Indonesia akhirnya kedatangan salah satu tokoh Islam penting dunia, yaitu Grand Syekh Al-Azhar Prof. Dr. Syekh Ahmad Muhammad Ahmad Ath-Thayyeb. Sebagai ulama paling terkemuka di Mesir yang memiliki kedudukan setingkat dengan menteri dalam kabinet Presiden Abdel Fatah al-Sisi, kunjungan Grand Syekh Al-Azhar Syekh Ahmad Muhammad Ahmad Ath-Thayyeb ke Indonesia selama 6 hari sangatlah penting. Kepentingan dimaksud tentu saja beragam, tergantung apa dan oleh siapa kunjungan beliau akan dimaknai, tak terkecuali media massa.
Bagi pemerintah, dalam hal ini kementrian agama, kunjungan beliau ke tanah air ini dimaknai sebagai “keinginan menyampaikan pesan persatuan antara muslim sunni dan syiah.” Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin, sebagaimana dilaporkan republika.co.id, berpendapat, kedatangan Grand Syekh Al-Azhar ini memiliki momentum yang tepat, mengingat Indonesia sedang banyak menghadapi persoalan yang menyangkut agama (khazanah.republika.co.id).
Bagi sebagian besar kaum muslimin, bukan hanya di Indonesia, ternyata tidak ada isu yang lebih menarik dari kunjungan Grand Syekh itu selain pernyataan yang dihubungkan kepada beliau bahwa: “Syiah tidak kafir dan bersaudara dengan sunni.” Pernyataan ini menyebar secara viral dan dikutip oleh berbagai media hingga dunia media sosial menjadi sangat rame. Isu ini dimanfaatkan oleh kaum Syiah dan Pro-Syiah di Indonesia sebagai tameng “pengakuan” akan eksistensi mereka. Lihat saja bagaimana media Syiah dan Pro-Syiah “menggoreng” isu ini agar terasa renyah di mulut masyarakat muslim Indonesia, seperti dilakukan media Syiah ahlulbaitindonesia.or.id dan satuislam.wordpress.com atau media pro-Syiah voa-Islamnews.com (cloning voa-islam.com) dan liputanIslam.com.
Media resmi ormas Syiah Ahlul Bait Indonesia (ABI) membingkai isu itu dengan judul: “Syiah Bagian Dari Islam.” Sebelum merujuk pemberitaan kemenag, ABI mengabstraksi: “Slogan “Syiah Bukan Islam”, akhir-akhir ini marak dikampanyekan oleh sejumlah orang, baik melalui spanduk, artikel di internet maupun dalam sejumlah tablig akbar dengan tema khusus slogan tersebut, yang hampir tiap minggu kita dapati di seluruh pelosok negeri ini. Namun, slogan “Syiah Bukan Islam” hari ini dimentahkan oleh Grand Syekh Al-Azhar, Prof. Dr. Syekh Ahmad Muhammad Ahmad Ath-Thayyeb yang menilai bahwa tidak ada masalah prinsip yang menyebabkan kaum Syiah keluar dari Islam. Cek di sini
Penonjolan isu demikian itu oleh sebagian kalangan dipandang gagal paham terhadap pernyataan Grand Syekh Al-Azhar atau sengaja mengutip sepotong-sepotong pernyataan beliau itu, sebagaimana diungkap Mahasiswa S2 Al Azhar, Mesir, Ustadz Moehammed Hidayatulloh, yang mendapatkan telepon dari salah seorang petinggi Masyikhah (kantor Grand Syekh Al-Azhar), diminta untuk segera menerjemahkan sejumlah berita yang tersebar di media-media Indonesia ke dalam bahasa Arab. Tanggapan selengkapnya dapat ditelusuri di sini
Membanding Penonjolan Isu Pihak Kemenag
Berbagai media online, baik kubu Syiah maupun “kubu netral” yang mengangkat isu pernyataan Grand Syekh itu, semuanya merujuk kepada lansir laman Kemenag. Isu itu diangkat ke permukaan dengan satu angel dan judul yang relatif seragam, kecuali sebagian media Syiah dan Pro-Syiah. Beberapa di antaranya: Grand Syekh Al-Azhar: Sunni dan Syiah Adalah Saudara (nu.or.id dengan jam tayang Senin, 22 Februari 2016 19:30); Syekh Al Azhar: Sunni dan Syiah itu Bersaudara (antarakalteng.com, dengan jam tayang Selasa, 23 Februari 2016 05:26 WIB); Grand Syekh Al Azhar: Sunni dan Syiah Adalah Saudara (klikbalikpapan.co dengan jam tayang Selasa, 23 Februari 2016 Jam: 11:53:13 WIB); Syiah Bagian Dari Islam (ahlulbaitindonesia.or.id). Judul yang hampir sama digunakan pula oleh moslemforall.com: Grand Syekh Al Azhar Mesir: Syiah Bagian dari Islam.
Lucunya, isu pernyataan Grand Syekh itu ditayangkan pula oleh berbagai media yang selama ini kurang peduli terhadap persoalan Sunni-Syiah di Indonesia, seperti biangnews.com, suaranetizen.com. Bahkan portal ekonomi bisnis pun ikut-ikutan memblow-upnya, semisal pewartaekbis.com dan mysharing.co. Hanya saja redaksi mysharing mengaku menerima rilis pidato yang disampaikan Grand Syekh di kantor MUI Pusat, Jakarta, Senin (22/2/2016), tanpa menyebutkan pihak mana yang mengirimkannya.
Jika kita merujuk langsung kepada lansir laman Kemenag, dalam pemberitaannya yang ditayangkan Senin, 22 Februari 2016, 15:04, pihak kemenag menyebutkan:
Grand Syekh Al Azhar Prof. Dr. Syekh Ahmad Muhammad Ahmad Ath-Thayyeb mengatakan bahwa umat Islam yang berakidah Ahlussunah bersaudara dengan umat Islam dari golongan Syiah. “Sunny dan syiah adalah saudara,” terang Syekh Ath-Thayyeb saat dimintai pandangannya oleh Dirjen Bimas Islam Machasin terkait permasalahan Sunny dan Syiah saat melakukan pertemuan di kantor Majelis Ulama Indonesia (MUI), Jakarta, Senin (22/02). Hadir dalam kesempatan ini, Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin serta sejumlah ulama dan tokoh cendekiawan muslim. Menurut Syekh Ath-Thayyeb, Islam mempunyai definisi yang jelas. Yaitu, bersaksi bahwa tidak ada Tuhan selain Allah dan Muhammad utusan Allah, menegakkan salat, berpuasa, berzakat, dan beribadah haji bagi yang mampu. “Mereka yang melaksanakan lima hal pokok ini maka dia muslim. Kecuali mereka yang mendustakan,” tegasnya. Grand Syekh menilai bahwa tidak ada masalah prinsip yang menyebabkan kaum Syiah keluar dari Islam. Bahkan, banyak ajaran Syiah yang dekat dengan pemahaman Sunny. Perbedaan antara Sunny dan Syiah dalam pandangan Syekh Thayyeb hanya pada masalah imamiah. “Syiah mengatakan imamiah bagian dari Ushuluddin, kita mengatakan sebagai masalah furu’,” terangnya. “Kalau kita membaca kitab-kitab Syiah yang lama, mereka secara umum menghormati para sahabat,” tambahnya lagi.
Demikian rilis resmi pihak kemenag seperti yang diunggah di laman website www.kemenag.go.id.
Sementara jika kita merujuk media lain, dengan status sama sebagai sumber primer atau pengutip langsung pernyataan Grand Syekh itu, misalnya pihak MUI yang juga dikutip oleh sharia.co.id, tampak jelas perbedaan dalam penonjolan isu pernyataan pakar Islam dari Mesir itu. Melalui judul “Ceramah Umum Grand Syaikh Al-Azhar di Kantor MUI”, pihak MUI merilis laporan ceramah beliau pada hari Senin (22/2/2016), yang ditranskrip oleh M. Saifuna (Tim Jurnalis Kunjungan Grand Syaikh ke Indonesia) secara lebih lengkap sehingga dapat diketahui teks dan konteks Grand Syekh itu. Transkrip ceramah itu dapat diakses di sini
Begitu pula jika kita membanding penonjolan isu pernyataan Grand Syekh Al Azhar mengenai syiah sebagaimana dilansir pada website resmi Al-Azhar Mesir. Silahkan diakses langsung website Al-Azhar di sini
Setelah membanding dengan kedua media lain itu, tampak jelas bahwa pihak Kemenag berkepentingan dalam membingkai, memaknai dan menyajikan ceramah Grand Syekh dengan menonjolkan isu sisi kesamaan Sunni dan Syiah, namun mengabaikan fakta pernyataan Grand Syekh tentang perbedaan keduanya.
Perbedaan realitas fakta berita ini, bisa jadi karena adanya perbedaan keberpihakan yang dibalut sistem kerja sistemik dari media dan jurnalis dalam membingkai, memaknai dan menyajikan peristiwa itu kepada khalayak sehingga munculah berbagai macam versi informasi dari berbagai media. Tentu saja perspektif jurnalis dan media akan menggiring khalayak memahami dalam perspektif yang disajikan oleh media tersebut.
Di sini saya perlu buru-buru menegaskan, bahwa tulisan ini tidak dalam kapasitas menolak atau menyetujui pandangan Grand Syekh yang sebenarnya tentang Syiah, namun dimaksudkan sebagai analisis terhadap sistem kerja sistemik dari media dan jurnalis Kemenag dalam memberitakan kunjungan kerja Grand Syekh, khususnya peristiwa Ceramah Umum Grand Syekh Al-Azhar di MUI. Saya hanya khawatir, jangan sampai karena kepentingan Kemenag, alih-alih menyampaikan “pesan damai” kunjungan Grand Syekh malah menambah kegaduhan baru yang tensi sebelumnya memang sudah agak meninggi. Gara-gara “Pesan Damai” koq jadi tidak damai???
By Amin Muchtar, sigabah.com/beta
Lampiran 1. Pemberitaan Ceramah Grand Syekh Versi MUI (www.mui.or.id/)
Saya senang bisa berada di tengah-tengah Majelis ini (MUI). Ketika mendengar sambutan Ketua Umum MUI, saya menjadi mengerti bahwa Indonesia adalah negara terdepan dalam mewujutkan kesantunan.
Saya tahu bahwa Majelis ini terdiri dari berbagai ulama dengan madzhab yang berbeda-beda, tapi alhamdulillah meskipun berbeda-beda tapi pada akhirnya bersatu. Inilah yang kita usahakan di negara-negara lain. Ini sangatlah sulit, tapi alhamdulillah Indonesia bisa. Meskipun berbeda tapi tidak menyebabkan pertikaian dan memicu pertentangan di masyarakat. Inilah yang terjadi pada zaman shahabat, berbeda-beda tapi tidak saling menyalahkan.
Misalnya saja shalat. Rasulullah shalat di depan para shahabat, para sahabat berbeda pendapat dalam banyak hal, mulai dari masalah mengangkat tangan hingga masalah salam. Dari sini perbedaan perbedaah tadi justru menjadi rahmat bagi orang muslim.
Mulai dari gerakan takbiratul ihram: ada yang mengangkat tangannya sampai pundak, ada pula yang sampai ke telinga. Lalu, tangan bersedekap ada yang di dada bagian atas, ada yang di bagian hati, ada yang di bagian jantung. Dari situ saja kita sudah berbeda, dan perbedaan itu dibolehkan (masyru’).
Lalu kita ruku, dimana meletakkan tangan dalam ruku, kita juga berbeda pendapat. Kemudian banhun dari ruku, apakah mengangkat tangan kembali atau tidak, juga terjadi keragaman pandangan. Demikianlah hingga salam: ada yang cukup dengan mengucapkan “assalamualaikum”, ada yang harus sampai “warahmatulLaah” dan seterusnya
Bahkan, Imam Maliki cukup dengan satu salam. Perbedaan seperti ini dibolehkan (masyru’).
Itu baru dalam hal gerakan shalat, belum yang lain-lain. Sejak awal tidak ada yang mempermasalahkan perbedaan-perbedaan seperti itu. Penganut madzhab Syafii biasa shalat di belakang penganut Madzhab Maliki, dan sebaliknya, tidak pernah ada masalah. Dan tidak pernah ada orang apalagi ulama yang mengkafirkan satu sama lain disebabkan karena demikian itu.
Masalahnya adalah perbedaan-perbedaan tadi diperuncing oleh fanatisme terhadap madzhab tertentu. Meyakini bahwa madzhabnya yang betul dan yang lain salah. Yang disayangkan lagi, gerakan ekstim ini dibelakangnya didukung oleh kekuatan materi dan sehingga menyebabkan terpecahnya umat.
Saya berharap MUI bisa membawa ruh toleransi terhadap perbedaan tadi ke masyarakat. Karena ekstrimisme akan melahirkan sikap yang mudah mengkafirkan orang lain tatkala berbeda pendapat.
Maka, tidak ada jalan lain kecuali mencontoh khazanah kita terdahulu. Khazanah kita yang dulu adalah khazanah yang berbeda-beda dan beragam, tapi menjadi rahmat. Umar bin Abdul Aziz pernah berkata, “alhamdulillah bahwa sahabat Rasulullah SAW berbeda pendapat”. Kalau saja para sahabat tidak berbeda maka akan menjadi sulit bagi umat hari ini. Hal itu karena masalah yang memiliki lebih dari satu penyelesaian akan terasa lebih ringan.
Kita tidak melarang orang untuk mengikuti dan menganggap salah satu dari madzhab adalah benar, tapi dengan syarat tidak menggangp hanya dia yang benar dan yang lain salah.
(Setelah dialog, karena ada pertanyaan dari Dirjen Bimas Islam Prof. Dr. Machasin dan Ketua Fatwa MUI Prof. Dr. Huzaemah Tahido Yanggo tentang Syiah dan Ahmadiyah)
Apa itu Islam sudah jelas digariskan oleh Rasulullah: syahadat, shalat, puasa, zakat dan haji sebagaimana dalam Hadisnya yang masyhur. Jika seseorang melaksanakannya, maka ia adalah seorang muslim.
Berbeda misalnya jika ada yang meyakini bahwa Muhammad bukanlah Nabi dan Rasul terakhir, dan masih terbuka peluang munculnya nabi-nabi baru, maka jelas kita sepakat menolaknya. Karena, kenabian dan kerasulan Muhammad sebagai yang terakhir merupakan sesuatu yang sudah diketahui kebenarannya dalam agama.
Termasuk, jika mengatakan bahwa Allah keliru dalam menurunkan risalah-Nya, yaitu seharusnya bukan kepada Muhammad tetapi kepada yang lain, siapapun dia, maka jelas-jelas hal seperti ini bertentangan dengan ajaran prinsip dalam agama: sesuatu yang sudah diketahui kebenarannya dalam agama.
Jika ada yg mencela dan mencaci-maki sahabat Rasul, seperti Abu Bakar, Umar, Aisyah dsb, maka itu adalah sebuah kebodohan dan bukan ajaran yg benar. Apalagi jika ada yg meyakini bahwa Allah keliru dalam menurunkan risalahnya kpd Muhammad, mestinya kpd Ali bin Abi Thalib, itu jelas sebuah pengingkaran yg nyata.
Termasuk syiah, tidak bisa semuanya dikafirkan. Karena memang tidak mudah kita mengkafirkan orang, selama dia adalah seorang muslim seperti definisi Rasul di atas. Janganlah engkau mengkafirkan seseorang dari ahli kiblat. Kecuali jika pengingkarannya sangat nyata dan merupakan prinsip dalam agama.
لا تكفر أحدا من أهل القبلة
Jika ada orang mengatakan bahwa berzina dibolehkan itu adalah pengingkaran. Berbeda dengan orang yang melakukan perzinaan, tetapi dia masih meyakini bahwa berzina itu haram, maka orang ini telah berbuat maksiat dan berdosa besar. Sama seperti orang yang mengatakan bahwa shalat tidaklah wajib, berbeda dengan orang yang sekedar meninggalkan shalat, maka dia dihukumi maksiat dan berdosa besar.
Maka dari itu saya bersyukur, dan saya minta untuk mengajarkan ini kepada generasi berikutnya. Puji syukur kepada Allah bahwa Islam digariskan oleh Rasulullah dan tidak memberi ruang kepada siapa pun untuk mengurangi atau menambahi. Barang siapa yang bersyahadat, shalat, menunaikan zakat, berpuasa dan haji maka dia muslim tanpa memandang madzhabnya. Inilah madzab Imam Asy’ari dalam beraqidah.
Ditranskrip dari ceramah Grand Syaikh Al-Azhar, Al-Imam Al-Akbar, Prof. Dr. Ahmad Tayyeb di Kantor MUI, Senin (22/2/2016) oleh M. Saifuna (Tim Jurnalis Kunjungan Grand Syaikh ke Indonesia)
Lampiran 2. Pemberitaan Ceramah Grand Syekh Versi Web Al-Azhar (www.azhar.eg)
من جاكرتا ..الإمام الأكبر يحذر الإندونيسيين من خطر التشييع في بلادهم
حذر فضيلة الإمام الأكبر أ.د / أحمد الطيب، شيخ الأزهر الشريف رئيس مجلس حكماء المسلمين – الإندونيسيين باعتبارهم أكبر دولة إسلامية سنية خالصة، من خطر دعوات تشييع أهل السنة والجماعة.
وأكد فضيلته، خلال زيارته إلى مركز الدراسات القرآنية بجاكرتا، أن الوحدة بين المسلمين أمرٌ مطلوبٌ، وكثيرًا ما ندعو إليها، ولكن بشرط، ألا تستغل هذه الوحدة المنشودة من هذا الطرف أو ذاك من أجل نشر أجندات سياسية وطائفية خاصة، تؤدي في الغالب إلى الاحتراب الداخلي بين المسلمين .
ووجه فضيلته نداء إلى الشباب السني داعيًا إياهم إلى التمسك بعقيدة جمهور أهل السنة والجماعة، وعدم الانجراف إلى دعوات الفرقة والتعصب المذهبي المذموم، مؤكدًا أن منهج الأزهر في العقيدة والفكر والسلوك هو الكفيل بعصم الأمة من الوقوع في خطر التطرف والطائفية والتشرذم والانقسام .
Sumber: [http://www.azhar.eg/التفاصيل/من-جاكرتا-الإمام-الأكبر-يحذر-الإندونيسيين-من-خطر-التشييع-في-بلادهم]
Lampiran 3. Terjemahan Pemberitaan Web Al-Azhar oleh Muhammad Abdurrahman Al-Amiry
Dalam berita yang ada di website Al-Azhar menyatakan:
حذر فضيلة الإمام الأكبر أ.د / أحمد الطيب، شيخ الأزهر الشريف رئيس مجلس حكماء المسلمين – الإندونيسيين باعتبارهم أكبر دولة إسلامية سنية خالصة، من خطر دعوات تشييع أهل السنة والجماعة
“Fadhilah Al-Imam Al-Akbar Prof. Dr. Ahmad Thayyib Syaikh Al-Azhar As-Syarif ketua Majlis Hukama’ Al-Muslimin, mewati-wanti masyarakat Indonesia dengan status bahwasanya mereka adalah daulah islam sunni yang murni, beliau mewanti-wanti mereka dari bahaya gerakan syiahisasi ahlussunnah wal jama’ah”
وأكد فضيلته، خلال زيارته إلى مركز الدراسات القرآنية بجاكرتا، أن الوحدة بين المسلمين أمرٌ مطلوبٌ، وكثيرًا ما ندعو إليها، ولكن بشرط، ألا تستغل هذه الوحدة المنشودة من هذا الطرف أو ذاك من أجل نشر أجندات سياسية وطائفية خاصة، تؤدي في الغالب إلى الاحتراب الداخلي بين المسلمين
“Dan beliau menguatkan kembali ketika beliau berziarah ke Pusat Studi Al-Quran di Jakarta bahwa persatuan antar kaum muslimin adalah suatu hal yang diharapkan. Dan kita sering menyeru kepadanya. Akan tetapi dengan syarat, agar persatuan ini yang diinginkan dari kelompok ini dan itu agar tidak dimanfaatkan untuk menyebarkan agenda politik dan golongan tertentu, yang mana kebanyakan akan membawa kepada perang internal antar kaum muslimin”
ووجه فضيلته نداء إلى الشباب السني داعيًا إياهم إلى التمسك بعقيدة جمهور أهل السنة والجماعة، وعدم الانجراف إلى دعوات الفرقة والتعصب المذهبي المذموم، مؤكدًا أن منهج الأزهر في العقيدة والفكر والسلوك هو الكفيل بعصم الأمة من الوقوع في خطر التطرف والطائفية والتشرذم والانقسام .
“Dan beliau mengarahkan para pemuda sunni untuk berpegang teguh kepada Akidah Jumhur Ahlussunnah Wal Jama’ah dan tidak hanyut kepada perpecahan dan fanatik madzhab yang tercela. Dan beliau menguatkan bahwa metode Al-Azhar dalam akidah, pemikiran dan jalan dia adalah menjaga ummat dari terjatuhnya ke dalam bahaya pemikiran ekstrim, dan berkolompok-kelompok, dan bercerai berai dan berpisah-pisah”. (Selesai)