Pada beberapa edisi sebelumnya telah diterangkan lima kriteria untuk menentukan sahih dan tidaknya suatu hadis yang diriwayatkan: (1) diriwayatkan dengan sanad muttashil (bersambung), (2) dan (3) rawi-rawinya ‘adl dan dhabth, (4) harus bebas dari syadz, yakni tidak bertentangan dengan periwayat lain yang lebih tsiqah (kredibel), (5) harus bebas dari ‘illat (penyakit hadis tersembunyi).
Dari situ kita akan telusuri, apakah Imam al-Bukhari juga merujuk lima kriteria tersebut atau tidak, atau merujuk secara ketat terhadap salah satu kriteria tertentu, atau merujuk secara selektif dan melakukan rekonstruksi baru terhadap berbagai kriteria tersebut. Itulah yang akan menjadi fokus pengamatan serta analisis kami dalam SiGabah Publikas edisi ini.
Kriteria Penyeleksian Hadis Versi Al-Bukhari
Imam al-Bukhari telah berupaya secara maksimal dalam penyeleksian hadis yang dimuat pada kitab Shahih-nya. Upaya itu dapat kita cermati dari kriteria tertentu yang dipergunakannya. Meskipun kriteria kesahihan al-Bukhari tidak dijabarkan secara mantuq (eksplisit atau tersurat), namun secara mafhum (implisit atau tersirat) hal itu dapat diketahui melalui penelitian kitabnya.
Hasil penelitian kami menunjukkan bahwa secara umum kriteria penyeleksian hadis yang dipegang Imam al-Bukhari tidak berbeda dengan para ahli hadis lainnya. Hanya pada aspek tertentu, yakni ke-mutasil-an (bersambungnya) sanad (mata rantai periwayatan) maupun kualitas rawi, beliau mempunyai kriteria atau standar tersendiri yang sangat ketat, yang kami sebut standar maksimal, sebagai berikut:
- Kriteria Sanad bersambung
Menurut Imam al-Bukhari, sanad yang dirawayatkan secara ‘an’anah dapat dikategorikan muttashil, apabila berlangsung antara murid dengan guru atau apabila rawi yang satu dengan rawi lainnya betul-betul pernah bertemu meskipun hanya satu kali (tsubut al-liqaa’). Sekedar “kemungkinan bertemu” bagi Imam al-Bukhari tidak dianggap sebagai sanad yang muttashil (bersambung). Hal ini berbeda dengan kriteria ahli-ahli hadis lainnya, terutama Imam Muslim. Jadi, syarat ketersambungan sanad versi al-Bukhari mencakup dua hal: mu’asharah (sezaman) dan liqaa’ (bertemu).
Dengan rumusan yang popular walaw marratan (walaupun pertemuan itu hanya satu kali), tidak berarti bahwa semua hadis yang diriwayatkan dengan ungkapan ‘an (dari) diketahui secara pasti bahwa hadis itu disampaikan secara berhadap-hadapan (face to face), namun yang penting dapat diketahui secara pasti bahwa kedua orang itu atau antara satu rawi dengan rawi lainnya pernah bertemu. Sedangkan syarat ketersambungan sanad versi Imam Muslim agak lunak. Ia tidak mensyaratkan mesti diketahui pertemuannya, tetapi cukup dengan Mu’asharah (sezaman), bukan tidak bertemu, tapi tidak diinformasikan pernah bertemu. Untuk memahami lebih jelas perbedaan syarat keduanya, kita praktikan melalui studi kasus hadis tentang keutamaan shaum ‘Arafah yang bersumber dari shahabat Nabi, Abu Qatadah al-Anshari.
Meski hadis ini diriwayatkan oleh 27 mukharrij (pencatat hadis), namun semua jalur periwayatannya melalui seorang rawi bernama Abdullah bin Ma’bad az-Zimani, dari Abu Qatadah, dengan lambang periwayatan ‘an (bermakna dari). Status hadis ini diterima kesahihannya oleh Imam Muslim dan lain-lain, namun ditolak oleh Imam al-Bukhari karena sanadnya tidak bersambung.
Argumentasi Imam al-Bukhari, rawi Abdullah bin Ma’bad az-Zimani La yu’rafu lahu simaa’un minhu, yaitu Abdullah bin Ma’bad az-Zimani tidak diketahui mendengar langsung dari Abu Qatadah. Jadi menurut Imam al-Bukhari, Abdullah az-Zimani dan Abu Qatadah tidak diketahui secara pasti pernah bertemu meskipun satu kali.
Sementara Imam Muslim berargumen, meski Abdullah az-Zimani dan Abu Qatadah tidak diketahui secara pasti pernah bertemu, namun bukan berarti keduanya tidak bertemu, hanya tidak diinformasikan pernah bertemu. Karena itu, jalur periwayatan Abdullah az-Zimani dari Abu Qatadah dipandang bersambung sebab dapat dipastikan keduanya hidup sezaman.
Dengan demikian, hadis tentang keutamaan shaum ‘Arafah dapat dinyatakan memenuhi kriteria shahih versi Imam Muslim, namun tidak memenuhi kriteria shahih versi al-Bukhari.
- Kriteria Kualitas Rawi
Dari aspek kualitas rawi, Imam al-Bukhari hanya berpegang pada rawi paling tinggi tingkat kesahihannya, kecuali beberapa hadis yang tidak termasuk materi pokok, seperti hadis sebagai mutabi’ dan syahid, serta hadis mauquf dan maqthu’.
Hadis Mutabi’ dan Syahid
Mutabi’’ adalah kesesuaian seorang rawi dengan rawi lainnya dalam periwayatan hadis dari sahabat yang sama. Bila kesesuaian itu terjadi sejak permulaan sanad (guru perawi), disebut mutaba’ah tammah. Namun bila terjadi setelah permulaan sanad (guru bagi guru perawi), disebut mutaba’ah qashirah. Sedangkan syahid adalah kesesuaian seorang rawi dengan rawi lainnya dalam periwayatan hadis dari sahabat yang berbeda. Sarana untuk mengetahui mutabi’ dan syahid disebut al-i’tibar.
Dalam topik ini perlu diperhatikan bahwa tidak selamanya kualitas rawi sebagi mutabi’ dan syahid itu lebih baik daripada yang diikutinya, karena terkadang terdapat beberapa periwayatan rawi yang dikategorikan daif dipergunakan pula sebagai mutabi’ atau syahid, seperti pada Shahih al-Bukhari dan Shahih Muslim. Dalam konteks inilah ungkapan istasyhada lahu al-Bukhari dan akhrajahu Muslim fi al-mutaba’at harus dipahami dan ditetapkan. Artinya, periwayatan rawi seperti ini tidak dijadikan hadis pokok (induk) oleh al-Bukhari dan Muslim, namun sebagai penguat makna dan maksud hadis.
Hadis Mauquf dan maqthu’
Mauquf adalah istilah yang dipergunakan ahli hadis bagi khabar (berita) yang diriwayatkan dari sahabat, berupa ucapan maupun perbuatan. Periwayatan ini adakalanya benar atau tidak. Periwayatan yang benar disebut mauquf shahih dan yang tidak benar disebut mauquf dhaif.
Para ahli fikih Khurasan menyebut periwayatan ini dengan nama al-‘atsar. Apabila periwayatan ini disertai keterangan yang menunjukkan pada masa Rasulullah saw., seperti “kami melakukan ini pada masa Nabi”, “kami dilarang melakukan itu pada masa Nabi”, dan seterusnya, maka kedudukannya sama dengan hadis Rasul. Para ulama menyebut mauquf model ini dengan marfu hukman.
Adapun istilah maqthu’ dipergunakan ahli hadis bagi khabar (berita) yang diriwayatkan dari tabi’in, berupa ucapan maupun perbuatan. Terkadang istilah maqthu dipergunakan oleh imam tertentu sebagai nama lain hadis munqathi (terputus sanadnya), seperti Imam al-Syafi’i, ath-Thabrani, ad-Daraquthni, dan al-Humaidi.
Pada Shahih-nya, Imam al-Bukhari banyak mengemukakan hadis mauquf dan maqthu, berupa fatwa sahabat dan tabi’in serta penafsiran ayat dari mereka. Hadis-hadis model ini dipergunakan beliau tiada lain guna memperkuat pendapat yang dipilihnya dalam berbagai persoalan yang diikhtilafkan para ulama. Karena itu, hadis-hadis seperti ini dimuat setelah penetapan judul bab.
Untuk memahami sepenuhnya kriteria kesahihan rawi versi al-Bukhari, para ulama mengajukan contoh murid az-Zuhri sebagai tolok ukur tingkat kesahihan itu. Murid az-Zuhri dikualifikasikan menjadi lima tingkatan atau martabat.
Peringkat pertama, para rawi memiliki sifat ‘adil, kuat hafalan, teliti, jujur, serta lama mujalasah (berguru) kepada az-Zuhri. Perawi inilah yang dipakai sebagai standar pokok oleh Imam al-Bukhari dalam kitab Shahih-nya
Peringkat kedua, para rawi yang memiliki kriteria seperti perangkat pertama, tetapi mujalasah-nya tidak lama. Para rawi yang menempati peringkat kedua oleh Imam al-Bukhari hanya dipergunakan sebagian.
Peringkat ketiga, para rawi yang tidak memiliki kriteria seperti perangkat pertama dan kedua, namun lebih tinggi dari peringkat keempat dan kelima. Para rawi yang menempati peringkat ketiga, oleh Imam al-Bukhari hanya dipergunakan sebagai mutabi dan syahid, yakni penguat makna atau maksud hadis.
Peringkat empat dan lima, para rawi yang lemah (dha’if), oleh Imam al-Bukhari tidak dipergunakan.
Untuk memahami lebih jelas tolok ukur tingkat kesahihan itu, kita praktikan kembali melalui studi kasus rawi bernama Abdul Aziz bin Muhamad ad-Darawardi. Rawi ini dipergunakan oleh Imam al-Bukhari dalam kitab Shahih-nya, padahal dinilai dha’if oleh ulama al-jarh wat ta’dil (kritikus rawi) karena buruk hapalan sebagai berikut:
قَالَ أَبُوْ زُرْعَةَ سَيِّءُ الْحِفْظِ فَرُبَّمَا حَدَّثَ مِنْ حِفْظِهِ الشَّيْءَ وَقَالَ النَّسَائِيُّ عَبْدُ الْعَزِيْزِ الدَّرَاوَرْدِي لَيْسَ بِالْقَوِيِّ وَقَالَ فِي مَوْضِعٍ آخَرَ لَيْسَ بِهِ بَأْسٌ وَحَدِيْثُهُ عَنْ عُبَيْدِ اللهِ بْنِ عُمَرَ مُنْكَرٌ
Abu Zur’ah berkata, “Dia buruk hapalan, terkadang ia menceritakan sesuatu dari hapalannya” An-Nasai berkata, “Abdul Aziz Ad-Darawardi tidak kuat” Dan di pada tempat lain ia berkata, “Tidak apa-apa, dan hadisnya dari Ubaidullah bin Umar adalah munkar.” (Lihat, Tahdzibul Kamal, XVIII:194)
Mengapa Imam al-Bukhari menggunakan rawi dha’if? Bukankah kasus semacam ini mengindikasikan bahwa di Shahih al-Bukhari terdapat hadis dha’if? Mari kita telisik argumentasi Imam al-Bukhari tentang rawi semacam ini.
Penilaian sayyiul hifzhi (buruk hapalan) terhadap Ad-Darawardi dilihat dari segi dhabt (hafalan)-nya, bukan ‘adalah (akidah dan akhlak)-nya. Celaan terhadap seorang rawi seperti ini dapat diterima selama rawi itu tafarrud (sendirian dalam meriwayatkan hadis) atau mukhalafah (bertentangan) dengan rawi yang tsiqah (kuat). Namun bila rawi itu tidak taffarud, artinya ia meriwayatkan hadis seperti yang diriwayatkan oleh rawi-rawi lain yang tsiqat selain dia, maka hadisnya dapat diterima.
Dengan demikian, penilaian para ulama di atas terhadap Ad-Darawardi tidak berarti menolak seluruh hadis yang diriwayatkannya, namun bergantung atas tafarrud atau tidaknya Ad-Darawardi dalam meriwayatkan hadis. Itulah sebabnya Imam al-Bukhari menggunakan rawi sekelas ini di dalam Shahih-nya, karena semua periwayatan Ad-Darawardi yang diriwayatkan oleh Imam al-Bukhari tidak tafarrud (menyendiri), tapi selalu maqrunan (disertai) oleh rawi lain yang tsiqah, seperti Abdul Aziz bin Abu Hazim pada bab Sifatul Jannah wan Nar (lihat, Fathul Bari Syarh Shahih al-Bukhari, XI:509, hadis No. 6564)
Rawi seperti ini oleh Imam al-Bukhari dimasukkan ke dalam kelompok rawi peringkat ketiga, yakni pernah mengalami cacat pada hapalannya namun tidak parah, yang dibuktikan oleh para rawi lain yang shahih. Jadi, riwayat ad-Darawardi, oleh Imam al-Bukhari, bukan dipergunakan sebagai hadis pokok/inti namun hanya sebagai mutabi dan syahid, yakni penguat makna atau maksud hadis.
Status Ad-Darawardi di luar riwayat al-Bukhari dan Muslim bisa berbeda pada setiap kasus. Misalnya, periwayatan Ad-Darawardi tentang mendahulukan tangan ketika hendak sujud. Dalam kasus ini, periwayatan Ad-Darawardi tidak dapat diterima karena tidak ada satupun rawi tsiqah (kredibel) yang memperkuat periwayatannya. Dengan demikian hadis mendahulukan tangan ketika hendak turun ke sujud riwayat ad-Darawardi derajatnya dha’if.
- Metode Kritik Hadis Versi Imam al-Bukhari
Imam al-Bukhari mengenal betul biografi para rawi yang mengambil bagian dalam periwayatan hadis. Beliau berkata, “Aku tidak akan meriwayatkan hadis yang kuterima dari sahabat dan tabi’in, sebelum aku mengetahui tempat dan tanggal kelahiran-kewafatan mereka, serta tempat tinggalnya.”
Meskipun demikian beliau sangat berhati-hati dan santun dalam mengungkapkan kritikannya, serta menggunakan bahasa yang sangat halus. Para ulama memahami betul makna kehalusan bahasanya, seperti:
فِيْهِ نَظَرٌ
Artinya: (perlu dipertimbangkan lagi)
سَكَتُوْا عَنْهُ
Artinya: (mereka tidak menghiraukannya)
Ungkapan semacam ini ditujukan kepada rawi yang tertuduh dusta dan hadisnya ditinggalkan.
مُتَكَلِّمُوْنَ فِيْهِ أَوْ يَتَكَلَّمُوْنَ فِيْهِ أَوْ تَكَلَّمَ فِيْهِ فُلاَنٌ
Artinya: (mereka memperbincangkannya atau si Polan memperbincangkannya)
Ungkapan ini walaupun secara bahasa menunjukkan jarh (celaan) yang ringan, namun dalam istilah al-Bukhari ditujukan bagi rawi yang tingkat kedhaifannya berat, seperti pendusta.
لاَيَصِحُّ حَدِيْثُهُ
Artinya: (hadisnya tidak sahih)
Ungkapan ini ditujukan kepada rawi yang pada hadisnya banyak idhtirab.
فِي إِسْنَادِهِ نَظَرٌ أَوْ فِي حَدِيْثِهِ نَظَرٌ
Artinya: (pada sanadnya perlu ditinjau kembali atau pada hadisnya perlu ditinjau kembali)
Ungkapan ini sering dinyatakan Imam al-Bukhari setelah menerangkan biografi rawi dan menyebutkan contoh hadisnya. Dengan demikian, ungkapan tersebut ditujukan kepada rawi lain pada sanad hadis yang dijadikan contoh itu.
Meskipun beliau sangat santun dalam mengkritik rawi, namun terhadap rawi yang tidak dapat ditolerir, beliau bersikap tegas dengan menyatakan:
مُنْكَرُ الْحَدِيْثِ
Artinya: (hadis itu diingkari)
Ungkapan ini ditujukan kepada rawi yang hadisnya tidak halal untuk diriwayatkan.
Di samping melakukan kajian ekstern (sanad), beliau pun melakukan kajian intern (matan) dengan menguji keabsahan kandungan suatu hadis dengan ayat Alquran yang sesuai, atau antara hadis yang satu dengan lainnya. Karena itu, untuk memberikan pengertian tentang matan hadis yang ditulis dalam kitabnya, beliau mencantumkan ayat-ayat Alquran. Di samping itu, beliau senantiasa mengulang-ulang satu hadis dengan menempatkannya pada bab-bab yang berbeda, serta sering berbeda guru dan redaksi hadisnya.
Kecermatan dan ketelitian dalam penyeleksian kualitas sanad dan matan, mempengaruhi tenggat waktu penulisan kitab tersebut. Beliau menyusun kitab Shahih-nya selama 16 tahun, dimulai sekitar tahun 214 H/829 M, pada usia 19 tahun, dan berakhir tahun 230 H/844 M. Penulisan kitab ini dilakukan setelah selesai menyusun kitab Qadhaya al-Shahabah wa al-Tabi’in dan Al-Tarikh al-Kabir di Madinah.
Setelah selesai menulis kitab Shahih-nya, al-Bukhari memperlihatkan kepada para gurunya, yaitu Ahmad bin Hanbal, Ibn Ma’in, Ibn al-Madini. Mereka semuanya menilai bahwa hadis-hadis yang dimuat di dalamnya tidak diragukan lagi kualitasnya, kecuali empat hadis saja yang memerlukan peninjauan ulang untuk dikatakan sebagai hadis sahih.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa kriteria sahih yang dipegang oleh Imam al-Bukhari menempati peringkat yang paling tinggi.
By Amin Muchtar, sigabah.com