Ittifaq (Kesepakatan) Ahlus Sunnah
6. Terhadap Ahli Bid’ah
6.1. Pengertian Bid’ah
Bid’ah menurut bahasa, diambil dari kata bida’ yaitu mengadakan sesuatu tanpa ada contoh sebelumnya. Makna ini terkandung dalam firman Allah:
بَدِيعُ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ وَإِذَا قَضَى أَمْرًا فَإِنَّمَا يَقُولُ لَهُ كُنْ فَيَكُونُ
“Allah pencipta langit dan bumi.” Q.s. Al-Baqarah : 117
Artinya, Allah yang mengadakannya tanpa ada contoh sebelumnya.
Juga firman Allah:
قُلْ مَا كُنْتُ بِدْعًا مِنْ الرُّسُلِ وَمَا أَدْرِي مَا يُفْعَلُ بِي وَلَا بِكُمْ إِنْ أَتَّبِعُ إِلَّا مَا يُوحَى إِلَيَّ وَمَا أنَا إِلَّا نَذِيرٌ مُبِينٌ
“Katakanlah : ‘Aku bukanlah rasul yang pertama di antara rasul-rasul.” Q.s. Al-Ahqaf :9
Maksudnya, Aku bukanlah orang yang pertama kali datang dengan risalah ini dari Allah Ta’ala kepada hamba-hambanya, bahkan telah banyak sebelumku dari para rasul yang telah mendahuluiku.
Makna ini juga terdapat dalam perkataan para imam, antara lain seperti Imam Syafi’i, “Bid’ah itu ada dua, bid’ah yang baik dan bid’ah yang tercela, jika sesuai sunah, maka itu yang baik, tapi kalau bertentangan dengannya, maka itulah yang tercela.” H.r. Abu Nuaim, Lihat, Hilyah Al-Awlia, IX:113
Ibnu Rajab berkata, “Adapun perkataan ulama salaf yang menganggap baik sebagian bid’ah adalah bid’ah dalam pengertian bahasa, bukan bid’ah dalam pengertian syariat. Di antaranya perkataan Umar tatkala memerintahkan kaum muslimin untuk melaksanakan salat tarawih pada bulan Ramadhan di satu tempat dengan dipimpin seorang imam, maka beliau berkata, “Inilah sebaik-baiknya bid’ah.” Lihat, Jaami’ Al-‘Ulum wa Al-Hikam, I:129
Selain itu bid’ah secara bahasa bermakna pula lelah dan bosan, dikatakan “Abda’at Al-ibilu” artinya unta bersimpuh di tengah jalan, karena kurus atau (terkena) penyakit atau lelah.
Di antara penggunaan kata bid’ah dalam makna ini adalah perkataan seorang laki-laki yang datang menemui Rasulullah,
إِنِّي أُبْدِعَ بِي فَاحْمِلْنِي فَقَالَ مَا عِنْدِي فَقَالَ رَجُلٌ يَا رَسُولَ اللَّهِ أَنَا أَدُلُّهُ عَلَى مَنْ يَحْمِلُهُ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ دَلَّ عَلَى خَيْرٍ فَلَهُ مِثْلُ أَجْرِ فَاعِلِهِ
“Sesungguhnya saya kelelahan, tolong berilah saya bekal.” Maka Rasulullah berkata, “Saya tidak punya.” Maka seorang laki-laki berkata, “Wahai Rasulullah, saya akan tunjukan dia kepada orang yang bisa membantunya.” Maka Rasulullah bersabda, “Barangsiapa menunjukkan kepada kebaikan, maka dia akan mendapat pahala seperti pahala orang yang mengerjakannya.” HR. Muslim, Shahih Muslim, III:1506, No. hadis 1893
Sedangkan secara istilah, para ulama telah memberikan beberapa definisi bidah. Berbagai definisi itu walaupun berbeda secara redaksional, namun memiliki makna yang sama, antara lain:
- Menurut Ibn Taimiyah:
أَنَّ الْبِدْعَةَ فِي الدِّيْنِ هِيَ مَا لَمْ يَشْرَعْهُ اللهُ وَرَسُوْلُهُ وَهُوَ مَا لَمْ يَأْمُرْ بِهِ أَمْرُ إِيْجَابٍ وَلاَ اسْتِحْبَابٍ فَأَمَّا مَا أُمِرَ بِهِ أَمْرُ إِيْجَابٍ أَوِ اسْتِحْبَابٍ وَعُلِمَ الأَمْرُ بِهِ بِالأَدِلَّةِ الشَّرْعِيَّةِ
“Bidah dalam agama adalah perkara wajib maupun sunah yang tidak di syariatkan oleh Allah dan Rasul-Nya. Adapun perkara yang diperintahkan-Nya, baik perkara wajib maupun sunah, maka diketahui dengan dalil-dalil syariat.” Lihat, Majmu’ Fatawa Ibnu Taimiyyah IV:107-108
- Menurut as-Syathibi:
أَلْبِدْعَةُ هِيَ عِبَارَةٌ عَنْ طَرِيْقَةٍ فِى الدِّيْنِ مُخْتَرَعَةٌ تُضَاهِى الشَّرْعِيَّةَ يُقْصَدُ بِالسُّلُوْكِ عَلَيْهَا الْمُبَالَغَةُ فِى التَّعَبُّدِ لِلَّهِ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى.
”Bid’ah itu adalah keterangan tentang satu cara dalam agama yang diada-adakan, yang menyerupai syariat, dengan mengikuti cara itu dimaksudkan agar lebih bersungguh-sungguh dalam beribadah kepada Allah swt.” Lihat, al-I’tisham bi al-Quran wa al-Sunah, I:27-28
Dari berbagai definisi di atas dapat disimpulkan bahwa bid’ah itu adalah
اْلأَمْرُ اْلمُحْدَثُ فِى الدِّيْنِ عَقِيْدَةً أَوْعِبَادَةً أَوْ صِفَةً لِلْعِبَادَةِ لَمْ يَكُنْ عَلَيْهَا رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ.
“urusan yang diada-adakan dalam agama, baik berupa aqidah, ibadah, maupun cara ibadah yang tidak terdapat pada zaman Rasulullah saw.”
Tidak semua perbuatan yang tidak dikerjakan Nabi pada zamannya menjadi sesuatu yang bid’ah, tapi hal itu dapat ditinjau melalui latar belakang apa yang menjadi pertimbangan pada waktu itu dan apa faktor penghambatnya. Imam Malik mengatakan:
اِنَّ مَا تَرَكَهُ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَأَصْحَابُهُ مَعَ وُجُوْدِ سَبَبِهِ وَدَاعِيَتِهِ اِيَّاهُ اِجْمَاعٌ عَلَى أَنَّهُ غَيْرُ مَشْرُوْعٍ وَلاَ جَائِزٍ فِى الدِّيْنِ
“Sesungguhnya apa yang ditinggalkan Nabi dan para sahabatnya, padahal ada sebab dan pendorongnya, maka meninggalkannya terhadap perbuatan itu adalah merupakan kesepakatan bahwa hal itu tidak disyariatkan dan tidak diperbolehkan dalam agama.”
Dengan demikian bid’ah itu adalah sesuatu yang tidak dikerjakan Rasulullah saw, padahal terdapat faktor pendorong untuk mengerjakannya serta tidak terdapat hambatan yang berarti untuk mengerjakannya.
Adapun mashlahah mursalah adalah sesuatu yang tidak dikerjakan Rasulullah saw, karena tidak ada faktor pendorong untuk mengerjakannya serta terdapat hambatan pada waktu itu untuk mengamalkannya, seperti mengkodifikasikan Alquran dalam sebuah Mushaf. Hal ini tidak dilakukan di zaman Nabi saw, tapi dibukukannya Alquran awalnya pada zaman Abu Bakar atas usul Umar, dan disempurnakan penyeragamannya pada zaman Khalifah Utsman bin Affan. Yang demikian bukanlah termasuk perbuatan bid’ah, melainkan untuk kemaslahatan umat. Nabi saw tidak melakukan pembukuan Alquran, karena terdapat hambatan, yaitu Alquran masih belum sempurna, wahyu masih terus berlangsung, dan tidak ada faktor pendorong, mengingat mayoritas para sahabat pada waktu itu hafal Alquran.
6.2. Macam-macam Bid’ah
Bid’ah dalam Islam, terbagi menjadi macam:
Pertama, bid’ah Qauliyah I’tiqadiyah, yaitu bid’ah perkataan yang keluar dari keyakinan, seperti ucapan-ucapan orang Jahmiyah, Mu’tazilah, syi’ah Rafidhah dan semua firqah-firqah (kelompok-kelompok) yang sesat.
Kedua, bid’ah fil ‘ibaadah, yaitu bid’ah dalam ibadah, seperti beribadah kepada Allah dengan cara yang tidak disyariatkan-Nya. Bid’ah dalam ibadah ini terwujud beberapa bentuk:
- Bid’ah yang berhubungan dengan pokok-pokok ibadah, yaitu mengadakan suatu ibadah yang tidak ada dasarnya dalam syariat, seperti mengerjakan salat yang tidak disyariatkan, shiyam yang tidak disyariatkan, atau mengadakan hari-hari besar yang tidak disyariatkan seperti peringatan maulid Nabi dan Isra-Mi’raj.
- menambah-nambah terhadap ibadah yang disyariatkan, baik kaifiyat seperti membaca dzikir-dzikir yang disyariatkan dengan cara berjama’ah dan suara yang keras, maupun jumlah, seperti menambah rakaat kelima pada salat zuhur atau salat Ashar.
- mengkhususkan waktu untuk suatu ibadah yang tidak dikhususkan oleh syariat. Seperti mengkhususkan hari dan malam nisfu Sya’ban (tanggal 15 bulan Sya’ban) untuk shaum dan qiyâsmullail.
6.3. Hukum Bid’ah
Segala bentuk bid’ah dalam agama hukumnya adalah haram berdasarkan hadis-hadis berikut ini:
عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهَا قَالَتْ : قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ أَحْدَثَ فِى أَمْرِنَا هَذَا مَا لَيْسَ مِنْهُ فَهُوَ رَدٌّ . متفق عليه وَفِى رِوَايَةٍ لِمُسْلِمٍ مَنْ عَمِلَ عَمَلاً لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ.
Dari ‘Aisyah ra, ia berkata, “Rasulullah saw. bersabda, ‘Siapa yang mengada-adakan pada syariat kami ini, sesuatu yang bukan bagian darinya, maka sesuatu itu tertolak. – Muttafaq Alaih – dan pada riwayat Imam Muslim dengan redaksi: “Siapa yang melakukan suatu perbuatan yang tidak kami syariatkan, maka hal itu ditolak.”
عَنْ أَنَسٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ : قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ غَشَّ أُمَّتِى فَعَلَيْهِ لَعْنَةُ اللهِ وَاْلمَلَئِكَةِ وَالنَّاسِ أَجْمَعِيْنَ قِيْلَ يَا رَسُوْلَ اللهِ وَمَا الْغَشُّ قَالَ : أَنْ يَبْتَدِعَ بِدْعَةً فَيَعْمَلُ بِهَا – رواه الدارقطني –
Dari Anas ra .Ia berkata : Bersabda Rasulullah saw., “Siapa yang menipu umatku, maka baginya laknat Allah, para Malaikat, dan manusia seluruhnya.” Ditanyakan, “Hai Rasulullah apa itu Al Ghasysyu (menipu) itu?” Beliau menjawab, “Mengadakan bid’ah dan mengamalkannya.” H.r. Al-Daraqutni
عَنِ الْعِرْبَاضِ بْنِ سَارِيَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ قاَلَ رَسُوْلَ اللهِ ص أُوْصِيْكُمْ بِتَقْوَى اللهِ وَالسَّمْعِ وَالطَّاعَةِ وَاِنْ كَانَ حَبَشِيًّا فَاِنَّهُ مَنْ يَعِشْ مِنْكُمْ بَعْدِى فَسَيَرَى اِخْتِلاَفًا كَثِيْرًا فَعَلَيْكُمْ بِسُنَّتِى وَسُنَّةِ الْخُلَفَاءِ الرَّاشِدِيْنَ الْمَهْدِيِّيْنَ فَتَمَسَّكُوْا بِهَا وَعَضُّوْا عَلَيْهَا بِالنَّوَاجِدِ وَاِيَّاكُمْ وَمُحْدَثَاتِ اْلأُمُوْرِ فَاِنَّ كُلَّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ وَكُلَّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ – رواه أحمد –
Dari Al-’irbadl bin Sariyah ra, ia berkata, “Rasulullah saw bersabda, ‘Aku wasiatkan kepada kamu untuk bertaqwa kepada Allah dan agar patuh dan taat (kepada pemimpin) sekalipun kepada orang Habsyi, karena sesungguhnya orang yang hidup di antara kalian setelah aku, akan melihat pertentangan yang banyak. Maka peganglah oleh kalian sunahku dan sunah Khulafa ar-Rasyidin yang mendapatkan petunjuk, berpeganglah kalian kepadanya dan genggamlah dengan gigi geraham, hendaklah kalian berhati-hati terhadap perkara yang diada-adakan, karena sesungguhnya setiap yang diada-adakan itu adalah bid’ah dan setiap bid’ah itu sesat.” H.r. Ahmad
6.4. Kriteria Ahli Bid’ah
Ahli Bid’ah adalah suatu ungkapan untuk semua hakikat tindakan seseorang yang membikin perkara bid’ah dalam agama, dengan merujuk pada hawa nafsunya untuk menetapkan suatu ajaran, dan menyatakan ajaran tersebut suatu yang sah, bahkan orang yang menolak ajaran tersebut dikatakannya sesat.
Kebid’ahan yang membuat seseorang menjadi dikatakan ahli bid’ah, bila kebid’ahan tersebut telah dikenal luas oleh para ulama ahlus sunah telah menyalahi Alquran dan Sunah, seperti kebid’ahan Khawarij, Rafidhah, Qadariyah dan Murji’ah” (Lihat, Majmu’ Fatawa Ibnu Taimiyyah, XXXV:414)
Berbeda dengan orang yang ikut-ikutan saja, ia tidak mengikuti hawa nafsu melainkan mengikuti ajakan tokohnya (ahli bid’ah), maka orang yang taklid dalam kebid’ahan ini tidak bisa disebut ahli bid’ah (hanya disebut sebagai pelaku bid’ah saja), kecuali dia ikut membuat ketetapan dan pandangan tentang baiknya perkara bid’ah tadi.” (Lihat, Al-I’tisham, I:162-164)
6.5. Kelompok Ahli Bid’ah
Para ulama membagi ahli bid’ah ke dalam dua kelompok: Pertama, ahli bid’ah yang menjadi kafir akibat bid’ahnya. Kedua, ahli bid’ah yang menjadi fasik karena bid’ahnya. Ahli bid’ah yang pertama terbagi pula ke dalam beberapa golongan, yaitu, (1) ahli bid’ah yang memperbolehkan dusta untuk menguatkan pendapatnya. (2) ahli bid’ah yang tak membolehkan dusta. (3) ahli bid’ah yang mempropagandakan sikap bid’ahnya, (4) ahli bid’ah yang tidak mempropagandakan sikap bid’ahnya.
6.6. Hukum Ahli Bid’ah
Berbagai keterangan di atas menunjukkan bahwa segala sesuatu (ajaran) yang diada-adakan dalam Islam adalah bid’ah, dan setiap bid’ah adalah haram dan tertolak. Tetapi pengharaman tersebut tergantung pada bentuk bid’ahnya, ada diantaranya yang menyebabkan kafir (kekufuran), seperti thawaf mengelilingi kuburan untuk mendekatkan diri kepada ahli kubur, mempersembahkan sembelihan dan nadzar-nadzar kepada kuburan-kuburan itu, berdo’a kepada ahli kubur dan minta pertolongan kepada mereka, dan seterusnya. Begitu juga bid’ah seperti bid’ahnya perkataan-perkataan orang-orang yang melampui batas dari golongan Jahmiyah dan Mu’tazilah. Ada juga bid’ah yang merupakan sarana menuju kesyirikan, seperti membangun bangunan di atas kubur, salat berdo’a di sisinya. Ada juga bid’ah yang merupakan fasiq secara aqidah sebagaimana halnya bid’ah Khawarij, Qadariyah dan Murji’ah dalam perkataan-perkataan mereka dan keyakinan Alquran dan Sunah. Dan ada juga bid’ah yang merupakan maksiat seperti bid’ahnya orang yang beribadah yang keluar dari batas-batas sunnah Rasulullah saw dan shiyam dengan berdiri di terik matahari.
Ini adalah kaidah besar yang mengistimewakan Ahli Sunnah terhadap semua golongan. Mereka membedakan antara suatu pendapat dengan pelakunya. Suatu pendapat adakalanya berupa kekufuran dan kefasikan, tetapi pelakunya tidak Kafir dan tidak pula Fasik. Sebagaimana suatu pendapat adakalanya berupa ketauhidan dan keimanan, akan tetapi pelakunya tidak beriman dan tidak pula bertauhid.
Suatu pendapat berupa kekufuran dapat dikategorikan sesuai dengan pelakunya bila terpenuhi beberapa syarat dan telah hilang penghalang-penghalangnya. Adapun syarat-syarat itu, antara lain:
- Hendaknya pendapatnya itu secara jelas menunjukkan kekufuran yang dilakukan berdasarkan pilihannya dan bukan karena terpaksa.
- Hendaknya dia terus berpegangan dengan pendapatnya yang kufur tersebut, dan ketika ditunjukkan kepadanya (al-haq) dia tetap memeganginya. Adapun jika dia tidak memegangi pendapatnya tersebut, bahkan dia menolak dan mengingkarinya, maka dia tidak kafir.
- Hendaknya telah ditegakkan hujjah kepadanya dan dia telah jelas terhadap perkara tersebut. Hal ini berdasar firman Allah ta’ala:
… وَمَا كُنَّا مُعَذِّبِينَ حَتَّى نَبْعَثَ رَسُولًا
“Dan kami tidak akan mengadzab sebelum kami mengutus seorang Rasul “. Q.s. Al-Isra:15
وَمَنْ يُشَاقِقْ الرَّسُولَ مِنْ بَعْدِ مَا تَبَيَّنَ لَهُ الْهُدَى …
“Dan barangsiapa yang menentang Rasul setelah jelas kebenaran baginya …..”. Q.s. An-Nisa:115
Adapun penghalang-penghalangnya, antara lain:
- Dia baru masuk Islam
- Dia hidup di Gurun yang jauh. Termasuk dalam kelompok ini adalah orang yang tidak mempunyai ulama selain ulama’ bid’ah yang dimintai fatwa oleh mereka dan fatwa itu diikuti mereka.
- Dia kehilangan akalnya karena gila atau karena yang lain.
- Belum sampai kepadanya nash-nash dari Alquran dan Sunah, atau telah sampai (nash-nash tersebut) tetapi belum jelas baginya – kalau itu dari Sunah -, atau dia belum tuntas dalam memahaminya.
- (Nash-nash tersebut) telah sampai kepadanya, dia telah jelas dalam memahaminya, akan tetapi disodorkan kepadanya sesuatu yang bertentangan dengan nash-nash tersebut , baik yang berasal dari akal pikiran maupun perasaan, yang mengharuskan penta’wilan, walaupun dia akan berbuat kesalahan. Termasuk (kelompok) ini adalah Mujtahid ‘Ahli Ijtihad’ yang salah dalam ijtihadnya. Karena Allah akan mengampuni kesalahannya dan memberinya pahala atas ijtihadnya itu apabila niatnya baik.
Dengan demikian, tidak boleh menghukumi orang atau kelompok orang tertentu dengan kekufuran kecuali setelah terpenuhi syarat-syarat dan telah hilang penghalang-penghalang di atas. Adapun yang dinukil dari Salaf tentang pemutlakan kufur dan laknat, maka hal itu tetap berada pada kemutlakan dan keumumannya. Tidak boleh ditetapkan kekufuran pada orang atau kelompok tertentu kecuali harus dengan dalil. Ibnu Taimiyah Berkata, “Sesungguhnya para Imam, seperti Imam Ahmad telah berhubungan langsung dengan Jahmiah, golongan yang mengajaknya kepada pendapat (yang mengatakan bahwa) Alquran adalah makhluk, dan kepada penafian Sifat-sifat Allah. Dan yang telah mengujinya beserta para ulama semasanya, mereka telah memfitnah orang-orang mukmin dan mukminah yang tidak sefaham dengan mereka, baik dengan pukulan, penjara, pembunuhan, pengusiran dari daerah, embargo ekonomi, menolak persaksian mereka, dan tidak membebaskan mereka dari cengkraman musuh. (Hal itu bisa terjadi) karena kebanyakan dari Ulil Amri-nya berasal dari mereka, baik para Wali, Hakim, maupun yang lainnya. Mereka mengkafirkan setiap orang yang tidak menganut faham Jahmiah dan yang tidak setuju dengan pendapat mereka dalam menafikan Sifat-sifat Allah dan pendapat (yang mengatakan) bahwa Alquran adalah makhluk. Mereka menghukumi (selain mereka) seperti halnya mereka menghukumi orang-orang Kafir. Kemudian (ternyata) Imam Ahmad mendo’akan Khalifah dan selainnya dari orang-orang yang memukul dan memenjarakannya. Dia memintakan ampun buat mereka dan menganggap selesai perbuatan yang telah mereka lakukan kepadanya, baik yang berupa kezaliman dan seruan kepada pendapat yang kufur. Kalau seandainya mereka telah murtad dari Islam, maka tidak boleh memintakan ampun buat mereka. Karena memintakan ampun buat orang-orang Kafir tidak diperbolehkan Alquran, Sunah dan Ijma’.”
Beberapa pendapat dan perbuatan yang bersumber dari Imam Ahmad itu dan juga dari para Imam lainnya secara jelas (menunjukkan) bahwa mereka tidak mengkafirkan orang tertentu dari Jahmiah yang mengatakan Alquran adalah makhluk, dan Allah tidak bisa dilihat di Akhirat. Dalam hal ini Ibnu Taimiyyah berkata:
وَأَمَّا السَّلَفُ وَالأَئِمَّةُ فَلَمْ يَتَنَازَعُوْا فِي عَدَمِ تَكْفِيْرِ الْمُرْجِئَةِ وَالشِّيْعَةِ الْمُفَضِّلَةِ وَنَحْوِ ذلِكَ وَلَمْ تَخْتَلِفْ نُصُوْصُ أَحْمَدَ فِي أَنَّهُ لاَ يُكَفِّرُ هؤُلاَءِ وَإِنْ كَانَ مِنْ أَصْحَابِهِ مَنْ حُكِيَ فِي تَكْفِيْرِ جَمِيْعِ أَهْلِ الْبِدَعِ مِنْ هؤُلاَءِ وَغَيْرِهِمْ خِلاَفًا عَنْهُ أَوْ فِي مَذْهَبِهِ حَتَّى أَطْلَقَ بَعْضُهُمْ تَخْلِيْدَ هؤُلاَءِ وَغَيْرَهُمْ وَهذَا غَلَطٌ عَلَى مَذْهَبِهِ وَعَلَى الشَّرِيْعَةِ
“Adapun salaf dan para imam bersepakat tidak menyatakan kafir murji’ah dan syi’ah mufadhilah (lebih mengutamakan Ali) dan lain-lain. Dan tidak ada perbedaan dalam pernyataan Imam Ahmad bahwa ia tidak mengkafirkan mereka, walaupun ada di antara muridnya yang berbeda dengan beliau atau madzhabnya dalam mengkafirkan semua ahli bid’ah, bahkan sebagian dari mereka menghukuminya kekal di neraka, dan ini jelas suatu kekeliruan yang tidak sesuai dengan madzhab beliau dan syariat.” (Lihat, Majmu’ al-Fatawa, III:351-352)
By Amin Muchtar, sigabah.com