Pandangan al-Bukhari
Ada yang berpendapat bahwa riwayat Ibnu Umar—yang telah dibahas pada edisi sebelumnya—diriwayatkan oleh al-Bukhari secara mu’allaq (dihilangkan sanadnya). Dengan demikian hadis tersebut dapat dipakai hujjah dan al-Bukhari berpendapat bahwa ketika hendak sujud mendahulukan tangan sebelum lutut. Benarkah pendapat demikian?
Untuk menguji pendapat itu, kita tampilkan kembali riwayat Ibnu Umar tersebut sebagai berikut:
قَالَ نَافِعٌ: كَانَ ابْنُ عُمَرَ يَضَعُ يَدَيْهِ قَبْلَ رُكْبَتَيْهِ.
Nafi berkata, “Ibnu Umar, beliau menempatkan kedua tangannya sebelum kedua lututnya.”
Sebagaimana telah kami jelaskan pada edisi sebelumnya bahwa riwayat Ibnu Umar tersebut diriwayatkan oleh Ibnu Khuzaimah, Shahih Ibnu Khuzaimah, I:318-319; Ad-Daraquthni, Sunan ad-Daraquthni, I:344; At-Thahawi, Syarah Ma’anil Atsar, I:254; Al-Hakim, al-Mustadrak, I:226; Al-Baihaqi, as-Sunanul Kubra, II:100.
Riwayat tentang amal Ibnu Umar tersebut derajatnya dha’if karena pada semua sanadnya terdapat rawi Ad-Darawardi yang telah dijelaskan secara panjang lebar pada edisi sebelumnya.
Jadi, Imam al-Bukhari lebih mengetahui terhadap status kedaifan riwayat Ibnu Umar tersebut. Jika demikian halnya, mengapa beliau mencantumkannya dalam kitab Shahih-nya?
Untuk memahami maksud al-Bukhari, kita harus membacanya dari sudut paradigm atau perspektif fiqh al-Bukhari, bukan dari sudut fiqih pembaca riwayat itu, apalagi orang yang sudah cenderung “memilih tangan”.
Dalam konteks fiqh al-Bukhari, riwayat Ibnu Umar tersebut ditempatkan oleh al-Bukhari pada kitabul Adzan bab
بَاب يَهْوِي بِالتَّكْبِيرِ حِينَ يَسْجُدُ وَقَالَ نَافِعٌ كَانَ ابْنُ عُمَرَ يَضَعُ يَدَيْهِ قَبْلَ رُكْبَتَيْهِ
“Bab Turun Sambil Membaca Takbir Ketika Hendak Sujud, dan Nafi berkata, ‘Ibnu Umar, beliau menempatkan kedua tangannya sebelum kedua lututnya’.”
Pada bab ini al-Bukhari mencantumkan tiga hadis:
Pertama:
حَدَّثَنَا أَبُو الْيَمَانِ قَالَ حَدَّثَنَا شُعَيْبٌ عَنْ الزُّهْرِيِّ قَالَ أَخْبَرَنِي أَبُو بَكْرِ بْنُ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ الْحَارِثِ بْنِ هِشَامٍ وَأَبُو سَلَمَةَ بْنُ عَبْدِ الرَّحْمَنِ أَنَّ أَبَا هُرَيْرَةَ كَانَ يُكَبِّرُ فِي كُلِّ صَلَاةٍ مِنْ الْمَكْتُوبَةِ وَغَيْرِهَا فِي رَمَضَانَ وَغَيْرِهِ فَيُكَبِّرُ حِينَ يَقُومُ ثُمَّ يُكَبِّرُ حِينَ يَرْكَعُ ثُمَّ يَقُولُ سَمِعَ اللَّهُ لِمَنْ حَمِدَهُ ثُمَّ يَقُولُ رَبَّنَا وَلَكَ الْحَمْدُ قَبْلَ أَنْ يَسْجُدَ ثُمَّ يَقُولُ اللَّهُ أَكْبَرُ حِينَ يَهْوِي سَاجِدًا ثُمَّ يُكَبِّرُ حِينَ يَرْفَعُ رَأْسَهُ مِنْ السُّجُودِ ثُمَّ يُكَبِّرُ حِينَ يَسْجُدُ ثُمَّ يُكَبِّرُ حِينَ يَرْفَعُ رَأْسَهُ مِنْ السُّجُودِ ثُمَّ يُكَبِّرُ حِينَ يَقُومُ مِنْ الْجُلُوسِ فِي الِاثْنَتَيْنِ وَيَفْعَلُ ذَلِكَ فِي كُلِّ رَكْعَةٍ حَتَّى يَفْرُغَ مِنْ الصَّلَاةِ ثُمَّ يَقُولُ حِينَ يَنْصَرِفُ وَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ إِنِّي لَأَقْرَبُكُمْ شَبَهًا بِصَلَاةِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنْ كَانَتْ هَذِهِ لَصَلَاتَهُ حَتَّى فَارَقَ الدُّنْيَا
Telah menceritakan kepada kami Abu Al Yaman, ia berkata, “Telah menceritakan kepada kami Syu’aib, dari Az Zuhri berkata, ‘Telah mengabarkan kepadaku Abu Bakar bin ‘Abdurrahman bin Al Harits bin Hisyam dan Abu Salamah bin Abdurrahman bahwa Abu Hurairah bertakbir dalam setiap shalat yang wajib dan yang lainnya baik pada bulan Ramadan maupun di luar Ramadan. Dia bertakbir ketika berdiri dan ketika akan rukuk, kemudian dia mengucapkan, ‘Sami’allahu Liman Hamidah (Semoga Allah mendengar pujian orang yang memuji-Nya) ‘, kemudian sebelum sujud dia membaca: ‘Rabbanaa Wa Lakal Hamdu (Wahai Rabb kami, bagi-Mu segala puji) ‘, lalu mengucapkan, ‘Allahu Akbar’ ketika akan turun sujud. Kemudian bertakbir ketika mengangkat kepalanya dari sujud, kemudian bertakbir lagi ketika akan sujud, kemudian bertakbir ketika mengangkat kepalanya dari sujud, dan ketika bangkit berdiri dari duduk setelah dua rakaat (tasyahud awal) ia juga bertakbir kembali. Dan dalam setiap rakaat shalat dia mengerjakan seperti itu, lalu setelah selesai ia berkata, ‘Demi Dzat yang jiwaku berada di tangan-Nya, sungguh aku telah mencontohkan kepada kalian shalat seperti shalatnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Sungguh inilah cara shalatnya hingga beliau meninggalkan dunia ini’.”
Kedua:
قَالَا وَقَالَ أَبُو هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ وَكَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ حِينَ يَرْفَعُ رَأْسَهُ يَقُولُ سَمِعَ اللَّهُ لِمَنْ حَمِدَهُ رَبَّنَا وَلَكَ الْحَمْدُ يَدْعُو لِرِجَالٍ فَيُسَمِّيهِمْ بِأَسْمَائِهِمْ فَيَقُولُ اللَّهُمَّ أَنْجِ الْوَلِيدَ بْنَ الْوَلِيدِ وَسَلَمَةَ بْنَ هِشَامٍ وَعَيَّاشَ بْنَ أَبِي رَبِيعَةَ وَالْمُسْتَضْعَفِينَ مِنْ الْمُؤْمِنِينَ اللَّهُمَّ اشْدُدْ وَطْأَتَكَ عَلَى مُضَرَ وَاجْعَلْهَا عَلَيْهِمْ سِنِينَ كَسِنِي يُوسُفَ وَأَهْلُ الْمَشْرِقِ يَوْمَئِذٍ مِنْ مُضَرَ مُخَالِفُونَ لَهُ
(Masih dari jalur periwayatan yang sama dengan hadits sebelumnya) keduanya berkata; Abu Hurairah radliallahu ‘anhu berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam ketika mengangkat kepalanya dari rukuk sambil mengucapkan, ‘Sami’allahu Liman Hamidah, Rabbanaa Wa Lakal Hamdu (Semoga Allah mendengar pujian orang yang memuji-Nya. Wahai Rabb kami, dan milik-Mu lah segala pujian) ‘, kemudian beliau berdo’a: “Ya Allah, selamatkanlah Al Walid bin Al Walid, Salamah bin Hisyam, ‘Ayyasy bin Abu Rabi’ah orang-orang lemah dari kaum Mukminin. Ya Allah, timpakanlah kerasnya siksa-Mu kepada Mudlar dan jadikanlah siksa-Mu untuk mereka berupa paceklik seperti paceklik yang terjadi pada zaman Nabi Yusuf.” Pada waktu itu, orang-orang penduduk Masyriq menyelisih atau menentang Mudlar.”
Ketiga:
حَدَّثَنَا عَلِيُّ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ قَالَ حَدَّثَنَا سُفْيَانُ غَيْرَ مَرَّةٍ عَنْ الزُّهْرِيِّ قَالَ سَمِعْتُ أَنَسَ بْنَ مَالِكٍ يَقُولُ سَقَطَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ فَرَسٍ وَرُبَّمَا قَالَ سُفْيَانُ مِنْ فَرَسٍ فَجُحِشَ شِقُّهُ الْأَيْمَنُ فَدَخَلْنَا عَلَيْهِ نَعُودُهُ فَحَضَرَتْ الصَّلَاةُ فَصَلَّى بِنَا قَاعِدًا وَقَعَدْنَا وَقَالَ سُفْيَانُ مَرَّةً صَلَّيْنَا قُعُودًا فَلَمَّا قَضَى الصَّلَاةَ قَالَ إِنَّمَا جُعِلَ الْإِمَامُ لِيُؤْتَمَّ بِهِ فَإِذَا كَبَّرَ فَكَبِّرُوا وَإِذَا رَكَعَ فَارْكَعُوا وَإِذَا رَفَعَ فَارْفَعُوا وَإِذَا قَالَ سَمِعَ اللَّهُ لِمَنْ حَمِدَهُ فَقُولُوا رَبَّنَا وَلَكَ الْحَمْدُ وَإِذَا سَجَدَ فَاسْجُدُوا قَالَ سُفْيَانُ كَذَا جَاءَ بِهِ مَعْمَرٌ قُلْتُ نَعَمْ قَالَ لَقَدْ حَفِظَ كَذَا قَالَ الزُّهْرِيُّ وَلَكَ الْحَمْدُ حَفِظْتُ مِنْ شِقِّهِ الْأَيْمَنِ فَلَمَّا خَرَجْنَا مِنْ عِنْدِ الزُّهْرِيِّ قَالَ ابْنُ جُرَيْجٍ وَأَنَا عِنْدَهُ فَجُحِشَ سَاقُهُ الْأَيْمَنُ
“Telah menceritakan kepada kami ‘Ali bin ‘Abdullah berkata, telah menceritakan kepada kami Sufyan tidak hanya sekali dari Az Zuhri berkata, “Aku mendengar Anas bin Malik radliallahu ‘anhu berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam terjatuh dari kudanya, dimungkinkan Sufyan juga menyebutkan, “Beliau jatuh dari kudanya hingga bagian lambung kananannya terluka. Lalu kami pun menjenguk beliau, tidak lama kemudian masuk waktu shalat, beliau lalu shalat mengimami kami sambil duduk, kemudian kami shalat di belakangnya dengan duduk.” Sekali waktu waktu Sufyan menyebutkan, “Kami shalat dengan duduk. Setalah selesai shalat beliau bersabda: “Hanyasanya dijadikannya imam adalah agar diikuti, jika dia takbir maka takbirlah, jika dia rukuk maka rukuklah, jika ia mengangkat kepala maka angkatlah kepala kalian, dan jika ia mengucapkan ‘Sami’allahu Liman Hamidah (Semoga Allah mendengar pujian orang yang memuji-Nya) ‘, maka ucapkanlah oleh kalian ‘Rabbanaa Wa Lakal Hamdu (Ya Rabb kami, milik Engkaulah segala pujian) ‘. Dan jika dia sujud maka sujudlah kalian.” Sufyan berkata, “Apakah begitu yang dibawa oleh Ma’mar? Aku jawab, “Ya.” Lalu Sufyan berkata, “Sungguh dia telah menjaga (memelihara) masalah ini.” Az Zuhri berkata, “Segala puji bagi Engkau ya Allah. Sungguh aku masih ingat bahwa beliau terhempas pada bagian kanan lambungnya.” Setelah kami berpisah dari Az Zuhri, Ibnu Juraij berkata, “Saat itu aku ada di sisi beliau, lalu terjatuhlah beliau pada lambung bagian kanannya.”
Muthabaqah (Relevansi) riwayat Ibnu Umar terhadap judul bab di atas dilihat dari ketercakupannya dalam kalimat al-hawi bit takbir ilas sujud (turun dengan takbir ke sujud), yaitu al-hawi sebagai fi’lun (perbuatan) dan at-takbir sebagai qaulun (ucapan). Karena itu, melalui judul bab tersebut al-Bukhari hendak menjelaskan bahwa al-hawi ilas sujud itu meliputu dua sifat; (a) sifat fi’liyyah (gerakan) dan sifat qawliyyah (ucapan). Riwayat Ibnu Umar ditempatkannya pada bab ini sebagai isyarat kepada sifat fi’liyyah. Sedangkan riwayat Abu Huraerah sebagai isyarat kepada sifat fi’liyyah dan qawliyyah (Lihat, Umdatul Qari Syarah Shahih al-Bukhari, VI:78).
Dengan demikian, riwayat itu digunakan oleh al-Bukhari untuk memperkuat landasan atau pijakan fiqihnya sebagai dilaalah isyarah (penunjukkan secara isyarat) kepada sifat fi’liyyah (perbuatan), bukan sebagai pinjakan dalam menetapkan bahwa “ketika akan sujud disyariatkan mendahulukan tangan” karena beliau lebih paham bahwa hadis daif tidak dapat dijadikan landasan syariat.
By Amin Muchtar, sigabah.com