Darurat, terpaksa, dan terdesak merupakan kosa kata yang sudah jamak terdengar di telinga kita. Menurut KBBI, kata darurat dapat digunakan dalam tiga makna: (1) keadaan sukar (sulit) yang tidak tersangka-sangka, misalnya dalam bahaya, kelaparan, dan sebagainya, yang memerlukan penanggulangan segera. Sebagai misal: “dalam keadaan darurat Pemerintah harus dapat bertindak cepat untuk mengatasi keadaan”; (2) keadaan terpaksa, misalnya: “dalam keadaan darurat Pemerintah dapat segera memutuskan tindakan yang tepat”; (3) keadaan sementara, misalnya: “mereka ditampung dalam suatu bangunan darurat.”
Sementara kata terdesak dapat dimaknai: (1) tersesak (hingga tidak lapang atau tidak leluasa lagi), misalnya: “Badannya sudah terdesak di sudut tembok”; (2) terpaksa, misalnya: “Ia menggadaikan perhiasannya karena terdesak oleh keadaan”; (3) sudah didesak mundur, misalnya: “tentara musuh sudah mulai terdesak.”
Adapun terpaksa dimaknai berbuat di luar kemauan sendiri karena terdesak oleh keadaan; mau tidak mau harus; tidak boleh tidak. Sebagai misal: “kami terpaksa menerimanya karena tidak ada jalan lain.”
Ketiga kata itu sempat mendapat sorotan tajam dari masyarakat, khususnya warga kota Bandung dan Bogor, beberapa hari yang lalu. Sorotan ditujukan bukan kepada pemaknaan melainkan konteks penggunaan oleh dua kepala pemerintahan daerah di Jawa Barat karena sama-sama terdesak oleh keadaan, namun konsekuensinya menjadi berbeda.
“Terpaksa 1” digunakan oleh “Bandung 1” (Walikota Bandung), Bapak Ridwan Kamil, atau yang akrab dipanggil Kang Emil, sebagai alasan dirinya memberikan izin kepada Ikatan Jamaah Ahlul Bait Indonesia (IJABI) untuk menggelar acara peringatan hari Asyura Syiah di Stadion Persib pada hari Jumat, 23 Oktober 2015 lalu.
Sementara “Terpaksa 2” digunakan oleh “Bogor 1” (Walikota Bogor), Bapak Bima Arya, sebagai alasan dirinya mengeluarkan Surat Edaran larangan perayaan Asyuro yang digelar oleh kelompok Syiah pekan lalu. Larangan perayaan Asyura versi “Bogor 1” itu tertuang dalam Surat Edaran Nomor 300/1321-Kesbangpol.
“Terpaksa” dalam konteks berbeda itu (mengizinkan & melarang) dilatarbelakangi oleh keadaan yang sama: “dampak keamanan”. Maka dengan terpaksa saya bilang, ini harus cepat-cepat beres supaya tidak menimbulkan dampak keamanan. Akhirnya secara lisan saya izinkan, itu pun saya bilang maksimal satu jam dan segera bubar,” papar Kang Emil.
Kang Emil memaparkan Sababul Kurunyung (asal-usul)nya: “Kronologisnya begini, waktu itu saya sedang berada di luar kota. Sekira Maghrib saya ditelepon oleh pengurus IJABI sebagai panitia acara yang mengaku sudah ada ribuan orang untuk mengikuti acara namun belum mendapat tempat. Khawatir dan takut terjadi chaos dan gesekan dengan massa yang kontra maka saya harus memutuskan sesuatu yang masuk logika, yaitu Bandung harus aman,” jelasnya di hadapan puluhan perwakilan ormas Islam yang tergabung dala Pembela Ahlu Sunnah (PAS) di kantornya Jalan Wastukencana Kota Bandung, Selasa (27/10/2015).
Sementara untuk menjaga Bogor yang selama ini sudah kondusif, Bima tak ingin Bogor dilanda konflik dan berdarah-darah hanya lantaran adanya penolakan warga atas acara Asyura Syiah itu. Bima pun memaparkan Sababul Kurunyung-nya: “Pelarangn itu akhirnya dikeluarkn krn pihak syiah tdk konsisten,kita sdh lakukan pndkatan persuasif.” “Stelah pndkatan persuasif pihak syiah awalnya kooperatif, namun mrk nekat tetap menjalankn acara.” “Krn syiah ttp nekat mlaksanakn acranya mk kta bubarkan” tulis Bima di akun twitternya.
“Terpaksa” versi Bogor dibuat secara resmi (surat edaran) dengan memperhatikan tiga hal: Pertama, sikap dan respons dari Majelis Ulama Indonesia (MUI) Kota Bogor dengan Nomor: 042/SEK-MUI/KB/VI/2015 tentang paham Syiah. Kedua, yakni surat pernyataan dari organisasi masyarakat (ormas) Islam di Kota Bogor yang menyatakan penolakan segala bentuk kegiatan keagamaan Syiah. Ketiga, hasil rapat pimpinan daerah.
“Terpaksa” versi Bandung dibuat tidak secara resmi (hanya lisan, tanpa surat edaran) dengan tidak memperhatikan tiga hal sebagaimana dilakukan Bima. Emil menegaskan bahwa dirinya tak pernah memberi izin tertulis ataupun rekomendasi tempat atas terselenggaranya Asyura. Ia mengaku terpaksa mengizinkan secara lisan, karena saat itu kondisinya darurat.
Kang Emil Terpaksa, Syiah Berbahagia
Setelah sukses “memaksa” Kang Emil agar “terpaksa”, tak lama kemudian para tokoh dan umat Syiah mengapresiasi Kang Emil.
“Bandung benar2 JUARA. Persibnya Juara. Walikotanya ‘Juara’ memberi contoh memimpin dgn konstitusi. @BimaAryaS hrs belajar ke @ridwankamil.” Tulis Syamsuddin Baharuddin, Ketua Umum PP IJABI, di akun twitternya.
“Pak @ridwankamil berhasil menunjukkan komitmennya m’jadi pemimpin semua golongan tanpa diskriminasi. Moga terwujud impian Bandung Kota HAM.” Tuturnya.
“Meski ditentang sekelompok kecil intoleran, Asyura sukses diadakan di Stadion Persib Bandung. Terimakasih Walikota & Kapolrestabes Bandung,” terang IJABI melalui akun twitternya, @ijabipp
“Karena memberikan Stadion Persib untuk kita ber-Asyura, Ridwan Kamil dibully di sosmed.
Kepada teman² netizen IJABI mari tunjukkan terimakasih kita pada Ridwan Kamil dgn mengapresiasi keberanian beliau, tuliskan apresiasi kita lewat akun twiter dan facebook” Papar pengurus IJABI melalui Group Whatsapp-nya
“Bukan ujub ya. Tapi kok rasanya ada kebanggaan, di tengah teror takfiri, Asyura tetap lancar sampai akhir. Nuhun Gusti Allah Alhamdulillah juga Kang Emil lebih cerdas dan berani ketimbang Walikota Bogor Arya Bima yg melarang Asyura.” Timpal pengurus lainnya
Sementara terhadap “keterpaksaan” Kang Emil, salah seorang pengurus IJABI, berkomentar: “Saya tdk yakin Kang Emil dlm posisi ‘terdesak’ saat pertemuan itu.”
Beragama komentar apresiasi dari pihak Syiah, sebagaimana terbaca di atas, sekilas menunjukkan bahwa diizinkannya peringatan tersebut bukan karena “keterpaksaan” Kang Emil, namun karena memang Kang Emil berkomitmen menjadikan Bandung sebagai Kota HAM. Lantas siapa yang dapat dipercaya, apakah Kang Emil sebagai pihak yang merasa “terpaksa” ataukah Syiah sebagai pihak yang “memaksa”?
“Dalam hidup saya ada persimpangan-persimpangan emergensi yang saya terpaksa harus memutuskan. Tapi Allah Maha Tahu isi hati saya. Pada akhirnya kebenarannya saya pertanggungjawabkan di hadapan Allah subhanahu wa ta’ala. Saya tidak menyukai Syiah,” ujar Kang Emil.
Bima Terpaksa, Bukan hanya Syiah yang Merana
Berbeda dengan keterpaksaan Kang Emil, keterpaksaan Bima menuai sindiran dan kecaman beberapa pihak, bukan hanya Syiah. Kecaman keras datang dari salah satu tokoh Syiah, yang juga senior Bima, Abdillah Toha. Protes lainnya muncul dari para penggiat HAM dan pengusung liberalism, yang kebaran jenggotnya terlalu kentara, seperti pendiri Lingkaran Survei Indonesia (LSI), Denny JA dan Akhmad Sahal. Tak ketinggalan Komnas Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) melayangkan surat teguran, bernomor 007/TIM-KBB/X/2015 tertanggal 27 Oktober 2015, kepada Bima.
Takut kehilangan muka, Slamet Effendy Yusuf, sebagai Ketua Komisi Kerukunan Umat Beragama Majelis Ulama Indonesia (MUI) pusat, bukannya melindungi sikap dan respons dari “lembaga bawahannya” Majelis Ulama Indonesia (MUI) Kota Bogor, sebagai salah satu landasan kebijakan Bima, malah ikut-ikutan mengecam Bima (tempo.co, Sabtu, 24/10/ 2015).
Belum lagi kecaman di media sosial, seperti Twitter, buzz nama “Bima Arya” terpantau melonjak hingga mencapai 2,167 kicauan dalam sehari.
Dalam menanggapi berbagai kecaman itu, Bima tidak meminta maaf seperti halnya Kang Emil. Ia mengatakan, di akun twitternya: “Apapun kritiknya bagi sy TIDAK MASALAH, karena HAKIKATNYA YG MENILAI KITA ADALAH ALLOH SWT”
“Saya tidak ambil pusing, mau di-bully oleh jutaan orang sekalipun di sosial media. Di dunia ini tidak ada yang berhak menilai, penilaian sejati itu dari Allah Swt,” ujar Bima saat ditemui Suara Islam Online dan sejumlah media Islam lainnya di Balaikota Bogor, Senin (26/10/2015).
Dalam menyikap “keterpaksaan” dua pemimpin masyarakat itu, tentu saja kita mesti merujuk kepada “Pengambil Kebijakan hakiki”, yang tidak pernah “terpaksa” dalam menetapkan keputusan, sebagaimana termanifestasikan dalam adagium Islam: “keterpaksaan mesti dihilangkan (adh-Dhararu yuzaalu).”
Merujuk kepada adagium itu, mari kita kawal Kang Emil dan Bima agar keterpaksaannya dapat dihilangkan, sehingga warga masyarakat pada umumnya, di kedua kota itu pada khususnya, dapat hidup dengan aman dan tenteram tanpa “keterpaksaan”, manakala orang-orang Syiah dan para “calonya” telah angkat kaki secara sukarela atau dengan cara terpaksa. 🙂
By Amin Muchtar, sigabah.com/beta