Selain doktrin ‘suci’ Imamah, ‘Ishmah Imam, Mahdiyyah, Raj’ah (inkarnasi), dan Bada’ yang telah dikupas tuntas pada beberapa edisi sebelumnya, Syiah meyakini doktrin ‘suci’ lain sebagai ajaran mereka yang disebut Taqiyyah.
Selain bada’, taqiyyah juga menjadi issue sentral yang tak bisa dipisahkan dari Syiah, sebab doktrin ini hanya melekat pada sekte tersebut, tidak pada yang lain. Mirip dengan fungsi bada’, taqiyyah bagi Syiah tak ubahnya tameng sakti untuk menyelematkan diri, sekaligus sihir muslihat yang dapat mengelabui orang lain.
Secara kebahasaan, istilah ini berasal dari kata “ittaqaitu asy-Syai’a” yang berarti “saya mewaspadai sesuatu.” Secara terminologi, taqiyyah berarti menampakkan sesuatu yang tidak sesuai dengan isi hati.[1] Orang-orang Arab biasa mengungkapkan kata taqiyyah dengan kalimat “tuqah”. Dalam al-Qur’an disebutkan:
لَا يَتَّخِذِ الْمُؤْمِنُونَ الْكَافِرِينَ أَوْلِيَاءَ مِنْ دُونِ الْمُؤْمِنِينَ وَمَنْ يَفْعَلْ ذَلِكَ فَلَيْسَ مِنَ اللَّهِ فِي شَيْءٍ إِلَّا أَنْ تَتَّقُوا مِنْهُمْ تُقَاةً وَيُحَذِّرُكُمُ اللَّهُ نَفْسَهُ وَإِلَى اللَّهِ الْمَصِير (آل عمران ]3[: 28)
“Janganlah orang-orang mukmin mengambil orang-orang kafir menjadi wali dengan meninggalkan orang-orang mukmin. Barang siapa berbuat demikian, niscaya lepaslah ia dari pertolongan Allah, kecuali karena (siasat) memelihara diri dari sesuatu yang yang ditakuti dari mereka. dan Allah memperingatkan kamu terhadap diri (siksa)-Nya, dan hanya kepada Allah kembali (mu).” (QS. Al-‘Imran [3]: 28)
Sebetulnya, doktrin ini memiliki preseden rujukan dalam Islam. Bahwa pada masa Nabi SAW, taqiyyah memang digunakan dalam keadaan terpaksa saat menghadapi orang-orang kafir. Al-Qur’an membenarkan seseorang mengucapkan kata-kata kufur, jika terancam jiwa, badan atau harta bendanya. Dalam al-Qur’an dijelaskan:
مَنْ كَفَرَ بِاللَّهِ مِنْ بَعْدِ إِيمَانِهِ إِلَّا مَنْ أُكْرِهَ وَقَلْبُهُ مُطْمَئِنٌّ بِالْإِيمَانِ وَلَكِنْ مَنْ شَرَحَ بِالْكُفْرِ صَدْرًا فَعَلَيْهِمْ غَضَبٌ مِنَ اللَّهِ وَلَهُمْ عَذَابٌ عَظِيمٌ (النحل ]16[: 106)
“Barangsiapa yang kafir kepada Allah sesudah dia beriman (dia mendapat kemurkaan Allah), kecuali orang yang dipaksa kafir padahal hatinya tetap tenang dalam beriman (dia tidak berdosa), akan tetapi orang yang melapangkan dadanya untuk kekafiran, maka kemurkaan Allah menimpanya dan baginya azab yang besar.” (QS. An-Nahl [16]: 106)
Dalam berbagai kitab tafsir dijelaskan, bahwa ayat ini turun menyangkut kasus sahabat Nabi SAW, ‘Ammar bin Yasir RA, yang mengucapkan kalimat kufur karena dipaksa oleh kaum musyrik untuk mengucapkannya, dan jika enggan akan dibunuh, sebagaimana mereka telah membunuh kedua orang tuanya. Akibat desakan tersebut, Ammar mengucapkan kalimat kufur, dan ketika ia menyampaikan halnya kepada Rasulullah SAW, maka turunlah ayat di atas yang membenarkan sikapnya, dan Rasulullah SAW berpesan kepadanya: “Kalau mereka kembali mengancammu, maka engkau boleh mengucapkan lagi kalimat kufur, selama hatimu tetap tenang dalam keimanan.”[2]
Secara tersurat, ayat ini merupakan dalil bagi bolehnya mengucapkan kalimat-kalimat kufur atau perbuatan yang mengandung makna kekufuran, saat seseorang (Muslim) berada dalam keadaan terpaksa, walaupun menurut mayoritas ulama, menyatakan dengan tegas keyakinan justru lebih baik, sebagaimana dilakukan oleh kedua orang tua Ammar.[3]
Dari sini, para ulama memahami, bahwa taqiyyah merupakan sebuah rukhshah (dispensasi Syariat) yang dapat diterapkan hanya dalam keadaan terdesak (idhtirar). Karena itu, dalam ayat ke-28 surat Ali Imran di atas, taqiyyah dijadikan sebagai pengecualian dari larangan menjadikan orang mukmin sebagai wali: “Janganlah orang-orang mukmin mengambil orang-orang kafir menjadi wali dengan meninggalkan orang-orang mukmin… kecuali karena (siasat) memelihara diri dari sesuatu yang ditakuti dari mereka.”
Bahkan, status taqiyyah sebagai rukhshah yang hanya bisa diterapkan dalam keadaan terdesak ketika menghadapi orang kafir ini sudah merupakan kesepakatan ulama (ijma’). Dalam hal ini, Ibnu al-Mundzir berkata:
أَجْمَعُوْا عَلَى أَنَّ مَنْ أُكْرِهَ عَلَى الكُفْرِ حَتَّى خَشِيَ عَلَى نَفْسِهِ الْقَتْلَ فَكَفَرَ وَقَلْبُهُ مُطْمَئِنٌ بِالإِيْمَانِ أَنَّهُ لَا يُحْكَمُ عَلَيْهِ بِالْكُفْرِ.
“Para ulama bersepakat bahwa orang yang dipaksa menjadi kafir dengan pemaksaan hingga pada taraf yang membahayakan dirinya dengan dibunuh, lalu ia menyatakan kekafiran, namun hatinya tetap tenang dalam keimanan, maka orang tersebut tidak dihukumi kafir.”[4]
Kendati diperbolehkan menggunakan konsep taqiyyah dalam keadaan terdesak, akan tetapi kesepakatan para ulama selanjutnya adalah lebih mengutamakan orang yang tidak menggunakan taqiyyah. Mengenai hal ini, Ibnu Bathal menegaskan:
وَ أَجْمَعُوْا عَلَى أَنَّ مَنْ أُكْرِهَ عَلَى الكُفْرِ وَاخْتَارَ الْقَتْلَ أَنَّهُ أَعْظَمُ أَجْرًا عِنْدَ اللهِ.
“Para ulama bersepakat bahwa orang yang dipaksa untuk kafir, namun ia lebih memilih dibunuh, maka ia akan mendapatkan pahala yang lebih besar di sisi Allah SWT.”[5]
Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan, bahwa taqiyyah hanya dapat diterapkan dalam menghadapi orang kafir dan dalam keadaan terpaksa. Islam sebagai agama dakwah, tidak mematok taqiyyah sebagai konsep yang permanen. Taqiyyah juga tidak diterapkann secara umum dan menyeluruh untuk semua umat Islam. Akan tetapi tertentu pada individu-individu yang lemah dan hanya dalam tempo yang diperlukan beserta ada unsur keterpaksaan. Nah, apabila faktor-faktor tersebut sudah tak ditemukan, maka keleluasaan untuk menerapkan konsep taqiyyah sudah tidak diberikan lagi.[6]
Maka dari itu, para ulama salaf berkesimpulan bahwa taqiyyah tidak bisa di pakai lagi setelah Allah SWT. menjayakan agama Islam. Sahabat Muadz bin Jabal dan Imam Mujahid berkata: “Taqiyyah diterapkan dalam Islam sebelum orang-orang Islam kuat dan jaya, sedangkan pada masa sekarang taqiyyah sudah tidak difungsikan lagi, sebab Islam sudah jaya dan orang-orang Islam sudah kuat.”[7]
Penjelasan mengenai pengertian, latar belakang, maksud dan tujuan serta ruang-lingkup penggunaan taqiyyah dalam Islam kami kemukakan di atas, akan sangat kontras dengan taqiyyah yang dipahami oleh sekte Syiah, baik mengenai pengertian, latar belakang, maksud dan tujuan serta ruang-lingkup penggunaannya.
Dalam Syiah, Istilah taqiyyah berarti mengatakan sesuatu yang bertentangan dengan keyakinannya sendiri, dalam rangka menyelematkan diri dari orang yang tidak sepaham dalam akidah. Dalam hal ini, salah satu tokoh Syiah terkemuka, al-Mufid, menyatakan sebagai berikut:
التَّقِيَّةُ كِتْمَانُ الحَقِّ وَسَتْرُ الإِعْتِقَادِ فِيْهِ وَكِتْمَانُ الْمُخَالِفِيْنَ وَتَرْكُ مُظَاهَرَتِهِمْ بِمَا يُعْقِبُ ضَرَراً فِيْ الدِّيْنِ أو الدُّنْيَا.
“Taqiyyah adalah menyimpan kebenaran dan menyembunyikan keyakinan, serta merahasiakannya terhadap orang-orang yang tidak seakidah, dan tidak minta bantuan mereka dalam hal-hal yang dapat mengakibatkan bahaya, baik dalam urusan agama maupun keduniaan.”[8]
Konsep taqiyyah yang diterapkan Syiah tidaklah sebagaimana apa yang dijelaskan dalam al-Qur’an. Taqiyyah justru dipergunakan ketika mereka berhadapan dengan umat Islam yang tidak seakidah dengan mereka. Hal demikian karena Syiah beranggapan jika Ahlussunnah lebih jelek dari dari pada orang-orang Yahudi dan Nasrani, sebagaimana akan kami jelaskan nanti pada topik Syiah dan Ahlussunnah.
Dalam hukum-hukum keagamaan Syiah, menerapkan konsep taqiyyah ketika bergaul dengan umat Islam adalah suatu kewajiban. Dalam hal ini, Hurr al-‘Amili menulis satu judul khusus dalam kitabnya, Wasa’il asy-Syi’ah, yang menjelaskan kewajiban kaum Syiah menggunakan konsep taqiyyah ketika bergaul dengan Ahlussunnah:
بَابُ وُجُوْبِ عِشْرَةِ العَامَّةِ (أَهْلِ السُّنَّةِ) بِالتَّقِيَّةِ.
“Bab menjelaskan kewajiban berinteraksi dengan kalangan mayoritas (Ahlussunnah) dengan menerapkan konsep taqiyyah.” [9]
Selain itu, taqiyyah bagi Syiah bukanlah sekadar anjuran atau dispensasi (rukhshah), akan tetapi dijadikan sebagai bagian dari pilar-pilar atau rukun-rukun agama (arkan ad-din), seperti halnya shalat dalam Islam. Barang siapa yang tidak bersedia menerapkan konsep taqiyyah, maka berarti ia telah merobohkan salah satu pilar agama. Mengenai hal ini, tokoh Syiah kenamaan, Ibnu Babawaih al-Qummi, memberikan penjelasan sebagai berikut:
اِعْتِقَادُنَا فِيْ التَّقِيَّةِ أَنَّهَا وَاجِبَةٌ مَنْ تَرْكَهَا بِمَنْزِلَةِ مَنْ تَرَكَ الصَّلَاةَ.
“Keyakinan kita tentang taqiyyah adalah wajib, barangsiapa meninggalkan taqiyyah sama halnya dengan meninggalkan shalat.”[10]
Dalam kitab induk Syiah, Ushul al- Kafi, dijelaskan bahwa orang yang tidak bersedia menggunakan konsep taqiyyah berarti tidak beragama:
إِنَّ تِسْعَةَ أَعْشَارِ الدِّيْنِ فِيْ التَّقِيَّةِ وَلَا دِيْنَ لِمَنْ لَا تَقِيَّةَ لَهُ.
“Sesungguhnya sembilan dari seperpuluh agama berada dalam taqiyyah, barangsiapa yang tidak bersedia menggunakan konsep taqiyyah berarti tidak beragama.”[11]
Lebih jauh, dalam Tafsir Hasan al-‘Askari dikemukakan, bahwa dosa meninggalkan taqiyyah tidak akan diampuni oleh Allah SWT, berarti meninggalkan taqiyyah sama halnya dengan menyekutukan Allah SWT (syirik):
يَغْفِرُ اللهُ للمُؤْمِنِ كُلَّ ذَنْبٍ يَظْهَرُ مِنْهُ فِيْ الدّنْيَا والآخرَةِ. مَا خَلَا ذَنْبَيْنِ: تَرْكَ التَّقِيَّةِ وَتَضْيِيْعَ حُقُوقِ الإِخْوَانِ.
“Allah SWT. akan mengampuni segala dosa yang dikerjakan oleh orang mukmin, baik di dunia maupun di akhirat, kecuali dua perkara, yaitu meninggalkan taqiyyah dan menyia-nyiakan hak-hak saudara.”[12]
Dari pemaparan data sejauh ini, agaknya keganjilan taqiyyah dalam Syiah sudah cukup jelas. Bahwa:
- Syiah tidak meletakan taqiyyah hanya sebagai dispensasi (rukhshah), akan tetapi sebagai rukun agama.
- Taqiyyah tidak diterapkan untuk menjaga keimanan dari ancaman orang kafir, akan tetapi diterapkan untuk menyembunyikan keyakinan yang ganjil dari kelompok muslim mayoritas (Sunni).
- Bagi Syiah, taqiyyah lebih dari sekedar kebutuhan temporal, akan tetapi merupakan suatu kewajiban yang harus dilaksanakan secara kontinu tanpa terputus waktu.
Karenanya, dalam kitab-kitab rujukan Syiah, dapat dengan mudah dijumpai riwayat yang diafiliasikan kepada Ali bin Musa ar-Ridha AS, bahwa ia berkata: “Tak ada keimanan bagi orang yang tidak mengamalkan taqiyyah, dan sesungguhnya paling mulianya kalian di sisi Allah adalah orang yang paling konsisten mengamalkan taqiyyah.” Lalu dikatakan kepada beliau: “Sampai kapan, wahai keturunan Rasulullah?” Beliau menjawab: “Sampai datangnya hari yang ditentukan, yaitu hari di mana pemuka kita (Imam Mahdi) keluar. Barang siapa yang meninggalkan taqiyyah sebelum keluarnya Imam Mahdi, maka ia bukan bagian dari kita.”[13]
Lalu mengapa Syiah demikian keterlaluan dalam menggunakan konsep taqiyyah, sebagaimana telah kami kemukakan di atas? Mengenai hal ini, setidaknya ada beberapa hal yang menjadi faktor penyebabnya, antara lain:
Pertama, Syiah meyakini bahwa kekhilafahan Sayyidina Abu Bakar, Umar dan Usman RA. tidak sah, dan bahwa ketiga khalifah tersebut telah merampas hak Sayyidina Ali RA. Sedangkan dalam rekaman sejarah dijelaskan bahwa Sayyidina Ali RA. mengakui akan keabsahan tiga khalifah sebelumnya, dan sejarah menulis dengan jelas bahwa Sayyidina Ali RA. juga membaiat ketiganya. Dengan demikian, maka terjadilah kontradiksi antara keyakinan mereka (Syiah) dengan Imam tertingginya, yaitu Sayyidina Ali RA. Untuk menepis kontradiksi ini, mereka bertopeng di balik konsep taqiyyah. Mereka mengatakan bahwa Sayyidina Ali RA. tidak pernah menuntut hanya untuk menduduki kursi kekhalifahan mulai dari Abu Bakar RA. menjabat sebagai khalifah hingga Sayyidina Usman RA., tak lain karena beliau tengah menerapkan konsep taqiyyah.
Kedua, Terkait dengan doktrin pokok mereka, yaitu ‘Ishmah al-Imam (kemaksuman imam). Ketika mereka menemukan tindak langkah atau pendapat para Imam yang tidak sesuai dengan doktrin mereka, atau bahkan dapat meruntuhkan aliran Syiah, maka senjata ampuh taqiyyah inilah yang dijadikan sebagai tameng, dengan menegaskan bahwa para Imam tersebut sedang ber-taqiyyah.
Ketiga, Melegalkan para pembuat hadis palsu untuk memperkokoh aliran mereka, dengan mengelabui para pengikutnya bahwa ajaran Syiah yang sesungguhnya adalah berdasarkan pada hadis yang mereka buat ini. Sedangkan pendapat dan perilaku para Imam yang tampak di depan khalayak yang ternyata sangat kontras dengan doktrin-doktrin yang telah mereka terapkan, tidak dianggap sebagai dasar atas aliran mereka, karena sudah pasti akan meruntuhkan doktrin-doktrin yang mereka buat. Mereka mengatakan kepada para pengikutnya bahwa para Imam itu sedang menerapkan konsep taqiyyah.[14]
By Apad Ruslan, diadaptasi dari buku Mungkinkah SUNNAH-SYIAH DALAM UKHUWAH? Jawaban Atas Buku Dr. Quraish Shihab (Sunnah-Syiah Bergandengan Tangan, Mungkinkah?)
[1] Ushul Madzhab asy-Syi’ah, juz 2 hlm. 1150.
[2] Lihat, ath-Thabari, Tafsir ath-Thabari, juz 17 hlm. 304; Tafsir Ibnu Katsir, juz 4 hlm. 605; dan Sayyid Quthb, Tafsir fi Zhilal al-Qur’an, juz 4 hlm. 492.
[3] Ibn Hajar al-Asqalani, Fath al-Bari, juz 12 hlm. 314.
[4] Fath, al-Bari, juz 12 hlm. 314.
[5] Fath al-Bari, juz 12 hlm. 317.
[6] Al-Qifari, Ushul Madzhab asy-Syi’ah, juz 2 hlm. 980-981.
[7] Al-Qifari, Ushul Madzhab asy-Syi’ah, juz 2 hlm. 978. Bandingkan dengan penjelasan dalam Tafsir al-Qurthubi, juz 4 hlm. 57 dan Asy-Syaukani dalam Fath al-Qadir, juz 1 hlm. 331.
[8] Syarh ‘Aqa’id ash-Shaduq, hlm. 261.
[9] Lihat, Wasa’il asy-Syi’ah, juz 11 hlm. 470.
[10] Ibnu Babawaih, Al-I’tiqadat, hlm. 114.
[11] Ushul Kafi, juz 2 hlm. 217.
[12] Tafsir Hasan al-‘Askari, hlm. 113.
[13] Dari redaksi ini, seakan-akan mereka menafsiri, atau lebih tepatnya memplagiat, ayat al-Qur’an yang artinya: “Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling taqwa di antara kamu.” (QS. Al-Hujurat [49]: 13). Lihat lebih lanjut dalam Ibn Babawaih, Ikmal ad-Din, hlm. 355; ath-Thabrisi, A’lam al-Wara, hlm. 408; Abu al-Qasim ar-Razi, Kifayat al-Atsar, hlm. 323; Wasa’il asy-Syi’ah, juz. 11 hlm. 465-466; Jami’ al-Akhbar, hlm. 110 dan Bihar al-Anwar, juz 75 hlm. 412.
[14] Al-Qifari, Ushul Madzhab asy-Syi’ah, juz 2 hlm. 984-986.