Allah Swt. berfirman:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَتَّخِذُوا بِطَانَةً مِنْ دُونِكُمْ لَا يَأْلُونَكُمْ خَبَالًا وَدُّوا مَا عَنِتُّمْ قَدْ بَدَتِ الْبَغْضَاءُ مِنْ أَفْوَاهِهِمْ وَمَا تُخْفِي صُدُورُهُمْ أَكْبَرُ قَدْ بَيَّنَّا لَكُمُ الْآيَاتِ إِنْ كُنْتُمْ تَعْقِلُونَ
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu ambil menjadi teman kepercayaanmu orang-orang yang, di luar kalanganmu (karena) mereka tidak henti-hentinya (menimbulkan) kemudharatan bagimu. Mereka menyukai apa yang menyusahkan kamu. Telah nyata kebencian dari mulut mereka, dan apa yang disembunyikan oleh hati mereka adalah lebih besar lagi. Sungguh telah Kami terangkan kepadamu ayat-ayat (Kami), jika kamu memahaminya.” QS. Ali Imran:118
Intisari Ayat
يَقُول تَبَارَكَ وَتَعَالَى نَاهِيًا عِبَادَهُ الْمُؤْمِنِينَ عَنْ اِتِّخَاذِ الْمُنَافِقِيْنَ بِطَانَةً أَيْ يُطْلِعُوْنَهُمْ عَلَى سَرَائِرهِمْ وَمَا يُضْمِرُونَهُ لِأَعْدَائِهِمْ وَالْمُنَافِقُوْنَ بِجُهْدِهِمْ وَطَاقَتِهِمْ لَا يَأْلُوْنَ الْمُؤْمِنِينَ خَبَالًا أَيْ يَسْعَوْنَ فِي مُخَالَفَتِهِمْ وَمَا يَضُرُّهُمْ بِكُلِّ مُمْكِنٍ وَبِمَا يَسْتَطِيْعُوْنَ مِنَ الْمَكْرِ وَالْخَدِيْعَةِ وَيَوَدُّوْنَ مَا يَعْنَتُ الْمُؤْمِنِيْنَ وَيُحْرِجُهُمْ وَيَشُقُّ عَلَيْهِمْ
“Allah Tabaaraka wa Ta’ala berfirman seraya melarang hamba-hamba-Nya yang mukmin menjadikan orang-orang munafik sebagai teman kepercayaan, yaitu menceritakan kepada mereka semua rahasia kaum mukmin dan semua rencana yang dipersiapkan kaum mukmin terhadap musuh-musuhnya. Orang-orang munafik akan berusaha dengan sekuat tenaga dan kemampuan mereka tanpa henti-hentinya untuk menimbulkan mudarat terhadap kaum mukmin, yaitu orang-orang munafik akan terus berupaya menentang kaum mukmin dan menimpakan mudarat terhadap mereka dengan segala cara yang mereka dapat dan dengan memakai tipu daya serta kepalsuan yang mampu mereka kerjakan. Mereka suka dengan semua hal yang mencelakakan kaum mukmin, gemar pula melukai kaum mukmin serta menyukai hal-hal yang memberatkan kaum mukmin.” [1]
Tafsir Kosa Kata (Mufradat): Bithanah
Menurut Imam Al-‘Ainiy, kata bithanah (البطانة) bermakna:
الصَّاحِبُ الْوَلِيْجَةُ وَالدَّخِيْلُ وَالْمُطَّلِعُ عَلَى السَّرِيْرَةِ
“Sahabat karib, yang masuk lebih dalam dan mengetahui rahasia.” [2]
Kata ini pada asalnya digunakan untuk baju, dalam arti lapisan atau bagian dalam pakaian (بِطانَةُ الثَوْبِ). Kemudian kata ini dipinjam untuk menunjuk makna keluarga atau orang kepercayaan. Demikian penjelasan pakar Bahasa Arab dan Tafsir, Imam Ar-Raghib Al-Asfahani. [3]
Dalam redaksi Imam Syekh Ahmad Asy-Syadziliy:
وَسُمِّيَتْ بِطَانَةٌ تَشْبِيْهاً لَهَا بِالثَّوْبِ الَّذِيْ يَلِيْ بَطْنَهُ
“(Teman dekat) dinamakan bithanah karena diserupakan dengan lapisan atau bagian dalam pakaian.” [4]
Keluarga atau orang kepercayaan disebut bithanah (البطانة) karena orang itu mengetahui rahasia pribadi orang yang memercayainya. Sehubungan dengan itu, para ulama menjelaskan makna kata ini sebagai berikut:
Menurut Imam Ibnu Katsir:
بِطَانَةُ الرَّجُلِ هُمْ خَاصَّةُ أَهْلِهِ الَّذِيْنَ يَطَّلِعُوْنَ عَلَى دَاخِلِ أَمْرِهِ
“Bitanah seseorang adalah keluarga atau orang terdekat (kepercayan) yang mengetahui semua rahasia pribadinya.” [5]
Dalam pandangan Imam As-Suyuthi:
بِطَانَةُ الرَّجُلِ صَاحِبُ سِرِّهِ وَدَاخِلِ أَمْرِهِ الَّذِي يُشَاوِرهُ فِي أَحْوَالِهِ
“Bitanah seseorang adalah orang yang memegang rahasia dan masuk pada urusannya, yaitu orang yang diajak bermusyarah dalam berbagai hal.” [6]
Syekh Muhammad Rasyid Ridha menjelaskan:
بِطَانَةُ الرَّجُلِ وَلِيجَتُهُ وَخَاصَّتُهُ الَّذِينَ يَسْتَبْطِنُونَ أَمْرَهُ وَيَتَوَلَّوْنَ سِرَّهُ
“Bitanah seseorang adalah sahabat karib dan orang terdekatnya, yang mengetahui hakekat urusanya dan menguasai rahasianya.” [7]
Tafsir Hukum: Bithanah Teoritis & Praktis
Dari berbagai penjelasan ulama tentang makna Bithanah di atas kita dapat memahami bahwa firman Allah Swt.:
{لَا تَتَّخِذُوا بِطَانَةً مِنْ دُونِكُمْ}
“Janganlah kalian ambil menjadi teman kepercayaan kalian orang-orang yang di luar kalangan kalian.” (QS. Ali Imran: 118) mengandung larang bagi orang Islam mengangkat orang yang tidak seagama alias kafir atau orang munafik sebagai teman dekat, orang terpercaya, atau pemimpin yang untuk mengelola urusan dan rahasia pribadi serta masyarakat muslim. Karena kalimat min duunikum, menurut Imam Ibnu Katsir bermakna:
أَيْ مِنْ غَيْرِكُمْ مِنْ أَهْلِ الْأَدْيَانِ
“Yakni selain dari kalangan kalian yang tidak seagama.” [8]
Untuk mengetahui beberapa urusan umat Islam yang tidak boleh diserahkan kepada orang kafir atau munafik dalam konteks ayat di atas, keterangan Nabi saw. dan praktik Khalifah Umar bin Khatab berikut ini dapat dijadikan rujukan:
عَنِ الْأَزْهَرِ بْنِ رَاشِدٍ قَالَ: كَانُوا يَأْتُونَ أنَسًا، فَإِذَا حَدَّثهم بِحَدِيثٍ لَا يَدْرُونَ مَا هُوَ، أتَوا الْحَسَنَ -يَعْنِي الْبَصْرِيَّ-فَيُفَسِّرُهُ لَهُمْ. قَالَ: فحدَّث ذَاتَ يَوْمٍ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّهُ قال: “لا تَسْتَضِيؤوا بِنَارِ الْمُشْرِكِينَ، وَلَا تَنْقُشُوا فِي خَوَاتِيمِكُمْ عَرَبيا فَلَمْ يَدْرُوا مَا هُوَ، فَأَتَوُا الْحَسَنَ فَقَالُوا لَهُ: إِنَّ أَنَسًا حَدّثنا أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم قال: “لا تَسْتَضِيؤوا بِنَارِ الشِّركِ وَلَا تَنْقُشُوا فِي خَوَاتِيمِكُمْ عَرَبيا فَقَالَ الْحَسَنُ: أَمَّا قَوْلُهُ: “وَلَا تَنْقُشُوا فِي خَوَاتِيمِكُمْ عَرَبيا: مُحَمَّدٌ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ. وأما قوله: “لا تَسْتَضِيؤوا بِنَارِ الشِّركِ” يَقُولُ: لَا تَسْتَشِيرُوا الْمُشْرِكِينَ فِي أُمُورِكُمْ. ثُمَّ قَالَ الْحَسَنُ: تَصْدِيقُ ذَلِكَ فِي كِتَابِ اللَّهِ: {يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَتَّخِذُوا بِطَانَةً مِنْ دُونِكُمْ}
Dari Al-Azhar bin Rasyid, ia berkata, “Mereka (para shahabat Anas) datang kepada Anas, maka apabila Anas menceritakan sebuah hadis yang maknanya tidak dimengerti oleh mereka, mereka datang kepada Al-Hasan, yaitu Al-Bashri. Maka Al-Hasan menafsirkan makna hadis ini kepada mereka, ia berkata, ‘Pada suatu hari Anas menceritakan sebuah hadis dari Nabi Saw. bahwa beliau bersabda, ‘Janganlah kalian meminta penerangan dari api kaum musyrik dan janganlah kalian mengukir lafal Arab dalam khatimah (cap) kalian.’ Mereka tidak mengerti apa yang dimaksud oleh hadis tersebut. Lalu mereka datang kepada Al-Hasan dan bertanya kepadanya bahwa Anas telah menceritakan sebuah hadis kepada kami, bahwa Rasulullah saw. bersabda, ‘Janganlah kalian mengambil penerangan dari api kaum musyrik dan jangan pula kalian mengukir pada cap kalian lafal Arab.” Maka Al-Hasan mengatakan, yang dimaksud dengan sabda Nabi saw., ‘Janganlah kalian mengukir lafal Arab pada cap kalian,’ ialah lafal Muhammad saw. Dan yang dimaksud dengan sabda Nabi Saw., ‘Janganlah kalian mengambil penerangan dari api orang-orang musyrik,’ ialah janganlah kalian meminta saran dari orang-orang musyrik dalam urusan-urusan kalian.” Kemudian Al-Hasan mengatakan bahwa hal yang membenarkan pengertian ini berada di dalam Kitabullah, yaitu melalui firman-Nya: ‘Hai orang-orang yang beriman, janganlah kalian ambil menjadi teman kepercayaan kalian orang-orang yang di luar kalangan kalian’.” (Ali Imran: 118) HR. Abu Ya’la. [9]
Menurut Imam Ibnu Katsir: “Makna mengambil penerangan dari api kaum musyrik ialah ‘janganlah kalian (kaum muslim) bertempat tinggal dekat dengan mereka, yang membuat kalian berada bersama di negeri mereka; melainkan menjauhlah kalian dan berhijrahlah dari negeri mereka’. Karena itu, Imam Abu Dawud pernah meriwayatkan sebuah hadis yang mengatakan, ‘Janganlah api keduanya saling kelihatan.’ Di dalam hadis yang lain disebutkan:
مَنْ جَامَعَ الْمُشْرِكَ أَوْ سَكَنَ مَعَهُ فَهُوَ مِثْلُهُ
‘Barang siapa bergabung dengan orang musyrik atau bertempat tinggal bersamanya, maka dia semisal dengannya.’
Dengan demikian, berarti menafsirkan makna hadis seperti apa yang dikatakan oleh Al-Hasan rahimahullaah serta mengambil dalil ayat ini untuk memperkuatnya masih perlu dipertimbangkan kebenarannya.” [10]
Adapun praktik Umar diterangkan dalam riwayat berikut:
عَنْ أَبِي دُهْقَانَةَ، قَالَ: قِيلَ لِعُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ: أَنَّ هَاهُنَا غُلاماً مِنْ أَهْلِ الْحِيرَةِ حَافِظاً كَاتِباً فَلَوَ اتَّخَذْتَهُ كَاتِباً قَالَ: قَدِ اتَّخَذْتُ إِذًا بِطَانَةً مِنْ دُونِ الْمُؤْمِنِينَ
Dari Abu Duhqanah, ia berkata, “Ada yang berkata kepada Khalifah Umar bin Khatab: “Bahwa di sana terdapat seorang budak laki-laki Nasrani dari penduduk Hirah, ia seorang yang amanah dan pandai dalam tulis menulis. Sekiranya Anda berkenan menjadikannya sebagai sekretaris Anda.” Dengan tegas, Khalifah Umar menyatakan, “Jika demikian berarti aku telah menjadikan non mukmin sebagai orang kepercayaan.” HR. Ibnu Abi Hatim dan Ibnu Abu Syaibah, dengan sedikit perbedaan redaksi. [11]
Menurut Imam Fakhruddin Ar-Razi:
فَقَدْ جَعَلَ عُمَرُ رضي الله عنه هذِهِ الآيَةَ دَلِيْلاً عَلَى النَّهْيِ مِنِ اتِّخَاذِ بِطَانَةٍ
“Sungguh Umar menjadikan ayat ini sebagi dalil larangan menjadikan (kafir) sebagi orang dekat atau terpercaya.” [12]
Sehubungan dengan itu, Imam Ibnu Katsir menyatakan:
فَفِي هَذَا الْأَثَرِ مَعَ هَذِهِ الْآيَةِ دَلِيْلٌ عَلَى أَنَّ أَهْلَ الذِّمَّةِ لَا يَجُوْزُ اِسْتِعْمَالُهُمْ فِي الْكِتَابَةِ الَّتِي فِيهَا اِسْتِطَالَةٌ عَلَى الْمُسْلِمِيْنَ وَاطِّلَاعٌ عَلَى دَوَاخِلِ أُمُوْرِهِمْ الَّتِي يُخْشَى أَنْ يُفْشُوْهَا إِلَى الْأَعْدَاءِ مِنْ أَهْلِ الْحَرْبِ
“Maka di dalam atsar (Riwayat Umar) serta ayat ini terkandung dalil yang menunjukkan bahwa kafir zimmi (yang tunduk pada negara Islam) tidak boleh dipekerjakan untuk mengurus masalah kesekretarisan yang di dalamnya terkandung rahasia kehormatan kaum muslim dan semua urusan penting mereka. Karena dikhawatirkan dia akan menyampaikannya kepada musuh kaum muslim dari kalangan kafir harbi (yang tidak mau tunduk pada negara Islam). Karena itu, Allah Swt. berfirman:
{لَا يَأْلُونَكُمْ خَبَالا وَدُّوا مَا عَنِتُّمْ}
‘mereka tidak henti-hentinya (menimbulkan) kemudaratan bagi kalian. Mereka menyukai apa yang menyusahkan kalian’.” (Ali Imran: 118). [13]
Dalam konteks surat Al-Maidah:51, kita dapatkan keterangan praktis Khalifah Umar bin Khatab berikut ini:
عَنْ سِمَاكِ بْنِ حَرْبٍ قَالَ سَمِعْتُ عِيَاضَ الأَشْعَرِىَّ : أَنَّ أَبَا مُوسَى رَضِىَ اللَّهُ عَنْهُ وَفَدَ إِلَى عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ رَضِىَ اللَّهُ عَنْهُمَا وَمَعَهُ كَاتِبٌ نَصْرَانِىٌّ فَأَعْجَبَ عُمَرَ رَضِىَ اللَّهُ عَنْهُ مَا رَأَى مِنْ حِفْظِهِ فَقَالَ : قُلْ لِكَاتِبِكَ يَقْرَأُ لَنَا كِتَابًا. قَالَ : إِنَّهُ نَصْرَانِىٌّ لاَ يَدْخُلُ الْمَسْجِدَ. فَانْتَهَرَهُ عُمَرُ رَضِىَ اللَّهُ عَنْهُ وَهَمَّ بِهِ وَقَالَ : لاَ تُكْرِمُوهُمْ إِذْ أَهَانَهُمُ اللَّهُ وَلاَ تُدْنُوهُمْ إِذْ أَقْصَاهُمُ اللَّهُ وَلاَ تَأْتَمِنُوهُمْ إِذْ خَوَّنَهُمُ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ.
Dari Simak bin Harb, ia berkata, “Saya mendengar Iyadh Al-Asy’ari berkata, ‘Bahwa Abu Musa Ra. pernah menghadap Khalifah Umar bersama seorang sekretaris beragama Nashrani (membawa laporan secara tertulis). Setelah disampaikan kepada Khalifah Umar beliau merasa kagum atas catatan yang beliau lihat (pada lembaran-lembaran laporan tersebut). Maka beliau berkata kepada Abu Musa, “Katakan pada juru tulismu agar dia membacakan suatu catatan di hadapan kami.” Abu Musa berkata, “Dia seorang Nasrani tidak akan masuk ke masjid.” Mendengar hal tersebut, Khalifah Umar lantas menghardiknya seraya berkata, “Jangan muliakan mereka padahal Allah telah menghinakan mereka. Jangan dekatkan mereka kepada kalian padahal Allah telah menjauhkan mereka. Jangan percaya kepada mereka padahal Allah sudah menegaskan bahwa mereka suka khianat terhadap amanah.” HR. Al-Baihaqi. Dalam riwayat lain disebutkan bahwa Umar membacakan surat Al-Maidah:51. [14]
Motif Hukum dan Hikmah Larangan
Pada ayat ini, larangan menjadikan kafir sebagai teman dekat dan orang terpercaya untuk mengelola urusan umat Islam disertai keterangan ‘illat (motif hukum), yaitu firman Allah:
لَا يَأْلُونَكُمْ خَبَالا وَدُّوا مَا عَنِتُّمْ
“Mereka tidak henti-hentinya (menimbulkan) kemudaratan bagi kalian. Mereka menyukai apa yang menyusahkan kalian.” (QS. Ali Imran: 118)
Kalimat ini menjelaskan bahwa sebab dilarangnya menjalin kedekatan dengan mereka karena mereka selalu mencurahkan segala daya upaya untuk menyengsarakan orang Islam. Dengan kata lain, jika mereka tidak memerangi orang Islam secara terang-terangan maka mereka tidak pernah kenal lelah membuat tipu daya untuk orang Islam.
Kemudian Allah Swt. menegaskan sebab larangan itu dengan menjelaskan karakter mereka. Allah Swt. berfirman:
قَدْ بَدَتِ الْبَغْضاءُ مِنْ أَفْواهِهِمْ وَما تُخْفِي صُدُورُهُمْ أَكْبَرُ
“Telah nyata kebencian dari mulut mereka dan apa yang disembunyikan oleh hati mereka adalah lebih besar lagi.” (QS. Ali Imran: 118)
Yakni sesungguhnya terbaca pada roman wajah dan lisan mereka ungkapan permusuhan mereka terhadap kaum mukmin, selain dari apa yang tersimpan di dalam hati mereka, yaitu kebencian yang sangat kepada agama Islam dan para pemeluknya. Hal itu mudah dibaca oleh orang yang jeli lagi cerdik. Karena itu, dalam firman selanjutnya disebutkan:
قَدْ بَيَّنَّا لَكُمُ الآيَاتِ إِنْ كُنْتُمْ تَعْقِلُونَ
“Sungguh telah Kami terangkan kepada kalian ayat-ayat (Kami) jika kalian memahaminya.” (QS. Ali Imran: 118)
Jika orang Islam tidak jeli lagi cerdik, tampilan dan pencitraan mereka dapat menipu umat Islam. Sehubungan dengan propaganda mereka, Allah Swt. telah mengingatkan umat Islam, pada ayat selanjutnya, dengan firman-Nya:
هَا أَنْتُمْ أُولاءِ تُحِبُّونَهُمْ وَلا يُحِبُّونَكُمْ
“Begitulah kalian, kalian menyukai mereka, padahal mereka tidak menyukai kalian.” (QS. Ali Imran: 119)
Yakni kalian, hai orang-orang mukmin, menyukai orang-orang munafik karena apa yang mereka lahirkan kepada kalian berupa iman. Oleh sebab itu, kalian menyukai mereka, padahal baik batin maupun lahirnya mereka sama sekali tidak menyukai kalian.
Juga dengan firman-Nya:
إِنْ تَمْسَسْكُمْ حَسَنَةٌ تَسُؤْهُمْ وَإِنْ تُصِبْكُمْ سَيِّئَةٌ يَفْرَحُوا بِهَا
“Jika kalian memperoleh kebaikan, niscaya mereka bersedih hati; tetapi jika kalian mendapat bencana, mereka bergembira karenanya.” (QS. Ali Imran: 120)
Keadaan ini menunjukkan kerasnya permusuhan mereka terhadap kaum mukmin. Yaitu apabila kaum mukmin mendapat kemakmuran, kemenangan, dukungan, dan bertambah banyak bilangannya serta para penolongnya berjaya, maka hal tersebut membuat susah hati orang-orang munafik. Tetapi jika kaum muslim tertimpa paceklik atau dikalahkan oleh musuh-musuhnya, hal ini merupakan hikmah dari Allah, seperti yang terjadi dalam Perang Uhud, orang-orang munafik merasa gembira akan hal tersebut.
Sehubungan dengan itu, Rasulullah saw. telah mengingatkan pula agar umat Islam selektif dalam memilih orang terpercaya dengan sabda beliau:
مَا بَعَثَ اللهُ مِنْ نَبِي وَلا اسْتَخْلَفَ مِنْ خَلِيفَة إِلَّا كَانَتْ لَهُ بِطَانَتَانِ: بِطَانَةٌ تَأْمُرُهُ بِالْخيرِ وتَحُضُّهُ عَلَيْهِ، وَبِطَانَةٌ تَأْمُرُهُ بِالسُّوءِ وَتَحُضُّهُ عَلَيْهِ، وَالْمَعْصُومُ مَنْ عَصَم اللهُ
“Tidak sekali-kali Allah mengutus seorang nabi dan tidak pula mengangkat seorang khalifah, melainkan didampingi oleh dua teman terdekatnya. Seorang teman menganjurkannya untuk berbuat kebaikan dan memberinya semangat untuk melakukan kebaikan itu. Dan teman lainnya selalu memerintahkan kejahatan kepadanya dan menganjurkan kepadanya untuk melakukan kejahatan, sedangkan orang yang terpelihara ialah orang yang dipelihara oleh Allah.” HR. Al-Bukhari
Adapun hikmah yang dapat dipetik dari ayat ini dinyatakan oleh Imam Al-Qasyani berikut ini:
أن بطانة الرجل صفيه وخليصه الذي يبطنه ويطلع على أسراره ، ولا يمكن وجود مثل هذا الصديق إلا إذا اتحدا في المقصد واتفقا في الدين والصفة ، متحابين في الله لغرض . كما قيل في الأصدقاء : نفس واحدة في أبدان متفرقة . فإذا كان من غير أهل الإيمان ، فبأن يكون كاشحاً أحرى
“Sesungguhnya bithanah seseorang adalah kekasih dan orang pilihannya yang memahami dan mengetahui berbagai rahasia yang dia miliki. Sahabat semisal ini tidak mungkin terwujud kecuali setelah adanya kesamaan tujuan hidup, agama dan karakter dan bersahabat karena Allah, seperti dikatakan pada shahabat: “satu jiwa dalam raga yang berbeda.” Maka jika dua orang tersebut tidak seiman maka persahabatannya tentu akan segera berantakan.” [15]
Jadi, Allah Swt. telah memberikan petunjuk kepada kaum mukmin jalan keselamatan dari kejahatan orang-orang yang jahat dan tipu muslihat orang-orang yang zalim. Kini, tinggal kita bersikap selektif dalam memilih orang terpercaya dalam mengelola urusan yang berhubungan dengan kehormatan dan rahasia kita.
By Amin Muchtar, sigabah.com/beta
[1]Lihat, Tafsir Ibnu Katsir, III: 164
[2]Lihat, Umdah Al-Qari Syarh Shahih Al-Bukhari, 24:269
[3]Lihat, Mufradat Alfazh Al-Qur’an, I:98
[4]Lihat, Tafsir Al-Bahr al-Madid, I:491
[5]Lihat, Tafsir Ibnu Katsir, III: 164
[6]Lihat, Hasyiah As-Suyuthi ‘Ala Sunan an-Nasa’I, V: 490
[7]Lihat, Tafsir Al-Manar, IV:67
[8]Lihat, Tafsir Ibnu Katsir, III: 164
[9]Lihat, Tafsir Ibnu Katsir, III: 166.
[10]Ibid.
[11]HR. Ibnu Abi Hatim, Tafsir Ibnu Abi Hatim, III:147, dan Ibnu Abu Syaibah, Mushannaf Ibnu Abu Syaibah, V:259, No. 25.872,.
[12]Lihat, Tafsir Mafatih Al-Ghaib, VIII:339
[13]Lihat, Tafsir Ibnu Katsir, III: 166
[14]Lihat, As-Sunan Al-Kubra, X:127, No. 20.196
[15]Lihat, Tafsir Al-Qasimi, II:442