Dari sudut pandang Syariah, tampaknya Nabi saw. tidak mendapat perintah untuk terlalu peduli dengan hari kelahiran dan kematian seseorang, hingga istri dan keluarganya (Ahlul Bait) sekalipun. Sikap demikian itu terlihat dengan tidak adanya keterangan dari beliau yang menunjukkan pengistimewaan hari-hari itu. Begitu pula dengan sikap para sahabat umumnya dan Ahlul Bait Nabi khususnya. Bahkan, jika merujuk kepada Fatimah, sosok yang dianggap suci oleh sekelompok orang yang mengklaim pecinta Ahlul Bait, kita tidak pernah mendapatkan keterangan bahwa ia memperingati hari kelahirannya. Jika demikian faktanya, siapa yang menganggap penting hari kelahiran Fatimah? Jawabnya mudah, kaum Syiah. Jadi, peringatan kelahiran Fatimah tidak memiliki pijakan yang kokoh dari kacamata Ahlul Bait itu sendiri. Atas dasar itu, tak berlebihan kiranya untuk dikatakan bahwa di balik perayaan kelahiran Fatimah itu tentu saja kaum syiah memiliki motif tersendiri.
Kapan Fatimah dilahirkan?
Ketika mendengar kata perayaan hari kelahiran Fatimah, pertama kali yang terlintas di benak yang “bekerja dengan baik dan normal” adalah kapan Fatimah lahir? Hari, tanggal, dan tahun berapa? Para ulama di kalangan Syiah dan Ahlus Sunnah berbeda pendapat dalam menetapkan hari, tanggal, dan tahun kelahirannya.
Mayoritas ulama dan sejarawan Syi’ah, antara lain al-Kulaini, Syekh Shaduq, al-Majlisi, ath-Thabarsi, menetapkan bahwa Fatimah lahir di Mekah pada 20 Jumadits Tsani tahun ke-5 setelah kenabian (ba’da bi’tsah). Pendapat ini tampaknya merujuk kepada riwayat Abu Ja’far Muhammad al-Baqir, diklaim Imam Syiah ke-5. (Lihat, al-Kafi, Juz 1, hlm. 457). Namun, sebagian ulama Syiah yang lain, di antaranya Syekh al-Mufid dan ath-Thusi, menetapkannya pada tahun ke-2. (Lihat, al-Mishbah, karya ath-Thusi, hlm. 554).
Sementara mayoritas ulama Ahlus Sunnah menetapkan 5 tahun sebelum kenabian. Ketika itu sedang terjadi perselisihan di kalangan suku Quraisy dalam menentukan siapa yang berhak meletakkan kembali Hajarul Aswad setelah Kabah direnovasi. Guna menengahi perselisihan ini, Muhammad yang saat itu sudah digelari al-amin (orang terpercaya) ditunjuk sebagai mediator. Beliau mampu menawarkan solusi dalam perselesihan yang hampir menimbulkan pertumpahan darah di antara kabilah-kabilah Mekkah saat itu. (Lihat, at-Thabaqat al-Kubra, Karya Ibnu Sa’ad, VIII:19; Talqih Fuhum Ahl al-Atsar fii ‘Uyun at-Tarikh wa as-Siyar, karya Ibnul Jauzi, hlm. 30; al-Ishabah fii Tamyiz ash-Shahabah, karya Ibnu Hajar al-Asqalani, IV: 39).
Meski upaya memperjelas hari kelahiran tokoh-tokoh besar sejarah memiliki nilai penting dari sudut pandang historis dan riset ilmiah, namun dalam menyikapi ketidakpastian kelahiran Fatimah, kaum Syiah sering kali berkilah dengan alasan klise: “Yang penting adalah mengetahui peran Sayyidah Fatimah dalam membentuk masa depan manusia dan sejarah.”
Dalam kitab-kitab klasik Syiah maupun kontemporer kita menemukan bejibun pernyataan, syair, puisi yang mencoba memuji keutamaan Fatimah, namun kesemuanya itu dipandang tidak mampu mewakili keutuhan pribadi Fatimah as. hingga dikatakan bahwa Nabi Muhammad Saw berkenaan dengan putri tercintanya pernah bersabda, “Jika semua kebaikan dikumpulkan dan diletakkan disebuah tempat, maka az Zahra masih jauh lebih baik dari semua kebaikan tersebut.” Dalam klaim Syiah, maksud Nabi Saw. tersebut hendak menunjukkan bahwa penjelasan dan gambaran apapun yang dikemukakan tidak bisa mewakili kemuliaan dan keagungan Fatimah.
Motif Primer Perayaan Lahir Fatimah
Setiap tahun setidaknya terdapat 14 wiladah (hari lahir) dan 13 syahadah (hari kematian) para tokoh yang diklaim sebagai imam Ahlul Bait, yang akan selalu diperingati kaum Syiah khususnya di tanah air. Kelahiran Fatimah salah satu di antaranya, dengan nama majelis wiladah Fatimah.
Karena Fatimah diposisikan begitu sangat istimewa oleh kaum Syiah, mereka mengganggap wajar jika kelahirannya diperingati, jalan hidupnya diteladani, dan kematiannya ditangisi. Bahkan, untuk menguatkan motivasi dan cara memperingati hari tersebut, ulama Syi’ah telah merekayasa sekitar 40 riwayat dengan memanipulasi nama Ahlul Bait, yang menerangkan keutamaan Fatimah az-Zahra.
Dalam peringatan wiladah itu selalu ada keharuan bercampur bahagia karena, dalam keyakinan kaum Syiah, Fatimah Az Zahra seolah terlahir kembali dan hadir secara ruhaniah di setiap relung hati para hadirin. Hal ini sesuai apa yang disampaikan para Imam bahwa setiap kali para pencinta Ahlulbait menyebut, merayakan wiladah putri Rasulullah, maka pasti datanglah Fatimah Az Zahra di tengah-tengah acara tersebut, mengusap kepala setiap mereka yang merindukannya.
Sedangkan untuk turut merayakan kelahirannya, tentu banyak cara dilakukan oleh kaum Syiah di tanah air, meskipun umumnya berupa ceramah ajaran Syiah tentang keutamaan Fatimah, pembacaan doa, kemudian dilanjutkan pembacaan ziarah untuk Fatimah, seperti diselenggarakan kaum Syiah Sampang, di tempat pengungsiannya Puspo Agro, Jemundo, Sidoarjo, Jawa Timur, pada Kamis 31 Maret 2016, atau kaum Syiah di Kalirejo, Bangil, kab. pasuruan Jawa Timur pada Jum’at 01 April 2016. Acara semula akan dilaksanakan di Gedung Diponegoro, Bangil tapi karena mendapatkan penolakan dari organisasi masyarakat yang mengatasnamakan Tim Peduli Umat Masjid Ar Riyad dan Aswaja Bangil. Sementara Syiah Ijabi memeriahkan majelis wiladah Fatimah itu dengan menghadirkan Tim Musik Relijius “HARFE TAZE” dari Iran, dengan mengambil tempat di Aula Muthahhari, Bandung, pada Sabtu, 2 April 2016, sekira pukul 09.30-13.30 wib.
Beragam bahasa digunakan kaum Syiah dalam menjelaskan tujuan dari peringatan ini. Misalnya, menurut Tajul Muluk, merupakan bukti kecintaan para pengungsi Muslim Syiah Sampang terhadap Rasulullah saw dan mencintai Rasulullah saw merupakan kewajiban bagi setiap Muslim. “Kami sebagai umat Islam merasa berkewajiban untuk memperingati hari kelahiran beliau sebagai tanda bukti keimanan kami terhadap Allah dan Rasul-Nya,” ucapnya. Cek di sini
Sementara Syiah ABI (Ahlul Bait Indonesia) menyebutkan, “agar umat Islam tetap ingat bahwa sosok manusia agung kesayangan Rasul itu adalah seorang penghulu wanita sepanjang zaman, yang maqam atau kedudukannya sangat tinggi di hadapan Allah Swt.” Atau dalam bahasa Husen Shahab, “Memperingati kelahiran Siti Fatimah adalah wujud cinta kepada Muhammad.”
Acara ritual dan seremonial Syiah di setiap tahun itu selalu mendapat protes dari kaum muslim di seluruh dunia, termasuk di Indonesia. Lucunya, protes mereka dibingkai oleh kaum Syiah dengan beragam label stigma, seperti “para pembenci keluarga Nabi”. “Pendemo intoleran yang membid’ahkan peringatan hari lahir Putri Rasulullah”. “Mengubur figur teladan yang satu ini”. “Tidak ada alasan untuk melarang mengadakan acara ini, kecuali orang tersebut tidak mengaku sebagai umat Nabi saw.” Bahkan media pro-Syiah voa-Islamnews.com (cloning voa-islam.com) membingkainya dengan nada provokatif: “Itulah fakta dari gerombolan anti keluarga Nabi yang ingin menjauhkan umat Islam dari sejarah dan kecintaan kepada keluarga nabi.” “Mereka membubarkan acara itu hanya karena mereka ingin hapus sejarah keluarga nabi di hati dan pikiran umat Islam.” Cek di sini
Padahal protes itu dilakukan justru karena kaum Syiah telah merusak nama baik Nabi saw. dan Ahlul Baitnya. Pasalnya, Jika memperingati kelahiran Fatimah itu didasarkan atas motif cinta kepada Nabi, mengapa Nabi sendiri tampaknya tidak peduli dengan hari kelahirannya? Jika motifnya karena memuliakan Fatimah, mengapa Fatimah tidak menganggap penting hari kelahirannya? Jika didasarkan atas motif cinta dan memuliakan Ahlul Bait Nabi, mengapa kaum Syiah tidak menunjukkan sikap yang sama terhadap kelahiran Zainab, Ummu Kultsum dan Ruqayyah. Bukankah mereka pun putri-putri Nabi yang juga dikasihi oleh beliau? Bukankah mereka juga bagian dari Ahlul Bait Nabi? Bukankah peringatan kelahiran Fatimah itu tidak memiliki pijakan yang kokoh dari kacamata Ahlul Bait itu sendiri?
Atas dasar itu, tak berlebihan kiranya untuk dikatakan bahwa protes dilakukan oleh kaum muslim karena kaum syiah memiliki motif lain di balik perayaan kelahiran Putri Rasulullah itu: “promosi ajaran Syiah dan eksistensi imamah Syiah, karena Fatimah ibu dari para Imam Syiah” Wallaahu A’lam.
By Amin Muchtar, sigabah.com/beta