Preloader logo

LUTUT ATAUKAH TANGAN? (Bagian Ke-5)

Sikap Ulama Terhadap Hadis Mendahulukan Tangan

 

Seperti dalam menyikapi status hadis Mendahulukan Lutut, para ulama berbeda pendapat pula dalam menyikapi status hadis Mendahulukan Tangan—yang telah ditampilkan sebelumnya—sebagian ulama menerima kehujahan hadis itu, sementara yang lain menolaknya. Di sini akan ditampilkan argumen kedua belah pihak, sebagai pijakan penulis dalam menentukan sikap terhadap kedua penilaian itu.

A. Ulama yang menerima

 

Ulama yang menerima kehujahan hadis Mendahulukan tangan, antara lain:

 

Al-Hafizh Ibnu Hajar berkata, “Hadis ini lebih kuat daripada hadis Wail, ‘Saya melihat Nabi apabila hendak sujud menempatkan kedua lututnya’ ditakhrij oleh imam yang empat, karena hadis pertama (Abu Huraerah) memiliki syahid (penguat), yaitu hadis Ibnu Umar yang dinyatakan shahih oleh Ibnu Khuzaemah dan diterangkan oleh al-Bukhari secara mu’allaq mauquf.”  (Lihat, Bulughul Maram, hlm. 78-79)

 

Al-Hafizh Ibnu Sayyidin Nas berkata, “Hadis-hadis menempatkan tangan sebelum lutut lebih kuat. Hadis Abu Huraerah layak masuk dalam kategori hasan menurut kriteria at-Tirmidzi, karena para rawinya selamat dari jarh (celaan).” (Lihat, Nailul Awthar, II:281)

 

As-Syaukani berkata, “Hadis Abu Huraerah adalah hadis qawli (ucapan) sedangkan hadis Wail hikayat fi’il (cerita perbuatan), dan qawl lebih kuat.” (Lihat, Nailul Awthar, I:269)

 

Muhamad Syamsul Haq berkata, “(Mendahulukan tangan) menjadi pendapat al-Auza’I, Malik, Ibnu Hazm, dan Ahmad pada salah satu versi riwayat. Ibnu Abu Dawud berkata, ‘Ini pun merupakan pendapat para ahli hadis’.” (Lihat, ‘Awnul Ma’bud Syarh Sunan Abu Dawud, III:50)

B. Ulama yang menolak

 

Ulama yang menolak kehujahan hadis Mendahulukan tangan, mengajukan kritikan, antara lain sebagai berikut:

 

Al-Bukhari, dalam kitabnya at-Tarikhul Kabir, memuat hadis Muhamad bin Abdullah bin al-Hasan, dari Abuz Zinad, dari al-A’raj, dari Abu Huraerah. Selanjutnya al-Bukhari berkata tentang Muhamad bin Abdullah bin al-Hasan, “Tidak ada mutabi’ (penguat) baginya, dan saya tidak tahu apakah ia menerima hadis dari Abuz Zinad atau tidak.” (Lihat, Nailul Awthar, I:269; Taudhihul Ahkam, II:257)

 

Hamzah al-Kanani berkata, “Ini hadis munkar” (Lihat, Taudhihul Ahkam, II:257)

 

Ibnul Qayyim berkata, “Hadis Abu Huraerah maqlub (terbalik) matannya yang bersumber dari sebagaian rawi, barangkali seharusnya: Hendaklah ia menempatkan kedua lututnya sebelum kedua tangannya (berdasarkan) riwayat Ibnu Abu Syaibah, ia berkata, ‘Muhamad bin Fudhail, dari Abdullah bin Sa’id, dari kakeknya, dari Abu Huraerah, dari Nabi saw, ssungguhnya beliau bersabda, ‘Apabila salah saeorang di antara kamu hendak sujud, hendaklah ia menempatkan kedua lututnya sebelum kedua tangannya, dan janglah ia menderum seperti menderumnya unta’ Hadis ini diriwayatkan pula oleh al-Atsram dalam Sunan-nya” (Lihat, Nailul Awthar, I:268)

 

Sikap Kami Terhadap Hadis Mendahulukan Lutut

 

A. Kedudukan Riwayat Ad-Darawardi

 

Sebagaimana dapat dibaca pada pembahasan di atas bahwa hadis tentang mendahulukan tangan dinyatakan daif oleh sebagian ulama karena semua sanadnya melalui seorang rawi bernama Abdul Aziz bin Muhamad ad-Darawardi. Ulama al-jarh wat ta’dil (kritikus rawi) telah memberikan penilaian kepada ad-Darawardi sebagai berikut:

 

قَالَ أَبُوْ زُرْعَةَ سَيِّءُ الْحِفْظِ فَرُبَّمَا حَدَّثَ مِنْ حِفْظِهِ الشَّيْءَ وَقَالَ النَّسَائِيُّ عَبْدُ الْعَزِيْزِ الدَّرَاوَرْدِي لَيْسَ بِالْقَوِيِّ وَقَالَ فِي مَوْضِعٍ آخَرَ لَيْسَ بِهِ بَأْسٌ وَحَدِيْثُهُ عَنْ عُبَيْدِ اللهِ بْنِ عُمَرَ مُنْكَرٌ

Abu Zur’ah berkata, “Dia buruk hapalan, terkadang ia menceritakan sesuatu dari hapalannya” An-Nasai berkata, “Abdul Aziz Ad-Darawardi tidak kuat” Dan di pada tempat lain ia berkata, “Tidak apa-apa, dan hadisnya dari Ubaidullah bin Umar adalah munkar.” (Lihat, Tahdzibul Kamal, XVIII:194)

 

Penilaian sayyiul hifzhi  (buruk hapalan) terhadap Ad-Darawardi dilihat dari segi dhabt (hafalan)-nya, bukan ‘adalah (akidah dan akhlak)-nya. Celaan terhadap seorang rawi seperti ini dapat diterima selama rawi itu tafarrud (sendirian dalam meriwayatkan hadis) atau mukhalafah (bertentangan) dengan rawi yang tsiqah (kuat). Namun bila rawi itu tidak taffarud, artinya ia meriwayatkan hadis seperti yang diriwayatkan oleh rawi-rawi lain yang tsiqat selain dia, maka hadisnya dapat diterima.

 

Dengan demikian, penilaian para ulama di atas terhadap Ad-Darawardi sama statusnya dengan penilaian terhadap Syarik, yakni tidak berarti menolak seluruh hadis yang diriwayatkannya, namun  bergantung atas tafarrud (menyendiri) atau tidaknya Ad-Darawardi dalam meriwayatkan hadis.

 

Karena itu, status riwayat Ad-Darawardi dapat berbeda pada setiap kasus. Misalnya, periwayatan Ad-Darawardi dalam Shahih al-Bukhari dan Shahih Mulim. Imam Muslim menggunakan rawi sekelas ini di dalam Shahih-nya, karena semua periwayatan Ad-Darawardi yang diriwayatkan oleh Imam Muslim tidak tafarrud, misalnya dalam kitaabul iimaan, bab

بَابُ الدَّلِيْلِ عَلَى أَنَّ مَنْ رَضِيَ اللهَ رَبًّا وَبِالإِسْلاَمِ دِيْنًا وَبِمُحَمَّدٍ رَسُوْلاً فَهُوَ مُؤْمِنٌ وَإِنِ ارْتَكَبَ الْمَعَاصِيَ وَ الْكَبَائِرَ

“Bab dalil bahwa orang yang ridha terhadap Allah sebagai Tuhan, Islam sebagai agama, Muhamad sebagai Rasul, maka dia mukmin meskipun melakukan maksiat dan dosa besar.” Lihat, Shahih Muslim, I:40

 

Karena Imam Muslim tahu bahwa periwayatan Ad-Darawardi dalam topik ini diperkuat oleh rawi lain bernama Al-Laits seperti pada riwayat At-Tirmidzi (lihat, Tuhfatul Ahwadzi VII:372). Rawi seperti ini oleh Imam Muslim dimasukkan ke dalam kelompok rawi peringkat kedua, yaitu rawi-rawi yang memiliki sifat ‘adalah (akidah dan akhlaknya) baik namun tingkat hapalannya di bawah kelompok rawi peringkat pertama.

 

Sikap dan argumentasi di atas mengikuti gurunya, Imam al-Bukhari. Imam al-Bukhari menggunakan rawi sekelas Ad-Darawardi ini di dalam Shahih-nya, karena semua periwayatan Ad-Darawardi versi oleh Imam al-Bukhari tidak tafarrud (menyendiri), tapi selalu maqrunan (disertai) oleh rawi lain yang tsiqah (kredibel), misalnya Abdul Aziz bin Abu Hazim pada bab Sifatul Jannah wan Nar (lihat, Fathul Bari Syarh Shahih al-Bukhari, XI:509, hadis No. 6564).

 

Rawi seperti ini oleh Imam al-Bukhari dimasukkan ke dalam kelompok rawi peringkat ketiga, yakni pernah mengalami cacat pada hapalannya namun tidak parah, yang dibuktikan oleh para rawi lain yang shahih. Jadi, riwayat ad-Darawardi, oleh Imam al-Bukhari, bukan dipergunakan sebagai hadis pokok/inti namun hanya sebagai  mutabi dan syahid, yakni penguat makna atau maksud hadis. Jadi, status Ad-Darawardi di luar riwayat al-Bukhari dan Muslim bisa berbeda pada setiap kasus.

Sehubungan dengan itu, yang perlu dianalisa dalam kasus mendahulukan tangan ketika hendak sujud ialah, apakah ad-Darawardi menyendiri ataukah ada rawi lain yang memperkuatnya?

 

Dalam kasus ini periwayatan Ad-Darawardi menyendiri, karena sejauh pengetahuan kami,  tidak ada satupun rawi tsiqah (kredibel) yang memperkuat periwayatannya. Dengan demikian hadis mendahulukan tangan ketika hendak turun ke sujud riwayat ad-Darawardi derajatnya dha’if.

 

Lalu bagaimana dengan pendapat yang menyatakan: “Bukankah ada rawi lain yang memperkuat Ad-Darawardi?”

 

Di atas telah kami nyatakan “tidak ada satupun rawi tsiqah (kredibel) yang memperkuat periwayatan ad-Darawardi.” Jika rawi lain yang dimaksud oleh pendapat itu bernama Abdullah bin Nafi as-Shaig (HR. Abu Dawud, Sunan Abu Dawud, I:193; An-Nasai, As-Sunanul Kubra I:229; At-Tirmidzi, Tuhfatul Ahwadzi II:139), tetap saja tidak dapat mengatrol/mengangkat status ad-Darawardi, karena  Abddulah bin Nafi juga rawi yang daif sebagaimana dinyatakan para ulama sebagai berikut:.

قَالَ أَبُوْ حَاتِمٍ لَيْسَ بِالْحَافِظِ هُوَ لَيِّنٌ فِي حِفْظِهِ وَكِتَابُهُ أَصَحُّ وَقَالَ الْبُخَارِيُّ فِي حِظْفِهِ شَيْءٌ

Abu Hatim berkata, “Dia tidak hafizh, dia lemah pada hapalannya.” Dan al-Bukhari berkata, “Pada hapalannya terdapat sesuatu.” (Lihat, Tahdzibul Kamal, XVI:210

 

قَالَ أَبُوْ زُرْعَةَ : مُنْكَرُ الْحَدِيْثِ

Abu Zur’ah berkata, “Munkarul Hadits (hadisnya diingkari).” (Lihat, Ta’liq ‘Ala Tahdzibil Kamal, XVI:210)

قَالَ ابْنُ حَجَرٍ : فِى حِفْظِهِ لَيِّنٌ

Ibnu Hajar berkata, “Lemah pada hapalannya.” (Lihat, Taqribut Tahdzib, I:318)

 

Dr. Nuruddin ‘Itr menerangkan bahwa rawi yang dijarh (dicela) dengan dua martabat ini (seperti layyinul hadits, sayyiul hifzhi, dan lain-lain) maka kedudukan hadisnya di’tibar, yaitu dicari riwayat-riwayat lain yang menguatkannya sehingga bisa dipakai hujjah. (lihat, Manhajun Naqd, 1981:112)

Dengan demikian, hadis mendahulukan tangan ketika hendak turun ke sujud, baik riwayat ad-Darawardi maupun Abdullah bin Nafi, derajatnya daif.

 

B. Kedudukan Atsar (Riwayat) Ibnu Umar

Para ulama yang berpendapat mendahulukan tangan di samping berhujjah dengan hadis Abu Huraerah, juga bersandar pada riwayat Ibnu Umar, baik secara marfu (amaliah Nabi) maupun mauquf (amaliah Ibnu Umar) sendiri, sebagai berikut:

عَنِ ابْنِ عُمَرَ أَن رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ إِذَا سَجَدَ يَضَعُ يَدَيْهِ قَبْلَ رُكْبَتَيْهِ

“Dari Ibnu Umar, bahwasanya Rasulullah saw. apabila sujud beliau menempatkan kedua tangannya sebelum kedua lututnya.” HR. Ad-Daraquthni, Sunan Ad Daraquthni, I : 27

 

قَالَ نَافِعٌ: كَانَ ابْنُ عُمَرَ يَضَعُ يَدَيْهِ قَبْلَ رُكْبَتَيْهِ.

Nafi berkata, “Ibnu Umar, beliau menempatkan kedua tangannya sebelum kedua lututnya.” HR. Ibnu Khuzaimah, Shahih Ibnu Khuzaimah, I:318-319; Ad-Daraquthni, Sunan ad-Daraquthni, I:344; At-Thahawi, Syarah Ma’anil Atsar, I:254; Al-Hakim, al-Mustadrak, I:226; Al-Baihaqi, as-Sunanul Kubra, II:100.

 

Namun menurut penelitian kami riwayat Ibnu Umar, baik yang marfu’ maupun yang mauquf, keduanya juga dha’if karena terdapat rawi Ad-Darawardi yang telah dijelaskan di atas.

 

Berdasarkan berbagai argumentasi yang telah dikemukakan di atas juga pada beberapa edisi sebelumnya, kami berkesimpulan:

 

Pertama, hadis mendahulukan tangan ketika hendak sujud adalah daif sanadnya dan maqlub (terbalik) matan (redaksi)-nya.

 

Kedua, mendahulukan tangan ketika hendak sujud menyerupai burukul ba’ir (menderumnya unta) dalam hal bentuknya (nungging). Dan posisi ini yang dilarang oleh Rasulullah saw.

 

Ketiga, hadis mendahulukan lutut ketika hendak sujud adalah shahih.

 

Keempat, sesuai dengan Sunnah Nabi saw., ketika hendak sujud disyariatkan mendahulukan lutut, lalui diikuti dengan tangan.

 

By Amin Muchtar, sigabah.com

Your email address will not be published. Required fields are marked *

#main-content .dfd-content-wrap {margin: 0px;} #main-content .dfd-content-wrap > article {padding: 0px;}@media only screen and (min-width: 1101px) {#layout.dfd-portfolio-loop > .row.full-width > .blog-section.no-sidebars,#layout.dfd-gallery-loop > .row.full-width > .blog-section.no-sidebars {padding: 0 0px;}#layout.dfd-portfolio-loop > .row.full-width > .blog-section.no-sidebars > #main-content > .dfd-content-wrap:first-child,#layout.dfd-gallery-loop > .row.full-width > .blog-section.no-sidebars > #main-content > .dfd-content-wrap:first-child {border-top: 0px solid transparent; border-bottom: 0px solid transparent;}#layout.dfd-portfolio-loop > .row.full-width #right-sidebar,#layout.dfd-gallery-loop > .row.full-width #right-sidebar {padding-top: 0px;padding-bottom: 0px;}#layout.dfd-portfolio-loop > .row.full-width > .blog-section.no-sidebars .sort-panel,#layout.dfd-gallery-loop > .row.full-width > .blog-section.no-sidebars .sort-panel {margin-left: -0px;margin-right: -0px;}}#layout .dfd-content-wrap.layout-side-image,#layout > .row.full-width .dfd-content-wrap.layout-side-image {margin-left: 0;margin-right: 0;}