Sebagaimana telah kita maklumi bahwa syariat shaum di bulan Ramadhan merujuk kepada firman Allah Swt. sebagai berikut:
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمْ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ أَيَّامًا مَعْدُودَاتٍ فَمَنْ كَانَ مِنْكُمْ مَرِيضًا أَوْ عَلَى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِنْ أَيَّامٍ أُخَرَ وَعَلَى الَّذِينَ يُطِيقُونَهُ فِدْيَةٌ طَعَامُ مِسْكِينٍ فَمَنْ تَطَوَّعَ خَيْرًا فَهُوَ خَيْرٌ لَهُ وَأَنْ تَصُومُوا خَيْرٌ لَكُمْ إِنْ كُنتُمْ تَعْلَمُونَ
“Hai orang-orang yang beriman telah diwajibkan atas kamu shaum, sebagaimana telah diwajibkan atas orang-orang yang sebelum kamu agar kamu bertaqwa. Beberapa hari yang ditentukan, maka siapa yang sakit atau berpergian di antara kamu, maka hendaklah ia menghitung (qadla) pada hari-hari lainnya dan atas orang yang merasa payah boleh membayar fidyah dengan memberi makanan pada orang yang miskin. Barangsiapa yang dengan kerelaan hati memberi makan lebih dari seorang miskin untuk satu hari, maka itulah yang lebih baik baginya.” QS. Al-Baqarah : 183-184
Penghayatan terhadap makna ayat “primadona selama Ramadhan” ini, selain dapat digunakan pendekatan faktor internal (amr dakhil), meliputi teks dan kandungan makna, juga pendekatan faktor eksternal (amr khariji) berupa sejarah proses perundang-undangannya (tarikh tasyri’), yang bisa jadi tidak terlalu familier bagi sebagian masyarakat muslim di Indonesia, meskipun pengamalan shaumnya telah puluhan kali dilakukan. Tulisan ini sebagai salah satu upaya akrabisasi masyarakat muslim terhadap penghayatan secara eksternal itu.
Kapan Shaum Ramadhan Diproklamasikan?
Selama 13 tahun hidup di Mekah (sejak tahun 1 dari masa kenabian) sebelum hijrah, bulan Ramadhan telah menyambangi Nabi Muhamad sebanyak 13 kali: dimulai dari Ramadhan tahun ke-1 masa kenabian—bertepatan dengan Agustus tahun 611 M—hingga tahun ke-13, bertepatan dengan April tahun 622 M. Namun, selama 13 Ramadhan periode Mekah itu, belum disyariatkan ibadah shaum Ramadhan. Justru yang telah disyariatkan adalah shaum 3 hari, tanggal 13, 14, dan 15, setiap bulan pada kalender qamariyah (bulan), yang kemudian dikenal dengan sebutan ayyamul bidh. Selain itu, juga shaum setiap tanggal 10 Muharram, yang kemudian dikenal dengan sebutan shaum Asyura. Demikian sebagaimana dinyatakan Aisyah:
كَانَ يَوْمُ عَاشُورَاءَ تَصُومُهُ قُرَيْشٌ فِي الْجَاهِلِيَّةِ وَكَانَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَصُومُهُ فَلَمَّا قَدِمَ الْمَدِينَةَ صَامَهُ وَأَمَرَ بِصِيَامِهِ
“Hari Asyura adalah waktunya shaum orang-orang Quraisy dijaman jahiliyah. Rasulullah Saw. pun menshauminya. Tatkala beliau tiba di Madinah, beliau shaum dan memerintah (para sahabatnya).” [1]
Jadi, selama periode Mekah kedua shaum inilah yang senantiasa dilaksanakan oleh Nabi saw. dalam rentang waktu 13 tahun. Bahkan ibadah shaum ini telah disyariatkan pula kepada para Nabi dan umat sebelum Muhamad.
Setelah Nabi mendapat perintah untuk hijrah, Nabi kemudian berangkat menuju Madinah. Sebelum sampai di Madinah (waktu itu bernama Yatsrib), Rasulullah saw. singgah di Quba pada hari Senin 12 Rabi’ul Awwal tahun 13 kenabian/24 September 622 M waktu Dhuha (sekitar jam 8.00 atau 9.00). Di tempat ini, beliau tinggal di keluarga Amr bin Auf selama empat hari, hingga hari Kamis 15 Rabi’ul Awwal/27 September 622 M. dan membangun mesjid pertama yang disebut mesjid Quba. Keesokan harinya, Jumat 16 Rabi’ul Awwal/28 September 622 M, beliau berangkat menuju Madinah. Di tengah perjalanan, ketika beliau berada di Bathni wadin (lembah di sekitar Madinah) milik keluarga Banu Salim bin ‘Auf, datang kewajiban shalat Jumat, dengan turunnya ayat 9 surat al-Jum’ah. Maka Nabi salat Jumat bersama mereka dan khutbah di tempat itu. Inilah salat Jumat yang pertama di dalam sejarah Islam. Setelah melaksanakan salat Jumat, Nabi melanjutkan perjalanan menuju Madinah. [2]
Pada tahun I setelah menetap di Madinah, Nabi saw. masih menjalan syariat shaum periode Mekah: ayyamul bidh dan Asyura, bahkan hingga bulan Sya’ban tahun ke-2 hijrah yang waktu itu bertepatan dengan bulan Pebruari 624 M. Jadi, sekitar 17 bulan sejak di Madinah, sejak Rabi’ul Awal hingga Sya’ban tahun ke-2, Nabi saw. masih menjalankan ibadah shaum selain Ramadhan.
Kemudian di akhir bulan Sya’ban tahun ke-2 hijriah, setelah selesai salat ashar berjama’ah, Nabi menunjukkan sikap di hadapan para sahabat melalui khutbahnya, suatu sikap yang tidak pernah beliau perlihatkan selama 13 tahun hidup di Mekah. Kandungan khutbah yang beliau sampaikan adalah sebagai berikut:
أَيُّهَا النَّاسُ قَدْ أَظَلَّكُمْ شَهْرٌ عَظِيْمٌ شَهْرٌ مُبَارَكٌ شَهْرٌ فِيْهِ لَيْلَةٌ خَيْرٌ مِنْ أَلْفِ شَهْرٍ جَعَلَ اللهُ صِيَامَهُ فَرِيْضَةً وَقِيَامَ لَيْلِهِ تَطَوُّعًا
“Hai manusia, kalian telah dinaungi bulan yang agung, bulan yang penuh dengan berkah, bulan yang padanya ada satu malam lebih baik dari seribu bulan. Allah tetapkan shaum padanya sebagai satu kewajiban, dan salat pada malamnya sebagai tathawu (sunnat).” HR. Ibnu Khuzaimah, al-Baihaqi, dan Al-Haitsami. [3]
Dalam riwayat lain dengan redaksi:
قَدْ جَاءَكُمْ رَمَضَانُ شَهْرٌ مُبَارَكٌ افْتَرَضَ اللَّهُ عَلَيْكُمْ صِيَامَهُ تُفْتَحُ فِيهِ أَبْوَابُ الْجَنَّةِ وَيُغْلَقُ فِيهِ أَبْوَابُ الْجَحِيمِ وَتُغَلُّ فِيهِ الشَّيَاطِينُ فِيهِ لَيْلَةٌ خَيْرٌ مِنْ أَلْفِ شَهْرٍ مَنْ حُرِمَ خَيْرَهَا قَدْ حُرِمَ
“Telah datang kepada kalian bulan Ramadhan, bulan yang penuh berkah, padanya Allah mewajibkan kalian shaum, padanya pintu-pintu surga dibuka lebar dan pintu-pintu neraka ditutup rapat, dan setan-setan dibelenggu. Pada bulan Ramadhan ada satu malam yang lebih baik daripada seribu bulan, dan barangsiapa tidak mendapati malam itu maka ia telah kehilangan pahala seribu bulan.” HR. Ahmad, Ibnu Abu Syaibah, Abd bin Humaid, dan Ishaq bin Rahawaih. [4]
Mencermati fakta sejarah di atas tampak jelas bahwa identitas Ramadhan sebagai “Bulan Agung dan Berkah” baru diproklamasikan oleh Nabi saw. di tahun ke-2 periode Madinah. Meski 13 kali Nabi mengalami Ramadhan di Mekah, namun tidak pernah sedikit pun Nabi saw. menyebut dan menyabit Ramadhan dengan identitas semulia itu. Ini berarti terdapat “pembeda nilai” antara Ramadhan periode Mekah dengan periode Madinah. Apa yang menjadi faktor pembeda itu? Jawabnya, karena di Madinah inilah Nabi saw. menerima “ayat primadona Ramadhan” sebagai berikut:
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمْ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ أَيَّامًا مَعْدُودَاتٍ فَمَنْ كَانَ مِنْكُمْ مَرِيضًا أَوْ عَلَى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِنْ أَيَّامٍ أُخَرَ وَعَلَى الَّذِينَ يُطِيقُونَهُ فِدْيَةٌ طَعَامُ مِسْكِينٍ فَمَنْ تَطَوَّعَ خَيْرًا فَهُوَ خَيْرٌ لَهُ وَأَنْ تَصُومُوا خَيْرٌ لَكُمْ إِنْ كُنتُمْ تَعْلَمُونَ
“Hai orang-orang yang beriman telah diwajibkan atas kamu shaum, sebagaimana telah diwajibkan atas orang-orang yang sebelum kamu agar kamu bertaqwa. Beberapa hari yang ditentukan, maka siapa yang sakit atau berpergian di antara kamu, maka hendaklah ia menghitung (qadla) pada hari-hari lainnya dan atas orang yang merasa payah boleh membayar fidyah dengan memberi makanan pada orang yang miskin. Barangsiapa yang dengan kerelaan hati memberi makan lebih dari seorang miskin untuk satu hari, maka itulah yang lebih baik baginya.” QS. Al-Baqarah : 183-184
Dibalik penurunan “ayat primadona Ramadhan” di Madinah ini, terdapat tiga nilai yang perlu kita hayati dalam upaya menggapai nilai keagungan bulan Ramadhan.
By Amin Muchtar, sigabah.com/beta
[1] Lihat, Shahih Al-Bukhari, III: 1393, No, hadis 3619.
[2] Lihat, Tarikh at-Thabari, I:571; Sirah Ibnu Hisyam, III: 22; Tafsir al-Qurthubi, XVIII: 98. Keterangan di atas menunjukkan bahwa hijrah Nabi terjadi pada bulan Rabi’ul Awwal, bukan bulan Muharram. Antara permulaan hijrah Nabi dan bulan Muharam ketika itu terdapat jarak atau sudah terlewat sekitar 82 hari, karena awal Muharram ketika itu jatuh pada tanggal 15 Juli 622 M.
[3] Lihat, Ibnu Khuzaimah, Shahih Ibnu Khuzaimah, III:192, No. hadis 1887, al-Baihaqi, Fadha’il al-Awqat, hlm. 43, No. hadis 40, dan Al-Haitsami, Musnad al-Harits atau Zawa’id al-Haitsami, I:413, No. 321. Hingga kalimat:
وَقِيَامَ لَيْلِهِ تَطَوُّعًا
“…dan salat pada malamnya sebagai tathawu (sunnat),” berderajat shahih, karena terdapat saksi (penguat) dari beberapa riwayat lainnya meski dengan sedikit perbedaan redaksi. Namun kalimat selanjutnya hingga akhir (yang panjang) berderajat dha’if.
[4] Lihat, HR. Ahmad, Musnad Ahmad, II:425, No. 9493; Ibnu Abu Syaibah, al-Mushannaf, II:270, No. 8867; Abd bin Humaid, Musnad Abd bin Humaid, I:418, No. 1429; Ishaq bin Rahawaih, Musnad Ishaq bin Rahawaih, I:73, No. 1.