Paparan data serta hasil-hasil analisisnya, sebagaimana terurai pada 9 edisi, dirasa cukup mewakili untuk menguak “tiga tabir” dibalik lima paragraf plus iftitah Kang Jalal, dalam Kata Pengantar disertasi Doktoral dan buku “Misteri”nya, yang saya ikat dengan judul: “Terinspirasi atau manipulasi atas nama al-Hakim?”
Berbagai tabir itu dipandang penting untuk dikuak mengingat, bagi orang awam pengikut Syi’ah dan pemeluk Islam, kata pengantar Kang Jalal ini bisa dianggap “benar” dan menganggap seperti itulah gambaran akurat mengenai Al-Hakim. Tetapi, bagi yang paham dengan “kasus al-Hakim”, juga akrab dengan sumber rujukan “kasus al-Hakim”, pengantar itu dipandang tidak benar karena tidak seperti itu gambaran akurat mengenai al-Hakim.
Ke-tidakbenar-an pertama dan utama pada kata pengantar Kang Jalal itu paling tidak terindikasi dalam beberapa aspek, antara lain:
tidak transparan dalam menampilkan data dan informasi yang sesungguhnya. Pasalnya, berbagai fakta dan data yang dikemukakan oleh para ulama seputar al-Hakim banyak yang tidak ditampilkan.
Distorsi (tahrif) makna raafidhah (رافضة) dalam konteks umum, menurut ulama Islam dan ulama Syi’ah, maupun dalam konteks khusus, menurut Abu Ismail al-Anshari, serta menyelipkan (idraaj) opini pribadi ke dalam rangkaian laporan al-Shafadi tentang al-Hakim.
Alih-alih “melindungi” penelitiannya dari gangguan beragam komentar miring dan berbagai macam reaksi, justru kata pengantar kang Jalal itu, dengan cara demikian, “akan menambah” antrian sejumlah “musuh” baru. Sebab, deretan contoh kasus al-Hakim—yang “dijadikan dalih inspirasi”—yang sebenarnya telah jelas dalam pandangan ulama Islam, menjadi bias.
Lebih dari itu, menjadikan al-Hakim sebagai pilihan kasus, tanpa transparansi data dan informasi disertai distorsi makna, dapat dipahami pembaca sebagai perilaku tidak meneladani akhlak al-Hakim sendiri, yang dikenal jujur apa adanya tanpa “topeng dan lipstik”.
Sebelum mengakhiri pembahasan ”Misteri 1″ dalam lima paragraf plus iftitah tulisan Kang Jalal, saya tayangkan kembali resume beberapa tabir yang telah berhasil dikuak, sebagai berikut :
Tabir 1:
Bagi pembaca yang tidak akrab dengan “kasus al-Hakim”, retorika lima paragraf plus iftitah dirasa cukup efektif menggiring opini pembaca untuk menerima ide kang Jalal bahwa “Imam al-Hakim sebagai ulama penganut Syi’ah terzalimi.”
Selain itu, pembaca yang tidak akrab dengan sumber rujukan “kasus al-Hakim”, juga tidak akan sadar dengan “kenakalan” kang Jalal saat menyelipkan opini pribadi ke dalam rangkaian laporan al-Shafadi, berupa kalimat: “Gelar Rafidhi dinisbatkan kepadanya karena kejujurannya dalam menyampaikan keutamaan Nabi saw dan keluarganya.”
Pembaca akan menduga bahwa kalimat itu sebagai argumen faktual dalam laporan al-Shafadi, hingga tak tercium di situ aroma subyektivitas kang Jalal. Padahal, fakta dan data yang sebenarnya tidak begitu. Di sini, saya telah menampilkan teks asli al-Shafadi—apa adanya tanpa syakal atau baris demi menjaga keasliannya—dalam melaporkan tentang al-Hakim.
Dengan cara begitu pembaca jadi tahu, bahwa dalam laporan asli al-Shafadi ternyata tidak terdapat satupun kalimat yang dapat dijadikan bukti bahwa “al-Hakim disebut Rafidhi karena kejujurannya dalam menyampaikan keutamaan Nabi saw. dan keluarganya.” Jadi, kang Jalal telah melakukan manipulasi, untuk tidak menyebut korupsi, atas nama al-Shafadi dan al-Hakim. 🙂
Tabir 2:
Untuk menguak tabir-tabir lain, ke-5 paragraf Kata Pengantar Kang Jalal telah saya mutilasi, bagian demi bagian, sambil merujuk kembali kepada laporan asli al-Shafadi.
Setelah dimutilasi lagi-lagi tampak jelas “kenakalan” kang Jalal saat menyelipkan opini pribadi ke dalam rangkaian laporan al-Shafadi, berupa kalimat, pada paragraf ke-2: “Dengan segala pujian itu, al-Shafadi tidak lupa untuk mengutip komentar salah seorang ulama di zaman itu Abu Isma’il bin Muhammad al-Ansari tentang al-Hakim, “Tsiqqatun fi al-hadits, rafidhiyyun khabits. Terpercaya dalam riwayat, Syiah yang jahat.”
Karena setelah saya banding dengan teks asli dalam laporan al-Shafadi paling tidak terdapat 2 tabir misteri baru yang terkuak:
Pertama, cara baca kata ثقة
Kata itu dibaca oleh kang Jalal dengan: “Tsiqqatun” (ثِقَّةٌ) huruf qaf bersyaddah (double qaf), dan dimaknainya “terpercaya”. Sementara penjelasan para pakar bahasa Arab dan pakar hadis serta ilmu al-Jarh wa at-Ta’dil (kritik rawi) menunjukkan kata “tsiqah” dibaca tanpa huruf qaf bersyaddah, sebagai mashdar (original noun).
Jadi, kang Jalal telah “tersandung di tanah datar” hanya karena tidak apik, untuk tidak menyebut kang Jalal ceroboh atau kang Jalal belum khatam ilmu hadis.
Kedua, pemaknaan kalimat رافضي خبيث
Kata raafidhiy (رافضي) dalam perkataan Abu Isma’il al-Anshari, oleh kang Jalal dimaknai dengan “Syiah”. Bagi pembaca yang tidak begitu akrab dengan beragam julukan dalam berbagai sekte Syiah, khususnya Syiah Imamiyyah alias Itsna ‘Asyariyyah alias Jakfariyyah, alias…, cara pemaknaan kang Jalal demikian itu bisa dianggap “benar” dan menganggap seperti itulah julukan bagi setiap penganut Syiah. Demikian pula mereka yang awam terhadap “kasus kontroversi” sikap Abu Isma’il al-Anshari terhadap Imam al-Hakim, ia akan “termakan”—untuk tidak menyebut: tertipu—oleh “kenakalan” kang Jalal dalam “menyulap” istilah raafidhah (رافضة).
Namun, bagi yang paham perbandingan sekte Syiah dan juga akrab dengan berbagai rujukan Syiah, tidak akan “terpesona” retorika kang Jalal karena tahu bahwa cara pemaknaan kang Jalal demikian itu dipandang keliru—untuk tidak mengatakan kang Jalal melakukan distorsi (penyimpangan)—Sebab, fakta yang sebenarnya tidaklah demikian.
Dalam menguak tabir kenakalan Kang Jalal itu, saya tampilkan pandangan ulama Syiah tentang pemaknaan kata tersebut, dan untuk lebih menguak tabir “kenakalan” kang Jalal dalam petak umpat “misteri kata”, saya ditampilkan pula kata raafidhah (رافضة) menurut ulama Islam, baik dalam pemaknaan pertama maupun kedua. Dalam makna pertama, julukan raafidhah (رافضة) disematkan kepada Syiah yang mencaci Abu Bakar dan Umar, lalu mereka membangkang saat ditegur Zaid dari perbuatan itu. Sementara dalam makna kedua, disematkan kepada kelompok Syiah yang menolak imamah (kepemimpinan) Abu Bakar dan Umar, berlepas diri dari keduanya, dan mencela sekaligus menghina para sahabat Nabi.
Jadi sejatinya ulama Syiah dan ulama Islam sepakat, bahwa istilah Rafidhah digunakan—meski dalam konotasi berbeda—sebagai sebutan lain bagi Syiah Itsna ‘Asyariyah alias Syiah Imamiyyah alias Syiah Jakfariyyah, bukan untuk seluruh sekte Syi’ah. Ulama Syiah menggunakan sebutan Rafidhah dalam konotasi positif (pujian), sementara ulama Islam dalam konotasi negatif (celaan).
Jika pemaknaan kata Raafidhah (رافضة) versi ulama Syiah yang dijadikan acuan, tampak jelas cara pemaknaan kang Jalal demikian itu—kata Raafidhiy dimaknai Syiah “saja” atau secara umum—dipandang keliru.
Jika versi ulama Islam yang dijadikan acuan, baik pemaknaan pertama maupun kedua, tampak jelas pula cara pemaknaan kang Jalal demikian itu dipandang keliru—sekali lagi, untuk tidak mengatakan kang Jalal melakukan distorsi (penyimpangan)—karena memang sudah jelas hingga tidak perlu dikatakan lagi. 🙂
Dengan begitu, pembaca awam pun jadi tahu bahwa kang Jalal “nakal” saat memaknai kata Raafidhiy dengan Syiah “saja” atau secara umum, sehingga pembaca tidak “termakan” —untuk tidak menyebut tertipu—retorika kang Jalal dalam “permainan” makna kata. 🙂
Tabir 3 :
Kang Jalal cukup nekat, saat ia menyebutkan latar belakang al-Hakim disebut raafidhiy: “Gelar Rafidhi dinisbatkan kepadanya karena kejujurannya dalam menyampaikan keutamaan Nabi saw dan keluarganya.”
Retorika kang Jalal di atas dirasa cukup efektif menggiring opini pembaca untuk menerima ide kang Jalal bahwa sebutan Raafidhah (رافضة) diberikan bagi “orang Syiah karena kejujurannya dalam menyampaikan keutamaan Nabi saw dan keluarganya.”
Dengan begitu, tadinya kang Jalal mau menggiring opini pembaca bahwa “Imam al-Hakim adalah ulama Syi’ah terzalimi.” Di saat yang sama, hendak menggiring para membaca agar meyakini bahwa yang menggunakan label Raafidhah (رافضة) adalah para musuh Nabi dan Ahlul Baitnya.
Namun sayangnya, “opini pribadi penarik simpati” kang Jalal di atas dirasa sudah tidak efektif lagi dalam mempengaruhi pembaca untuk menerima idenya. Sebab pembaca keburu mengetahui batu di balik udang, eh kebalik, “udang” di balik tabir “Misterinya.”
Untuk lebih menguak tabir “kenakalan” kang Jalal dalam permainan retorikanya, saya tampilkan hasil telaah terhadap maksud ucapan Abu Isma’il al-Anshari: “al-Hakim raafidhiy (رافضي)” Hasil telaah menunjukkan bahwa Syekh Abu Isma’il al-Anshari tidak menyebutkan latar belakang al-Hakim disebut raafidhiy (رافضي). Tidak pula Ibnu Thahir, sebagai informan pertama sikap dan perkataan Abu Isma’il al-Anshari terhadap Imam al-Hakim. Demikian juga al-Shafadi sebagai pengutip informasi dari Ibnu Thahir. Karena itulah saya sebut kang Jalal nekat menyelipkan opini pribadi dalam rangkaian laporan al-Shafadi.
Selain itu, saya tampilkan pula penjelasan para ulama tentang al-Hakim serta tanggapan mereka terhadap Abu Isma’il. Penjelasan para ulama itu menunjukkan bahwa al-Hakim dinilai tasyayyu’, bukan raafidhiy kecuali Abu Ismail al-Anshari, yang sengaja dipilih oleh kang Jalal. Di sini timbul pertanyaan besar, mengapa kang Jalal lebih memilih Abu Ismail yang menilainya Raafidhi, yang telah selewengkan maksud dan makna perkataanya oleh kang Jalal—daripada penilaian tasyayyu’?
Di sini, saya coba buat dua “peluang” kemungkinan: Pertama, kang Jalal belum khatam (menamatkan) kitab-kitab biografi para periwayat (Rijaal al-Hadits), meskipun peluang ini kecil mengingat background (latarbelakang) pendidikannya. Konon kang Jalal sudah bisa membaca kitab kuning sejak kecil. Selain itu, saya yang sudah kenyang dengan beberapa kitab Rijaal al-Hadits di perpustakan pesantren Muthahhari—milik kang Jalal sejak tahun 1994—menyangsikan peluang pertama. Kedua, tidak transparan, untuk tidak mengatakan kang Jalal tidak jujur. Artinya, kang Jalal sengaja tidak transparan dalam menampilkan data dan informasi penilaian ulama Islam yang sesungguhnya tentang al-Hakim. Wajar saja bila terkesan “mengelabui” orang-orang awam, baik kalangan Syi’ah maupun umat Islam. Lebih tragis lagi “mengelabui” para guru besar (Profesor) penguji disertasi doktornya. Meski peluang kedua terbuka lebar, namun hanya Allah Yang Lebih Tahu terhadap apa yang diketahui kang Jalal.
Setelah kita banding antara jumlah paragraf (sebanyak 5) dengan jumlah petaka di situ, hingga Kang Jalal berkali-kali “tersandung di tanah datar”, untuk tidak menyebut tersandera retorikanya sendiri, tampak jelas paling tidak Kang Jalal melakukan 9 kali kesalahan baru dalam 5 paragraf mukadimah. Dalam bahasa guru saya, soalnya hanya 5 tapi salahnya 9 kali. Karena demikian kualitasnya, jikalau, seandainya, seumpama, dan…. saya berada dalam posisi Kang Jalal, saya akan meminta kepada para penguji disertasi doctor saya agar tidak diluluskan sebab belum layak lulus. 🙂
‘Alaa kulli haal, penggunaan “kasus al-Hakim” dalam kata pengantar disertasi Doktoral dan buku “Misteri” Kang Jalal dapat dimaknai sebagai “penokohan manipulatif” atas nama al-Hakim, daripada “penokohan inspiratif”.
By Amin Muchtar, sigabah.com/beta