Syiah, Sahabat, dan Ahlussunnah (3)
Tanggapan
Dari poin “pengkafiran”, sebagaimana telah dijelaskan pada edisi sebelumnya, teologi Syiah sudah tidak sejalan dengan nilai-nilai luhur yang ditanamkan oleh Islam. Teologi Syiah yang mewajibkan pelaknatan dan pengkafiran adalah teologi kebencian yang dimotori ambisi politik dan nafsu untuk menghegomoni. Andai tidak dilakukan pada para sahabat sekalipun, pelaknatan dan pengkafiran merupakan hal yang semestinya tidak dilakukan pada sesama Muslim. Dalam hadis dijelaskan:
عَنْ النَّبِيِّ صَلَى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: لَايَنْبَغِي لِلْمُؤْمِنِ أَنْ يَكُونَ لَعَّانًا
Dari Nabi saw., beliau bersabda, “Tidak sepantasnya orang-orang mukmin menjadi tukang laknat.” HR. Tirmidzi.[1]
قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: لَيْسَ الْمَرْءُ الْمُؤْمِنُ بِالطَّعَّانِ وَلَا بِاللَّعَّانِ وَلَا بِالْفَاحِشِ وَلَا بِالبَذِيِّ
Rasulullah saw. bersabda, “Tidak selayaknya orang mukmin menjadi tukang caci, tukang laknat, melakukan perbuatan tercela dan berkata tidak sopan.”[2] HR. Ibnu Abi Syaibah dalam al-Mushannaf.
Kata Imam Ahmad:
حَدَّثَنَا مُؤَمَّلٌ حَدَّثَنَا سُفْيَانُ حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ دِينَارٍ سَمِعْتُ ابْنَ عُمَرَ يَقُولُ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ قَالَ لِأَخِيهِ يَا كَافِرُ فَقَدْ بَاءَ بِهَا أَحَدُهُمَا (رواه أحمد)
“Mu’ammal telah menceritakan kepada kami. Sufyan telah menceritakan kepada kami. Abdullah bin Dinar telah menceritakan kepada kami, saya mendengar Ibnu Umar bersabda, Rasulullah saw. bersabda, ‘Barangsiapa berkata kepada saudaranya, ‘Hai si kafir, maka salah satu dari keduanya telah menyandang status itu (kafir)’.” HR. Ahmad.[3]
Menanggapi dalil-dalil dari al-Qur’an, boleh jadi Syiah bermain dengan (distorsi) penafsiran, sehingga mungkin mereka mengatakan bahwa maksud dari ayat ini adalah demikian, sementara maksud ayat itu adalah seperti ini dan seterusnya. Akan tetapi, bukankah penafsiran al-Qur’an tidak boleh dilakukan atas dasar selera-seleraan atau kepentingan sekte dan politik? Penafsiran ayat-ayat al-Qur’an mesti berpegang pada kaidah-kaidah yang absah seperti ditetapkan oleh ulama, antara lain tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip dasar Islam dalam al-Qur’an dan hadis. Dan penafsiran ala Syiah sudah jelas sangat biasa, syiah centris dan sarat kepentingan.
Keabsahan dalil-dalil hadis di atas juga sulit terbantahkan. Tapi boleh jadi atas dasar fanatisme buta, Syiah mengabaikan argumen-argumen tersebut karena tidak bersumber dari ucapan pemuka mereka, atau buku-buku acuan mereka. Mengenai hadis al-‘asyrah al-mubassyarûn bi al-jannah, misalnya, Syiah biasanya mengutarakan hadis tandingan sebagai berikut:
عَنْ عَلِيٍّ رضي الله عنه: أَنَّ تِسْعَةً مِنَ الْعَشْرَةِ الْمُبَشَّرِيْنَ بِالْجَنَّةِ هُمْ فِي النَّارِ. وَقَالَ رضي الله عنه: وَاللهِ إِنَّهُمْ لَفِيْ تَابُوْتٍ فِيْ شِعْبٍ فِيْ جُبٍّ فِيْ أَسْفَلِ دَرْكٍ فِي جَهَنَّمَ. سَمِعْتُ ذَلِكَ مِنْ رسولِ اللهِ صلى الله عليه وسلم.
Dari Sayyidina Ali ra. bahwa sembilan dari sepuluh sahabat yang dijamin masuk surga, akan masuk neraka. Beliau juga berkata, “Demi Allah, sesungguhnya mereka (sembilan sahabat) berada di dalam peti, pada lorong sempit di dalam jurang bagian bawah neraka Jahannam. Aku mendengar hadis tersebut dari Rasulullah saw.”[4]
Selain berseberangan dengan al-Qur’an dan hadis-hadis shahîh sebagaimana dikemukakan di atas, kita juga tidak akan mendapati hadis ini kecuali dari riwayat dan kitab-kitab Syiah. Artinya, hadis tersebut memang dibuat untuk kalangan Syiah sendiri. Belum lagi semangat hadis itu juga tidak sejalan dengan ajaran yang diberikan oleh panutan mereka, baik Sayyidina Ali, al-Hasan dan al-Husain, Abu Ja’far dan yang lain.[5]
Tak ada satu data pun yang menjelaskan bahwa Sayyidina Ali Ra. sejalan dengan doktrin Syiah, dengan mengkafirkan para sahabat beliau. Jangankan kepada para sahabat yang sejalan dengan beliau, kepada kaum Khawarij sekalipun (kaum yang membunuh Sayyidina Ali Ra.), beliau tidak mengkafirkan. Bahkan, kendati Sayyidina Ali Ra. memerangi mereka, beliau tidak menghalalkan harta mereka juga tidak memperkenankan menahan mereka. Sebelum memerangi Khawarij, beliau berkata kepada mereka, “Kami tidak menghalangi kalian untuk memasuki masjid kami, juga tidak memblokir hak kalian dari harta fa’i kami.” Dan, ketika Ibnu Muljam membunuh beliau, perkataan yang muncul dari beliau adalah, “Jika aku masih hidup, maka akulah yang menjadi wali atas darahku.” Sayyidina Ali Ra. sekali-sekali tidak mengkafirkan orang yang membunuh beliau.[6]
Sayyidina Ali Ra. mengatakan:
إِنَّا لَمْ نُقَاتِلْهُمْ عَلَى التَّكْفِيرِ لَهُمْ، وَلَمْ نُقَاتِلْهُمْ عَلَى التَّكْفِيْرِ لَنَا، وَلَكِنَّا رَأَيْنَا أَنَّا عَلَى الْحَقِّ وَرَءوا أَنَّهُمْ عَلَى الْحَقِّ.
“Kami tidak memerangi mereka atas keyakinan mengkafirkan mereka, kami juga tidak memerangi mereka sebab mereka menganggap kami kafir. Akan tetapi kami berpendapat bahwa kami adalah pihak yang benar, sedangkan mereka juga berpendapat bahwa mereka berada di pihak yang benar.”[7]
Jadi, Sayyidina Ali Ra. melawan saudara seagama, baik dalam perang Jamal maupun Shiffin, bukan karena mereka telah keluar dari agama Islam (kafir), namun atas dasar ijtihâd dari beliau sendiri. Artinya, menurut ijtihâd Sayyidina Ali Ra, beliau berada di pihak yang benar, karena itu beliau bertindak memerangi. Sebaliknya, sahabat yang kontras dengan Sayyidina Ali Ra. juga bertindak atas dasar ijtihâd yang mereka lakukan. Bukan karena kedua belah pihak saling menuduh kafir.
Pelaknatan dan pengkafiran memang tidak akan pernah sejalan dengan nilai-nilai prinsipil yang luhur dalam Islam. Islam adalah agama dakwah yang selalu mengajak umat manusia untuk memeluknya, dengan mengikrarkan bahwa tiada Tuhan melainkan Allah, Nabi Muhammad adalah utusan Allah (membaca dua kalimat Syahadat). Tapi apa mau dikata, orang-orang Syiah justru hendak mengeluarkan mayoritas umat Islam dari agamanya, dan hanya menetapkan keislaman kelompok mereka yang minoritas.
Selain itu, sebagaimana yang telah kami kemukakan sebelumnya, hadis-hadis Syiah di atas tidak dapat dipertanggung-jawabkan, sebab dalam pandangan ulama al-Jarh wa at-Ta’dîl, Syiah merupakan kelompok yang paling banyak melakukan kebohongan-kebohongan (akdzab ath-thawâ’if) di bidang hadis.[8]
Satu bukti bahwa hadis-hadis Syiah dan pernyataan pemuka-pemuka mereka bertentangan dengan pemahaman dan praktik tokoh-tokoh dan penganut Syiah, adalah hadis yang tercantum dalam al-Kâfî, kitab hadis paling top di kalangan Syiah, sebagai berikut:
Al-Kulaini berkata:
مُحَمَّدُ بْنُ يَحْيَى عَنْ أَحْمَدَ بْنِ مُحَمَّدِ بْنِ عِيسَى عَنِ ابْنِ فَضَّالٍ عَنْ عَلِيِّ بْنِ عُقْبَةَ عَنْ أَيُّوبَ بْنِ رَاشِدٍ عَنْ أَبِي عَبْدِ الله عَلَيْهِ السَّلام قَالَ: مَا لَمْ يُوَافِقْ مِنَ الْحَدِيثِ الْقُرْآنَ فَهُوَ زُخْرُفٌ.
Muhammad bin Yahya, dari Ahmad bin Muhammad bin Isa, dari Ibnu Fadhal, dari Ali bin ‘Uqbah, dari Ayyub bin Rasyid, dari Abu Abdullah As. (Ja’far ash-Shadiq, diklaim oleh Syiah sebagai Imam ke-6), beliau berkata, “Hadis yang tidak cocok dengan al-Qur’an, berarti hanya dibuat-buat.”[9]
مُحَمَّدُ بْنُ إِسْمَاعِيلَ عَنِ الْفَضْلِ بْنِ شَاذَانَ عَنِ ابْنِ أَبِي عُمَيْرٍ عَنْ بَعْضِ أَصْحَابِهِ قَالَ: سَمِعْتُ أَبَا عَبْدِ الله عَلَيْهِ السَّلام يَقُولُ: مَنْ خَالَفَ كِتَابَ الله وَسُنَّةَ مُحَمَّدٍ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وسلم فَقَدْ كَفَرَ.
Muhammad bin Ismail, dari al-Fadhl bin Syadzan, dari Ibnu Abu Umair, dari sebagian temannya, ia berkata, “Saya mendengar Abu Abdullah As. Berkata, “Barangsiapa menyalahi Kitab Allah dan Sunnah Nabi Muhammad, berarti ia telah kafir.”[10]
Dari kedua hadis yang tercantum dalam kitab hadis induk Syiah ini, kita dapat membandingkan, pendapat siapakah yang bertentangan dengan al-Qur’an dan Sunnah Rasul? Adakah al-Qur’an dan hadis menghalalkan darah dan harta orang mukmin serta memurtadkan mayoritas sahabat kecuali tiga orang saja? Jika Syiah mengatakan bahwa hal tersebut sejalan dengan tuntunan al-Qur’an dan hadis, maka sebetulnya tidaklah demikian. Yang tepat adalah, bahwa hal tersebut sejalan dengan pemahaman dan penafsiran pribadi mereka terhadap al-Qur’an dan hadis, tapi bertentangan dengan tuntutan dan ajaran al-Qur’an dan hadis.
Maka, seperti dikatakan oleh Syah Abdul Aziz Ghulam Hakim ad-Dahlawi dalam Mukhtashar at-Tuhfah Itsnâ ‘Asyariyah, hadis-hadis Syiah tidak layak untuk digugat atau dinegasi. Sebab yang ditetapkan oleh para pemuka madzhab dan pembesar umat, hadis-hadis versi Syiah yang tercantum dalam kitab-kitab mereka adalah sepenuhnya dusta. Jadi, orang-orang Syiah sebelumnya perlu menetapkan kesahihan hadis-hadis yang bersumber dari kalangan mereka secara ilmiah, sebelum ulama selain Syiah menetapkan kesahihan hadis yang menentangnya.[11]
By Apad Ruslan, diadaptasi dari buku: Mungkinkah SUNNAH-SYIAH DALAM UKHUWAH? Jawaban Atas Buku Dr. Quraish Shihab (Sunnah-Syiah Bergandengan Tangan, Mungkinkah?)
[1] Sunan at-Turmudzî, juz 7 hlm. 310. Ini adalah hadis yang menafsiri terhadap hadis yang ditampilkan oleh at-Turmudzi sebelumnya (hadis no. 1941).
[2] Al-Mushannaf li Ibn Abî Syaibah, juz 7 hlm. 215.
[3] Hadis diriwayatkan oleh Imam Ahmad dalam Musnad-nya (juz 12 hlm. 181, no. 5644) dan Ma’rifat ash-Shahâbah li Abi Nu’aim Al-Ashbahânî, juz 17 hlm. 361 hadis no. 5499.
[4] Muhammad al-Bandari, at-Tasyayyu’: Baina Mafhûm al-A’immah wa al-Mafhûm al-Fârisî, hlm. 276, mengutip ath-Thabrisi dalam al-Ihtijaj, juz 1 hlm. 237.
[5] Lihat, Al-Imâmah fi Dhau’ al-Kitâb wa as-Sunnah, juz 1 hlm. 66 dan juz 2 hlm. 87.
[6] Lihat, Syaikh al-Islam ibn Taimiyah, al-Imâmah fi Dhau’ al-Kitâb, juz 1 hlm. 65 dan juz 2 hlm. 86; Minhâj as-Sunnah an-Nabawiyah, juz 7 hlm. 288 (diedit oleh Dr. Muhammad Rasyad Salim).
[7] Qarb al-Isnâd, hlm. 45. Bihâr al-Anwâr, juz 32 hlm. 324.
[8] Nashb ar-Râyah fi Takhrîj Ahadis al-Hidâyah, juz 2 hlm. 273.
[9] Al-Kâfî, juz 1 hlm. 69 no. 4 (Bab al-Akhdz bi as-Sunnah wa Syawâhid al-Kitâb).
[10] Al-Kâfî, juz 1 hlm. 70 no. 6 (Bab al-Akhdz bi as-Sunnah wa Syawâhid al-Kitâb).
[11] Mukhtashar at-Tuhfah Itsnâ ‘Asyariyah, hlm. 238, Ikhlash Wafki, Turki (1409 / 1988).