Ruqyah dan Fenomena Kesurupan Jin (2)
Di antara akidah Ahlussunnah wal Jama’ah adalah mengimani eksistensi jin. Sebab, Allah Swt. telah menurunkan di dalam Al-Qur’an satu surah yang khusus membicarakan tentang makhluk-Nya yang satu ini. Selain itu, kata jin memang cukup banyak disebutkan di dalam Al-Quran sekitar 50 kali. Begitu pula hadis-hadis Rasulullah saw. yang sahih banyak menyebut tentang keberadaan mereka, bahkan tentang kesediaan mereka untuk menganut agama Islam. Dengan demikian, jin termasuk kepada salah satu dari ilmu dharuri (sesuatu yang keberadaannya diketahui secara pasti) yang mustahil untuk diingkari. Mengingkarinya berarti mengingkari dari salah satu dari perkara yang telah pasti kebenarannya di dalam Al-Qur’an dan Sunnah, sehingga menyebabkan pelakunya keluar dari agama Islam.
Ibn Taimiyyah mengatakan,
لَمْ يُخَالِفْ أَحَدٌ مِنْ طَوَائِفِ الْمُسْلِمِينَ فِي وُجُودِ الْجِنِّ وَلَا فِي أَنَّ اللَّهَ أَرْسَلَ مُحَمَّدًا صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إلَيْهِمْ وَجُمْهُورُ طَوَائِفِ الْكُفَّارِ عَلَى إثْبَاتِ الْجِنِّ أَمَّا أَهْلُ الْكِتَابِ مِنْ الْيَهُودِ وَالنَّصَارَى فَهُمْ مُقِرُّونَ بِهِمْ كَإِقْرَارِ الْمُسْلِمِينَ وَإِنْ وُجِدَ فِيهِمْ مَنْ يُنْكِرُ ذَلِكَ وَكَمَا يُوجَدُ فِي الْمُسْلِمِينَ مَنْ يُنْكِرُ ذَلِكَ كَمَا يُوجَدُ فِي طَوَائِفِ الْمُسْلِمِينَ الغالطون وَالْمُعْتَزِلَةِ مَنْ يُنْكِرُ ذَلِكَ وَإِنْ كَانَ جُمْهُورُ الطَّائِفَةِ وَأَئِمَّتُهَا مُقِرِّينَ بِذَلِكَ وَهَذَا لِأَنَّ وُجُودَ الْجِنِّ تَوَاتَرَتْ بِهِ أَخْبَارُ الْأَنْبِيَاءِ تَوَاتُرًا مَعْلُومًا بِالِاضْطِرَارِ
“Tidak ada satu pun yang mengingkari keberadaan jin dari kaum muslimin. Tidak ada yang mengingkari pula bahwa Muhammad saw. diutus pada kalangan jin. Dan mayoritas orang kafir pun menetapkan adanya jin. Adapun orang Yahudi dan Nashrani, mereka mengakui adanya jin sebagaimana kaum muslimin. Jika ada dari kalangan ahli kitab tersebut yang mengingkari keberadaan jin, maka sama halnya dengan sebagian kaum muslimin seperti Jahmiyah dan Mu’tazilah. Akan tetapi mayoritas kaum muslimin mengakui adanya jin. Pengakuan seperti ini dikarenakan keberadaan jin itu secara mutawatir dari berita yang datang dari para nabi. Bahkan keyakinan terhadap jin sudah ma’lum bidh dharurah (tidak mungkin seseorang tidak mengetahui perkara tersebut).” [1]
Pernyataan di atas menunjukkan bahwa pengetahuan manusia tentang dunia jin sebatas kabar yang termaktub dalam Al-Quran dan Sunnah, bukan hasil pengamatan dan pengalamannya. Sehubungan dengan itu maka dalam menetapkan kemungkinan dan tidaknya jin merasuk ke dalam diri manusia, kita perlu merujuk kepada ketetapan Al-Quran dan Sunnah.
Pendapat bahwa Jin dapat merasuki Manusia
Pendapat ini mengacu kepada beberapa dalil, yang paling utama adalah firman Allah sebagai berikut:
الَّذِينَ يَأْكُلُونَ الرِّبَا لاَ يَقُومُونَ إِلاَّ كَمَا يَقُومُ الَّذِي يَتَخَبَّطُهُ الشَّيْطَانُ مِنَ الْمَسِّ ذَلِكَ بِأَنَّهُمْ قَالُواْ إِنَّمَا الْبَيْعُ مِثْلُ الرِّبَا وَأَحَلَّ اللّهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبَا فَمَن جَاءهُ مَوْعِظَةٌ مِّن رَّبِّهِ فَانتَهَىَ فَلَهُ مَا سَلَفَ وَأَمْرُهُ إِلَى اللّهِ وَمَنْ عَادَ فَأُوْلَـئِكَ أَصْحَابُ النَّارِ هُمْ فِيهَا خَالِدُونَ
“Orang-orang yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan syaitan lantaran (tekanan) penyakit gila. Keadaan mereka yang demikian itu, adalah disebabkan mereka berkata (berpendapat), sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba, padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. Orang-orang yang telah sampai kepadanya larangan dari Tuhannya, lalu terus berhenti (dari mengambil riba), maka baginya apa yang telah diambilnya dahulu (sebelum datang larangan); dan urusannya (terserah) kepada Allah. Orang yang kembali (mengambil riba), maka orang itu adalah penghuni-penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya.” (QS. Al Baqarah: 275)
Dalam menafsirkan ayat ini, Imam At Thabari mengatakan; “Basyar bercerita kepada saya, ‘Yazid menceritakan dari Said yang menceritakan dari Qatadah, dia berkata, ‘Riba di masa jahiliyah adalah transaksi jual beli dengan menunda pembayaran sampai masa tertentu.’ Jika masa yang telah ditentukan tiba, tetapi pengutang belum mampu membayarnya, maka si pemberi utang akan menunda pembayaran namun dengan menambah nominal harganya. Maka, Allah Subhanahu Wa Ta’ala (SWT) Berfirman kepada orang-orang yang menyuburkan praktek riba yang telah kita terangkan ciri-cirinya di dunia, bahwa di hari kimat kelak mereka akan dibangkitkan dari kubur seperti berdirinya orang yang kesurupan setan. Maksudnya, mereka akan dirasuki setan di dunia ini dan dibuat seperti orang gila.” [2]
Al Hafizh Ibnu Katsir berkata, ketika menafsiri Al Baqarah: 275:
أي لا يقومون من قبورهم يوم القيامة إلا كما يقوم المصروع حال صرعه وتخبط الشيطان له ، وذلك أنه يقوم قياماً منكراً ، وقال ابن عباس : آكل الربا يبعث يوم القيامة مجنوناً يخنق
“Maksud ayat, pemakan riba tidak akan dibangkitkan dari kubur mereka pada hari kiamat kecuali seperti bangkitnya orang yang kesurupan dan kerasukan setan. Karena dia berdiri dengan cara tidak benar. Ibnu Abbas mengatakan, “Pemakan riba, dibangkitkan pada hari kiamat seperti orang gila yang tercekik.”[3]
al-Qurtubi menegaskan:
هذه الآية دليل على فساد إنكار من أنكر الصرع من جهة الجن ، وزعم أنه من فعل الطبائع وأن الشيطان لا يسلك في الإنسان ولا يكون منه مس
“Ayat ini dalil tidak benarnya pengingkaran orang terhadap fenomena kesurupan karena kerasukan jin. Mereka menganggap bahwa itu hanya murni penyakit badan. Sedangkan setan tidak bisa mengalir di dalam tubuh tubuh manusia dan tidak bisa merasuk ke dalam tubuhnya.” [4]
Imam Al Alusi berkata; “Sesungguhnya orang-orang yang memakan (mengambil) harta riba, tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kesurupan karena tekanan penyakit gila di dunia ini.”
Lafal “At Tatkhabbuttu” (kesurupan) adalah suatu bentuk tindakan yang puncaknya adalah memukul dengan tangan terus menerus ke segala arah. Maksud Firman Allah Swt.: “minalmassi” (lantaran gangguan) adalah kegilaan. Jika ada yang berkata “Mussarrajulu” (seseorang terganggu), menurut orang Arab berarti dia tertimpa penyakit gila karena kesurupan jin. Sedangkan makna aslinya adalah menyentuh dengan tangan. Disebut demikian, karena setan terkadang menyentuh manusia, sehingga kelenjar-kelenjarnya rusak dan akhirnya tertimpa kegilaan.” [5]
Abdullah bin Imam Ahmad pernah bertanya kepada ayahnya:
إنَّ قَوْمًا يَزْعُمُونَ أَنَّ الْجِنِّيَّ لَا يَدْخُلُ فِي بَدَنِ الْإِنْسِيِّ
“Sesungguhnya ada beberapa orang yang berpendapat, bahwa jin tidak bisa masuk ke badan manusia.”
Imam Ahmad menjawab:
يَا بُنَيَّ يَكْذِبُونَ هُوَ ذَا يَتَكَلَّمُ عَلَى لِسَانِهِ
“Wahai anakku, mereka dusta. Jin itulah yang berbicara dengan lisan orang yang dirasuki.”
Setelah membawakan keterangan ini, Ibnu Taimiyyah memberi komentar:
وَهَذَا الَّذِي قَالَهُ أَمْرٌ مَشْهُورٌ فَإِنَّهُ يَصْرَعُ الرَّجُلَ فَيَتَكَلَّمُ بِلِسَانٍ لَا يَعْرِف مَعْنَاهُ وَيُضْرَبُ عَلَى بَدَنِهِ ضَرْبًا عَظِيمًا لَوْ ضُرِبَ بِهِ جَمَلٌ لَأَثَّرَ بِهِ أَثَرًا عَظِيمًا. وَالْمَصْرُوعُ مَعَ هَذَا لَا يُحِسُّ بِالضَّرْبِ وَلَا بِالْكَلَامِ الَّذِي يَقُولُهُ
“Apa yang disampaikan Imam Ahmad adalah masalah yang terkenal di masyarakat. Orang yang kerasukan berbicara dengan bahasa yang tidak bisa dipahami maknanya. Terkadang dia dipukul sangat keras, andaikan dipukulkan ke onta, pasti akan menimbulkan sakit. Meskipun demikian, orang yang kesurupan tidak merasakan pukulan dan tidak menyadari ucapan yang dia sampaikan.”
Beliau juga menegaskan:
ومن شاهدها أفادته علماً ضرورياً بأن الناطق على لسان الإنس ، والمحرك لهذه الأجسام جنس آخر غير الإنسان
“Orang yang menyaksikan kejadian kesurupan, dia akan mendapatkan kesimpulan yang meyakinkan bahwa yang bicara dengan lidah manusia dan yang menggerakkan badannya adalah makhluk lain, selain manusia.” [6]
Ibnu Taimiyyah juga menegaskan bahwa ulama sepakat jin bisa merasuki tubuh manusia. Beliau berkata:
وليس في أئمة المسلمين من ينكر دخول الجن بدن المصروع وغيره، ومن أنكر ذلك وادعى أن الشرع يُكذب ذلك فقد كذب على الشرع، وليس في الأدلة الشرعية ما ينفي ذلك
“Tidak ada satupun ulama islamyang mengingkari jin bisa masuk ke badan orang yang kesurupan dan lainnya. Orang yang mengingkari hal ini dan mengklaim bahwa syariat mendustakan anggapan jin bisa masuk ke badan manusia, berarti dia telah berdusta atas nama syariah. Karena tidak ada satupun dalil syariat yang membantah hal itu.” [7]
Selanjutnya, Ibnu Taimiyyah juga menjelaskan sebab terjadinya kesurupan. Kata beliau:
إن صرع الجن للإنس قد يكون عن شهوة وهوى وعشق كما يتفق للإنس مع الإنس …
“Jin yang merasuki manusia bisa saja terjadi karena dorongan syahwat atau hawa nafsu atau karena jatuh cinta. Sebagaimana yang terjadi antara manusia dengan manusia…”
وقد يكون وهو الأكثر عن بغض ومجازاة مثل أن يؤذيهم بعض الإنس أو يظنوا أنهم يتعمدون أذاهم إما يبول على بعضهم وإما يصب ماءً حاراً وإما بقتل بعضهم ، وإن كان الإنس لا يعرف ذلك ، وفي الجن جهل وظلم فيعاقبونه بأكثر مما يستحقه ، وقد يكون عن عبث منهم وشر بمثل سفهاء الإنس
“Bisa juga terjadi karena kebencian atau kedzaliman (yang dilakukan manusia), misalnya ada orang yang mengganggu jin atau jin mengira ada seseorang yang sengaja mengganggu mereka, baik dengan mengencingi jin atau membuang air panas ke arah jin atau membunuh sebagian jin, meskipun si manusia sendiri tidak mengetahuinya. Namun jin juga bodoh dan dzalim, sehingga dia membalas kesalahan manusia dengan kedzaliman melebihi yang dia terima. Terkadang juga motivasinya hanya sebatas main-main atau mengganggu manusia, sebagaimana yang dilakukan orang jelek di kalangan manusia.” [8]
Berdasarkan keterangan-keterangan di atas, maka kelompok ini berkesimpulan bahwa fenomena kerasukan jin adalah kenyataan yang tidak mungkin dibantah. Di samping kejadian di lapangan, realita ini juga dibuktikan dengan dalil Alquran, hadis dan kesepakatan ulama. Ada banyak sebab, mengapa jin merasuk ke dalam tubuh manusia, bisa karena motivasi cinta dan bisa sebaliknya, karena kebencian.
By Amin Muchtar, sigabah.com
[1]Lihat, Majmu’ Al Fatawa, Juz 19, hlm. 10
[2]Lihat, Tafsir At Thabari, Juz 3, hlm. 101.
[3]Lihat, Tafsir Ibnu Katsir, Juz 1, hlm. 326.
[4]Lihat, Tafsir Al-Qurthubi, Juz 3, hlm. 355.
[5]Lihat, Alamul Jinni fi Dhau’il Qur’an was Sunnah, hlm. 236.
[6]Lihat, Majmu’ al-Fatawa, Juz 24, hlm. 277.
[7]Lihat, Majmu’ al-Fatawa, Juz 24, hlm. 277.
[8]Lihat, Majmu’ al-Fatawa, Juz 19, hlm. 39.