Preloader logo

MAHKOTA SUNNAH (01): SHAHIH AL-BUKHARI (Bagian Ke-22)

Editing Naskah Shahih Al-Bukhari

Penyebarluasan salinan autograf (naskah asli tulisan) Shahih al-Bukhari, khususnya versi al-Firabri, sebagaimana telah dijelaskan pada beberapa edisi sebelumnya, mengalami peningkatan dari satu generasi ke generasi berikutnya dan betapa salinan itu menjadi terkenal secara luas di berbagai tempat dan negara berbeda, yaitu Uzbekistan, Afganistan, Iran, Irak, Turkmenistan, Maroko, dan Spanyol. Namun, dalam perjalanannya yang disampaikan berbagai generasi itu terjadi varian teks, sehingga salinan autograf versi al-Firabri berkembang menjadi beberapa versi. Variasi ini tampak jelas saat kita mengamati litografi (naskah cetak) Shahih al-Bukhari yang beredar secara luas di kalangan kaum muslimin.

Persoalan ini telah menarik perhatian sejumlah ulama “angkatan baru” untuk melakukan tahqiq dan tautsiq[1] terhadap salinan itu. Meski belum diketahui secara pasti siapa perintisnya, namun fakta-fakta sejarah cukup menjadi bukti bahwa upaya ke arah itu sudah berlangsung pada abad XIII Masehi. Di antara ulama yang menaruh perhatian besar terhadap persoalan ini adalah al-Yunaini, al-Asqalani, al-‘Aini, al-Qashthalani, dan Ahmad Muhamad Syakir.

Sumber dan Metode Editing al-Yunaini

Al-Yunaini merupakan nisbah (dihubungkan) kepada salah satu kampung di daerah Ba’labakka, sebuah kota di Libanon.[2] Namanya Syarifudin Abu al-Husain Ali bin Muhamad bin Ahmad bin Abdullah al-Yunaini (lahir pada 621 H/1224 M dan wafat pada 701 H/1301 M). Oleh al-Suyuthi, ia dikelompokkan pada thabaqat XXI, satu generasi dengan Syekh Islam Ibn Taimiyyah (W. 728 H/1327 M)[3], dan termasuk salah seorang murid Ibn al-Shalah (W. 643 H/1245 M) serta al-Mundziri (W. 656 H/1258 M). Di samping itu ia berperan sebagai guru Imam al-Dzahabi (W. 748 H/1347 M).[4]

Al-Yunaini menaruh perhatian yang cukup serius terhadap autograf Shahih al-Bukhari. Hal ini tampak jelas pada masa atau waktu yang dipergunakannya dalam meneliti naskah itu, mengoreksi, dan melakukan studi komparatif terhadap berbagai naskah yang diriwayatkan oleh para hafizh, sehingga dalam satu tahun hal itu dilakukannya sebanyak sebelas kali.

Ia menyelenggarakan beberapa halaqah (pertemuan ilmiah) di Damaskus Siria, untuk menyampaikan Shahih al-Bukhari di hadapan para ulama setempat, di antaranya guru besar ilmu nahwu dan qiraat, Imam Ibn Malik.[5] Pada sekitar 71 majelis, disampaikannya kitab itu kepada mereka, sambil melakukan koreksi dan studi komparatif.

Dengan demikian, kapasitas al-Yunaini ketika itu sebagai guru sekaligus murid Ibn Malik. Dalam hal periwayatan dan penerimaan naskah, ia merupakan guru Imam Ibn Malik meskipun usia Ibn Malik ketika itu 20 tahun lebih tua daripadanya. Sedangkan dalam koreksi matn atau teks naskah, khususnya aspek kebahasaan, ia sebagai murid Ibn Malik. Naskah yang telah disalin dan dikoreksi oleh al-Yunaini ini kemudian terkenal dengan sebutan naskah yunainiyyah.

Adapun naskah yang dijadikan maraji’ (referensi) dalam studi komparatif itu adalah salinan autograf Shahih al-Bukhari versi “tangan keempat”, yaitu Abu Dzar, Abu Muhamad al-Ashili, Abu al-Qasim al-Dimasyqi, selain juz XIII dan XXX karena keduanya hilang, serta Abu al-Waqti, berdasarkan qiraah (bacaan) Abu Manshur al-Sam’ani di hadapan Sabbuwaih yang dilakukan di Damaskus pada 675 H/1276 M.

Untuk mempermudah identifikasi varian teks salinan autograf Shahih al-Bukhari ketiga orang itu, al-Yunaini membuat beberapa kode pada naskah yang disalinnya; untuk periwayatan Abu Dzar (ه); al-Ashili (ص); Ibn Asakir al-Dimasyqi (س); Abu al-Waqti (ظ). Sedangkan kode untuk ketiga guru Abu Dzar, yakni al-Hamawi (ح), al-Mustamli (ست), dan al-Kusymihani (هـ). Adapun untuk salinan autograf versi lainnya, al-Yunaini membuat kode (ع) (ط) (ق) (ج) (صع). Menurut al-Qashthalani, kemungkinan kode (ج) untuk al-Jurjani; (ع) untuk Ibn al-Sam’ani; (ق) untuk Abu al-Waqti. Jika terjadi kesamaan teks, antara al-Hamuwaih dan al-Kusymihani, ia membuat kode (حهـ); antara al-Mustamli dan al-Hamawi, ia membuat kode (حسـ). Dan jika terjadi kesamaan teks antara keempat orang (Abu Dzar, al-Ahsili, Ibn Asakir, dan Abu al-Waqti) dari mereka (al-Kusyimihani, al-Mustamli, dan al-Hamawi), ia membuat kode pada teks itu (ه ص س ظ). Dan jika suatu teks tidak terdapat pada naskah keempat orang itu, ia menambah kode (لا) setelah kode-kode di atas. Namun jika terjadi perbedaan teks di antara keempat orang itu, ia hanya mencantumkan salah satu dari kode “empat” di atas tanpa menulis kode (لا). [6]

Untuk memahami sepenuhnya teknik coding (pengkodean) dan metode tautsiq al-Yunaini, kami kemukakan sebuah contoh. Pada kitab bad al-wahy, hadis pertama, tertulis حَدَّثَنَا الْحُمَيْدِيُّ عَبْدُاللَّهِ بْنُ الزُّبَيْرِ. Di atas kata Abdullah, al-Yunaini menulis kode (لا ه ص س ظ), dan pada kata al-Zubair menulis kode (إلى). Dengan kode tersebut al-Yunaini berisyarat bahwa pada naskah Abu Dzar, al-Ashili, Ibn Asakir, dan Abu al-Waqthi tidak tertulis kalimat عَبْدُاللَّهِ بْنُ الزُّبَيْرِ, namun hanya tertulis kalimat حَدَّثَنَا الْحُمَيْدِيُّ. [7]

Dengan memperhatikan maraji’ (rujukan) yang dipergunakan al-Yunaini, al-Qashthalani menganggap bahwa naskah yunainiyyah merupakan naskah Shahih al-Bukhari yang atqan (paling meyakinkan) autentisitasnya. Oleh sebab itu, naskah ini dijadikan acuan oleh Imam al-Qasthalani (W. 923 H/1517 M), ketika menulis matn Shahih al-Bukhari pada kitab syarah-nya yang terkenal Irsyad al-Sari li Syarh Shahih al-Bukhari, juga oleh para ulama selanjutnya ketika menyalin naskah Shahih al-Bukhari. Selain itu, naskah ini juga dijadikan salah satu maraji’ dalam mengautentikasi penerbitan Shahih al-Bukhari oleh penerbit Dar ath-Thiba’ah al-‘Amirah, di Istanbul, Turki, cetakan tahun 1315 H, dan dicopy kembali oleh penerbit al-Maktabah al-Islamiy, juga di Istanbul, tahun 1979. Sikap yang sama dilakukan pula oleh penerbit Dar el-Fikr Beirut, Libanon, tahun 1994.[8]

 

By Amin Muchtar, sigabah.com/beta

 

Lampiran 1. Cover Shahih al-Bukhari Terbitan al-Maktabah al-Islamiy Istanbul

IMG_20150812_141809

Lampiran 2. Naskah Cetak Shahih al-Bukhari Terbitan al-Maktabah al-Islamiy Istanbul

IMG_20150812_141741

 

[1]Kata al-tautsiq secara bahasa berarti: a) mengokohkan; menguatkan, b) mengesahkan; meratifisir, c) mempercayai, d) mengatakan bahwa seseorang itu tsiqah. Kata al-tautsiq berasal dari dari kata al-tsiqah, yang berarti:

مَنْ يُعْتَمَدُ عَلَيْهِ وَيُؤْتَمَنُ

“Orang yang dapat dipercaya”

(Lihat, Lois Ma’luf, op.cit., hal. 886-887; al-Fairuzabadi, al-Qamus al-Muhith, Muassasah al-Risalah, Beirut, 1987, hal. 1197; Muhamad bin Abu Bakr bin ‘Abd al-Qadir al-Razi, Mukhtar al-Shihah, al-Mathba’ah al-Amiriyah, Kairo, 1919, hal. 708-709)

Penggunaan kata al-tsiqah telah menyebar di kalangan ahl al-jarh wa al-ta’dil (pakar kritikus hadis), baik dalam ucapan maupun tulisan mereka. Pada umumnya dipergunakan oleh mereka ketika menyifati seorang rawi yang memenuhi kriteria al-‘adalah dan al-dhabth .

Al-‘adalah merupakan sifat yang melekat pada jiwa, yang akan membawa (pemiliknya) kepada ketetapan taqwa dan muru’ah secara menyeluruh, hingga memperoleh kepercayaan karena kejujurannya, dan dalam hal ini diperhatikan pula tidak berbuat dosa-dosa besar serta sebagian dosa kecil. (Lihat, Dr. ‘Ajaj al-Khatib, op.cit., hal. 231-232. Bandingkan dengan Muhamad bin Ali bin Muhamad al-Syaukani, Irsyad al-Fuhul, Dar el-Fikr, hal. 51; Dr. Muhamad Mushthafa al-A’zhami, Manhaj al-Naqad ‘Inda al-Muhadditsin, Maktabah al-Kautsar, Mekah, 1990, hal.24)

Al-dhabth menurut istilah umum, mengandung pengertian “memperdengarkan perkataan sebagaimana yang didengar, lalu memahami makna yang dimaksud oleh perkataan itu, kemudian menghafalnya dengan sungguh-sungguh dan tetap mengingatnya sampai waktu menyampaikannya kepada orang lain”. (Lihat, Abd al-Rauf al-Manawi, al-Ta’arif, Dar el-Fikr, 1410, hal 469; Ali bin Muhamad al-Jarjani, Kitab al-Ta’rifat, al-Haramain, Jeddah, t.t., hal 137) Sedangkan menurut istilah ahli hadis, al-dhabth berarti “seorang rawi tidak pelupa; hafal bila menyampaikan dari hafalannya dan menguasai (redaksi) tulisan bila menyampaikan dari kitabnya. Dan jika ia menyampaikan secara makna, maka disyaratkan harus mengetahui sesuatu yang dapat mengubah makna. Wallahu a’lam. (Lihat, Muqaddimah Ibn al-Shalah, op.cit., hal. 84-85)

Pada awalnya, kata al-tautsiq tidak banyak dipergunakan untuk mensifati hadis sahih. Meskipun demikian, ada sebagian ulama yang mempergunakannya untuk keperluan itu, seperti Imam Muhamad bin al-Hasan al-Syaibani (W. 189 H/804 M). Ia berkata:

قَدْجَائَتْ فِي الْوِتْرِ أَحَادِيْثُ مُخْتَلِفَةٌ فَأَخَذْنَا بِأَوْثَقِهِ

“Sungguh telah diriwayatkan beberapa hadis yang berbeda tentang witir, maka kami berpegang kepada yang paling tsiqah (sahih)” (Lihat, al-Syaibani, al-Hujjah, ‘Alim al-Kutub, Beirut, 1403, I:182; Dr. Rifa’at Fauzi Abd al-Muthalib, Tautsiq al-Sunnah fi al-Qarn al-Tsani al-Hijri, Maktabah al-Khanji, Mesir, 1981, hal. 21)

Sedangkan menurut istilah, kata al-tautsiq mengandung dua macam pengertian:

Pertama, pengertian umum, yaitu

الإِحْكَامُ فِيْ الأَمْرِ

“Menetapkan atau mengesahkan kebenaran suatu urusan”

Kedua, pengertian khusus, yaitu

أَلْوُصُوْلُ بِالْحَدِيْثِ بِتَطْبِيْقِ الأَسَسِ الْعِلْمِيَّةِ الَّتِيْ وَضَعَهَا الْعُلَمَاءُ إِلَى دَرَجَةِ إِحْكَامِ اتِّصَالِهِ وَنِسْبَتِهِ إِلَى رَسُوْلِ اللهِ r وَتَوَفُّرُ الأَمَانَةِ فِي نَقْلِهِ مِنَ التَّحْرِيْفِ وَالتَّغْيِيْرِ أَو الزِّيَادَةِ فِيْهِ وَعَدَمُ ائْتِمَانِ مَا يُخَالِفُ هذِهِ الأَسَسَ

“Menyampaikan hadis, dengan mengaplikasikan prinsip-prinsip ilmiah yang telah ditetapkan para ulama, kepada tingkat pengesahan tentang kebenaran kebersambungan dan penisbahannya kepada Rasulullah saw. dan memelihara amanah dalam mengutipnya dari perubahan huruf, perubahan redaksional, dan penambahan kata/kalimat serta tidak mempercayai apa pun yang bertentangan dengan prinsip-prinsip itu” (Lihat, Dr. Rifa’at, op.cit., hal. 21)

Dari penjelasan di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa al-tautsiq dalam pengertian khusus adalah menetapkan atau mengesahkan kebenaran penisbahan suatu hadis kepada Rasulullah saw. Akan tetapi pada abad modern, khususnya di bidang penulisan sejarah, telah berkembang penggunaan kata itu bagi suatu metode yang diarahkan untuk mengemukakan berbagai jalur periwayatan dalam mendeskripsikan setiap cerita, mengukuhkan kredibilitas dan validitas sumber-sumber informasi (berita, riwayat), sehingga sampai kepada kenyataan sejarah yang sebenarnya serta peristiwa yang benar-benar terjadi.

[2]Lihat, Lois Ma’luf, op.cit. hal. 130.

[3]Lihat, Al-Suyuthi, op.cit. hal.520.

[4]Lihat, Al-Dzahabi, op.cit., juz IV, hal. 1500.

[5]Namanya Muhamad bin Malik al-Thai al-Andalusi. Karya ilmiahnya yang paling dikenal adalah al-alfiyah dalam bidang nahwu (tata bahasa Arab). Beliau wafat pada 672 H. (Lihat, Ibn al-‘Amad, op.cit., juz V, hal. 339).

[6]lihat, al-Qashthalani, op.cit., I:56-57; Hamisy Shahih al-Bukhari, Dar al-Syu’b, Kairo, 1970, juz I, hal. 8.

[7]lihat, Shahih al-Bukhari, op.cit. juz I, hal. 2

[8]lihat, Shahih al-Bukhari, Dar el-Fikr, 1994,

Your email address will not be published. Required fields are marked *

#main-content .dfd-content-wrap {margin: 0px;} #main-content .dfd-content-wrap > article {padding: 0px;}@media only screen and (min-width: 1101px) {#layout.dfd-portfolio-loop > .row.full-width > .blog-section.no-sidebars,#layout.dfd-gallery-loop > .row.full-width > .blog-section.no-sidebars {padding: 0 0px;}#layout.dfd-portfolio-loop > .row.full-width > .blog-section.no-sidebars > #main-content > .dfd-content-wrap:first-child,#layout.dfd-gallery-loop > .row.full-width > .blog-section.no-sidebars > #main-content > .dfd-content-wrap:first-child {border-top: 0px solid transparent; border-bottom: 0px solid transparent;}#layout.dfd-portfolio-loop > .row.full-width #right-sidebar,#layout.dfd-gallery-loop > .row.full-width #right-sidebar {padding-top: 0px;padding-bottom: 0px;}#layout.dfd-portfolio-loop > .row.full-width > .blog-section.no-sidebars .sort-panel,#layout.dfd-gallery-loop > .row.full-width > .blog-section.no-sidebars .sort-panel {margin-left: -0px;margin-right: -0px;}}#layout .dfd-content-wrap.layout-side-image,#layout > .row.full-width .dfd-content-wrap.layout-side-image {margin-left: 0;margin-right: 0;}