Pengertian Niat Shaum
Niat adalah maksud serta ketetapan hati untuk melaksanakan sesuatu. Seperti berniat safar, artinya bermaksud dan berketetapan hati untuk melaksanakan safar. Ibnu Qudamah menjelaskan :
تَوَجُّهُ القَلْبِ جِهَةَ الْفِعْلِ ابْتِغَاءَ وَجْهِ اللهِ تَعَالَى وَامْتِثَالاً ِلأَمْرِهِ.
“Menghadapnya hati ke arah pekerjaan, karena mengharap ridha Allah dan karena melaksanakan perintah-Nya.”[1]
Ibnul Qayyim mengatakan:
النِّيَةُ هِيَ الْقَصْدُ وَالْعَزْمُ عَلَى فِعْلِ الشَّيِئِ وَمَحَلُّهَا الْقَلْبُ لاَ تَعَلُّقَ لَهَا بِاللِّسَانِ أَصْلاً.
“Niat itu maksud dan tekad untuk mengerjakan sesuatu, tempatnya adalah hati, sama sekali niat tidak berkaitan dengan lisan.” [2]
Imam An-Nawawi mengatakan:
النِّيَةُ فِيْ جَمِيْعِ الْعِبَادَاتِ مُعْتَبَرَةٌ بِالْقَلْبِ وَلاَ يَكْفِيْ فِيْهَا نُطْقُ اللِّسَانِ مَعَ غَفْلَةِ الْقَلْبِ وَلاَ يُشْتَرَطُ وَلاَ يَضُرُّ مُخَالَفَتُهُ الْقَلْبَ
“Niat dalam semua ibadah yang dinilai adalah hati, dan tidak cukup dengan ucapan lisan sementara hatinya tidak sadar. Dan tidak disyaratkan dilafalkan serta ucapan lisan yang menyalahi hati tidak mencederai suatu perbuatan.” [3]
Merujuk kepada pengertian dan “tempat” niat di atas, maka niat bershaum dapat kita maknai dengan: “Bermaksud dan berketetapan hati untuk melaksanakan shaum karena mengharap ridla Allah Swt. dan melaksanakan syariat-Nya.”
Niat Shaum Wajib
Rasulullah saw. mewajibkan berniat shaum Ramadan sejak malam hari atau paling tidak sebelum masuk waktu Subuh. Karena itu, apabila seseorang belum berniat shaum ketika sebelum masuk waktu Subuh dan baru berniat setelah lewat waktu subuh, maka shaumnya itu tidak sah karena kesempatan untuk berniat telah terlewat. Ketentuan ini berdasarkan dalil-dalil sebagai berikut:
عَنْ حَفْصَةَ عَنِ النَّبِىِّ صلى الله عليه وسلم قَالَ : مَنْ لَمْ يُجْمِعِ الصِّيَامَ قَبْلَ الْفَجْرِ فَلاَ صِيَامَ لَهُ
Dari Hafshah, dari Nabi saw, beliau bersabda, “Barangsiapa belum menetapkan niat shaum sebelum shubuh, maka tidak ada shaum baginya.” HR. At-Tirmidzi, Abu Dawud, An-Nasai, Ahmad.[4] An-Nasai meriwayatkan pula dengan redaksi: minal lail (pada waktu malam). [5]
Imam as-Sindi berkata:
قَوْله ( مَنْ لَمْ يُجْمِعْ ) مِنْ الْإِجْمَاعِ أَيْ مَنْ لَمْ يَنْوِ
“Sabda Nabi (Man lam yujmi’). Kata yujmi’ dari kata ijma’. Makna sabda Nabi itu: “Siapa yang tidak berniat.” [6]
Imam as-Suyuthi berkata:
( مَنْ لَمْ يُجْمِعِ الصِّيَامَ ) قَالَ الشَّيْخ وَلِيّ الدِّين بِضَمِّ الْيَاء وَسُكُون الْجِيم وَكَسْر الْمِيم أَيْ يَعْزِمُ عَلَيْهِ وَيُجْمِعُ رَأْيَهُ عَلَى ذَلِكَ وَقَالَ الْخَطَّابِيُّ : الْإِجْمَاع إِحْكَام النِّيَّة
“Sabda Nabi (Man lam yujmi’ ash-shiyaama). Syekh Waliyuddin berkata, ‘(kata yujmi’,) dibaca dengan huruf ya berbaris dhammah dan huruf mim berbaris kasrah, maknanya berniat (bermaksud atau berketetapan hati) untuk shaum dan menetapkan pikiran terhadapnya.’ Al-Khathabi berkata, ‘Ijma’ bermakna menetapkan niat’.”[7]
Dalam redaksi lain, Nabi saw. bersabda:
مَنْ لَمْ يُبَيِّتِ الصِّيَامَ مِنَ اللَّيْلِ فَلاَ صِيَامَ لَهُ
“Tidak ada saum bagi orang yang tidak berketetapan hati untuk (melaksanakan) shaum sejak malam hari.” HR. An-Nasai dan Al-Baihaqi.[8]
Imam as-Sindi berkata:
قَوْله ( مَنْ لَمْ يُبَيِّتْ ) مِنْ بَيَّتَ بِالتَّشْدِيدِ إِذَا نَوَى لَيْلًا أَيْ مَنْ لَمْ يَنْوِ لَيْلًا
“Sabda Nabi (Man lam yubayyit), dari kata bayyata (huruf ya bersyaddah), maknanya apabila berniat di waktu malam. Makna sabda Nabi itu: “Siapa yang tidak berniat pada waktu malam.” [9]
Imam as-Suyuthi berkata:
( مَنْ لَمْ يُبَيِّتِ الصِّيَامَ) أَيْ يَنْوِهِ مِنْ اللَّيْل يُقَال بَيَّتَ فُلَانٌ رَأْيَهُ إِذَا فَكَّرَ فِيهِ وَخَمَّرَهُ وَكُلُّ مَا فُكِّرَ فِيهِ وَدُبِّرَ بِلَيْلِ فَقَدْ بُيِّتَ
“Sabda Nabi (Man lam yubayyit ash-shiyaam), maknanya berniat shaum di waktu malam. Diambil dari kata bayyata fulaan ra’yahu berarti dia berpikir tentangnya dan menutupinya. Dan segala sesuatu yang dipikirkan dan ditadaburi pada waktu malam disebut buyyita.”[10]
Dalam redaksi lain, Nabi saw. bersabda:
لاَ صِيَامَ لِمَنْ لَمْ يَفْرِضْهُ مِنَ اللَّيْلِ
“Tidak ada saum bagi orang yang tidak berketetapan hati (untuk melaksanakannya) sejak malam hari.” HR. Ibnu Majah dan ad-Daraquthni. [11]
Berbagai keterangan di atas menunjukkan secara tegas bahwa berniat shaum Ramadhan wajib ditetapkan di dalam hati, bukan dilisankan, paling lambat sejak sebelum fajar.
Sehubungan dengan itu, Imam an-Nawawi mengatakan:
لاَ يَصِحُّ الصَّوْمُ إِلاَّ بِالنِّيَّةِ وَمَحَلُّهَا الْقَلْبُ وَلاَ يُشْتَرَطُ النُّطْقُ بِلاَ خِلاَفٍ
“Tidak sah shaum kecuali dengan niat, dan tempatnya adalah hati. Dan tidak disyaratkan harus diucapkan, tanpa ada perselisihan ulama…”[12]
Mengingat niat adalah amal hati, maka inti niat adalah tekad atau kebulatan hati. Ketika kita bertekad di malam hari untuk melakukan shaum Ramadhan esok hari, misalnya, berarti sudah dianggap berniat. Karena itu, kalau misalnya kita telah berniat pada waktu malam untuk shaum besok, kemudian kita tertidur pulas hingga baru terbangun setelah terbitnya fajar, maka shaumnya sah, karena kita telah berniat sebelumnya. Ketentuan ini berbeda dengan shaum sunah.
Tinggal satu persoalan lagi, apakah berniat shaum Ramadhan itu dilakukan setiap malam atau cukup satu hari di awal untuk semua hari (satu bulan Ramadhan)? Merujuk kepada hadis-hadis di atas, dari kalimat minal lail (di waktu malam) atau qabla al-fajr (sebelum subuh), kita dapatkan petunjuk bahwa berniat shaum selama bulam Ramadhan haruslah dilakukan setiap hari, karena shaum pada setiap hari di bulan itu adalah ibadah yang berdiri sendiri. Jadi, orang yang bershaum harus berniat dalam hatinya pada masing-masing hari di bulan itu sejak malam harinya atau paling tidak sebelum subuh.
By Amin Muchtar, sigabah.com/beta
[1]Lihat, Al-Mughni, I : 78
[2] Lihat, Ighatsah al-Lahfan, I : 158
[3] Lihat, Rawdhah at-Thalibin, 1:228
[4] Lihat, Sunan at-Tirmidzi, III: 108, No. 730; Sunan Abu Dawud, II : 329, No. 2454; Sunan An-Nasai, IV : 196, No. 2333; Musnad Ahmad, VI : 287. No. 26.500.
[5] Lihat, As-Sunan al-Kubra, IV: 221, No. 7826.
[6] Lihat, Hasyiah as-Sindi ‘ala Sunan an-Nasai, III: 429
[7] Lihat, Hasyiah as-Suyuthi ‘ala Sunan an-Nasai, III: 429
[8] Lihat, As-Sunan al-Kubra, II: 117, No. 2643, Sunan an-Nasai, IV: 196, No. 2332; Al-Baihaqi, As-Sunan al-Kubra, IV: 213, No. 7778.
[9] Lihat, Hasyiah as-Sindi ‘ala Sunan an-Nasai, III: 428
[10] Lihat, Hasyiah as-Suyuthi ‘ala Sunan an-Nasai, III: 429
[11] Lihat, Sunan Ibnu MajahI, I:524, No. 1700; Sunan ad-Daraquthni, II:172, No. 2
[12] Lihat, Rawdhah at-Thalibin, 1:350