Portal berita merdeka.com, edisi Jumat 29 Januari 2016, pukul 07.15, merilis hasil wawancara Mohammad Yudha Prasetya dengan tokoh Syiah yang juga Ketua Dewan Syuro IJABI (Ikatan Jamaah Ahlul Bait Indonesia), Jalaluddin Rakhmat, yang biasa dipanggil dengan sebutan Kang Jalal. Dua hari setelah itu, tepatnya Ahad 31 Januari 2016, website resmi IJABI (http://www.majulah-ijabi.org/) mengulas kembali rilis itu dengan judul: Indonesia Lahir Karena Toleransi.
Bagi mereka yang akrab dengan persoalan Syiah dan bersikap kritis terhadap pemikiran Kang Jalal, penuturan beliau dalam wawancara itu dianggap simplistis sehingga tidak wajar. Pasalnya, banyak persoalan mendasar di antara Sunni dan Syiah yang jelas bertentangan disederhanakan sehingga dianggap persoalan yang tidak mendasar. Mereka pun tak akan lupa dengan retorika beliau yang kaya dengan distorsi dan siasat pengalihan isu.
Sementara bagi saya pribadi, yang telah kenyang dengan karya-karya Kang Jalal sejak kelas 3 Tsanawiyyah (setingkat SLTP), berusaha rajin menghadiri diskusinya dan tentu tak lupa menyelami kedalaman samudera ide, pemikiran, dan retorika pada beragam karya beliau. Karena itu, saya sangat akrab dengan cara beliau beretorika, humor-humornya yang segar—meskipun akhir-akhir ini beliau sering emosi hingga meninggalkan arena diskusi—kehebatannya menarik simpati, dan tentu saja kejeniusannya menggiring opini pendengar dan pembaca untuk menerima idenya, sehingga tidak sedikit orang yang “tersihir” dengan retorika beliau melupakan substansi argumen, dan saat bersamaan terkadang tidak sadar bahwa beliau agak “nakal”—untuk tidak menyebut curang—dalam menuturkan fakta dan mengutip suatu teks dari sebuah sumber rujukan. Rujukan Ahlus Sunnah paling banyak menjadi “korban nakalnya” Kang Jalal. Dengan cara begitu, ide dan pemikiran Kang Jalal selalu saja diliputi misteri, berada pada grey area (wilayah abu-abu): atas dasar keyakinan taqiyah[1] atau argumentasi ilmiah. Ala kulli haal (bagaimana pun itu) saya tetap mengucapkan terima kasih (1) kepada Kang Jalal saat beliau menyebut-nyebut nama saya: Amin Muchtar dalam wawancara itu, apalagi disandingkan dengan guru kami, KH.Atian Ali, MA dan KH.Fahmi Salim, MA. Jadi, wawancara Kang Jalal tetap saya anggap istimewa paling tidak bagi saya pribadi. 🙂
Terima Kasih (2)
Seperti telah kita maklumi bersama bahwa dalam berbagai tulisan tokoh Syiah nada pelecehan dan penghujatan terhadap sahabat utama Nabi kerapkali terjadi. Lucunya, Kang Jalal selalu meminta kaum Sunni mengedepankan akhlak dan mengangkat persatuan atas nama toleransi. Jadi, sebelum munculnya beragam pelecehan, pelaknatan dan bahkan pengkafiran para sahabat itu—untuk tidak menyebut: “sebelum Kang Jalal jadi Syiah”—kayaknya Indonesia sudah terlahir sebagai negara toleran dan aman-aman saja.
Berikut ini saya tampilkan sederet bukti pelecehan, pelaknatan dan bahkan pengkafiran para sahabat itu, antara lain;
- Syiah melaknat orang-orang yang menyakiti Fatimah as. (Emilia Renita AZ dalam “40 Masalah Syiah”, Editor Jalaluddin Rakhmat, Bandung: IJABI. Cet ke 2. 2009. hal. 90);
- Dan yang dilaknat Fatimah adalah Abu Bakar dan Umar (Jalaluddin Rakhmat dalam “Meraih Cinta Ilahi”, Depok: Pustaka IIMaN, 2008. hal. 404-405);
- Para sahabat suka membantah perintah Nabi Muhammad (Jalaluddin Rakhmat dalam “Sahabat Dalam Timbangan Al-Quran, Sunnah dan Ilmu Pengetahuan”, PPs UIN Alauddin 2009. hal. 7);
- “Para Sahabat Merobah-robah Agama” (Jalal dalam artikel di Buletin al Tanwir Yayasan Muthahhari Edisi Khusus No. 298. 10 Muharram 1431 H. hal. 3);
- Para Sahabat Murtad (Ibid. hal. 4);
- Muawiyah tidak hanya fasik bahkan kafir, tidak meyakini kenabian. (Jalaluddin Rakhmat dalam “Al Mushthafa (Manusia Pilihan yang Disucikan)”, Bandung: Simbiosa Rekatama Media, 2008, hal. 24)
- Ia bersama dengan Abu Sufyan dan Amr bin Ash telah dilaknat oleh Nabi saw. (Ibid, hal.73)
- Utsman tidak menikahi dua putri Nabi Saw, tapi dua wanita lain (Ibid, hal.164).
- Dia jelas membenci julukan Dzu-Nuraini (pemilik dua cahaya) karena Utsman bin Affan menikah dengan dua puteri Rasulullah SAW. Julukan itu kata Jalal, harus kita hapus (mansukh)! (Ibid, hal.165-166);
- Aisyah, Thalhah, Zubair dan sahabat-sahabat yang satu aliran dengan mereka memerangi Imam Ali as. Sebelumnya, mereka berkomplot untuk membunuh Utsman. (Emilia Renita dalam “40 Masalah Syi’ah”, Editor Jalaluddin Rakhmat, IJABI: 2009, hal.83). Secara halus penulis mengisyaratkan kekafiran mereka dengan ungkapan, “Dengan begitu, mereka menentang wasiat Nabi saw. pada khotbah terakhirnya, ‘Janganlah kalian kafir setelah aku tiada dan saling membunuh’…” Shahih al-Bukhari, 7:458 hadis 5688 (Ibid);
- Tragedi Karbala merupakan gabungan dari pengkhianatan sahabat dan kelaliman musuh (Bani umayyah) (Jalaluddin Rakhmat dalam “Meraih Cinta Ilahi”, Depok: Pustaka IIMaN, 2008 hal.493).
Atas temuan sebagian bukti di atas, saya haturkan terima kasih kedua kepada Kang Jalal yang telah “memberikan” sejumlah buku yang diedit atau ditulisnya sendiri, baik melalui akses ke perpustakaan Muthahari maupun di toko-toko buku.
Terima Kasih Akhir (Super Terima Kasih)
Kang Jalal ditanya kembali: “Apakah ada kelompok lain yang terang-terangan melakukan diskriminasi terhadap kelompok Syiah?”
Kang Jalal menjawab:
“Selain ANNAS itu ada lagi namanya MIUMI (Majelis Intelektual dan Ulama Muda Indonesia), di mana ada orang-orang macam Fahmi Salim yang secara terang-terangan juga mengkafirkan Syiah. Kemudian mereka coba mendompleng nama MUI, dan menerbitkan buku tentang kesesatan Syiah yang diklaim produksi MUI. Tetapi yang saya sayangkan, dari MUI sendiri juga tidak ada bantahan mengenai buku tersebut, karena sebagian jajaran MUI saat ini ternyata juga terdiri dari orang-orang yang berhubungan dengan ANNAS dan MIUMI tadi.”
Selanjutnya, Kang Jalal ditanya lagi: “Selain serangan, apa upaya-upaya yang dilakukan untuk mendiskreditkan kelompok Syiah?”
Kang Jalal menjawab:
“Yang paling terbaru ini adalah ANNAS mengirimkan surat kepada Pak Jokowi, yang diterima oleh pihak Sekretariat Negara (Setneg). Isinya adalah sebagai bentuk permohonan untuk menyingkirkan kelompok Syiah ini. Tetapi surat itu sebelum sampai ke Jokowi, oleh pihak Setneg saat ini sedang diupayakan untuk membuat sebuah Focus Grup Discussion (FGD), dengan mengundang saya dan dua orang dari pihak ANNAS. Saya sudah bersedia untuk hadir dalam undangan FGD itu, untuk dihadapkan bersama dua orang dari pihak ANNAS, yakni Athian Ali M. Da’i dan Amin Muchtar. Saya gembira menyambut dialog yang rencananya akan digelar pada 4 Februari mendatang tersebut. Karena, saya menduga bahwa pihak Setneg ingin menjembatani permasalahan ini, sebelum suratnya sampai ke presiden Jokowi. Mungkin menurut mereka, kalau bisa diselesaikan lewat jalan diskusi, untuk apa masalah ini sampai dibawa-bawa ke presiden. Tetapi ternyata setelah dihubungi oleh pihak Setneg, Athian Ali ini tidak bersedia hadir. Padahal mereka yang menggagas FGD dan surat kepada presiden Jokowi ini. Kebiasaannya dari dulu sejak awal-awal mereka mengkafirkan saya, saya ajak diskusi itu mereka selalu enggak mau dan itu sudah berulang kali.”
Petikan ini yang paling saya sukai dari penuturan Kang Jalal. Pasalnya, selain menyebut-nyebut nama Amin Muchtar, Kang Jalal juga tertipu—untuk tidak menyebut ceroboh—oleh “pembisiknya” sehingga menyampaikan informasi keliru dan tidak akurat—untuk tidak menyebut Kang Jalal telah melakukan kebohongan publik. Meski suka namun saya juga kecewa karena kang Jalal telah berbohong—untuk tidak menyebut Kang Jalal telah melakukan kecurangan—atas nama pihak Setneg dan guru kami, KH Atian Ali, tapi mengapa “tidak berbohong” atas nama saya. Karena Kang Jalal tidak berani “berbohong atas nama Amin Muchtar,” maka saya menyampaikan keberatan kepada pihak merdeka.com. Hak jawab atas keberatan itu, selengkapnya dapat dibaca di link berikut http://www.merdeka.com/khas/amin-muchtar-saya-tak-diundang-oleh-setneg-untuk-diskusi-syiah.html
[1] Salah seorang ulama kenamaan Syi’ah, Muhamad bin Muhamad bin an-Nu’man al-‘Akbari al-Baghdadi (w. 413 H), yang populer dengan sebutan Syekh al-Mufid, menjelaskan, “Taqiyyah adalah menyimpan kebenaran dan menyembunyikan keyakinan, serta merahasiakannya terhadap orang-orang yang tidak seakidah dan tidak minta bantuan mereka dalam hal-hal yang dapat mengakibatkan bahaya, baik dalam urusan agama maupun keduniaan.” (Lihat, Syarh Aqa’id as-Shaduq, hlm. 261).