Masih, Masih, Masih di Tabir (3) “Misteri 1”
Untuk mengingatkan kembali pokok pembicaraan kita di “Misteri 1”: Terinspirasi atau manipulasi atas nama al-Hakim? Saya cantumkan lagi penggalan kalimat dalam paragraf ke-2 versi kang Jalal—yang telah dimutilasi di awal pembahasan—sebagai berikut: “Dengan segala pujian itu, al-Shafadi tidak lupa untuk mengutip komentar salah seorang ulama di zaman itu Abu Isma’il bin Muhammad al-Ansari tentang al-Hakim, “Tsiqqatun fi al-hadits, rafidhiyyun khabits. Terpercaya dalam riwayat, Syiah yang jahat.”
Dari paragraf inilah petaka kang Jalal bermula, hingga berkali-kali “tersandung di tanah datar”, untuk tidak menyebut tersandera retorikanya sendiri.
Sebagai tolok ukur “shahih atau dha’ifnya” paragraf kang Jalal itu, saya cantumkan lagi teks asli dalam laporan al-Shafadi sebagai berikut:
قال محمد بن طاهر المقدسي: سألت الإمام أبا إسمعاعيل عبد الله بن محمد الأنصاري بهراة عن أبي عبد الله الحاكم النيسابوري فقال: ثقة في الحديث رافضي خبيث،
Muhammad bin Thahir al-Maqdisi berkata, “Saya bertanya kepada Imam Abu Ismail Abdullah bin Muhammad al-Anshari di Hirah [Herat] tentang Abu Abdullah al-Hakim an-Nisaburi. Beliau menjawab, ‘Dia tsiqah (kredibel) dalam hadis, rafidhiy khabits’. [1]
Cara pemaknaan kang Jalal demikian itu—kata Raafidhiy dimaknai Syiah “saja” atau secara umum—telah kita telusuri jejaknya melalui telaah literatur ulama Syiah dan ulama Islam secara umum (baca lagi Bagian ke-4 hingga ke-6). Hasil penelusuran menunjukkan bahwa kang Jalal “tidak akur” dengan ulama Syiah, apalagi dengan ulama Islam, hingga seorang pembaca berceloteh: “Apa sih maunya kang Jalal bermain-main dengan kata?”
Sekarang, cara pemaknaan kang Jalal demikian itu—kata Raafidhiy dimaknai Syiah “saja” atau secara umum—akan kita lacak jejaknya melalui telaah maksud Abu Isma’il al-Anshari terhadap Imam al-Hakim, sebagai “pemilik kalimat (shaahib al-kalaam).”
Pemaknaan Rafidhah dalam Konteks Abu Ismail
Kang Jalal pasti sepakat dech, Abu Isma’il al-Anshari seorang ulama Islam, bukan penganut Syiah. Berarti kata raafidhiy (رافضي) versi Abu Ismai’il harus dimaknai dalam terminologi ulama Islam, bukan ulama Syiah—pemaknaan kedua pihak telah dibahas pada 3 edisi sebelumnya (Bagian ke-4 hingga ke-6)—yaitu disebut raafidhah karena menolak kepemimpinan Abu Bakar dan Umar, serta mencela para sahabat Nabi saw. istilah raafidhah (رافضة) digunakan sebagai sebutan lain bagi Syiah Itsna ‘Asyariyah alias Syiah Imamiyyah alias Syiah Jakfariyyah, atau di Indonesia dengan nama samaran mazhab Ahlul Bait.
Jadi, perkataan Abu Isma’il al-Anshari: “al-Hakim raafidhiy (رافضي)” menunjukkan bahwa al-Hakim, menurut Abu Isma’il, adalah penganut Syiah Itsna ‘Asyariyah alias Syiah Imamiyyah alias Syiah Jakfariyyah, tapi al-Hakim tidak disebut pengikut mazhab Ahlul Bait Indonesia loh, karena beliau bukan orang Indonesia. 🙂
Syekh Abu Isma’il al-Anshari tidak menyebutkan latar belakang al-Hakim disebut raafidhiy (رافضي). Tidak pula Ibnu Thahir, sebagai informan pertama sikap dan perkataan Abu Isma’il terhadap Imam al-Hakim. Demikian pula al-Shafadi sebagai pengutip informasi dari Ibnu Thahir. Namun, dalam rangkaian laporan al-Shafadi, kang Jalal cukup nekat menyelipkan opini pribadi penarik simpati berupa kalimat berikut: “Gelar Rafidhi dinisbatkan kepadanya karena kejujurannya dalam menyampaikan keutamaan Nabi saw dan keluarganya.”
Bagi pembaca yang tidak akrab dengan “kasus al-Hakim”, juga tidak akrab dengan sumber rujukan kasus itu, bisa jadi tidak sadar dengan “kenakalan” kang Jalal saat bermain retorika guna menggiring opini pembaca bahwa “Imam al-Hakim adalah ulama Syi’ah terzalimi.”
Namun, kita tak akan membahas dulu “sisipan nakal” kang Jalal. Sekarang silahkan ambil nafas untuk memulai telaah sikap Abu Isma’il al-Anshari terhadap Imam al-Hakim, yang dipandang kontroversial oleh para ulama Islam dalam bidang al-Jarh wa at-Ta’dil (evaluasi positif dan negatif periwayat hadis).
Benarkah al-Hakim Penganut Syi’ah Rafidhah ?
Al-Hakim [2] (321-405 H/933-1014 M) merupakan salah seorang di antara imam ahli hadis yang masyhur dengan segala keutamaan dan ilmunya beserta karya-karyanya, yang kita kenal antara lain Al-Mustadrak ‘alaa Ash-Shahiihain.
Para ulama Islam, telah melakukan evaluasi positif dan negatif terhadap al-Hakim. Hampir seluruh ulama memberikan evaluasi positif, kecuali beberapa orang saja yang mencelanya.
Penilaian positif terhadap al-Hakim, antara lain disampaikan al-Khatib al-Baghdadi[3] (392-463 H/1002-1072 M). Al-Khatib berkata:
كَانَ مِنْ أَهْلِ الْفَضْلِ وَالْعِلْمِ وَالْمَعْرِفَةِ وَالْحِفْظِ وَلَهُ فِي عُلُوْمِ الْحَدِيْثِ مُصَنَّفَاتٌ عِدَّةٌ…
“Dia termasuk ahli keutamaan, ilmu, makrifat, dan hafizh. Punya sejumlah karya dalam bidang ilmu hadis…
وَكَانَ ثِقَةً وُلِدَ سَنَةَ إِحْدَى وَعِشْرِيْنَ وَثَلاَثِ مِائَةٍ وَ أَوَّلُ سِمَاعِهِ سَنَةَ ثَلاَثِيْنَ وَثَلاَثِ مائَةٍ…
“Dia tsiqah (kredibel), dilahirkan pada tahun 321 H, pertama kali mendengar hadis tahun 330 H…”
وَكَانَ ابْنُ الْبَيِّعِ يَمِيْلُ إِلَى التَّشَيُّعِ
“Dan Ibnu al-Bayyi’ (al-Hakim) cenderung tasyayyu’.” [4]
Pernyataan al-Khatib dikutip pula oleh adz-Dzahabi[5] (673-748 H/1274-1347 M) dengan sedikit perbedaan redaksi.
كَانَ أَبُوْ عَبْدِ اللهِ بنُ البَيِّعِ الْحَاكِمُ ثِقَةً، أَوَّلُ سِمَاعِهِ سَنَةَ ثَلاَثِيْنَ وَثَلاَثِ مائَةٍ، وَكَانَ يَمِيْلُ إِلَى التَّشَيُّعِ
“Abu Abdullah bin al-Bayyi’ tsiqah (kredibel). Pertama kali dia mendengar hadis tahun 330 H, dan dia cenderung tasyayyu’.” [6]
Saya harus buru-buru mengingatkan kembali pembaca—sebelum melanjutkan pembahasan—kalau-kalau sudah lupa tentang petaka kang Jalal gara-gara “tersandung di tanah datar”. Yang itu tuuuh: Kita mesti membaca kata (ثقة) dengan tsiqah (ثِقَةٌ)—jangan “Tsiqqatun” (ثِقَّةٌ) seperti dilakukan kang Jalal yang dimaknainya dengan “terpercaya”—dijamin dech kita tak akan tersandung. Nah kalau pembaca sudah ingat, mari kita kembali ke laptop, eeh laptop, maksudnya penilaian ulama Islam terhadap al-Hakim.
Adz-Dzahabi sendiri menyematkan kepada al-Hakim berbagai gelar ilmiah: al-Imam, al-Hafizh, an-Naqid, al-‘Allamah, Syekh para ahli hadis, dan beliau berkata:
وَصَنَّفَ وَخَرَّجَ وَجَرَحَ وَعَدَّلَ وَصَحَّحَ وَعَلَّلَ وَكَانَ مِنْ بُحُوْرِ الْعِلْمِ عَلَى تَشَيُّعٍ قَلِيْلٍ فِيْهِ
“Dia penyusun dan petakhrij hadis, mencela dan menta’dil periwayat, menshahihkan dan menilai cacat hadis. Dia di antara lautan ilmu dan sedikit tasyayyu’.” [7]
Sementara Ibnu Katsir[8] (701-774 H/1302-1373 M) memberikan penilaian:
وَكَانَ مِنْ أَهْلِ الْعِلْمِ وَالْحِفْظِ لِلْحَدِيثِ
“Dia termasuk ahli ilmu dan hafizh hadis.” [9]
Penjelasan para ulama di atas menunjukkan bahwa al-Hakim dinilai tasyayyu’, bukan raafidhiy. Sebelum kita bahas lebih jauh perbedaan tasyayyu’ dan raafidhiy, mari kita bertanya kepada kang Jalal, mengapa kang Jalal lebih memilih ulama yang menilainya Raafidhi—dimaknai “Syiah” oleh kang Jalal—daripada tasyayyu’?
Sambil menunggu jawaban kang Jalal, kita buat saja dua “peluang” kemungkinan:
Pertama, kang Jalal belum khatam (menamatkan) kitab-kitab biografi para periwayat (Rijaal al-Hadits), khususnya al-Hakim, sehingga berbagai komentar para ulama terhadap al-Hakim menjadi luput dari perhatiannya. Namun, peluang ini kecil mengingat background (latarbelakang) pendidikannya. Konon kang Jalal sudah bisa membaca kitab kuning sejak kecil. Selain itu, saya yang sudah kenyang dengan beberapa kitab Rijaal al-Hadits di perpustakan pesantren Muthahhari—milik kang Jalal sejak tahun 1994—menyangsikan peluang pertama.
Kedua, tidak transparan, untuk tidak mengatakan kang Jalal tidak jujur. Artinya, kang Jalal sengaja tidak transparan dalam menampilkan data dan informasi penilaian ulama Islam yang sesungguhnya tentang al-Hakim. Wajar saja bila terkesan “mengelabui” orang-orang awam, baik kalangan Syi’ah maupun umat Islam, tapi saya tidak menyebut kang Jalal sebagai penipu loh. Lebih tragis lagi “mengelabui” para guru besar (Profesor) penguji disertasi doktornya. Meski peluang kedua terbuka lebar, namun hanya Allah yang lebih tahu atas maksud kang jalal yang sesungguhnya.
Penilaian berbeda terhadap al-Hakim—yang dipilih kang Jalal—disampaikan oleh Abu Ismail Abdullah bin Muhammad al-Ansari al-Harawi (396-481 H/1006-1089 M), saat ditanya oleh Abu al-Fadhl Muhammad bin Thahir al-Maqdisi (W. 507 H/1113 M):
ثِقَةٌ فِي الحَدِيْثِ رَافِضِيٌّ خَبِيْثٌ
“Dia tsiqah (kredibel) dalam hadis, Rafidhah yang keji.”
Teks lengkap laporan Ibnu Thahir sebagai berikut:
سَأَلْتُ الإِمَامَ أَبَا إِسْمَاعِيْلَ عَبْدَ اللهِ بْنَ مُحَمَّدٍ الأَنْصَارِيَّ بِهَرَاةَ، عَنْ أَبِيْ عَبْدِ اللهِ الحَاكِمِ النِّيْسَابُوْرِيِّ فَقَالَ: ثِقَةٌ فِي الْحَدِيْثِ رَافِضِيٌّ خَبِيْثٌ
“Saya bertanya kepada Imam Abu Ismail Abdullah bin Muhammad al-Anshari di Hirah [Herat][10] tentang Abu Abdullah al-Hakim an-Nisaburi. Beliau menjawab, ‘Dia tsiqah dalam hadis, Syiah Rafidhah yang keji.” [11]
Pernyataan Syekh Abu Ismail versi Ibnu Thahir, dilaporkan pula oleh Imam adz-Dzahabi[12] (673-748 H/1274-1347 M), Shalahuddin ash-Shafadi[13] (696-764 H/1296-1363 M), Ibnu Rajab al-Hanbali[14] (736-795 H/1335-1393 M), dan Tajuddin as-Subki[15] (771-727 H/1327-1370 M).
Sebelum kita bahas lebih jauh “kontroversi sikap Abu Ismail”, mari kita bertanya kembali kepada kang Jalal, mengapa kang Jalal lebih memilih laporan al-Shafadi—sebagai sumber kutipan tidak langsung—daripada laporan Ibnu Thahir—sebagai sumber kutipan langsung? Atau paling tidak pertanyaannya, mengapa kang Jalal lebih memilih laporan al-Shafadi daripada laporan adz-Dzahabi? Meski sama sebagai sumber kutipan tidak langsung, namun adz-Dzahabi lebih dahulu melaporkannya daripada al-Shafadi.
Tanpa menunggu jawaban kang Jalal, kita buat saja dua “peluang” kemungkinan:
Pertama, kang Jalal tidak tahu—untuk tidak mengatakan: ‘Tidak punya’—kitab al-Mantsuur min al-Hikaayaat wa as-Su’aalaat, karya Ibnu Thahir (Abu al-Fadhl Muhammad bin Thahir al-Maqdisi). Peluang ini terbuka lebar, namun bisa saja kecil. Terbuka lebar karena sepengetahuan saya, kitab ini tidak pernah terlihat di perpustakan pesantren Muthahhari. Kecil peluangnya karena bisa jadi kang Jalal tahu dan memilikinya di perpustakaan pribadi.
Kedua, ada batu di balik udang, eeh kebalik lagi, ada udang di balik batu. “Apa maksudnya Ustadz,” Tanya santri saya penasaran. “Peluang ini dapat terpetakan dengan melihat kebiasaan “nakal” kang Jalal dalam mengutip suatu sumber rujukan untuk kasus tertentu.” Jawab saya. “Maksudnya apa yach, koq masih lebih jelas kalau tidak dijelaskan,” sahut dia sambil bercanda. “Ingin tahu jawabanya? Jangan ke mana-mana, saya akan kembali setelah pesan-pesan berikut ini!” 🙂
By Amin Muchtar, sigabah.com
Lampiran Teks Asli al-Khatib al-Baghdadi (392-463 H/1002-1072 M).
Bukti Scan Kitab Tarikh Madinah as-Salaam, populer dengan sebutan Tarikh Baghdad, Juz 3, hlm. 509, No. Rawi 1044. Terbitan Dar al-Gharb al-Islamiy, Cet. 1 1422 H/2001 M, dengan pentahqiq DR. Basyar ‘Awwad Ma’ruf.
Bukti Scan Kitab Tarikh Madinah as-Salaam, populer dengan sebutan Tarikh Baghdad, Juz 3, hlm. 510, No. Rawi 1044. Terbitan Dar al-Gharb al-Islamiy, Cet. 1 1422 H/2001 M, dengan pentahqiq DR. Basyar ‘Awwad Ma’ruf.
Bukti Scan Kitab Tarikh Madinah as-Salaam, populer dengan sebutan Tarikh Baghdad, Juz 3, hlm. 511, No. Rawi 1044. Terbitan Dar al-Gharb al-Islamiy, Cet. 1 1422 H/2001 M, dengan pentahqiq DR. Basyar ‘Awwad Ma’ruf.
Lampiran Teks Asli laporan (Ibnu Thahir) Abu al-Fadhl Muhammad bin Thahir al-Maqdisi (W. 507 H/1113 M)
Bukti Scan Kitab al-Mantsur min al-Hikayat wa as-Su’alat, Karya Abu al-Fadhl Muhammad bin Thahir al-Maqdisi, hlm. 24, No. 6, terbitan Maktabah Dar al-Minhaj, Cet. 1 1430 H, dengan pentahqiq DR. Jamal ‘Azzun.
Lampiran “kutipan” Kang Jalal (1)
Bukti scan Disertasi doktor Kang Jalal: Asal Usul Sunnah Shahabat: Studi Historiografis atas Tarikh Tasyri, hlm. v;
Lampiran “kutipan” Kang Jalal (2)
Bukti scan Buku kang Jalal: Misteri Wasiat Nabi, hlm. 5.
[1]Lihat, al-Waafiy bi al-Wafayaat, Juz 3, hlm. 259, terbitan Dar Ihya at-Turats al-‘Arabiy, Cet. I 1420 H/2000 M, pentahqiq Ahmad al-Arnauth.
[2]Namanya Muhammad bin Abdullah bin Hamduwaih bin Nu’aim adh-Dhabbiy an-Nisaburi, dikenal dengan sebutan Ibnu al-Bayyi’, dan populer dengan sebutan al-Hakim. (Lihat, adz-Dzahabi dalam Siyar A’lam an-Nubala, Juz 17, hlm. 164; az-Zarkali dalam al-A’lam, Juz 6, hlm. 227)
[3]Namanya Ahmad bin Ali bin Tsabit al-Baghdadi, Abu Bakar, dikenal dengan sebutan al-Khatib.
[4]Lihat, Tarikh Madinah as-Salaam, populer dengan sebutan Tarikh Baghdad, Juz 3, hlm. 509-511, No. Rawi 1044. Terbitan Dar al-Gharb al-Islamiy, Cet. 1 1422 H/2001 M, dengan pentahqiq DR. Basyar ‘Awwad Ma’ruf
[5]Namanya Muhammad bin Ahmad bin Usman, Syamsuddin Abu Abdullah
[6]Lihat, Siyar A’lam an-Nubala, Juz 17, hlm. 168
[7]Lihat, Siyar A’lam an-Nubala, Juz 17, hlm. 165
[8]Namanya Ismail bin Umar bin Katsir bin Dhaw’, Abu al-Fida, ‘Imaduddin, penyusun kitab tafsir al-Qur’an al-‘Azhim, dan populer dengan sebutan Tafsir Ibnu Katsir.
[9]Lihat, Al-Bidayah wan Nihayah, Juz 15, hlm. 561
[10]Salah satu kota di wilayah Khurasan (lihat, Ibn al-Atsir, al-Lubab fii Tahdzib al-Ansab, Juz 2, hlm. 448). Sekarang termasuk salah satu kota di wilayah Afganistan.
[11]Lihat, al-Mantsur min al-Hikayat wa as-Su’alat, Karya Abu al-Fadhl Muhammad bin Thahir al-Maqdisi, hlm. 24, No. 6, terbitan Maktabah Dar al-Minhaj, Cet. 1 1430 H, dengan pentahqiq DR. Jamal ‘Azzun.
[12] dalam kitabnya Siyar A’lam an-Nubala, Juz 17, hlm. 174; Tarikh al-Islam wa Wafayat al-Masyahir wa al-A’lam, Juz 28, hlm. 131; Tadzkirrah al-Huffazh, Juz 3, hl. 1045.
[13]Namanya Khalil bin Aibak bin Abdullah al-Albaki, dalam kitabnya al-Waafiy bil Wafayaat, Juz 3, hlm. 320
[14]Namanya Abdurrahman bin Ahmad bin Rajab as-Salamiy, Abul Faraj Zainuddin, dalam kitabnya Dzail Thabaqat al-Hanabilah, hlm. 23.
[15]Namanya Abdul Wahhab bin Ali bin Abdul Wafi Abu Nashr as-Subki, dalam kitabnya Thabaqat asy-Syafi’iyyah al-Kubra, Juz 4, hlm. 162