Preloader logo

MISTERI “BUKU MISTERI” KANG JALAL (Bagian ke-4)

Tabir (3) “Misteri 1”

Kita kembali pada penggalan kalimat dalam paragraf ke-2 versi kang Jalal, sebagai berikut: “Dengan segala pujian itu, al-Shafadi tidak lupa untuk mengutip komentar salah seorang ulama di zaman itu Abu Isma’il bin Muhammad al-Ansari tentang al-Hakim, “Tsiqqatun fi al-hadits, rafidhiyyun khabits. Terpercaya dalam riwayat, Syiah yang jahat.”

Lalu kita banding kembali dengan teks asli dalam laporan al-Shafadi sebagai berikut:

قال محمد بن طاهر المقدسي: سألت الإمام أبا إسمعاعيل عبد الله بن محمد الأنصاري بهراة عن أبي عبد الله الحاكم النيسابوري فقال: ثقة في الحديث رافضي خبيث،

Muhammad bin Thahir al-Maqdisi berkata, “Saya bertanya kepada Imam Abu Ismail Abdullah bin Muhammad al-Anshari di Hirah [Herat] tentang Abu Abdullah al-Hakim an-Nisaburi. Beliau menjawab, ‘Dia tsiqah (kredibel) dalam hadis, rafidhiy khabits’. [1]

Pada edisi sebelumnya baru “tabir (2) di Misteri 1” yang sudah dikuak berhubung dengan kang Jalal “tersandung di tanah datar” karena “masalah sepele”, yaitu cara pembacaan “Tsiqqatun” (ثِقَّةٌ), dalam penggalan kalimat di atas.

 

Pada edisi ini—semoga kang Jalal tidak tersandung lagi—akan ditampilkan tabir (3)—sekali lagi, ini masih di “Misteri 1”—yang akan ditampilkan berhubung dengan:

 

Kedua, pemaknaan kalimat رافضي خبيث

Kata raafidhiy (رافضي) dalam perkataan Abu Isma’il al-Anshari, oleh kang Jalal dimaknai dengan “Syiah”. “Mengapa kang Jalal memaknai demikian, bukankah tidak setiap penganut Syiah dijuluki raafidhiy?” Tanya seorang pembaca.

Bagi pembaca yang tidak begitu akrab dengan beragam julukan dalam berbagai sekte Syiah, khususnya Syiah Imamiyyah alias Itsna ‘Asyariyyah alias Jakfariyyah, alias…, cara pemaknaan kang Jalal demikian itu bisa dianggap “benar” dan menganggap seperti itulah julukan bagi setiap penganut Syiah. Demikian pula mereka yang awam terhadap “kasus kontroversi”  sikap Abu Isma’il al-Anshari terhadap Imam al-Hakim, ia akan “termakan”—untuk tidak menyebut: tertipu—oleh “kenakalan” kang Jalal dalam “menyulap” istilah raafidhah (رافضة).

Namun, bagi yang paham perbandingan sekte Syiah dan juga akrab dengan berbagai rujukan Syiah,  insya Allah, tidak akan “terpesona” retorika kang Jalal—mungkin “antibodi”nya telah mampu menetralisir “racun” —karena tahu bahwa cara pemaknaan kang Jalal demikian itu dipandang keliru—untuk tidak mengatakan kang Jalal melakukan distorsi (penyimpangan)—Sebab, fakta yang sebenarnya tidaklah demikian.

Untuk itu, cara pemaknaan kang Jalal semacam ini dapat kita telusuri jejaknya dalam konteks umum melalui telaah literatur ulama Syiah dan ulama Islam, juga dalam konteks khusus “kasus kontroversi”  sikap Abu Isma’il al-Anshari terhadap Imam al-Hakim.

 

Apa beda Syiah dan Rafidhah?

Sebagaimana telah dimaklumi, bahwa Syiah mengalami problem kontradiksi pemikiran dan keyakinan, yang pada gilirannya memunculkan aneka ragam sekte Syiah. Persoalan imamah menjadi pemicu utama terpecahnya Syiah pada puluhan hingga ratusan sekte. Menurut para ulama Syiah, Syi’ah terpecah menjadi banyak sekte setiap kali imamnya wafat.[2

Dari 73 sekte Syi’ah versi al-Mas’udiy, muncul pula pecahan berbagai sekte Syi’ah kecil. Andai arus kecil itu mau diperhitungkan, maka pernyataan al-Maqrizi[3] (766-845 H/1365-1441 M) bahwa sekte Syiah terpecah hingga 300 sekte dapat dimaklumi adanya. [4] Namun demikian, para ahli pada umumnya membagi sekte Syiah dalam empat sekte besar, yaitu Kaisaniyah[5], Zaidiyah[6], Imamiyah[7], dan kaum Ghulah[8]. Sebab sekte-sekte Syiah yang mencapai jumlah ratusan itu sejatinya bermuara dari empat sekte besar itu.[9]

Nah, setelah pembaca tahu jumlah sekte Syiah yang banyak itu, mari kita buka kembali “kenakalan” kang Jalal dalam memaknai perkataan Abu Isma’il al-Anshari: “raafidhiy (رافضي)”dengan “Syiah”.

Untuk mempermudah pemahaman, saya buatkan format perbandingan sebagai berikut:

  • Versi Abu Isma’il al-Anshari: “al-Hakim raafidhiy (رافضي)”
  • Versi kang Jalal, menurut Abu Isma’il al-Anshari: “al-Hakim Syiah.”

Karena raafidhiy dimaknai “Syiah”, jadi al-Hakim penganut Syiah yang mana: Kaisaniyah, Zaidiyah, Imamiyah, atau kaum Ghulah?

Dengan cara pemaknaan kang Jalal demikian itu, bisa dianggap al-Hakim itu penganut Syiah Kaisaniyah pada satu event, jadi Syiah Zaidiyah pada event lain. Jadi Imamiyah di siang hari, Syiah gulah pada sore hari. “Kasihan yah, Imam al-Hakim tidak punya pendirian,” kata seorang pembaca. “Iih justru itu pendiriannya: ‘Banyak pendirian’,” sanggah pembaca yang lain. Begitulah kira-kira dampak “modifikasi pemaknaan” ala kang Jalal terhadap pembaca awam. Serancu atau selucu itukah maksud Abu Isma’il al-Anshari?

Agar kita tidak ikut-ikutan mengganggap rancu atau lucu Abu Isma’il al-Anshari, lebih baik kita cermati penjelasan para ahli—tapi saya tidak menyebut kang Jalal tidak ahli loh—tentang istilah raafidhah (رافضة).

Ulama Syiah dan ulama Islam sepakat, bahwa istilah Rafidhah digunakan—meski dalam konotasi berbeda—sebagai sebutan lain bagi Syiah Itsna ‘Asyariyah alias Syiah Imamiyyah alias Syiah Jakfariyyah, bukan untuk seluruh sekte Syi’ah. Ulama Syiah menggunakan sebutan Rafidhah dalam konotasi positif (pujian), sementara ulama Islam dalam konotasi negatif (celaan).

5

 

Pemaknaan Rafidhah menurut Ulama Syiah

Dalam kitab-kitab Syiah ditegaskan bahwa kata Rafidhah merupakan salah satu julukan Syiah Imamiyah yang paling dibanggakan dan mempunyai keutamaan tersendiri. Salah satu guru besar (syekh) Syiah, Abu Ja’far Muhammad Ibnu Ya’qub bin Ishaq Al-Kulaini (w. 329 H/941 M) menyebutkan salah satu riwayat Ja’far ash-Shadiq (L. 83-W.148 H)—diklaim oleh Syiah Imamiyyah sebagai Imam ke-6—bahwa penamaan Rafidhah bukan bersumber dari “bumi (manusia)” melainkan bersumber dari “langit (Allah)”.

Al-Kulaini meriwayatkan dari Muhammad bin Sulaiman, dari ayahnya, dia menceritakan adegan dialog antara Abu Bashir dengan Ja’far ash-Shadiq. Kata Abu Bashir:

قلت: جعلت فداك فإنا قد نبزنا نبزا انكسرت له ظهورنا وماتت له أفئدتنا واستحلت له الولاة دماءنا في حديث رواه لهم فقهاؤهم، قال: فقال أبو عبد الله (عليه السلام): الرافضة؟ قال: قلت: نعم، قال: لا والله ما هم سموكم ولكن الله سماكم به

Saya berkata (kepada Abu Abdullah Ja’far ash-Shadiq), ‘Aku dijadikan sebagai tebusanmu, sungguh kami telah dijuluki dengan suatu julukan, yang membuat punggung kami remuk dan hati kami mati, serta penguasa mengganggap halal darah kami, dalam suatu hadis yang diriwayatkan oleh para ahli fiqih mereka kepada mereka. Abu Abdullah As, berkata, ‘Julukan Rafidhah?’ Saya jawab, ‘Benar.’ Ia berkata, ‘Tidak, demi Allah, bukan mereka yang menamaikan kalian, melainkan Allah lah yang menamai kalian dengan Rafidhah’.”

Lalu Ja’far ash-Shadiq menceritakan kepada Abu Bashir tentang 70 orang pasukan Musa As yang diberi nama Rafidhah karena meninggalkan atau menolak Fir’aun. [10]

 4

Bukti Scan Kitab ar-Rawdhah min al-Kafi, tashhih wa ta’liq Ali Akbar al-Ghifari, terbitan Muassasah Anshariyan, Qum : Iran, Cet. I, tahun 2005, Jilid 7, hal. 1950.

Ulama besar Syiah lainnya, Abu Ja’far Ahmad bin Muhammad bin Khalid al-Barqi (w. 379 H) menjelaskan beberapa fadhilah (keutamaan) atas pemberian nama ini untuk Syiah Imamiyah. Di dalam kitabnya al-Mahasin, ia telah menulis sub judul:

باب الرافضة

bab ar-Rafidhah” (bab menjelaskan tentang Rafidhah).

Kemudian al-Barqi menampilkan tiga riwayat yang berisi pujian terhadap penamaan Rafidhah ini, sebagai berikut:

عن عيينة بياع القصب،عن أبي عبد الله عليه السلام قال: والله لنعم الاسم الذي منحكم الله ما دمتم تأخذون بقولنا ولا تكذبون علينا قال: و قال لي أبو عبد الله عليه السلام هذا القول اني كنت خبرته ان رجلا قال لي: اياك أن تكون رافضيا

Dari ‘Uyainah Bayya’ al-Qashab, dari Abu Abdullah (Ja’far ash-Shadiq) As—diklaim sebagai Imam ke-6 (L. 83-W.148 H)—ia berkata, “Demi Allah, rafidhah itu sebaik-baik nama yang Allah anugerahkan kepada kalian selama kalian memegang ucapan kami dan tidak mendustakan kami.” Ia (Uyainah) berkata, ’Dan Abu Abdullah As. berkata kepada saya, ‘Ucapan ini aku kabarkan saat seseorang berkata kepadaku, ‘Awas kamu menjadi rafidhiy’.”[11]

عن أبي الجارود قال: أصم الله أذنيه كما أعمى عينيه ان لم يكن سمع أبا جعفر عليه السلام يقول: ان فلانا سمانا باسم، قال: وما ذاك الاسم؟ – قال: سمانا الرافضة، فقال أبو جعفر عليه السلام بيده إلى صدره: وأنا من الرافضة وهو منى قالها ثلاثا

Dari Abu al-Jarud, ia berkata, “Allah menjadikan tuli kedua telinganya sebagaimana Dia membutakan kedua matanya sekiranya ia tidak mendengar Abu Ja’far (Muhammad al-Baqir) As—diklaim sebagai Imam ke-5 (L. 57 H-W. 114 H)—berkata, ‘Sungguh si Polan menamakan kami dengan suatu nama’. Ia berkata, ‘Apa nama itu?’ Ia berkata, ‘Menamai kami Rafidhah.’ Maka Abu Ja’far As. berkata, dengan tangan ke dadanya, ‘Aku bagian dari Rafidhah, dan Rafidhah bagian dari diriku.’ Ia mengucapkannya sebanyak tiga kali.” [12]

عن أبي بصير قال: قلت لأبي جعفر عليه السلام:جعلت فداك، اسم سمينا به استحلت به الولاة دماءنا وأموالنا وعذابنا، قال: وما هو؟ قلت: الرافضة، فقال أبو جعفر:إنّ سبعين رجلاً من عسكر موسى عليهم السلام فلم يكن في قوم موسى أشد اجتهاداً وأشد حباً لهارون منهم، فسماهم قوم موسى الرافضة، فأوحى الله إلى موسى أن أثبت لهم هذا الاسم في التوراة فإني نحلتهم، وذلك اسم قد نحلكموه الله

Dari Abu Bashir, ia berkata, “Saya bertanya kepada Abu Ja’far As. ‘Aku dijadikan sebagai tebusanmu, ada satu nama yang kami gunakan, dengan nama itu penguasa mengganggap halal darah, harta, dan menyiksa kami.’ Ia bertanya, ‘Apa nama itu?’ Saya menjawab, ‘Rafidhah.’ Maka Abu Ja’far berkata, ‘Sungguh 70 orang di antara pasukan Musa As., tidak ada pada kaum Musa yang lebih kuat berijtihad dan lebih mencintai Harun selain mereka. Kaum Musa menamai mereka dengan Rafidhah. Maka Allah mewahyukan kepada Musa agar mengukuhkan nama ini bagi mereka di dalam Taurat: ‘Sungguh Aku telah memberikan kepada mereka.’ Itulah nama yang diberikan Allah kepada kalian’. [13]

Sikap yang sama diperlihatkan pula oleh ulama besar Syiah lainnya, Muhammad Baqir al-Majlisi (w. 1110/1111 H). Bahkan, dalam kitabnya Bihar al-Anwar[14], ia menulis sub judul tentang penamaan itu lebih tegas lagi:

باب فضل الرافضة ومدح التسمية بها

bab Fadhli ar-Rafidhah wa at-Tasmiyati bihi ” (bab menjelaskan tentang keutamaan Rafidhah dan penamaan dengannya).

Kemudian al-Majlisi menampilkan empat riwayat yang berisi pujian terhadap penamaan itu, antara lain riwayat Abu Bashir, seperti dikemukan al-Barqi dan al-Kulaini di atas dengan perbedaan redaksi. [15]

Keterangan para ulama besar Syiah klasik di atas menunjukkan bahwa istilah Rafidhah digunakan khusus untuk Syiah Syiah Itsna ‘Asyariyah alias Syiah Imamiyyah alias Syiah Jakfariyyah, bukan untuk seluruh sekte Syi’ah. Bahkan, mereka sangat senang dan bangga dengan julukan Rafidhah ini. Penjelasan ulama klasik Syiah di atas dikukuhkan pula oleh ulama Syiah kontemporer, antara lain Imam Khomaini. Saya tidak tahu apakah kang Jalal juga bangga dengan Julukan Rafidhah ataukah tidak?

Nah, dengan merujuk kepada ulama Syiah di atas, sekarang pembaca jadi tahu bahwa cara pemaknaan kang Jalal demikian itu—kata Raafidhiy dimaknai Syiah saja” atau secara umum—dipandang keliru—sekali lagi, untuk tidak mengatakan kang Jalal melakukan distorsi (penyimpangan). Saya tidak tahu, apakah para ulama besar Syiah itu bangga dengan “kenakalan” kang Jalal semacam ini? Semoga saja mereka mengampuni “kenakalan” kang Jalal. 🙂

 

By Amin Muchtar, sigabah.com

 

Lampiran Teks Asli al-Shafadi

3

Bukti Scan kitab al-Wafi bi al-Wafayat, Juz 3, hlm. 259, terbitan Dar Ihya at-Turats al-‘Arabiy, Cet. I 1420 H/2000 M, pentahqiq Ahmad al-Arnauth.

 

Lampiran “kutipan” Kang Jalal (1)

2

Bukti scan Disertasi doktor Kang Jalal: Asal Usul Sunnah ShahabatStudi Historiografis atas Tarikh Tasyri, hlm. v;

Lampiran “kutipan” Kang Jalal (2)

1

Bukti scan Buku kang Jalal: Misteri Wasiat Nabi, hlm. 5.

 

[1]Lihat, al-Waafiy bi al-Wafayaat, Juz 3, hlm. 259, terbitan Dar Ihya at-Turats al-‘Arabiy, Cet. I 1420 H/2000 M, pentahqiq Ahmad al-Arnauth.

[2]Misalnya, menurut al-Qummi (w. 300 H/913 M) dan an-Nubakhti (w. 310 H/922 M), Syi’ah berkembang menjadi 60 sekte (Lihat, Al-Maqalat wa al-Firaq, karya al-Qummi, hlm. 102; Firaq asy-Syi’ah, karya an-Nubakhti, hlm. 96). Sementara versi al-Mas’udiy (w. 346 H/957 M), Syiah terpecah menjadi 73 sekte (Lihat, Muruj adz-Dzahab fi Tuhaf al-Asyraf wa al-Muluk, Juz 3, hlm. 221). Pendapat senada disampaikan pula Muhaqqiq ad-Damadi (w. 1041 H/1631 M). Namun dalam salah satu riwayat Imam al-Kulaini (w. 329 H/941 M) disebutkan sebanyak 13 sekte, semuanya di neraka kecuali satu sekte. (Lihat, Ushul al-Kafi, Juz 4, hlm. 344). Menurut al-Majlisi, riwayat itu berderajat hasan (Lihat, Mir’ah al-‘Uqul, Juz 4, hlm. 344).

[3] Namanya Ahmad bin Ali bin Abdul Qadir, Taqiyuddin al-Maqrizi, di antara karya ilmiahnya al-Mawa’id wa al-I’tibar bi Dzikri al-Khithath wa al-Atsar, populer dengan sebutan al-Khithath al-Maqriziyyah.

[4] Lihat, al-Khithath, Juz 2, hlm. 315.

[5]Kaisaniyah adalah sekte Syiah yang mempercayai kepemimpinan Muhammad bin Hanafiyah setelah wafatnya Sayyidina Husain bin Ali ra. Nama Kaisaniyah diambil dari nama seorang bekas budak Sayyidina Ali bin Abi Thalib ra., Kaisan, atau dari nama Mukhtar bin Abi Ubaid yang juga dipanggil dengan nama Kaisan.

[6]Zaidiyah adalah sekte dalam Syiah yang mempercayai kepemimpinan Zaid bin Ali bin Husain Zainal Abidin setelah kepemimpinan Husain bin Ali ra. Mereka tidak mengakui kepemimpinan Ali bin Husain Zainal abidin seperti yang diakui sekte Imamiyah, karena menurut mereka, Ali bin Husain Zainal Abidin dianggap tidak memenuhi syarat sebagai pemimpin.

[7]Imamiyah adalah sekte dalam Syiah yang meyakini bahwa Nabi saw. telah menunjuk Sayyidina Ali ra. sebagai Imam penggantinya dengan penunjukan yang jelas dan tegas. Oleh karena itu, mereka tidak mengakui keabsahan kepemimpinan Sayyidina Abu Bakar, Umar, maupun Usman Ra. Bagi mereka, persoalan imamah adalah salah satu persoalan pokok dalam agama atau Ushul ad-Din.

[8]Gulah adalah sekte dalam Syiah yang berlebih-lebihan dalam memuji Sayyidina Ali Ra. atau Imam-imam lain dengan menganggap bahwa para imam tersebut bukan imam biasa, melainkan jelmaan Tuhan atau bahkan Tuhan itu sendiri.

[9] Misalnya, Fakhruddin ar-Razi (544-606 H/1150-1210 M) menyebut tiga induk sekte Syi’ah: Zaidiyyah, Imamiyyah, Kaisaniyyah (Lihat, I’tiqadat Firaq al-Muslimin wa al-Musyrikin, hlm. 77). Ibnu al-Murtadha (775-840 H/1373-1437 M) menyebut: Zaidiyyah, Imamiyyah, Bathiniyyah (Lihat, Al-Maniyyah wa al-Amal fi Syarh al-Milal wa an-Nihal, hlm. 20). Ibnu Taimiyyah (661-728 H/1263-1328 M) menyebut tiga induk sekte Syi’ah sesuai derajat kesesatannya: Paling jahat: Ghaliyah, penganut Syi’ah yang menuhankan Ali atau menyifatinya dengan kenabian. Derajat kedua: Rafidhah (imamiyyah), penganut Syiah yang meyakini bahwa Ali yang berhak jadi khalifah setelah Nabi saw. berdasarkan nash yang jelas atau samar. Meyakini Ali telah dizalimi dan dirampas haknya. Murka dan mencaci maki Abu Bakar dan Umar. Derajat ketiga: mufadhdhilah dari sekte Zaidiyah dan lainnya, yaitu penganut Syiah yang mengutamakan Ali atas Abu Bakar dan Umar, namun mengakui kekhalifahan dan keadilan mereka berdua (Lihat, al-Fatawa al-Kubra, Juz 6, hlm. 369). Menurut Abdul Qahir al-Baghdadi (w. 429 H/1037 M), beragam sekte Syi’ah berasal dari empat induk: Zaidiyyah, Imamiyyah, Kaisaniyyah, dan ghaliyah/Ghulah (Lihat, Al-Farqu bayna al-Firaq wa Bayan al-Firqah an-Najiyah, hlm. 21, 23, 232). Menurut asy-Syahrastani (479-548 H/1086-1153 M), beragam sekte Syi’ah berasal dari lima induk: Zaidiyyah, Imamiyyah, Kaisaniyyah, ghaliyah/Ghulah, dan Ismailiyyah (Lihat, Al-Milal wa an-Nihal, Juz 1, hlm. 147).

[10] Lihat, ar-Rawdhah min al-Kafi, tashhih wa ta’liq Ali Akbar al-Ghifari, terbitan Muassasah Anshariyan, Qum : Iran, Cet. I, tahun 2005, Jilid 7, hal. 1950-1951, Bab Khutbah ath-Thaluutiyyah, No, Hadis 6/14.746

[11] Lihat, al-Mahasin, Juz 1, hlm. 157, No. Hadis 90

[12] Ibid., No. Hadis 91

[13] Ibid., No. Hadis 92

[14] Dicetak di Teheran, Iran, dalam 26 jilid. Pada perkembangan selanjutnya, kitab ini dicetak dalam 110 jilid. Ulama Syi’ah menyatakan bahwa Bihar al-Anwar adalah kitab terbesar yang memuat hadis dari kitab-kitab rujukan Syi’ah. Keterangan mengenai kitab ini bisa dilihat dalam Adz-Dzari’ah ilaa Tashaanif asy-Syi’ah, karya Syekh Agho Bazrak ath-Thahraniy, Juz 3, hlm. 27; A’yan asy- Syi’ah, Juz 1, hlm. 293

[15] Lihat, Bihar al-Anwar al-Jami’ah Li Durar Akhbar al-Aimmah al-Athhar, Juz 68, hlm. 96-97

Your email address will not be published. Required fields are marked *

#main-content .dfd-content-wrap {margin: 0px;} #main-content .dfd-content-wrap > article {padding: 0px;}@media only screen and (min-width: 1101px) {#layout.dfd-portfolio-loop > .row.full-width > .blog-section.no-sidebars,#layout.dfd-gallery-loop > .row.full-width > .blog-section.no-sidebars {padding: 0 0px;}#layout.dfd-portfolio-loop > .row.full-width > .blog-section.no-sidebars > #main-content > .dfd-content-wrap:first-child,#layout.dfd-gallery-loop > .row.full-width > .blog-section.no-sidebars > #main-content > .dfd-content-wrap:first-child {border-top: 0px solid transparent; border-bottom: 0px solid transparent;}#layout.dfd-portfolio-loop > .row.full-width #right-sidebar,#layout.dfd-gallery-loop > .row.full-width #right-sidebar {padding-top: 0px;padding-bottom: 0px;}#layout.dfd-portfolio-loop > .row.full-width > .blog-section.no-sidebars .sort-panel,#layout.dfd-gallery-loop > .row.full-width > .blog-section.no-sidebars .sort-panel {margin-left: -0px;margin-right: -0px;}}#layout .dfd-content-wrap.layout-side-image,#layout > .row.full-width .dfd-content-wrap.layout-side-image {margin-left: 0;margin-right: 0;}