifikasi kalender tersebut dan kemudian mengukuhkannya sebagai sistem penanggalan yang harus di gunakan oleh seluruh bangsa Eropa, bahkan kini di seluruh dunia. Dan pada akhirnya perayaan ini di wajibkan oleh para pemimpin Gereja sebagai satu perayaan suci sepaket dengan Natal. Itulah sebabnya mengapa kalau ucapan Natal dan Tahun Baru di jadikan satu: “Merry Christmas and Happy New Year“.
Pandangan Syariat Islam
Berbagai keterangan sejarah di atas tampak jelas memperlihatkan bahwa perayaan tahun baru masehi bukan semata-mata acara seremonial melainkan sangat erat dengan ritual kaum Romawi kuno dan kaum Nasrani atas dasar keyakinan mereka. Jadi, bagi seorang muslim ikut terlibat memperingati dan merayakan tahun baru masehi hukumnya HARAM.
Di antara ayat yang menyebutkan secara khusus larangan menyerupai hari-hari besar mereka adalah:
وَالَّذِينَ لَا يَشْهَدُونَ الزُّورَ وَإِذَا مَرُّوا بِاللَّغْوِ مَرُّوا كِرَامًا
“Dan orang-orang yang tidak memberikan persaksian palsu.” (QS Al-Furqan [25]:72).
Ayat ini berkaitan dengan salah satu sifat hamba Allah yang beriman. Ulama-ulama salaf seperti Ibnu Sirin, Mujahid dan Ar-Rabi bin Anas menafsirkan kata az-Zuura di dalam ayat tersebut sebagai hari-hari besar orang kafir. Jadi, berdasarkan ayat di atas jika sampai seorang muslim merayakan Tahun Baru Masehi berarti dia melakukan persaksian palsu terhadap hari-hari besar orang kafir.
Selain ditegaskan oleh Al-Quran, larangan menyerupai hari-hari besar mereka ditegaskan pula dalam hadis-hadis Nabi saw., antara lain:
عَنْ أَنَسٍ رضي الله عنه قَالَ قَدِمَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْمَدِينَةَ وَلَهُمْ يَوْمَانِ يَلْعَبُونَ فِيهِمَا فَقَالَ مَا هَذَانِ الْيَوْمَانِ قَالُوا كُنَّا نَلْعَبُ فِيهِمَا فِي الْجَاهِلِيَّةِ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنَّ اللَّهَ قَدْ أَبْدَلَكُمْ بِهِمَا خَيْرًا مِنْهُمَا يَوْمَ الْأَضْحَى وَيَوْمَ الْفِطْرِ
Dari Anas bin Malik Ra., dia berkata, “Saat Rasulullah saw. datang ke Madinah, mereka memiliki dua hari besar (ied) untuk bermain-main. Lalu beliau bertanya, ‘Dua hari untuk apa ini’ Mereka menjawab, ‘Dua hari di mana kami sering bermain-main di masa jahiliyah.’ Lantas beliau bersabda, ‘Sesungguhnya Allah telah menggantikan bagi kalian untuk keduanya dengan dua hari yang lebih baik dari keduanya, yakni Iedul Adha dan Iedul Fitri’.” HR. Ahmad, Musnad Ahmad, No.11.595, 13.058, 13.210.
Sehubungan dengan itu, Umar bin Khatab berkata:
وَلاَ تَدْخُلُوا عَلَى الْمُشْرِكِينَ فِى كَنَائِسِهِمْ يَوْمَ عِيدِهِمْ فَإِنَّ السُّخْطَةَ تَنْزِلُ عَلَيْهِمْ
“Janganlah kalian mengunjungi kaum musyrikin di gereja-gereja (rumah-rumah ibadah) mereka pada hari besar mereka karena sesungguhnya kemurkaan Allah akan turun atas mereka.” HR. Al-Baihaqi, as-Sunan al-Kubra, IX:234, No. 19.333
Dalam riwayat lain, Umar berkata:
اجْتَنِبُوا أَعْدَاءَ اللَّهِ فِى عِيدِهِمْ
“Hindarilah musuh-musuh Allah pada momentum hari-hari besar mereka.” HR. Al-Baihaqi, as-Sunan al-Kubra, IX:234, No. 19.334
عَنْ عَبْدِ اللهِ بْنِ عَمْرِو بْنِ الْعَاصِ أَنَّهُ قَالَ: مَنْ نَشَأَ فِي بِلَادِ الْأَعَاجِمِ فَصَنَعَ نَوْرُوزَهُمْ , وَمَهْرَجَانَهُمْ , وَتَشَبَّهَ بِهِمْ حَتَّى يَمُوتَ وَهُوَ كَذَلِكَ حُشِرَ مَعَهُمْ يَوْمَ الْقِيَامَةِ
Dari Abdullah bin Amr bin Al-Ash Ra., ia berkata, “Barangsiapa berdiam di negeri-negeri orang asing, lalu membuat tahun baru dan festival seperti mereka serta menyerupai mereka hingga dia mati dalam kondisi demikian, maka kelak dia akan dikumpulkan pada hari kiamat bersama mereka.” HR. Al-Baihaqi, Syu’abul Iman, juz 12, hlm. 19
Sehubungan dengan itu, Rasulullah saw. bersabda:
مَنْ تَشَبَّهَ بِقَوْمٍ فَهُوَ مِنْهُم
“Barangsiapa yang menyerupai suatu kaum, maka ia termasuk golongan mereka.” HR. Abu Dawud
Maksud hadis di atas adalah larangan menyerupai suatu kaum, baik ibadahnya, adat-istiadatnya, juga gaya hidupnya. At-Tasyabbuh secara bahasa berarti meniru atau mencontoh, menjalin atau mengaitkan diri, dan mengikuti.
Tasyabbuh yang dilarang dalam Al-Quran dan As-Sunnah secara syari’i adalah menyerupai orang-orang kafir dalam segala bentuk dan sifatnya, baik dalam aqidah, peribadatan, kebudayaan, atau dalam pola tingkah laku yang menunjukan ciri khas mereka.
Sehubungan dengan itu, Syaikhul Islam Ibnu Timiyah berkata:
لَا يَحِلُّ لِلْمُسْلِمِينَ أَنْ يَتَشَبَّهُوا بِهِمْ فِي شَيْءٍ مِمَّا يَخْتَصُّ بِأَعْيَادِهِمْ لَا مِنْ طَعَامٍ وَلَا لِبَاسٍ وَلَا اغْتِسَالٍ وَلَا إيقَادِ نِيرَانٍ وَلَا تَبْطِيلِ عَادَةٍ مِنْ مَعِيشَةٍ أَوْ عِبَادَةٍ أَوْ غَيْرِ ذَلِكَ . وَلَا يَحِلُّ فِعْلُ وَلِيمَةٍ وَلَا الْإِهْدَاءُ وَلَا الْبَيْعُ بِمَا يُسْتَعَانُ بِهِ عَلَى ذَلِكَ لِأَجْلِ ذَلِكَ . وَلَا تَمْكِينُ الصِّبْيَانِ وَنَحْوِهِمْ مِنْ اللَّعِبِ الَّذِي فِي الْأَعْيَادِ وَلَا إظْهَارُ زِينَةٍ . وَبِالْجُمْلَةِ لَيْسَ لَهُمْ أَنْ يَخُصُّوا أَعْيَادَهُمْ بِشَيْءٍ مِنْ شَعَائِرِهِمْ بَلْ يَكُونُ يَوْمُ عِيدِهِمْ عِنْدَ الْمُسْلِمِينَ كَسَائِرِ الْأَيَّامِ لَا يَخُصُّهُ الْمُسْلِمُونَ بِشَيْءٍ مِنْ خَصَائِصِهِمْ .
“Tidak halal bagi kaum muslimin bertasyabuh (menyerupai) dengan mereka dalam hal-hal yang khusus bagi hari raya mereka, baik berupa makanan, pakaian, mandi, menyalakan lilin, menyia-nyiakan kebiasaan, berupa mata pencaharian, ibadah, atau yang lainnya. Tidak halal mengadakan kenduri atau memberi hadiah atau menjual barang-barang yang di perlukan untuk hari raya tersebut. Tidak halal mengizinkan anak-anak ataupun yang lainnya melakukan permainan pada hari itu, juga tidak boleh menampakan perhiasan. Dalam pengertian lain, tidak boleh mengistimewakan hari raya mereka dengan sesuatu yang menjadi syi’ar mereka pada hari itu, bahkan hari raya mereka oleh kaum muslim mesti dipandang seperti hari-hari biasa tanpa disikapi secara khusus dengan sesuatu yang menjadi khas mereka.” (Lihat, Majmu’ ar-Rasail wal Masail, I:230)
Dari uraian-uraian di atas tampak jelas bahwa perayaan Tahun Baru bukan berasal dari Islam. Karena itu, setiap muslim yang mengakui Allah sebagai Rabb, Islam sebagai Agama dan Muhammad sebagai Nabi dan Rasul, tidak diperbolehkan ikut merayakan hari besar yang tidak ada asalnya di dalam Islam, tidak boleh menghadiri, bergabung dan membantu terselenggaranya acara tersebut. Hal ini termasuk dosa dan melanggar batasan Allah. Allah telah melarang kita tolong menolong di dalam dosa dan pelanggaran.
By Amin Muchtar, sigabah.com/beta
Jazakallohu khoiron katsiron atas penjelasannya
Maju terus tegakan islam dan syiarkan Alquran dan Alhadist