Sikap Kami Terhadap Hadis Mendahulukan Lutut
A. Kedudukan Riwayat Syarik
Sebagaimana dapat dibaca pada pembahasan sebelumnya bahwa hadis tentang mendahulukan lutut dinyatakan daif oleh sebagian ulama karena semua sanadnya melalui seorang rawi bernama Syarik. Ulama al-jarh wat ta’dil (kritikus rawi) telah memberikan penilaian kepada Syarik sebagai berikut:
- Abu Zur’ah
قَالَ عَبْدُ الرَّحْمنِ سَأَلْتُ أَبَا زُرْعَةَ عَنْ شَرِيْكٍ يُحْتَجُّ بِحَدِيْثِهِ قَالَ كَانَ كَثِيْرَ الْحَدِيْثِ صَاحِبَ وَهْمٍ يَغْلَطُ أَحْيَانًا
Abdurrahman berkata, “Aku bertanya kepada Abu Zur’ah tentang Syarik, apakah hadisnya dapat dipakai hujjah?” Beliau menjawab, “Dia banyak hadisnya, shahiba wahm (orang yang ragu-ragu), kadang-kadang keliru.” (Lihat, Al-Jarh wat Ta’dil, IV:366)
Namun Imam al-Mizzi, mengutip pernyataan Abu Zur’ah itu dengan redaksi:
كَانَ كَثِيْرَ الْخَطَأِ صَاحِبَ وَهْمٍ وَهُوَ يَغْلَطُ أَحْيَانًا
“Dia banyak salah, shahiba wahm (orang yang ragu-ragu), kadang-kadang keliru.” (Lihat, Tahdzibul Kamal, XII:471)
- Abu Hatim
وَقَالَ أَبُوْ حَاتِمٍ لاَ يَقُوْمُ مَقَامَ الْحُجَّةِ فِي حَدِيْثِهِ بَعْضُ الغَلَطِ
Abu Hatim berkata, “Dia tidak dapat mencapai derajat hujjah, pada hadisnya terdapat sedikit kekeliruan.” (Lihat, Al-Mughni fid Dhu’afa, I:297). Dalam kitab ad-Dhu’afa wal Matrukin karya Ibnul Jauzi (II:39) dengan redaksi
لَهُ أَغَالِيْطُ
- Al-Juzajani
قَالَ إِبْرَاهِيْمُ بْنُ يَعْقُوْبَ الْجُوْزَجَانِي سَيِّءُ الْحِفْظِ مُضْطَرِّبُ الْحَدِيْثِ مَائِلٌ
Ibrahim bin Ya’qub al-Juzajani berkata, “Dia buruk hapalan, mudhtaribul hadits, maa’il.” (lihat, Tahdzibul Kamal, XII:471; Mizanul I’tidal, III:373)
- Ya’qub bin Syaibah
وَقَالَ يَعْقُوْبُ بْنُ شَيْبَةَ شَرِيْكٌ صَدُوْقٌ ثِقَةٌ سَيِّءُ الْحِفْظِ جِدًّا
Ya’qub bin Syaibah berkata, “Syarik Shaduq, tsiqat, sangat buruk hapalan.” (Lihat, Tahdzibul Kamal, XII:471)
- Syekh Nashiruddin al-Albani
Dari berbagai penilaian di atas Syekh Nashiruddin Al-Albani mengambil kesimpulan
وَهُوَ سَيِّئُ الْحِفْظِ عِنْدَ جُمْهُوْرِ الأَئِمَّةِ وَبَعْضُهُمْ صَرَّحَ بِأَنَّهُ كَانَ قَدِ اخْتَلَطَ, فَلذَالِكَ لاَ يُحْتَجُّ بِهِ إِذَا تَفَرَّدَ
“Dia buruk hapalan menurut jumhur imam, dan sebagian mereka menjelaskan bahwa ia sungguh mukhtalith (berubah hapalannya). Karena itu ia tidak dapat dipakai hujjah bila meriwayatkan hadis sendirian.” (Lihat, Irwaul Ghalil fi Takhrij Ahadits Manaris Sabil, II:76)
Analisis Kami
Pertama, penilaian sayyiul hifzhi, katsiral khata, yaghlathu, dan mudhtharribul hadits terhadap Syarik dari segi dhabt (hafalan)-nya, bukan adalah-nya (akidah dan akhlak). Pentajrihan (kritikan, celaan) terhadap seorang rawi yang demikian dapat kita terima selama rawi itu tafarrud (sendirian dalam meriwayatkan hadis) atau mukhalafah (bertentangan) dengan rawi yang tsiqat (kuat). Namun bila rawi itu tidak taffarud, artinya ia meriwayatkan hadis seperti yang diriwayatkan oleh rawi-rawi lain yang tsiqah (kredibel) selain dia, maka hadisnya dapat diterima. Dan ini yang menjadi tolok ukur penilaian Syekh al-Albani terhadap riwayat Syarik.
Dengan demikian, penilaian para ulama di atas terhadap Syarik tidak berarti menolak seluruh hadis yang diriwayatkannya, namun bergantung atas tafarrud (menyendiri) atau tidaknya Syarik dalam meriwayatkan hadis. Sepanjang penelitian kami, periwayatan Syarik tentang mendahulukan lutut sebelum tangan ketika hendak sujud tidak tafarrud, karena pada riwayat Al-Haitsami hadis tersebut diriwayatkan pula melalui rawi bernama Israil bin Yunus. (Lihat, Mawaridhud Dham-an:132 No. 487). Israil bin Yunus termasuk rijal (periwayat) yang digunakan Al-Bukhari dan Muslim. (lihat, Tahdzibul Kamal, II:515-524)
Karena itu, yang menjadi sandaran utama dalam masalah ini adalah riwayat Israil (aslun, pokok), sedangkan riwayat Syarik sebagai pelengkap keterangan (far’un, cabang)
Kedua, Syarik bin Abdullah an-Nakha’i, lahir pada tahun 95 H/713 M, dan wafat pada tahun 177 H/793. di Kufah pada usia 82 tahun. Syarik menerima hadis dari 101 guru dan memiliki murid sebanyak 95 orang, dan yang paling banyak menerima hadis darinya adalah Ishaq bin Yusuf al-Azraq, yaitu sebanyak 9.000 hadis. Hal ini menunjukkan bahwa Syarik termasuk salah seorang hafizh atau kuat hapalan. Karena itu Yahya Bin Main mengatakan, “tsiqatun”. Abu Zur’ah berkata kepada Yahya al-Hammani, “Cukup bagimu ilmu Syarik”. Ad-Dzahabi menyatakan, “Kana Syarik min au’iyyatil ‘ilmi (Syarik termasuk di antara perbendaharaan ilmu).” Abu Ahmad bin ‘Adi mengatakan, “Syarik memiliki hadis yang banyak.” (Selengkapnya dapat dibaca pada Tahdzibul Kamal, XII:463, 472, 477; Mizanul I’Tidal, III:376; Tarikh Bagdad IX:280-282; Ma’rifatus Tsiqat, I:453; Rijal Muslim I:309-310)
Pada tahun 155 H/771 M, ketika berusia 60 tahun, ia menjadi hakim di Wasith. Satu tahun kemudian (tahun 156 H/771 M) menjadi hakim di Kufah (Tahdzibut Tahdzib IV:336). Ketika menjadi qadhi di Kufah inilah Syarik mukhtalith (hapalannya berubah) (Lihat, Taqribut Tahdzib I:243). Hal itu sebagaimana dinyatakan oleh Shalih bin Muhammad bahwa Syarik itu Shaduq dan setelah menjadi qadi di kufah idhthirab (rusak) hapalannya (Lihat, Tarikh Bagdad IX:285). Demikian pula menurut Ibnu Hiban dan Ibnu Hajar. Ibnu Hiban menyatakan:
كَانَ فِي آخِرِ عُمْرِهِ يُخْطِىءُ فِيْمَا يَرْوِيْ تَغَيَّرَ عَلَيْهِ حِفْظُهُ
“Di akhir usianya ia keliru dalam periwayatan, hapalannya berubah.” (Lihat, al-Kawakibun Nirat, I:47).
Ibnu Hajar menyatakan:
صَدُوْقٌ يُخْطِئُ كَثِيْرًا تَغَيَّرَ حِفْظُهُ مُنْذُ وُلِّيَ القضاءَ بِالْكُوْفَةِ
“Shaduq, banyak salah, berubah hapalannya sejak diangkat jadi qadi di Kufah.” (Lihat, Taqribut Tahdzib, I:243).
Keadaan ini menyebabkan Syarik melakukan kekeliruan dalam meriwayatkan sebagian hadisnya ketika di Kufah. Menurut Ibrahim bin Sa’id al-Jauhari, “Syarik keliru pada 400 hadis.” (Lihat, Mizanul I’tidal, III:373; Al-Kamil fi Dhu’afair Rijal, IV:8).
Dengan demikian, apabila ada jarah (kritikan) dari sebagian ulama terhadap Syarik, maka hal itu dapat dikategorikan menjadi dua macam:
- Berkaitan dengan rusaknya dhabth (hapalan) Syarik setelah menjadi qadhi (hakim) di kufah atau setelah tahun 155 H, ketika ia berusia 60 tahun, atau 22 tahun sebelum wafatnya.
- Berkaitan dengan hadis tertentu di antara yang 400 hadis itu.
Karena itu, jarh (celaan) para ulama tersebut tidak serta merta menolak seluruh hadis yang diriwayatkan oleh Syarik, namun ditujukan terhadap sebagian hadis yang tercakup oleh dua kategori di atas. Apabila jarh tersebut tidak didudukan seperti ini, maka akan timbul pertanyaan yang akan menolak keabsahan jarh tersebut, sebagai berikut:
Pertama: penilaian Abu Zur’ah. Abu Zur’ah (200-264 H) lahir tahun 200 H. Sedangkan Syarik wafat tahun 177 H. Berarti Abu Zur’ah lahir 23 tahun setelah Syarik meninggal. Pertanyaan, dari mana Abu Zur’ah tahu bahwa Syarik itu katsirul khatha, shahibu wahmin, yaghlathu ahyanan? Padahal ia tidak sezaman dengan Syarik.
Kedua: penilaian Abu Hatim. Abu Hatim (195-277 H) lahir tahun 195 H. Sedangkan Syarik wafat tahun 177 H. Berarti Abu Hatim lahir 18 tahun setelah Syarik meninggal. Pertanyaan: Dari mana Abu Hatim tahu bahwa Syarik itu lahu aghalith? Padahal ia tdk sezaman dengan Syarik.
Ketiga: penilaian Ibrahim bin Ya’qub. Ibrahim bin Ya’qub al-Juzajani (w. 259 H) sezaman dengan Imam Ahmad (164-241 H). Sedangkan Syarik wafat tahun 177 H. Seandainya Ibrahim lahir pada tahun 170 H, berarti Syarik wafat ketika ia berusia 7 tahun. Pertanyaan, dari mana al-Juzajani tahu bahwa Syarik itu sayyiul hifzhi, mudhtarribul hadits? Padahal ia masih kecil ketika Syarik meninggal.
Ketiga: penilaian Ya’qub bin Syaibah. Ya’qub bin Syaibah (182- 262 H) lahir tahun 182 H. Sedangkan Syarik wafat tahun 177 H. Berarti Ya’qub lahir 5 tahun setelah Syarik meninggal. Pertanyaan, dari mana Ya’qub tahu bahwa Syarik itu sayyiul hifzhi? Padahal ia tdk sezaman dengan Syarik. Dan sebenarnya redaksi yang diungkapkan oleh Ya’qub bin Syaibah itu bukan jarh tetapi ta’dil (pujian) martabat VI, yakni shalihun lil i’tibar. Kalimat ini menunjukkan bahwa hadisnya tidak mutlak ditolak tetapi layak dicari penguatnya. (lihat, Ushulul Hadits, 1989:277; Manhajun Naqd, 1985:110]
Di samping itu, jarh (celaan) para ulama di atas jelas-jelas akan bertentangan dengan ta’dil (penilaian baik) para ulama yang sezaman dengan Syarik dan lebih mengetahui keadaannya. Misalnya Ibnu Ma’in (158-233 H) menyatakan tsiqat (al-Kawakibun Nirat, I:47); Ibnul Mubarak (118-181 H) menyatakan bahwa Syarik lebih tahu terhadap hadis orang-orang Kufah daripada Sufyan at-Tsauri (Al-Mughni fid Dhu’afa, I:297). Imam Ahmad (164-241 H) menyatakan bahwa syarik itu
كَانَ عَاقِلاً صَدُوْقًا مُحَدِّثًا وَكَانَ شَدِيْدًا عَلَى أَهْلِ الرَّيْبِ وَالْبِدَعِ
“Dia orang yang kuat hapalan, jujur, ahli hadis, dan sangat tegas terhadap ahli raib (tdk teguh pendirian) dan ahli bid’ah.” (Lihat, Mizanul I’tidal, III:375)
Bahkan Yahya bin Sa’id al-Qaththan (120-198 H) menyatakan, “Tsiqatun tsiqatun” (Tahdzibul Kamal, XII:468) Kalimat Tsiqatun tsiqatun menunjukkan bahwa rawi yang dinilai memiliki kredibilitas tingkat tinggi.
Namun apabila jarh (celaan) itu didudukan berdasarkan dua kategori di atas, maka jarh mereka sebenarnya tidak bertentangan dengan ta’dil (pujian) para ulama yang sezaman dengan Syarik, yaitu
Pertama, Ta’dil (pujian) ditujukan terhadap Syarik sebelum menjadi hakim di Kufah atau sebelum tahun 155 H. Sedangkan jarh (celaan) ditujukan terhadap Syarik setelah berubah hapalannya atau setelah menjadi hakim di Kufah atau setelah tahun 155 H.
Kedua, Ta’dil ditujukan terhadap periwayatan 8.600 hadis. Sedangkan jarh ditujukan terhadap periwayatan 400 hadis.
Sedangkan khusus untuk jarh (celaan) al-Juzajani terhadap Syarik, kita perlu memperhatikan komentar para ahli hadis, antara lain al-Kautsari, Ibnu Hajar, ad-Dzahabi, dan as-Sakhawi, tentang jarh al-Juzajani terhadap orang-orang Kufah. Hal ini perlu disampaikan mengingat Syarik adalah orang Kufah. Mereka menyatakan bahwa jarh al-Juzajani terhadap orang Kufah tidak perlu diterima, karena antara dia dan orang-orang kufah terjadi permusuhan disebabkan persoalan akidah (lihat, Ta’nits al-Khatib:116; Tahdzibut Tahdzib I:93; Mizanul I’tidal, I:76; Syarah al-Alfiyah:44; ar-Raf’u wat Takmil fil Jarhi wat Ta’dil:308 dan 310) Dalam ilmu hadis, jarh seperti ini disebut jarh aqran, yakni mendaifkan orang lain karena faktor non ilmiah, antara lain sentimen atau permusuhan.
Dengan demikian, pada asalnya periwayatan Syarik itu sahih, dan untuk mengetahui apakah suatu hadis yang diriwayatkan oleh Syarik itu: (a) sebelum menjadi qadhi di Kufah (sebelum tahun 155 H) atau sesudahnya (setelah tahun 155 H)? (b) dikelompokkan pada jumlah 8.600 atau 400? (c) Sebelum mukhtalith (berubah hapalan) atau sesudahnya?
Maka dapat digunakan salah satu di antara tiga kriteria sebagai tolok ukur:
- untuk mengetahui point (a) dapat dilihat dari aspek tarikhur riwayat, yaitu kapan hadis itu diterima dan diriwayatkan olehnya
- untuk mengetahui point (b) harus dilihat dari aspek takhrij, yaitu ditelusuri seluruh riwayat Syarik dalam berbagai kitab-kitab hadis
- untuk mengetahui point (c) dapat dilihat dari 2 aspek:
[1] murid yang menerimanya
Ibnu Hiban menyatakan bahwa rawi-rawi yang menerima hadis darinya di Wasith (sebelum menjadi hakim di Kufah) maka pada periwayatan mereka tidak terjadi takhlith (sahih karena mereka menerimanya sebelum Syarik berubah hapalan), seperti Yazid bin Harun dan Ishaq al-Azraq, sedangkan rawi-rawi yang menerima hadis darinya di Kufah (setelah mukhtalit) padanya terdapat keragu-raguan (lihat, Tahdzibut Tahdzib IV:336; Al-Kawakibun Nirat fi Ma’rifati Man ikhtalatha Minar Ruwatits Tsiqat, I:47; Al-Igtibath lima’rifati man rumiya bil ikhtilath : 60).
[2] mutabi’
Yaitu adanya periwayatan rawi-rawi lain yang tsiqah (kredibel) yang mendukung periwayatannya. Dan inilah yang dijadikan landasan oleh Imam Muslim ketika beliau meriwayatkan hadis Syarik dalam kitab Shahihnya, antara lain dalam Shahih Muslim, II:510
كِتَابُ الْبِرِّ وَالصِّلَةِ وَالأَدَبِ بَابُ بِرِّ الْوَالِدَيْنِ وَأَنَّهُمَا أَحَقُّ بِهِ
diterangkan oleh Abu Hurairah:
قَالَ رَجُلٌ يَا رَسُولَ اللَّهِ مَنْ أَحَقُّ النَّاسِ بِحُسْنِ الصُّحْبَةِ قَالَ أُمُّكَ ثُمَّ أُمُّكَ ثُمَّ أُمُّكَ ثُمَّ أَبُوكَ ثُمَّ أَدْنَاكَ أَدْنَاكَ
karena menurut penelitian Muslim, hapalan dan kredibilitas Syarik dapat dibuktikan dengan adanya periwayatan rawi yang lainnya.
Berdasarkan standar kritik rawi di atas, mari kita kaji hadis Wail yang diriwayatkan oleh Syarik tentang Mendahulukan Lutut sebelum tangan ketika hendak sujud, dengan sebuah pertanyaan, apakah hadis Wail ini diriwayatkan oleh Syarik sebelum menjadi qadhi di Kufah atau sesudahnya ? Tegasnya, sebelum taghayyur hifzhihi (berubah hapalannya) atau ba’dahu (sesudahnya) ?
Berdasarkan standar ketiga di atas, maka hadis Wail ini diriwayatkan oleh Syarik sebelum berubah hapalannya. Hal itu diketahui dengan melihat orang yang meriwayatkan darinya, yaitu Yazid bin Harun. Dengan demikian hadis ini (Mendahulukan Lutut) diterima oleh Yazid dari Syarik bin Abdillah sebelum Syarik berubah hapalannya (mukhtalit). Di samping itu, periwayatan Syarik tentang mendahulukan lutut sebelum tangan ketika hendak sujud tidak tafarrud (menyendiri), karena pada riwayat Al-Haitsami hadis tersebut diriwayatkan pula melalui rawi bernama Israil bin Yunus. Ia termasuk rijal (periwayat) yang digunakan Al-Bukhari dan Muslim.
أخبرنا محمد بن إسحاق الثقفي حدثنا الحسن بن علي الخلال حدثنا يزيد بن هارون أنبأنا إسرائيل عن عاصم بن كليب عن أبيه عن وائل بن حجر قال رأيت النبي صلى الله عليه وسلم إذا سجد وضع ركبتيه قبل يديه وإذا نهض رفع يديه قبل ركبتيه
(Lihat, Mawaridhud Zham-an:132 No. 487. Dan biografi Israil dapat dilihat pada Tahdzibul Kamal, II:515-524)
Berdasarkan analisa di atas, hemat kami periwayatan Syarik tentang mendahulukan lutut sebelum tangan ketika hendak sujud adalah maqbul (dapat diterima) karena: Pertama, Syarik meriwayatkan hadis tersebut sebelum terjadinya ikhtilath. Kedua, Syarik memiliki mutabi’ (tidak menyendiri) dikuatkan oleh rawi lain yang tsiqah (kredibel), yaitu Israil bin Yunus.
B. Kedudukan Riwayat Abdul Jabbar (mutabi’)
Selain melalui rawi Syarik bin Abdullah, hadis mendahulukan lutut diriwayatkan pula melalui Abdul Jabbar bin Wail sebagai berikut:
حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ مَعْمَرٍ حَدَّثَنَا حَجَّاجُ بْنُ مِنْهَالٍ حَدَّثَنَا هَمَّامٌ حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ جُحَادَةَ عَنْ عَبْدِ الْجَبَّارِ بْنِ وَائِلٍ عَنْ أَبِيهِ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَذَكَرَ حَدِيثَ الصَّلَاةِ قَالَ فَلَمَّا سَجَدَ وَقَعَتَا رُكْبَتَاهُ إِلَى الْأَرْضِ قَبْلَ أَنْ تَقَعَ كَفَّاهُ – رواه أبو داود
(Abu Daud berkata) telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Ma’mar, Hajaj bin Minhal telah menghabarkan kepada kami, Hamam telah menghabarkan kepada kami, Muhammad bin Jahadah telah menghabarkan kepada kami, dari Abdul Jabbar bin Wail, dari ayahnya (Wail); Sesungguhnya Nabi saw. -Maka Wail menerangkan hadis salat- ia berkata, “Maka ketika beliau hendak sujud kedua lututnya kena pada tanah sebelum kedua telapak tangannya.” H.r. Abu Dawud, Aunul Ma’bud III : 48
Sebagian ulama menyatakan hadis ini munqathi’ (terputus jalur periwayatan) karena Abdul Jabar tidak mendengar hadis itu dari ayahnya (Wail). (Lihat, Tuhfatul Ahwadzi, II : 134)
Hemat kami sanad Hamam bin Yahya dari Muhammad bin Jahadah riwayat Abu Daud tersebut memang munqathi, karena Abdul Jabar tidak mendengar hadis tersebut dari ayahnya (Wail). Namun bila kita perhatikan sanad Al Baihaqi di bawah ini ternyata Abdul Jabar menerima hadis tersebut dari ibunya (istri Wail/Ummu Yahya), ia menerima dari Wail (suaminya), dengan teks sebagai berikut:
أَخْبَرَنَا أَبُوْ بَكْرٍ الْحَارِثُ الْفَقِيْهُ أَنْبَأَنَا أَبُوْ مُحَمَّدِ بْنِ حَيَّانَ ثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ يَحْيَ ثَنَا أَبُوْ كُرَيْبٍ ثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ حُجْرٍ ثَنَا سَعِيْدُ بْنُ عَبْدِ الْجَبَّارِ عَنْ عَبْدِ الْجَبَّارِ بْنِ وَائِلٍ عَنْ أُمِّهِ عَنْ وَائِلِ بْنِ حُجْرٍ قَالَ: صَلَّيْتُ خَلْفَ رَسُوْلِ الله ثُمَّ سَجَدَ وَكَانَ أَوَّلُ مَا وَصَلَ إِلَى الأَرْضِ رُكْبَتَاهُ
Abu Bakar al-Harits al-Faqih telah mengabarkan kepada kami, Abu Muhamad bin Hayyan telah mengabarkan kepada kami, Muhamad bin Yahya telah menceritakan kepada kami, Abu Kureb telah menceritakan kepada kami, Muhamad bin Hujr telah menceritakan kepada kami, Sa’id bin Abdul Jabbar telah menceritakan kepada kami, dari Abdul Jabbar bin Wail, dari ibunya, dari Wail bin Hujr, ia berkata, “Aku Salat di belakang Rasul kemudian beliau sujud dan yang paling awal sampai ke lantai adalah kedua lututnya.” (Lihat, as-Sunanul Kubra, II:99)
Dengan demikian sanad hadis tersebut muttashil (bersambung), dan dapat dipergunakan sebagai syahid (penguat) bagi hadis Anas bin Malik dan Abu Hurairah sehingga derajat keduanya naik menjadi hasan lighairihi dan dapat diamalkan.
Dari berbagai argumentasi di atas kami berkesimpulan bahwa hadis mendahulukan lutut ketika hendak turun ke sujud derajatnya shahih.
By Amin Muchtar, sigabah.com