Korelasi yang erat antara diskriminasi terhadap kelompok Syiah di Indonesia dengan konflik internasional antara Arab Saudi dan Iran merupakan pesan utama yang tampaknya ingin disampaikan tokoh Syiah yang juga Ketua Dewan Syuro IJABI (Ikatan Jamaah Ahlul Bait Indonesia), Jalaluddin Rakhmat, atau yang biasa dipanggil dengan sebutan Kang Jalal, melalui wawancara dengan Mohammad Yudha Prasetya dari merdeka.com.
Hasil wawancara itu dirilisi pada merdeka.com, edisi Jumat 29 Januari 2016, pukul 07.15. Selang dua hari setelah itu, tepatnya Ahad 31 Januari 2016, website resmi IJABI (http://www.majulah-ijabi.org/) mengulas kembali rilis itu dengan judul yang sama: Indonesia Lahir Karena Toleransi.
Petikan paling menarik, tentu saja menurut saya, dari penuturan Kang Jalal dalam wawancara itu, selain menyebut-nyebut nama Amin Muchtar—yang tanggapannya akan segera dirilis juga di merdeka.com—berkenaan dengan pandangannya terhadap diskriminasi kalangan Syiah justru didasarkan atas laporan Setara Institute.
Ketika Kang Jalal ditanya Mohammad Yudha dari merdeka.com: “Apa pandangan Anda terhadap diskriminasi kalangan Syiah yang marak akhir-akhir ini?”
Kang Jalal menjawab: “Saya ingin mengungkapkan masalah ini justru dari data yang dihimpun oleh SETARA Institut dari beberapa tahun lalu, mengenai tingkat intoleransi antar umat beragama hari ini. Dalam catatan mereka, mereka menyebut bahwa kelompok yang paling banyak diserang adalah kelompok Syiah.”
Saya haturkan terima kasih kepada Kang Jalal yang telah menjadikan Setara institute sebagai rujukan, karena dengan begitu menjadi kentara bahwa Kang Jalal tidak punya data dan mengetahui fakta Syiah di Indonesia yang sesungguhnya. Hal ini tak jauh berbeda saat Kang Jalal menyebut jumlah penganut Syiah di Indonesia sebanyak 2,5 juta jiwa.
Mari kita selisik jejak Setara—yang laporannya dikatakan “Rubbish” (bagaikan sampah) oleh Nawab seorang Dosen di Nanyang Technological University, Singapura dan kandidat doctor di Australian National University, Canberra itu—dalam kurun waktu empat tahun terakhir ini (2012-2015).
Dalam laporannya selama empat tahun terakhir itu, Setara Institute menyebutkan tindakan yang diklaim sebagai pelanggaran terhadap Syiah: 15 peristiwa (2012), 23 peristiwa (2013), 4 peristiwa (2014), 31 peristiwa (2015). Laporan itu dibuat konon berdasarkan survey opini dan juga merujuk berbagai laporan studi, penelitian, dan dokumen hukum.
Pengadaan survey opini untuk melihat cara pandang masyarakat terhadap sebuah persoalan tentu sah-sah saja dilakukan Setara. Begitu pula dengan Kang Jalal yang merujuk pada laporan Setara tentang diskriminasi kalangan Syiah. Namun, laporan itu juga tidak maksum dari keterbatasan dan kelemahan yang patut dikritisi.
Kelemahan mendasar di dalam laporan itu berupa penetapan kriteria Syiah, kategori pelanggaran dan bagaimana mengukurnya. Kelemahan ini menyebabkan tumpang-tindihnya satu dan lain kategori dan satu insiden dihitungnya sebagai pelanggaran beberapa kali. Selain itu juga mengandung kelemahan di dalam kejelasan, kelengkapan, dan akurasi data.
Apa kriteria Syiah menurut pemahaman Setara Institute? Dalam laporan tahunannya yang dirilis Desember, 2011, dengan judul: Radikalisme Agama di Jabodetabek & Jawa Barat: Implikasinya terhadap Jaminan Kebebasan Beragama/Berkeyakinan, Setara Institute, dengan berbekal opini Ramli Abdul Wahid dalam waspada.co.id, Jumat, 09 November 2007 07:42 dan sebuah artikel di http://www.anneahira.com/, menyatakan: “Tidak hanya itu, dalam satu agama pun terdapat berbagai aliran teologis. Dalam agama Islam terdapat dua aliran besar, yaitu Sunni dan Syiah. Kemunculan aliran Syiah tidak lepas dari wafatnya nabi mereka dan dihadapkan pada siapa yang menjadi pengganti untuk meneruskan kepemimpinannya pada abad ke-7.”
Padahal dalam opini Ramli itu hanya disebutkan: “Demikian pula dengan Syiah yang berarti “pembela”, meyakini imamah, terdiri atas banyak aliran seperti Syiah Zaidiyah dan Syiah Ismailiyah dengan sejumlah sekte lainnya.” (Lihat, Laporan Tahunan Setara Institute, Desember, 2011, hlm. 160) Dari situ dapat kentara kalau Setara tidak terlalu paham—untuk tidak menyebut Setara tidak peduli—dengan kriteria mazhab Syiah.
Fakta lain menunjukkan bahwa dalam survey yang dilakukannya tidak disebutkan apa yang dimaksud dengan madzhab Syiah dan siapa yang dikategorikan sebagai penganut Syiah? Sementara penganut Syiah di Indonesia pada umumnya tidak mengaku bahwa dirinya Syiah. Hal ini bisa menyebabkan terjadi kesenjangan antara opini subjek dengan opini peneliti tentang paham Syiah dan penganutnya. Begitu pula Syiah dalam pemahaman Setara dengan Syiah versi Kang Jalal bisa saja berbeda. Bukankah perbedaan esensial (hakiki) Sunni dan Syiah, menurut Kang Jalal, hanya terletak pada persoalan keyakinan wasiat imamah? “Syiah meyakini Rasulullah saw. telah mewasiatkan Imamah kepada Ali bin Abi Thalib Ra dan Sunni tidak percaya dengan wasiat,” demikian Kang Jalal menjawab dengan enteng.
Jadi, dengan apa Setara mengukur seseorang atau komunitas sebagai penganut faham Syiah? Tentu saja kriteria keyakinan-keyakinan semacam ini dianggap tidak penting oleh Setara Insitute, sebab kita telah mengetahui bahwa “Setara Institute adalah organisasi HAM bukan perkumpulan orang beriman yang menggunakan kerangka kerja berdasarkan keyakinan-keyakinannya. Kitab suci kami adalah HAM, Konstitusi dan Pancasila”, demikian dikatakan Ismail Hasani, peneliti senior Setara Institute.
Jika benar kerangka kerja Setara berdasarkan konstitusi dan Pancasila, seharusnya Setara belajar bagaimana mengamalkan konstitusi, tentang persoalan Syiah, kepada Pengadilan Negeri (PN) Sampang, Pengadilan Tinggi (PT) Surabaya dan Mahkamah Agung yang telah menetapkan putusan atas kasus “Tajul Muluk” Pengurus IJABI di Sampang Jawa Timur. Bukankah Setara mengklaim laporannya itu dibuat dengan merujuk kepada dokumen hukum?
Setara dan Kang Jalal tampaknya sedang berpura-pura tidak tahu bahwa PN Sampang telah menghukum tokoh Syi’ah ini setelah terjadi konflik penyerangan dan pembakaran hingga menewaskan tersebut (Putusan No 69/Pid.B/2012/PN.Spg hukuman 2 tahun). Delik Pasal 156 a KUHP dikenakan kepadanya. Hal penting yang menjadi pertimbangan hukum Majelis Hakim PN Sampang antara lain yang bersangkutan telah menyampaikan ajaran yang tidak sesuai dengan ajaran Islam pada umumnya, menyampaikan atau mengajarkan bahwa Al Qur’an yang ada tidak asli, menyampaikan atau mengajarkan rukun Iman 5 (tauhidullah, nubuwwah, al-Imamah, al-‘adl, al-ma’aad) dan rukun Islam 8 (shalat, puasa, zakat, khumus, haji, amar ma’ruf nahi munkar, jihad dan al-wilayah).
Putusan PN Sampang ini diperkuat oleh Pengadilan Tinggi (PT) Surabaya yang tertuang dalam surat bernomor 481/Pid/2012/PT.Sby. PT Surabaya itu memutuskan terdakwa Tajul Muluk alias Ali Murtadha terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana perbuatan yang bersifat penodaan agama. Tajul yang semula divonis 2 tahun oleh PN Sampang bertambah menjadi 4 tahun penjara karena putusan PT. Dalam keputusan itu pengadilan tinggi berpendapat terdakwa telah memenuhi unsur pasal 156a KUHP seperti yang menjadi dakwaan JPU, yaitu melakukan tindak pidana penodaan agama.
Terakhir, Mahkamah Agung (MA) menolak permohonan kasasi yang diajukan oleh Tajul Muluk alias Ali Murtadha. Keputusan itu tertuang dalam petikan putusan MA dengan Nomor 1787 K/ Pid/2012 yang dikirim oleh MA ke Pengadilan Negeri (PN) Sampang tertanggal 9 Januari 2013. Inilah pertama kalinya seorang missionaris Syi’ah dihukum karena melakukan penghinaan atau penodaan. Dengan adanya putusan hukum di tingkat Mahkamah Agung, maka hal ini dapat menjadi Jurisprudensi yang bagus bagi segenap aparatur pemerintah RI untuk bersikap tegas dalam melarang segala bentuk kegiatan agama Syiah.
Sebagaimana dinyatakan Direktur Eksekutif SNH Advocacy Center, Sylviani Abdul Hamid sehubungan dengan dikeluarkannya Surat Edaran Walikota Bogor Nomor 300/1321-Kesbangpol tertanggal 22 Oktober 2015 tentang Himbauan Pelarangan Perayaan Asyura (Hari Raya Kaum Syiah) di Bogor. Sylvi menilai, surat edaran yang dikeluarkan oleh Walikota Bogor sudah tepat dan benar sesuai dengan hukum yang ada di Indonesia.
Ia mengingatkan kepada para pejabat agar tidak lupa ingatan dan keluar dari konteks hukum dimana Mahkamah Agung telah memutuskan bahwa ajaran syiah menyimpang dari agama Islam sebagaimana tertuang dalam Putusan Mahkamah Agung itu. Sekiranya Setara dan Kang Jalal lupa, peringatan yang sama saya tujukan pula pada Setara dan Kang Jalal. 🙂
Saya meyakini Kang Jalal tahu betul bahwa laporan Setara Institute itu memiliki banyak kelemahan. Namun saya juga maklum jika Kang Jalal menerima begitu saja laporan itu tanpa kritik karena “menguntungkan” pihaknya. 🙂 Bagaimana respon merdeka.com terhadap hak jawab Amin Muchtar? Nantikan liputannya hanya di sigabah.com
By Amin Muchtar, sigabah.com/beta
Sudah jelas syiah bukan Islam tapi agama sempalan diluar Islam yang jelas2 ingin menghancurkan dan merusak Islam .
Allahu Akbar trus brjuang ust..
Bathil dan kebathilan tidak akan pernah menemukan pijakan, kecuali pijakan syaithan. syi’ah dilaknat atas hidupnya yang penuh kebohongan