Setiap muslim tentu saja berharap agar ibadah shalatnya diterima oleh Allah Swt. Untuk itu, setiap muslim diharuskan mengikuti tata cara shalat Nabi saw., sebagaimana perintah beliau: “Shalatlah kalian sebagaimana kalian melihat aku shalat.” Salah satu di antara tata cara shalat Nabi saw. yang sudah semestinya dikuti oleh setiap muslim adalah isyarat telunjuk waktu duduk tasyahud. Semoga tulisan sederhana ini dapat dijadikan panduan dalam upaya pengamalan Shalat sesuai contoh Nabi saw.
Hadis Tatacara Isyarat Telunjuk
Hadis tentang isyarat telunjuk waktu duduk tasyahud adalah hadis fi’li, yakni perbuatan Rasulullah yang dilihat oleh sahabat. Dalam hal ini kita temukan beberapa keterangan:
Pertama, isyarat tanpa kepalan tangan dan tahrikus sababah (menggerakan telunjuk)
عَنِ ابْنِ عُمَرَ قَالَ : كَانَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا جَلَسَ فِي الصَّلاَةِ وَضَعَ يَدَيْهِ عَلَى رُكْبَتَيْهِ وَرَفَعَ أُصْبُعَهُ الْيُمْنَى الَّتِيْ تَلِي اْلإِبْهَامَ فَدَعَا بِهَا ، وَيَدَهُ اْليُسْرَى عَلَى رُكْبَتِهِ بَاسِطَهَا عَلَيْهَا
Dari Ibnu Umar, ia mengatakan, “Rasululah saw. apabila duduk dalam salat menyimpan tangannya di atas kedua lututnya, dan beliau mengangkat telunjuknya yang sebelah kanan dekat ibu jari, beliau berdoa dengan itu, dan tangan kirinya di atas lututnya dalam keadaan terhampar (tidak digenggam).” HR. Ahmad, Musnad Ahmad, Juz 2, hlm. 147, Hadis No. 6.348; Muslim, Shahih Muslim, Juz 1, hlm. 408, Hadis No. 580.
Hadis ini menerangkan Rasulullah saw. menempatkan tangan kanannya di atas paha kanan, lalu berisyarat tanpa menyebut dikepalkannya tangan kanan sama sekali. Hadis-hadis semakna diriwayatkan pula oleh Muslim dari dari Abdulah bin Zubair; Abu Dawud dan at-Tirmidzi dari sahabat Abu Humaid. Semuanya tanpa keterangan menggenggamkan tangan dan tahrikus sababah (menggerakan-gerakan telunjuk).
Berdasarkan hadis ini sebagaian ulama berpendapat bahwa berisyarat waktu duduk tasyahud itu tanpa dikepalkan dan tanpa tahrikus sababah.
Kedua, isyarat disertai kepalan tangan tetapi tanpa tahrikus sababah
كَانَ إِذَا جَلَسَ فِي الصَّلاَةِ وَضَعَ كَفَّهُ اْليُمْنَى عَلَى فَخِذِهِ الْيُمْنَى وَقَبَضَ أَصَابِعَهُ كُلَّهَا وَأَشَارَ بِأُصْبُعِهِ اَّلتِي تَلِى الإِبْهَامَ وَوَضَعَ كَفَّهُ الْيُسْرَى
“Rasululah apabila duduk dalam salat menyimpan tangan kanannya di atas paha kanannya dan beliau menggenggamkan jari-jari dan berisyarat dengan telunjuk, dan menyimpan tangan kirinya.” HR. Ahmad, Musnad Ahmad, Juz 1, hlm. 408, Hadis No. 580; Muslim, Shahih Muslim, Juz 1, hlm. 408, Hadis No. 580; an-Nasai, Sunan an-Nasai, Juz 3, hlm. 36, Hadis No. 1.267
Pada riwayat Abu Dawud, an-Nasai, al-Baihaqi diiterangkan dengan lafal sebagai berikut :
عَنْ عَبْدِ اللهِ بْنِ الزُّبَيْرِ أَنَّهُ ذَكَرَهُ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يُشِيرُ بِأُصْبُعِهِ إِذَا دَعَا وَلاَ يُحَرِّكُهَا
“Dari Abdullah bin Zubair sesungguhnya ia menerangkan bahwa Nabi saw. berisyarat dengan telunjuknya apabila berdoa (attahiyyat) dan tidak menggerak-gerakannya.” HR. An-Nasai, As-Sunan al-Kubra, Juz 1, hlm. 376, Hadis No. 1.193; Sunan an-Nasai, Juz 3, hlm. 37, Hadis No. 1.270; Abu Dawud, Sunan Abu Dawud, Juz 1, hlm. 260, Hadis No. 989.
Sebagian ulama berpendapat, hadis Wail bin Hujr riwayat Ahmad yang menerangkan adanya menggerak-gerakan telunjuk tidak dapat dipakai hujah karena hadisnya lemah disebabkan pada sanadnya terdapat seorang rawi bernama Ashim bin Kulaeb yang buruk hafalan. Demikian dikatakan oleh Yahya al Qaththan, “bahwasannya saya tidak mendapatkan rawi bernama Ashim kecuali ia jelek hafalan.” (Lihat, Mizanul i’tidal, II : 357) Ditambah dengan keterangan Ibnu Al-Madini yang berujar, ”Laa yuhtajju biman farada bihi (Tidak dipakai hujah bila meriwayatkan sendirian).”
Merujuk kepada penilaian para kritikus hadis di atas, sebagian ulama berpendapat bahwa isyarat dilakukan tetapi tanpa tahrikus sababah (mengerak-gerakkan telunjuk). Dengan perkataan lain hanya menunjuk.
- isyarat disertai kepalan tangan dengan tahrikus sababah
Berdasarkan hadis Wail bin Hujr yang menggunakan redaksi
…ثُمَّ قَبَضَ ثِنْتَيْنِ مِنْ أَصَابِعِهِ وَحَلَقَ حَلْقَةً، ثُمَّ رَفَعَ أُصْبُعَهُ فَرَأَيْتُهُ يُحَرِّكُهَا يَدْعُوْ بِهَا
“…Lalu beliau menggenggamkan dua jarinya dan membuat lingkaran, kemudian mengangkat telunjuknya, maka aku melihat beliau menggerak-gerakannya sambil berdoa bersamaan dengan telunjuk itu.” H.r. Ahmad, An-Nasai dan Abu Dawud
HR. Ahmad, Musnad Ahmad, Juz 4, hlm. 318, Hadis No. 18.890; an-Nasai, As-Sunan al-Kubra, Juz 1, hlm. 310, Hadis No. 963, Juz 1, hlm. 376, Hadis No. 1191; Sunan an-Nasai, Juz 2, hlm. 126, Hadis No. 889, Juz 3, hlm. 37, Hadis No. 1268; Ibnu Khuzaimah, Shahih Ibnu Khuzaimah, Juz 1, hlm. 354, Hadis No. 714; Ibnu Hiban, Shahih Ibnu Hiban, Juz 5, hlm. 170, Hadis No. 1860.
Menurut sebagian ulama hadis ini tidak dhaif, bahkan sahih, tidak seperti dikatakan pendapat kedua. Karena pernyataan jelek hafalan terhadap rawi bernama Ashim yang dinyatakan Yahya Al-Qaththan, bila ditujukan kepada Ashim bin Kulaib adalah salah alamat, karena Ashim bin Kulaib adalah rawi yang tsiqah (kredibel), bahkan termasuk di antara rijal (rawi) Al-Bukhari.
Meskipun demikian, para ulama yang mendukung kesahihan hadis ini berbeda pendapat dalam istinbat ahkam (penetapan hukum)nya. Sebagian berpendapat bahwa isyarat itu disertai kepalan tangan, boleh dengan tahrikus sababah (mengerak-gerakkan telunjuk) dan boleh juga tanpa tahrikus sababah, karena Rasulullah pernah melaksanakan kedua cara berisyarat ini, yaitu menggerak-gerakkannya dan tidak menggerakkannya. Maka memilih salah satu merupakan hal yang tepat karena menunjukkan jawaazul amrain (kedua amal itu boleh jadi pilihan).
Sementara sebagian lainnya tidak menyatakan jawaazul amrain tetapi menyatakan hanya ada tahrikus sababah (mengerak-gerakkan telunjuk), dengan pertimbangan bahwa keterangan Wail bin Hujr yang menyatakan tahrikus sababah merupakan ziyaadatul ilmi (tambahan pengetahuan) yang lebih rinci dari hasil pengamatan yang amat cermat dari Wail bin Hujr sendiri. Terbukti bahwa keterangan tahrikus sababah tidak terdapat pada periwayatan sahabat lain. Dengan demikian hadis-hadis lain yang menerangkan “hanya sampai berisyarat” masih perlu dilengkapi dengan keterangan dari Wail bin Hujr ini.
Dalam hal ini penulis cenderung memilih pendapat keempat, yaitu tangan dikepalkan, berisyarat, dan tahrikus sababah, dengan pertimbangan sanad (jalur periwayatan) dan matan (teks) sebagai berikut:
- Kedudukan Hadis laa yuharrikuha (Tidak menggerakkan)
Pada beberapa riwayat terdapat keterangan sahabat bahwa Rasulullah saw. ketika berisyat laa yuharrikuha (tidak menggerak-gerakannya). Kami merasa perlu untuk membahasnya secara khusus karena secara jelas menyalahi keterangan Wail bin Hujr yang menyatakan, ”Saya melihat Rasulullah saw. menggerak-gerakan telunjuknya.”
Menurut Syekh Muhammad Nashiruddin al-Albani, “Hadis yang menerangkan bahwa Rasulullah saw. tidak menggerak-gerakkan telunjuknya tidak kuat dari segi sanadnya.” (Lihat, Shifatush Shalatin Nabiyyi, hal. 170). Hemat kami, karena pada sanadnya terdapat dua orang rawi yang daif, yaitu a) Muhamad bin Ajlan, ia buruk hapalan (Lihat, Mizanul Itidal, III:644), b) Hajaj bin Muhamad, ia mukhtalith (pikun). (Lihat, Tahdzibul Kamal, V:456).
Di samping itu secara matan Kalimat walaa yuharrikuha (tidak menggerak-gerakkan telunjuknya) pada hadis Abdullah bin Zuber merupakan tambahan dari orang yang daif di atas, sebab pada riwayat Muslim juga dari Abdullah bin Zuber tidak terdapat kalimat itu. Redaksi lengkap riwayat Muslim sebagai berikut:
عَبْدِ اللَّهِ بْنِ الزُّبَيْرِ عَنْ أَبِيهِ قَالَ كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا قَعَدَ يَدْعُو وَضَعَ يَدَهُ الْيُمْنَى عَلَى فَخِذِهِ الْيُمْنَى وَيَدَهُ الْيُسْرَى عَلَى فَخِذِهِ الْيُسْرَى وَأَشَارَ بِإِصْبَعِهِ السَّبَّابَةِ وَوَضَعَ إِبْهَامَهُ عَلَى إِصْبَعِهِ الْوُسْطَى وَيُلْقِمُ كَفَّهُ الْيُسْرَى رُكْبَتَهُ
“Dari Abdullah bin Zubair, dari ayahnya, ia berkata, ‘Rasulullah saw. apabila duduk berdoa, beliau menempatkan tangan kanannya di atas paha kanan dan tangannya yang kiri di atas paha kiri, dan beliau berisyarat dengan jari telunjuknya serta menempatkan ibu jari pada jari tengah dan menaruh telapak tangan kiri pada lutut.” HR. Muslim, Shahih Muslim, Juz 1, hlm. 408, Hadis No. 579.
- Kedudukan Hadis yuharrikuha (menggerakkan)
Sebagian ulama menganggap bahwa hadis Wail bin Hujr yang menerangkan telunjuk digerak-gerakan ketika tasyahhud sebagai hadis dha’if, karena pada sanadnya ada rawi bernama Ashim bin Kulaib. Adapun alasan mereka adalah sebagai berikut:
Yahya al-Qaththan berkata:
مَاوَجَدْتُ رَجُلاً إِسْمُهُ عَاصِمٌ إِلاَّ وَجَدَتْهُ رَدِيْئَ الْحِفْظِ
“Aku tidak mendapatkan seorangpun yang bernama Ashim, kecuali aku mendapatkannya dalam keadaan buruk hapalan.” (Lihat, Mizanul I’tidal, II:357).
Ibnul Madini berkata:
لاَ يُحْتَجُّ بِمَا انْفَرَدَ
“Ashim tidak dapat dipakai hujjah jika menyendiri dalam meriwayatkan hadis.” (ibid.,).
Sementara para ulama lain menganggap Ashim itu adalah rawi yang tsiqah (kredibel), seperti Ibnu Ma’in berkata, “Ashim tsiqah (kuat).” An-Nasai berkata, “Ashim tsiqah.” Abu Hatim berkata, “Ashim shalih.” Demikian penilaian para ulama hadis tentang keadaan Ashim bin Kulaib.
Berdasarkan keterangan-keterangan di atas, maka sebenarnya tidak ada seorangpun yang mendha’ifkan Ashim bin Kulaib secara jelas dan tegas. Adapun penilaian Yahya al-Qathtahan tidak ditujukan kepada Ashim bin Kulaib, karena alasan sebagai berikut:
Pertama, di dalam kitab Mizanul I’tidal rawi yang bernama Ashim sebanyak 28 orang, serta dalam kitab Tahdzibut Tahdzib sebanyak 32 orang, termasuk Ashim bin Kulaib. Namun bila kita perhatikan dengan seksama, ternyata ada Ashim yang disebut dalam kitab Mizanul I’tidal disebutkan pula dalam kitab Tahdzibut Tahdzib, atau ada Ashim yang tidak disebut dalam kitab al-Mizan tapi disebut dalam kitab at-Tahdzib, demikian pula sebaliknya.
Dengan demikian, bila kita melakukan studi banding terhadap kedua kitab kompilasi para periwayat tersebut, maka dapat kita seleksi bahwa rawi bernama Ashim itu berjumlah 43 orang, di antaranya:
- Ashim bin Sulaiman. Dia rawi al-Bukhari, Muslim, Abu Dawud, at-Tirmidzi, an-Nasai, dan Ibnu Majah.
- Ashim bin Ali bin Ashim, dia rawi al-Bukhari.
- Ashim bin Umar bin Qatadah, dia rawi al-Bukhari, Muslim, Abu Dawud, at-Tirmidzi, an-Nasai, dan Ibnu Majah.
- Ashim bin Kulaib, dia rawi Muslim, Abu Dawud, at-Tirmidzi, an-Nasai, dan Ibnu Majah.
- Ashim bin Yusuf, dia rawi al-Bukhari dan Muslim.
Berdasarkan perbandingan di atas, maka tidak semua rawi yang bernama Ashim ternyata buruk hapalan, seperti Ashim rawinya al-Bukhari dan Muslim. Karena itu, sebenarnya Ashim yang mana—yang dinilai buruk hapalan—menurut Yahya al-Qaththan itu ?
Kedua, kalau kita berpegang kepada perkataan Yahya al-Qaththan secara mutlak, berarti semua rawi bernama Ashim adalah buruk hapalan, termasuk Ashim rawinya al-Bukhari. Namun setelah kami melakukan penelitian terhadap kitab Mizanul I’tidal, kami mendapatkan perkataan Yahya al-Qaththan itu ketika membahas rawi bernama Ashim bin Abun Najud, bukan dalam pembahasan Ashim bin Kulaib. Ashim bin Abun Najud ditempatkan pada jilid II, halaman 357 dengan nomor rawi 4068, sedangkan Ashim bin Kulaib pada jilid II, halaman 356 dengan nomor rawi 4064.
Berdasarkan penelitian ini, tampak jelas bahwa Ashim yang dimaksud oleh Yahya al-Qaththan itu bin Abun Najud. Karena itu perkataan Yahya al-Qaththan tersebut tidak dapat dipakai hujjah untuk mendha’ifkan Ashim bin Kulaib. Dan hal ini menunjukkan bahwa Ashim bin Kulaib seorang rawi yang tsiqah (kredibel) sebagaimana dinyatakan oleh Ibnu Hajar dalam kitab Tahdzibut Tahdzib dan adz-Dzahabi dalam kitab Mizanul I’tidal.
Kemudian tentang celaan Ibnul Madini terhadap Ashim bin Kulaib tidak dapat diterima, karena tidak menerangkan sebab atau alasan jarhnya. Sedangkan dalam kaidah jarah-ta’dil (kritik rawi) yang telah disepakati para ulama disebutkan bahwa jarh (celaan) dapat diterima kalau diterangkan sebab jarh (cacat)nya.
Analisa Matan
Sahabat Wail bin Hujr secara tegas memulai riwayatnya dengan kalimat:
لَأَنْظُرَنَّ اِلَى الصَّلَاةِ رَسُوْلِ اللهِ ص كَيْفَ يُصَلِّي, فَنَظَرْتُ اِلَيْهِ…ثُمَّ رَفَعَ اِصْبَعَهُ فَرَأَيْتُهُ يُحَرِّكُهُا يَدْعُوْ بِهَا …
“Sungguh benar-benar aku ingin melihat bagaimana Rasulullah saw bersembahyang? Lalu aku melihat padanya...kemudian Rasulullah mengangkat telunjuknya dan Aku Melihat beliau menggerak-gerakkan telunjuknya, seraya berdoa bersama telunjuknya.”
Demikianlah Wail memulai pembicaraanya. Di dalam perkataannya tampak jelas terlihat keinginannya yang teguh untuk meneliti bagaimana cara Rasulullah melaksanakan salat, dan benar-benar ia telah menyaksikannya.
Setelah Wail menerangkan cara Rasulullah salat seperti yang disaksikannya dan akhirnya ia menegaskan cara mengangkat telunjuk, isyarat selama tasyahud dengan menggunakan kalimat yang sharih (jelas) lagi tegas bahwa benar-benar ia melihat dengan mata kepala sendiri.
Wail dengan sengaja memperhatikan dan meneliti Rasulullah dalam shalat baik ia nyatakan dengan kata-kata yang meyakinkan, yaitu “aku melihat”. Dijelaskannnya bahwa, selama bacaan tasyahhud yang isinya doa kepada Allah, beliau terus menerus menggerak-gerakkan telunjuknya.
Di situ dinyatakan bahwa permulaan isyarat tersebut dari sejak beliau meletakkan tangan di atas pahanya. Jadi jelas bahwa telunjuk itu digerak-gerakkan selama bacaan tasyahud dari awal sampai akhir. Hal ini menunjukkan bahwa Keterangan Wail bersifat muqayyad, yakni ditegaskan sifat isyaratnya.
Sedangkan keterangan yang menyatakan Rasulullah saw. berisyarat dengan telunjuknya tanpa keterangan tahrikus sababah (menggerak-gerakkan telunjuk), yaitu keterangan Abdullah bin Zubair dan Ibnu Umar tidak terdapat ketegasan “aku melihat” dan bagaimana bentuk berisyarat itu. Hal ini menunjukkan bahwa Keterangan mereka bersifat mutlaq (tidak ditegaskan sifatnya). Berarti di antara hadis Wail dan Ibnu Zubair-Ibnu Umar tidak bertentangan melainkan hamlul mutlaq ‘alal muqayyad, yaitu hadis Wail jadi penegas dan jadi taqyid (pembatas) keterangan Ibnu Zubair-Ibnu Umar yang mutlaq (umum). Dengan perkataan lain, isyarat yang dimaksud berupa menggerak-gerakkan telunjuk.
Berdasarkan analisa di atas, kami berkesimpulan bahwa menggerak-gerakkan telunjuk waktu duduk tasyahhud merupakan sunah Rasul yang layak diamalkan.
By Amin Muchtar, sigabah.com
bismillah. ustadz, saya menyimak suatu penjelasan bahwa hadits dari wail bin hujr berjumlah total 12, sementara yang menambahkan kata yuharikuha, hanya 1 salah satu saja yaitu yang melalui sanad ziyad bin qudamah dan 11 jalur lainnya tidak ada tambahan tersebut.
mohon dapat ditanggapi apakah hal tersebut benar adanya. jazakallah
Mohon maaf, sedikit koreksi yang benar adalah “Zaidah bin Qudamah”. Tentang adanya kebenaran periwayatan “Yuharrikuhaa” hanya dari Zaidah bin Qudamah itu benar adanya. dan tanggapannya telah disampaikan pada komentar sebelumnya. Terima kasih atas komentarnya.
jazakumullah ….
Aamiin
Alhamdulillah cukup jelas ustadz, hanya ana ingin menanyakan, sebagian ulama menyebutkan bahwa dalam periwayatan matan hadits dari Wail bin Hujr ini terdapat kurang lebih 22 rawi semuanya sama dengan matan tanpa ‘yuharrikuha’ sementara satu orang rawi bernama Zaidah bin Qudamah yang menyebutkan tambahan kata ‘yuharrikuha’, mereka berpendapat jika di bandingkan 1 vs 22 rawi (sama2 tsiqah) ini jadi yang lebih kuat adalah yg jumlah banyak, apakah benar seperti itu? Mohon penjelasan lebih lanjut, jazaakallah.
Memang benar jika dikatakan bahwa hadis tanpa ada keterangan “yuharrikuhaa” lebih banyak jumlahnya jika dibandingkan dengan yang memakai “yuharrikuhaa” karena hanya bersumber dari Zaidah bin Qudamah saja. Namun, secara umum melihat mana yang lebih kuat tentu tidak dilihat dari jumlah. Karena baik hadis dari jalur Zaidah bin Qudamah maupun jalur lainnya sama-sama tsiqat dan tidak perlu adanya tarjih antara keduanya, selama masih memungkinkan dijama’ (disatukan maknannya), yaitu pemaknaan menggerak-gerakan telunjuk dimasukan dalam makna isyarat yang disebutkan oleh riwayat lain. Terima kasih
Bismillah, ustadz yg memakai lafadz yuharrikuha kalau melihat asbabul wurudnya yang terdapat pada hadis riwayat ahmad karena ketika itu cuaca sedang dingin.. apa memungkinkan itu yg menjadi faktor? Karena seperti yang disebutkan kalau lah rawi yg menjadi permasalahan pada sanad tersebut ada di deretan rijal2 yg shahih menurut bukhari, kenapa bukhari tidak memasukan hadis ini pada kitab shahihnya, juga dalam redaksi yg terdapat pada shahih muslim pun tanpa yuharrikuha. Sepengetahuan saya biasanya kalau dalam keotentikan lafadz muslim lebih unggul dalam hal itu. Terima kasih ustadz sebelumnya
Terima kasih atas komentarnya. Jika kita melihat secara lengkap matan hadis yang dimaksud, maka akan kita temukan bahwa Wail bin Hujr datang kepad Nabi 2 kali. Pada kedatangan beliau yang kedua itulah di mana cuaca sedang dingin sampai para sahabat shalat dengan memakai kain yang diselimutkan. Dan di sana Wail bin Hujr melihat adanya aktifitas “bergerak”nya jari dengan “bergeraknya” selimut yang menutupi badan tersebut. Jadi peristiwa itu tidak pas jika dijadikan sebagai sebab, justru hal tersebut menguatkan adanya “pergerakan” jari telunjuk baik ketika terbuka maupun tertutup kain sekalipun. Terima kasih