Ittifaq (Kesepakatan) Ahlus Sunnah
- Terhadap Imamah dan Imam
Imamah, Khilafah, dan Imarah merupakan variasi istilah yang digunakan untuk menunjuk maksud yang sama, sebagaimana dikemukakan Muhammad Najib Al-Muthi’iy dalam Takmilah kitab al-Majmu’ Syarh Al-Muhadzab karya Imam An-Nawawi (Juz 17, hlm. 517). Demikian pula menurut Syekh Muhammad Rasyid Ridha (Lihat, Al-Khilafah wa Al-Imamah, hlm. 101). Sehubungan dengan itu, Prof. Dr. Wuhbah az-Zuhaili menyatakan:
أَلاِمَامَةُ الْعُظْمَى أَوِ الْخِلاَفَةُ أَوْ اِمَارَةُ الْمُؤْمِنِيْنَ كُلُّهَا تُؤَدِّي مَعْنًى وَاحِدًا وَتَدُلُّ عَلَى وَظِيْفَةٍ وَاحِدَةٍ هِيَ السُّلْطَةُ الْحُكُوْمِيَّةُ اْلعُلْيَا
“Imamah uzhma atau khilafah atau imaratul mukminin semuanya memberikan satu makna dan menunjukkan pada satu tugas, yaitu kekuasaan negara yang paling tinggi.” (Lihat, al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu, VIII:6144)
Adapun secara definitif para ulama telah memberikan penjelasan sebagai berikut:
Menurut As-Sa’ad at-Taftazani:
الْخِلاَفَةُ رِئَاسَةٌ عَامَّةٌ فِي أَمْرِ الدِّيْنِ وَالدُّنْيَا خِلاَفَةً عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
“Al–khilafah adalah kepemimpinan umum dalam urusan agama dan dunia sebagai pengganti (pelanjut) dari Nabi saw.” (Lihat, Al-khilaafah, hlm. 17)
Menurut Imam al-Mawardi:
أَلْاِمَامَةُ مَوْضُوْعَةٌ لِخِلاَفَةِ النُّبُوَّةِ فِي حِرَاسَةِ الدِّيْنِ وَسِيَاسَةِ الدُّنْيَا
“Imamah itu diproyeksikan untuk melanjutkan nubuwwah (kenabian) dalam memelihara agama dan mengatur dunia.“ (Lihat, al-Ahkam al-Sulthaniyyah, hlm. 5)
Ibnu Khaldun memberikan batasan tentang imamah sebagai berikut:
هِيَ حَمْلُ الْكَافَّةِ عَلَى مُقْتَضَى النَّظْرِ الشَّرْعِيِّ فِي مَصَالِحِهِمْ الأُخْرَوِيَّةِ وَالدُّنْيَوِيَّةِ الرَّاجِعَةِ اِلَيْهَا اِذْ أَنَّ أَحْوَالَ الدُّنْيَا تَرْجِعُ كُلُّهَا عِنْدَ الشَّارِعِ اِلَى اعْتِبَارِهَا بِمَصَالِحِ الآخِرَةِ فَهِيَ { أَيْ الَخِلاَفَةُ } فِي الْحَقِيْقَةِ خِلاَفَةٌ عَنْ صَاحِبِ الشَّرْعِ فِي حِرَاسَةِ الدِّيْنِ وَسِيَاسَةِ الدُّنْيَا بِهِ
“Yaitu mengemban tugas secara menyeluruh atas dasar tuntutan pandangan syar’i dalam (mewujudkan) kemaslahatan mereka baik secara ukhrawi maupun duniawi yang kembali padanya, karena menurut syari’ sesungguhnya masalah–masalah dunia akan kembali seluruhnya kepada pertimbangan kemaslahatan akhirat, maka dia itu pada hakikatnya merupakan khilafah dari shahibu syari’ (pemilik syariat) dalam memelihara agama dan mengurus dunia.” (Lihat, Muqaddimah Ibnu Khaldun, hlm. 190)
Dengan demikian, dilihat dari aspek makna substantif (hakiki) istilah imamah, khilafah, dan imarah memiliki maksud yang sama, yaitu pemegang sulthah (kekuasaan) dalam hirasatud din wa siyasatud dunya (melindungi agama dan mengatur dunia), meskipun istilah khilafah dan imamah lebih populer pemakaiannya dalam berbagai maraji’ (referensi) ulama fiqih daripada istilah imarah.
Sedangkan dilihat dari perkembangan arti, kata imamah mengalami perkembangan dari arti asli yaitu “kepemimpinan” kepada arti lain yaitu pemerintahan. Perkembangan ini juga tidak lepas dari penyebutan istilah-istilah itu dalam sejarah bagi seseorang atau kelompok orang yang melaksanakan wewenang dalam hal mengurus kepentingan masyarakat. Dalam sejarah Islam, istilah-istilah itu muncul sebagai sebutan bagi lembaga politik untuk menggantikan fungsi kenabian dalam urusan agama dan urusan politik.
Ahlus Sunnah berpendapat bahwa menegakkan imamah adalah fardhu kifayah, yaitu umat secara keseluruhan memiliki tanggung jawab untuk menunaikannya, meskipun sudah cukup dalam penunaian ini adanya sebagian umat yang telah mewakili, serta kewajiban kaum muslimin untuk merealisasikannya.
Ibnu Hazm mengatakan, “Semua Ahlus sunnah, murjiah, syi’ah, dan khawarij menyetujui atas wajibnya imamah. Umat wajib menaati imam yang adil yang menegakkan pada mereka hukum-hukum Allah dan mengaturnya dengan hukum-hukum syari’at yang dibawa oleh Rasulullah saw.” (Lihat, Al-Fashl fii Al-Milal wa Al-Ahwa` wa An-Nihal, IV:87)
Ibnu Taimiyyah mengatakan, ”Wajib diketahui bahwasanya mengatur urusan manusia adalah di antara kewajiban agama terbesar, bahkan agama tidak dapat ditegakkan kecuali dengan hal itu, karena sesungguhnya manusia tidak dapat sempurna kemaslahatan mereka kecuali dengan hidup bersosial untuk memenuhi kebutuhan sebagian yang satu dengan yang lain, dan dalam kehidupan bersosial mereka mesti ada pemimpinnya, sehingga Nabi bersabda, ‘Apabila tiga orang pergi dalam sebuah perjalanan, maka angkatlah salah seorang di antara mereka menjadi pemimpin.’ (Lihat, I’tiqad Ahl As-Sunnah wa Al-Jama’ah, hlm. 19)
Pembahasan lebih lengkap, dapat dibaca pada Al-Ahkam Ash-Shulthaniyyah karya Imam Al-Mawardi, hlm. 5, dan Abu Ya’la, hlm. 19; Al-Fashl fii Al-Milal wa Al-Ahwa` wa An-Nihal, IV:87; As-Siyasah As-Syar’iyyah karya Ibnu Taimiyyah, hlm. 161; Muqaddimah Ibnu Khaldun, hlm. 191; dan Bada`I’ As-Salk karya Ibnu Azraq, I: 71.
Meski kaum Syiah termasuk yang mewajibkan tegaknya imamah, namun mereka punya pemahaman khusus dalam konotasi wajibnya, yaitu mereka tidak melihat bahwa imamah wajib bagi umat, tetapi mengatakan imamah wajib bagi Allah. Artinya, Allah yang berkewajiban mengangkat imam sebagai mandataris-Nya di bumi. Karena itu, mempercayai imam yang diangkat oleh Allah adalah wajib hukumnya. (Lihat, Maqaalat fii At-Tasyayyu’, XXII:10)
Dilihat dari aspek inilah pandangan mereka tentang imamah berbeda dengan Ahlu Sunnah. Point-point perbedaan itu secara ringkas dapat diuraikan sebagai berikut:
Pertama, Ahlus sunnah berpendapat bahwa imam adalah manusia biasa dan dapat berasal dari mana saja selama sesuai dengan ketentuan syari’. Imam tidak luput dari kesalahan atau kekhilafahan (tidak ma’shum). Hal ini berbeda dengan keyakinan syiah bahwa para imam itu harus dari keturunan Ali dan Fatimah, dan mereka dipandang ma’shum (suci dari dosa dan kesalahan).
Dalam keyakinan Syi’ah Imamiyah, Ja’fariyah, Itsna ‘Asyariyah (atau menggunakan nama samaran Madzhab Ahlul Bait) para imam ma’shum itu sebanyak 12 Imam (Itsna ‘Asyariyah) yaitu: 1. Ali ibn Abu Thalib, 2. Hasan ibn Ali Al-Mujtaba, 3. Husain ibn Ali Sayyidussyuhada, penghulu para syuhada, 4. Ali ibn Husain, 5. Muhammad Al- Baqir, 6. Ja’far ibn Muhammad Ash-Shadiq, 7. Musa ibn Ja’far, 8. Ali ibn Musa Ar-Ridha, 9. Muhammad ibn Ali Al-Taqi Al-Jawad, 10. Ali ibn Muhammad an-Naqi Al-Hadi, 11. Hasan ibn Ali Al-Askari, dan terakhir, 12. Muhammad ibn Hasan Al-Mahdi. Syi’ah meyakini bahwa Imam Muhammad ibn Hasan Al-Mahdi masih hidup hingga sekarang ini, tapi dalam keadaan gaib, namun akan muncul kembali pada akhir zaman. [1]
Posisi imam dalam keyakinan Syi’ah memiliki kedudukan teristimewa, bahkan lebih tinggi kedudukannya daripada Nabi Saw. Dalam keyakinan mereka, para imam itu mengetahui hal ghaib, dan mengetahui seluruh ilmu yang dikeluarkan (diajarkan) kepada para malaikat, para nabi dan para rasul, dan sesungguhnya mereka mengetahui ilmu yang terdahulu dan sekarang, dan tidak ada yang tersembunyi bagi mereka sesuatu apapun, dan sesungguhnya mereka mengetahui seluruh bahasa alam semesta, dan sesungguhnya seluruh bumi ini adalah milik mereka.
Imam al-Kulaini, dalam kitabnya al-Kafi, telah menuliskan berbagai karakteristik kedua belas imam Syiah. Karakteristik dan sifat-sifat tersebut telah mengangkat derajat para imam Syiah dari manusia biasa hingga tingkatan Tuhan.
Seandainya kita hendak menampilkan berbagai karakteristik itu secara keseluruhan dari kitab al-Kafi dan kitab-kitab terpercaya mereka lainnya, niscaya akan terkumpul satu jilid kitab besar.
Karena itu, kami cukupkan dengan kutipan beberapa judul bab secara utuh dan dengan apa adanya dari kitab al-Kafi, di antaranya sebagai berikut:
بَابُ أَنَّ الأَئِمَّةَ عليهم السلام يَعْلَمُونَ جَمِيعَ الْعُلُومِ الَّتِي خَرَجَتْ إِلَى الْمَـلاَئِكَةِ وَ الأَنْبِيَاءِ وَ الرُّسُلِ عليهم السلام
“Bab: Bahwa Para Imam Mengetahui Segala Ilmu Yang Turun Kepada Para Malaikat, Nabi Dan Rasul.”[2]
بَابُ أَنَّ الأَئِمَّةَ عليهم السلام يَعْلَمُونَ مَتَى يَمُوتُونَ، وَأَنَّهُمْ لاَ يَمُوْتُوْنَ إِلاَّ بِاخْتِيَارٍ مِنْهُمْ
“Bab: Bahwa Para Imam Mengetahui Kapan Mereka Akan Meninggal, Dan Bahwa Mereka Tidaklah Meninggal Melainkan Atas Kehendak Mereka Sendiri.” [3]
بَابُ أَنَّ الأَئِمَّةَ عليهم السلام يَعْلَمُونَ عِلْمَ مَا كَانَ وَ مَا يَكُونُ، وَ أَنَّهُ لاَ يَخْفى عَلَيْهِمُ الشَّيْءُ صَلَوَاتُ اللّهِ عَلَيْهِمْ
“Bab: Bahwa Para Imam Mengetahui Perihal Yang Telah Lalu Dan Perihal Yang Akan Datang, Dan Sesungguhnya Tidak Ada Yang Tersembunyi Bagi Mereka Sesuatu pun.” [4]
بَابُ أَنَّ الأَئِمَّةَ عليهم السلام عِنْدَهُمْ جَمِيعُ الْكُتُبِ الَّتِي نَزَلَتْ مِنْ عِنْدِ اللّهِ عَزَّ وَ جَلَّ ، وَأَنَّهُمْ يَعْرِفُونَهَا عَلَى اخْتِـلاَفِ أَلْسِنَتِهَا
”Bab: Bahwa Para Imam Memiliki Seluruh Kitab, Dan Mengetahuinya Dengan Segala Perbedaan Bahasanya.” [5]
بَابُ أَنَّهُ لَمْ يَجْمَعِ الْقُرْآنَ كُلَّهُ إِلاَّ الأَئِمَّةُ عليهم السلام وَ أَنَّهُمْ يَعْلَمُونَ عِلْمَهُ كُلَّهُ
”Bab: Bahwa Tidaklah Ada Orang Yang Pernah Menyatukan Alquran Secara Utuh Selain Para Imam, Dan Bahwa Mereka Mengetahui Seluruh Ilmu Yang Terkandung Dalamnya.” [6]
بَابُ مَا عِنْدَ الأَئِمَّةِ مِنْ آيَاتِ الاْءَنْبِيَاءِ عليهم السلام
”Bab: Apa-Apa Yang Dimiliki Oleh Para Imam Dari Mukjizat Para Nabi.” [7]
بَابُ أَنَّهُ لَيْسَ شَيْءٌ مِنَ الْحَقِّ فِي يَدِ النَّاسِ إِلَا مَا خَرَجَ مِنْ عِنْدِ الْأَئِمَّةِ عليهم السلام وَ أَنَّ كُلَّ شَيْءٍ لَمْ يَخْرُجْ مِنْ عِنْدِهِمْ فَهُوَ بَاطِلٌ
”Bab: Bahwa Tidak Ada Sedikit pun Kebenaran Yang Ada di Masyarakat Selain Yang Pernah Diajarkan Oleh Para Imam, Dan Bahwa Segala Sesuatu Yang Tidak Diajarkan Oleh Mereka, Maka Itu Adalah Bathil.” [8]
بَابُ أَنَّ الْأَرْضَ كُلَّهَا لِلْإِمَامِ عليه السلام
”Bab: Bahwa Bumi Seluruhnya Adalah Milik Para Imam.” [9]
Keyakinan akan keistimewaan para imam sangat mempengaruhi sikap kaum Syi’ah terhadap hadis atau sunah, bahkan sumber syariat itu sendiri.
Dalam konteks ini dapat kita maklumi jika hadis atau sunah versi mereka bukan semata-mata bersumber dari Nabi Saw. melainkan juga dari para imam dua belas tesebut.
Kedua, Ahlus sunnah berpendapat bahwa imam adalah pemimpin yang dipilih oleh umat (muktasab) untuk kemaslahatan umum dengan tujuan menjamin dan melindungi dakwah serta kepentingan umat. Menegakkan imamah termasuk masalah furu’ (cabang agama), bukan ushul (rukun agama). (Lihat, Khulashah ‘ilm Al-Kalam, hlm. 1-2) Hal ini berbeda dengan keyakinan syiah, terutama syiah Itsna ‘Asyariyah yang berkeyakinan bahwa imamah adalah salah satu syarat mutlaq dari keimanan seorang muslim. Imamah adalah bagian dari pokok aqidah Syiah Itsna ‘asyariyah bukan merupakan cabang ajarannya.
Mereka berkeyakinan bahwa seorang imam harus ditunjuk oleh Allah atau Rasul-Nya. Hal itu berangkat dari keyakinan mereka bahwa yang berhak mengangkat seorang imam adalah Allah, maka seorang imam harus mendapat mandat secara langsung dari Allah atau dari utusan Allah.
Dengan demikian tampak jelas bahwa Syiah menyamakan posisi imam dengan nabi dan rasul. Keduanya sama-sama bersifat ikhtiyari bukan muktasab. Artinya bahwa seorang yang sudah dikehendaki oleh Allah untuk menjadi seorang imam maka secara otomatis ia akan mempunyai kesiapan mental dan ruhani yang diberikan oleh Allah. Hal juga berarti bahwa seorang yang sudah memenuhi syarat untuk menjadi seorang imam tidak akan pernah bisa menjadi imam selama ia tidak mempunyai surat mandataris dari Allah yang diberikan melalui Rasul-Nya. (Lihat, Ar-Arba’in fii Ushul Ad-Din, hlm. 426-429)
By Amin Muchtar, sigabah.com
[1] Lihat, Buku Putih Mazhab Syiah, hal. 22-23.
[2] Lihat, al-Kafi, jilid 1, hal. 255, pada kitab al-Hujjah.
[3] Ibid., hal. 258.
[4] Ibid., hal. 260.
[5] Ibid., hal. 227.
[6] Ibid., hal. 228.
[7] Ibid., hal. 231.
[8] Ibid., hal. 339.
[9] Ibid., hal. 407.