- Pujian Ulama dan Ujian hidup
Dengan kedudukan dan kekuatan hafalan Imam al-Bukhari, wajarlah jika semua guru, kawan, dan generasi sesudahnya memberikan pujian kepadanya. Imam Ahmad berkata:
مَاأَخْرَجَتْ خُرَاسَانُ مِثْلَ مُحَمَّدِ بْنِ إِسْمَاعِيْلَ
“Khurasan tidak pernah melahirkan orang sekaliber Muhamad bin Ismail al-Bukhari”[1]
Ya’qub al-Dauraqi (W. 252 H/866 M) berkata,
مُحَمَّدُبْنُ إِسْمَاعِيْلَ فَقِيْهُ هذِهِ الأُمَّةِ
“Muhamad bin Ismail ahli fiqh umat ini”[2]
Seseorang bertanya kepada Qutaibah bin Sa’id (W. 240 H/854 M) tentang Imam al-Bukhari, ketika itu ia menyatakan:
يَاهؤُلاَءِ نَظَرْتُ فِي الْحَدِيْثِ وَنَظَرْتُ فِي الرَّأْيِ وَجَالَسْتُ الْفُقَهَاءَ وَالزُّهَّادَ وَالْعُبَّادَ فَمَارَأَيْتُ مُنْذُ عَقَلْتُ مِثْلَ مُحَمَّدِبْنِ إِسْمَاعِيْلَ
“Wahai para penanya, saya sudah banyak mempelajari hadis dan pendapat, juga sudah sering duduk bersama dengan para ahli fiqh, ahli ibadah dan para ahli zuhud; namun saya belum pernah menjumpai orang begitu cerdas dan pandai seperti Muhammad bin Isma’il al-Bukhari.”[3]
Ibn Khuzaimah telah memberikan kesaksian tentang Imam al-Bukhari dengan mengatakan:
مَاتَحْتَ أَدِيْمِ السَّمَاءِ أَعْلَمُ بِالْحَدِيْثِ مِنْ مُحَمَّدِبْنِ إِسْمَاعِيْلَ
“Di bawah langit ini tidak ada orang yang mengetahui hadis melebihi Muhammad bin Isma’il.”[4]
Demikian pula semua temannya memberikan pujian. Abu Hatim al-Razi (W. 277 H/890 M) berkata:
لَمْ تُخْرِجْ خُرَاسَانُ قَطُّ أَحْفَظَ مِنْ مُحَمَّدِبْنِ إِسْمَاعِيْلَ وَلاَ قَدِمَ مِنْهَا إِلَى الْعِرَاقِ أَعْلَمُ مِنْهُ
“Khurasan belum pernah melahirkan seorang putra yang hafal hadis melebihi Muhammad bin Isma’il; juga belum pernah ada orang yang pergi dari kota tersebut menuju Irak yang melebihi kealimannya.” [5]
Al-Hakim[6] (W. 405 H/1014 M) menceritakan, dengan sanad lengkap bahwa Imam Muslim, datang kepada Imam al-Bukhari, lalu mencium keningnya dan berkata:
دَعْنِي أُقَبِّلُ رِجْلَيْكَ يَاأُسْتَاذَ الأُسْتَاذِيْنَ وَسَيِّدَ الْمُحَدِّثِيْنَ وَطَبِيْبَ الْحَدِيْثِ فِي عِلَلِهِ
“Biarkan saya mencium kaki tuan, wahai maha guru, pemimpin para ahli hadis dan dokter ‘ilat (ahli penyakit) hadis.”[7]
Mengenai sanjungan dari ulama generasi sesudahnya, cukup terwakili oleh perkataan al-hafizh Ibn Hajar yang menyatakan, “Andaikan pintu pujian dan sanjungan kepada al-Bukhari masih terbuka bagi generasi sesudahnya, tentu habislah semua kertas dan nafas. Ia bagaikan laut tak bertepi.”
Kemasyhuran Imam al-Bukhari telah mencapai bagian dunia Islam yang jauh, dan ke mana pun pergi selalu dielu-elukan dan mendapat sambutan yang luar biasa. Masyarakat merasa kagum akan daya hafalnya yang luar biasa. Pada tahun 250 H/864 M, Imam al-Bukhari mengunjungi Naisabur. Kedatangannya disambut gembira oleh para penduduk setempat, juga oleh gurunya, Imam al-Dzuhli[8] (W. 257 H/870 M), seorang ulama Naisabur yang terkemuka pada saat itu, serta para ulama lainnya. Muslim (W. 262 H/875 M) menceritakan, “Ketika Muhammad bin Ismail datang ke Naisabur, aku tidak pernah melihat (sebelumnya) seorang kepala daerah, para ulama dan penduduk Naisabur memberikan sambutan seperti apa yang mereka berikan kepadanya.” Mereka menyambut kedatangannya dari luar kota sejauh dua atau tiga marhalah (± 100 km).[9]
Sambutan yang luar biasa ini mungkin tidak akan terwujud bila tidak diprakarsai oleh al-Dzuhli sendiri, yang sehari sebelumnya berusaha mengumpulkan penduduk untuk diberikan pengarahan. Al-Dzuhli berkata, “Siapa yang hendak menyambut kedatangan Muhammad bin Ismail besok pagi, lakukanlah, sebab aku sendiri akan ikut menyambutnya.”[10]
Keesokan paginya al-Dzuhli, sebagian ulama, dan penduduk Naisabur menyongsong kedatangan Imam al-Bukhari. Ia pun lalu memasuki negeri itu dan menetap di daerah perkampungan orang-orang Bukhara. Selama menetap di negeri itu, ia mengajarkan hadis secara rutin. Sementara itu, al-Dzuhli pun berpesan kepada para penduduk agar menghadiri dan mengikuti pengajian yang diberikannya. Pesan ini disampaikannya, karena al-Dzuhli mengenal betul taraf keilmuan Imam al-Bukhari. Ia berkata, “Pergilah kalian kepada orang alim yang saleh itu, ikuti dan dengarkan pengajiannya.”[11]
Setelah menerima pesan al-Dzuhli, menurut Hasan bin Muhamad bin Jabir, para penduduk secara berbondong-bondong menghadiri majelis ta’lim al-Bukhari dan mengikuti pengajiannya, sehingga majelis al-Dzuhli tampak kelihatan sepi.
Tak lama kemudian terjadi fitnah terhadap Imam al-Bukhari atas perbuatan orang-orang yang iri dengki. Mereka menyebarkan isu bahwa Imam al-Bukhari berpendapat “Alquran adalah makhluk.” Hal inilah yang menimbulkan kebencian dan kemarahan gurunya, al-Dzuhli, kepadanya, sehingga ia berkata, “Barangsiapa berpendapat lafal-lafal Alquran adalah makhluk, maka ia adalah ahli bid’ah. Ia tidak boleh diajak bicara dan majelisnya tidak boleh didatangi. Dan barangsiapa masih mengunjungi majelisnya, curigailah dia.”[12] Setelah adanya ultimatum tersebut, orang-orang mulai menjauhinya, kecuali Muslim dan Ahmad bin Salamah yang tetap setia menemaninya. Setiap kali berkumpul dengan jama’ahnya, al-Dzuhli kerap kali berpesan, “Ingat, siapa saja yang berpendapat bahwa lafal Alquran itu makhluk, tidak boleh menghadiri majelis kami” Mendengar ucapan tersebut, secara spontan Muslim angkat kaki meninggalkan majelis itu disaksikan oleh para murid lainnya. Kemudian ia menyerahkan kepada al-Dzuhli beberapa catatan pelajaran yang pernah diterima darinya.[13]
Sebenarnya fitnah itu bermula dari seorang laki-laki yang mengajukan pertanyaan kepada al-Bukhari, ketika orang itu menghadiri majelisnya, “Bagaimana pendapat Anda tentang lafal-lafal Alquran, makhluk atau bukan?” Al-Bukhari berpaling dari orang itu dan tidak mau menjawabnya kendati pertanyaan itu diajukan sampai tiga kali. Tetapi orang tersebut terus mendesaknya, hingga ia berkata, “Alquran adalah kalam Allah, bukan makhluk, sedangkan perbuatan manusia adalah makhluk dan fitnah merupakan bid’ah.”[14]
Yang dimaksud dengan perbuatan manusia adalah bacaan dan ucapan mereka. Pendapat yang dikemukakan Imam al-Bukhari ini, yaitu dengan membedakan antara yang dibaca dengan bacaan, adalah pendapat yang menjadi pegangan para ulama ahli tahqiq dan ulama salaf. Namun dengki dan iri adalah buta dan tuli.[15]
Muhamad bin Nu’aim berkata, “Saya mendengar al-Bukhari berkata, ‘Iman adalah perkataan dan perbuatan, bisa bertambah dan bisa berkurang. Alquran adalah kalam Allah, bukan makhluk. Sahabat Rasulullah saw. yang paling utama adalah Abu Bakar, Umar, Usman, kemudian Ali. Dengan berpegang pada keyakinan inilah aku hidup, aku mati, dan dibangkitkan di akhirat kelak, insya Allah.”[16]
Al-Dzuhli benar-benar murka kepadanya, sehingga ia berkata, “Lelaki itu (al-Bukhari) tidak boleh tinggal bersamaku di negeri ini.”[17]
Dalam menyikapi persoalan ini, Imam al-Bukhari tidak banyak berkomentar. Beliau hanya mengatakan, “Barangsiapa menuduhku berpendapat bahwa lafal-lafal Alquran adalah makhluk, ia adalah pendusta.”[18] Dan bersikap defensif merupakan tindakan yang lebih selamat dalam menghadapi persolaan semacam itu daripada ofensif. Karena itu, Imam al-Bukhari pun memutuskan hengkang dari negeri tersebut, dengan harapan agar fitnah yang menimpanya itu dapat mereda.
Sehari sebelum keberangkatannya, Ahmad bin Salamah datang menemui al-Bukhari, kemudian bertanya, “Wahai Abu Abdullah, sungguh dia (al-Dzuhli) orang yang disegani di negeri Khurasan, khususnya kota ini, dan ia tetap bersikeras dalam masalah ini, sehingga tidak ada seorang pun di antara kami yang sanggup menjelaskan masalah itu kepadanya. Bagaimana pendapatmu?” Maka ia (al-Bukhari) memegang janggutnya, kemudian berkata, “Aku serahkan urusanku kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui terhadap hamba-Nya. Ya Allah, sesungguhnya Engkau Maha tahu bahwa aku tinggal di kota Naisabur itu tidak bermaksud takabbur dan mencari riasah (popularitas ilmiah), dan aku berniat pulang kembali ke kampung halamanku tiada lain untuk menghindari orang-orang yang tidak menghendaki kehadiran diriku. Dan sungguh orang itu (al-Dzuhli) telah berbuat hasud terhadap apa yang Allah berikan kepadaku. Hanya itu saja’.” Kemudian beliau berkata kepada Ahmad, “Wahai Ahmad, besok saya akan pergi, supaya kalian terhindar (selamat) dari ultimatumnya (al-Dzuhli) karena diriku”[19]
Walaupun telah mendapat perlakuan demikian rupa dari al-Dzuhli, Imam al-Bukhari tetap menghargai jasa al-Dzuhli yang telah mengajarkan berbagai hadis kepadanya. Karena itu, beliau tetap bersikap objektif dengan mencantumkan hadis-hadis riwayat al-Dzuhli pada Shahih-nya, meski tanpa menyebut namanya secara mantuq (eksplisit).[20]
- Pulang Ke Kampung Halaman
Setelah keluar dari Naisabur, Imam al-Bukhari pulang ke negerinya sendiri, Bukhara. Kedatangannya disambut meriah oleh seluruh penduduk. Untuk keperluan itu, mereka mengadakan upacara besar-besaran, mendirikan kemah-kemah sepanjang satu farsakh (± 8 km) dari luar kota sebagai manifestasi kegembiraan mereka. Selama beberapa tahun menetap di negerinya itu, ia mengadakan majelis pengajian dan pengajaran hadis.
Tetapi kemudian badai fitnah datang lagi. Kali ini badai itu datang dari penguasa Bukhara sendiri, Khalid bin Ahmad al-Dzuhli, walaupun sebabnya timbul dari sikap Imam al-Bukhari yang sangat memuliakan ilmu. Ketika itu, penguasa Bukhara, mengirimkan utusan kepada Imam al-Bukhari, supaya ia mengirimkan kepadanya dua buah karangannya, Al-Jami’ al-Sahih dan Al-Tarikh al-Kabir. Imam al-Bukhari keberatan memenuhi permintaan itu. Ia hanya berpesan kepada utusan itu agar disampaikan kepada Khalid, bahwa “Aku tidak akan merendahkan ilmu dengan membawanya ke istana. Jika beliau memerlukannya, temuilah aku di masjid atau di rumah. Dan jika hal ini tidak berkenan di hati beliau, beliau adalah penguasa, maka keluarkanlah larangan supaya aku tidak mengadakan majelis pengajian. Dengan begitu, aku mempunyai alasan di sisi Allah kelak pada hari kiamat, bahwa sebenarnya aku tidak menyembunyikan ilmu.” Mendapat jawaban seperti itu, sang penguasa naik pitam. Ia memerintahkan orang-orangnya agar melancarkan hasutan yang dapat memojokkan Imam al-Bukhari. Dengan demikian ia mempunyai alasan untuk mengusir Imam al-Bukhari. Tak lama kemudian Imam al-Bukhari pun diusir dari negerinya sendiri, Bukhara.
Imam al-Bukhari kemudian mendoakan kenistaan atas Khalid yang telah mengusirnya secara tidak sah. Belum sebulan berlalu, Khalifah Ibn Tahir memerintahkan agar Khalid bin Ahmad dijatuhi hukuman, dipermalukan di depan umum dengan menunggang himar betina. Maka hidup sang penguasa yang lalim kepada Imam al-Bukhari itu berakhir dengan kehinaan dan dipenjarakan.[21]
Suatu ketika penduduk Samarkand[22] mengirim surat kepada Imam al-Bukhari yang isinya meminta supaya menetap di negeri mereka. Maka ia pergi untuk memenuhi permohonan mereka. Ketika perjalanannya sampai di Khartank[23], dan di tempat itu terdapat beberapa familinya, ia pun singgah terlebih dahulu untuk mengunjungi mereka. Tetapi di desa itu Imam alBukhari jatuh sakit hingga meninggal dunia.
Beliau wafat pada malam Idul Fitri tahun 256 H/31 Agustus 870 M, dalam usia 62 tahun kurang 13 hari. Sebelum meninggal dunia, ia berpesan bahwa jika meninggal nanti jenazahnya agar dikafani tiga helai kain, tanpa baju dalam dan tidak memakai sorban. Pesan itu dilaksanakan dengan baik oleh masyarakat setempat. Jenazahnya dikebumikan lepas zuhur, hari raya Idul Fitri, sesudah ia melewati perjalanan hidup panjang yang penuh dengan berbagai amal yang mulia. Semoga Allah melimpahkan rahmat dan ridha-Nya.[24]
Sebagai apresiasi terhadap jasa-jasa Imam al-Bukhari, pada 1991 pemerintah Uzbekistan membangun The Imam al-Bukhari Complex (kompleks Imam al-Bukhari) di Samarkand. Kompleks tersebut meliputi makam, perpustakan, dan masjid Imam al-Bukhari.
Di samping itu, pemerintah Uzbekistan membangun pula Museum Imam al-Bukhari di tanah kelahirannya, kota Bukhara. Museum itu berada di dalam gedung modern hasil rancangan Zoirsho Kilichev, kepala arsitek kotaBukhara. Gedung ini berdiri pada 2001.[25]
- Karya-karya Ilmiah Imam al-Bukhari
Ekspedisi yang dilakukan oleh Imam al-Bukhari memberikan perubahan yang cukup signifikan terhadap keluasan ilmunya. Karena itu, beliau tidak hanya dikenal sebagai pakar di bidang hadis, tetapi meliputi ilmu-ilmu lainnya, seperti tafsir, fikih, tarikh dan biografi rawi, ilmu al-Jarh dan al-ta’dil, ilmu ‘ilal al-hadits (kecatatan yang tersembunyi pada hadis), dan ilmu bahasa Arab.
Keluasan ilmu Imam al-Bukhari itu tercermin dari sejumlah karya tulis yang telah disusunnya, kurang lebih sebanyak 22 judul:
- Qadhaya al-Shahabah wal al-Tabi’in
- al-Adab al-Mufrad
- al-Fawaid
- al-Hibah
- al-Jami’ al-Kabir
- al-Jami’ al-Shahih (Shahih al-Bukhari)
- al-Kuna
- al-Mabsuth
- al-Musnad Al-Kabir
- al-Qiraah Khalf al-Imam
- al-Tafsir al-Kabir
- al-Tarikh al-Ausath
- al-Tarikh al-Kabir
- al-Tarikh al-Shagir
- al-Wuhdan
- Asami al-Shahabah
- Birr al-Walidain
- Khalq Af’al al-‘Ibad
- Kitab al-‘Ilal
- Kitab al-Asyribah
- Kitab al-Dhu’afa
- Raf’ al-Yadain.[26]
Dari sekian banyak karya ilmiah Imam al-Bukhari, al-Jami’ al-Shahih yang paling terkenal dan beredar luas sepanjang zaman. Mengapa Shahih al-Bukhari dapat bertahan sekian abad? Daya pikat apa yang dimilikinya sehingga mampu “menyihir” para ulama dan cendekiawan nonmuslim dari berbagai generasi, untuk bertekun-tekun menyimaknya ?
By Amin Muchtar, sigabah.com
[1]Lihat, Al-Khatib, op.cit. XXII:387
[2]Lihat, Al-Asqalani, Taghliq al-Ta’liq, op.cit. V:404
[3]Lihat, Al-Asqalani, op.cit. V:405
[4]Lihat, Al-Dzahabi, op.cit. XXII:431
[5]Lihat, Al-Asqalani, op.cit. V:404
[6]Namanya Muhamad bin Abdullah bin Muhamad bin Hamdawaih. Ahli hadis dari Naisabur (kota terindah di Khurasan, Iran). Karyanya yang terkenal adalah al-Mustadrak ‘ala al-Shahihain. (Lihat, Al-Dzahabi, op.cit. juz III, hal. 1039-1045)
[7]Lihat, Al-Dzahabi, op.cit. XXII:432
[8]Nama lengkapnya Muhamad bin Yahya bin Abdullah bin Khalid bin Faris bin Dzuaib al-Dzuhli. Ia biasa dipanggil dengan Abu Abdullah al-Naisaburi. Biografi selengkapnya dapat dibaca pada Tahdzib al-Kamal, op.cit, XXIV:617-631
[9]Lihat, Al-Asqalani, op.cit. 515
[10]Lihat, Al-Asqalani, loc.cit
[11]Lihat, Al-Asqalani, loc.cit.
[12]Lihat, Al-Asqalani, loc.cit.
[13]Lihat, Al-Asqalani, loc.cit.
[14]Lihat, Al-Asqalani, op.cit. hal. 216
[15]Lihat, Dr. Abu Syahbah, op cit., hal. 47
[16]Lihat, Al-Asqalani, loc.cit.
[17]Lihat, Al-Asqalani, loc.cit
[18]Lihat, Al-Asqalani, loc.cit.
[19]Lihat, Al-Asqalani, op.cit., 515-516.
[20]Terkadang menyebut نَامُحَمَّدٌ; atau menghubungkan nama itu dengan nama kakeknya, seperti حَدَّثَنَامُحَمَّدُبْنُعَبْدِاللهِ. Bahkan terkadang menghubungkan nama itu dengan nama buyutnya, seperti حَدَّثَنَامُحَمَّدُبْنُخَالِدٍ. Beliau tidak pernah menyebut حَدَّثَنَامُحَمَّدُبْنُيَحْيَىالذُّهْلِي. Lihat salah satu riwayatnya pada kitab al-tafsir, surah al-Kahfi, bab “ulaika al-ladzina kafaru bi ayati rabbihim”, (Lihat, Shahih al-Bukhari, Dar Ibn Katsir al-Yamamah, Beirut, 1987, juz IV, hal. 1759, hadis No. 4452)
[21]Lihat, Al-Asqalani, op.cit., hal. 517-518.
[22]Samarkand merupakan salah satu kota tertua di dunia. Kota ini terletak di Republik Uzbekistan. Kata kand berasal dari bahasa Persia yang berarti kota. Sedangkan kata samar sampai saat ini belum ditemukan terjemahan maknanya yang memuaskan. Dahulu, Samarkand merupakan ibukota Transoksania selama lima abad sejak masa dinasti Saman sampai masa dinasti Timur. Di samping itu, Samarkand dan Bukhara merupakan dua kota terpenting di Transoksania. Sepanjang sejarahnya, kota Samarkand pernah mengalami tiga kali masa kehancuran. Yang pertama terjadi pada tahun 329 SM oleh Alexander, ketika kota itu masih bernama Markanda. Kehancuran kedua terjadi pada masa Jengis Khan tahun 617 H/220 M. Dan yang terakhir terjadi pada masa Uzbek, pertengahan abad ke-9 Hijriah (abad ke-15 Masehi). Ketika itu, suku-suku Uzbek belum memeluk agama Islam.
Islam mulai masuk ke Transoksania pada tahun 46 H/666 M. Ketika itu, Qutaibah bin Muslim ditunjuk sebagai gubernur Khurasan pada saat kendali pemerintahan berada di tangan Tharkhun. Pada tahun 91 H/710 M terjadi perdamaian antara Tharkhun dan Qutaibah bin Muslim dengan kesepakatan bahwa Tharkhun berkewajiban membayar jizyah (upeti) dan jaminan kepada umat Islam. Tetapi, perjanjian damai itu membuat marah rakyat Tharkhun yang kemudian memaksanya melepaskan jabatan dan menggantikannya dengan Ikhsyid Ghurak. Meski demikian, Qutaibah berhasil memaksa penguasa baru itu untuk menyerah pada tahun 93 H/712 M setelah sebelumnya mengepung kota Samarkand beberapa lama.
Samarkand dan Bukhara menjadi pangkalan penyebaran Islam selanjutnya. Setelah itu, kekuatan Samarkand mulai melemah setelah sebelumnya merupakan titik tolak tersebarnya agama Islam ke Cina, India dan Rusia. Rusia bahkan pernah berada di bawah kekuasaannya selama tiga abad di mana adipati Moskwa membayar upeti kepada pemerintahan Bukhara setiap tahun. Tetapi, kaesar-kaesar Rusia kemudian berhasil merebut wilayah-wilayah Islam itu. Benteng Islam pertama di Transoksania (benteng Aq Masjid) pun kemudian jatuh ke tangan Rusia pada tahun 1852 M.
Ketika Turki Usmani mengancam Eropa dan melebar ke Asia dan Afrika pada pertengahan abad keenam belas, Kekaisaran Rusia menyerbu kota Samarkand dan kota-kota Islam lainnya. Ketika komunis berkuasa di Rusia pada tahun 1342 H/1923 M, Samarkand berada di bawah wilayah Uni Soviet hingga masa keruntuhannya tahun 1412 H/1991 M. Setelah Republik Uzbekistan memerdekakan diri, kota Samarkand masuk ke dalam wilayah Republik Uzbekistan.
Di Samarkand terdapat sejumlah ulama terkenal seperti Muhammad Addi al-Samarqandi, Abu Manshur al-Maturidi, Abul Hasan al-Maidani, Ahmad bin Umar, Abu Bakr al-Samarqandi, Muhammad bin Mas’ud al-Samarqandi (penyusun Tafsir al-Iyasyi). (Lihat, www. vbaitullah.or.id; Lois Ma’luf, op.cit., hal. 308)
[23]sebuah desa kecil yang terletak tiga farsakh (± 24 km) dari Samarkand. (Lihat, Yaqut, op.cit. II:356) Namun menurut Dr. M.M. Abu Syahbah, sejauh dua farsakh (Lihat, Abu Syahbah, op.cit., hal. 49)
[24]Lihat, Al-Asqalani, op.cit. hal. 517-518
[25]Departments of the Museum, Imam al-Bukhari Memorial Museum. www.ark.bukhara.uzsci.net
[26]Lihat, Al-Asqalani, op.cit., hal. 680; Abu Syahbah, op.cit. hal. 58. Banyak di antara kitab-kitab itu tidak sampai ke tangan kita, rusak dimakan perjalanan waktu. Hanya kitab no. 2, 6, 7, 10, 13, 14, 18, 21, dan 22 yang pernah diterbitkan, bahkan di antaranya telah mengalami cetak ulang berkali-kali.
pikat apa yang dimilikinya sehingga mampu “menyihir” para ulama dan cendekiawan nonmuslim dari berbagai generasi, untuk bertekun-tekun menyimaknya ?
By Amin Muchtar, sigabah.com