Pada edisi sebelumnya telah disampaikan tanggapan terhadap argumentasi dan metodologi istinbath (penetapan) hukum Ustadz Abdul Hakim yang berpendapat Masbuq berjamaah hukumnya bid’ah. Pada edisi ini akan disampaikan tanggapan terhadap al-Ustadz Saeful Islam Mubarak. Untuk keperluan itu, di sini perlu disampaikan kembali kutipan beliau.
Di dalam makalahnya (hal. 12), beliau mencantumkan sebuah hadis sebagai berikut:
عَنْ عُرْوَةَ بْنِ الْمُغِيرَةِ بْنِ شُعْبَةَ عَنْ أَبِيْهِ قَالَ تَخَلَّفَ رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه و سلم وَتَخَلَّفْتُ مَعَهُ فَلَمَّا قَضَى حَاجَتَهُ قَالَ أَمَعَكَ مَاءٌ فَأَتَيْتُهُ بِمِطْهَرَةٍ فَغَسَلَ كَفَّيْهِ وَوَجْهَهُ ثُمَّ ذَهَبَ يَحْسِرُ عَنْ ذِرَاعَيْهِ فَضَاقَ كُمُّ الْجُبَّةِ فَأَخْرَجَ يَدَهُ مِنْ تَحْتِ الْجُبَّةِ وَأَلْقَى الْجُبَّةَ عَلَى مَنْكِبَيْهِ وَغَسَلَ ذِرَاعَيْهِ وَمَسَحَ بِنَاصِيَتِهِ وَعَلَى الْعِمَامَةِ وَعَلَى خُفَّيْهِ ثُمَّ رَكِبَ وَرَكِبْتُ فَانْتَهَيْنَا إِلَى الْقَوْمِ وَقَدْ قَامُوا فِي الصَّلاَةِ يُصَلِّي بِهِمْ عَبْدُ الرَّحْمَنِ بْنُ عَوْفٍ وَقَدْ رَكَعَ بِهِمْ رَكْعَةً فَلَمَّا أَحَسَّ بِالنَّبِيِّ صلى الله عليه و سلم ذَهَبَ يَتَأَخَّرُ فَأَوْمَأَ إِلَيْهِ فَصَلَّى بِهِمْ فَلَمَّا سَلَّمَ قَامَ النَّبِيُّ صلى الله عليه و سلم وَقُمْتُ فَرَكَعْنَا الرَّكْعَةَ الَّتِي سَبَقَتْنَا – أخرجه مسلم في صحيحه ج 1 ص 229\ح 274 والبخاري في صحيحه ج 1 ص 143 \356-
Dari Urwah bin al-Mughirah bin Syu’bah, dari ayahny,a ia berkata, “Rasulullah saw. terlambat dan akupun terlampat bersamanya. Selesai beliau memenuhi hajatnya, beliau bersabda, “Apakah kamu punya air?” Maka ku bawakan air wudu, lalu beliau mencuci wajahnya dan kedua telapak tangannya, dan beliau mengalami kesulitan mencuci dua lengannya, karena sempit lengan jubahnya. Maka beliau melepasnya serta diletakkannya di atas bahunya. Lalu beliau mencuci dua lengannya dan mengusap ubun-ubunnya serta mengusap ke atas sorban dan kedua sepatunya. Kemudian beliau menaiki kendaraan bersamaku hingga tiba pada kaum. Dan kaum tersebut telah berdiri melaksanakan salat dengan Abdurrahman bin Auf sebagai imam. Dia bersama jamaah telah menyelesaikan satu rakaat. Ketika dia merasa kedatangan Nabi saw, maka dia pun berencana mundur, maka beliau memberi isyarat (untuk tetap menjadi imam). Maka dia mengimami mereka. Ketika dia membaca salam Rasul berdiri dan aku pun berdiri. Maka kami ruku’ untuk melengkapi yang tertinggal. “ (H.r. Bukhori dan Muslim)
Beliau mencantumkan tujuh pelajaran dari hadis tersebut, antara lain:
- Al-Mughirah pernah terlambat salat bersama Rasulullah saw. karena perjalanan.
- Rasulullah bersama seorang sahabatnya tertinggal satu rakaat dalam salat berjamaah dengan masyarakat setempat yang diimami Abdurrahman
- Rasul bersama al-Mughirah melanjutkan salatnya hingga selesai. Hadis menjelaskan bahwa jika tertinggal satu rakaat atau lebih dalam berjamaah maka sempurnakan sesuai dengan jumlah yang tertinggal. Bagaimana cara menyelesaikannya?
- Tidak ditemukan al-Mughirah berjamaah kepada Rasul karena tiada kata yang menunjukkannya. Bahkan kalimat di atas lebih memberi isyarat adanya Rasulullah dan al-Mughirah menyelesaikan salat masing-masing. Sebab kalimat قام رسول الله وقمت dilanjutkan dengan فركعنا memberi isyarat al-Mughirah berdiri bukan karena Rasulullah saw. berdiri, dan al-Mughirah ruku pada waktu yang sama dengan ruku Rasulullah. Sedangkan dalam aturan berjamaah makmum mesti mengikuti imam artinya makmum tidak bergerak bersama-sama dengan imam.
- Kalau al-Mughirah berjamaah kepada Rasul tentu dia akan menggunakan kata yang mengandung makna berjamaah seperti:
صلى بي رسول الله صلى الله عليه وسلم
قام رسول الله فقمت
ركع رسول الله فركعت
فاقتديت به صلى الله عليه وسلم
Catatan Bagi Ustadz Saeful Islam
Pertama, cara Penerjemahan
Dalam makalah itu kalimat
فَرَكَعْنَا الرَّكْعَةَ
Diartikan: “maka kami ruku”. Sedangkan pada kalimat sebelumnya
رَكَعَ بِهِمْ رَكْعَةً
Diartikan: “telah menyelesaikan satu rakaat”
Hemat kami, terjemahan yang pertama akan menyesatkan pembaca, sebab dengan cara penerjemahan seperti itu menunjukkan bahwa “Nabi dan al-Mughirah tidak membaca fatihah dan surat ketika berdiri setelah Abdurrahman salam, tetapi langsung ruku.”
Namun bila bukan begitu maksud beliau, maka terjemah tersebut harus direvisi, karena yang dimaksud dengan kalimat itu adalah “melaksanakan rakaat salat yang ketinggalan”, bukan posisi ruku. Orang yang paham bahasa Arab tentu sudah maklum bahwa ungkapan semacam ini disebut majaaz mursal ‘alaqah ithlaaq al-juz’i wa iraadah al-kulli, yaitu disebut sebagian (posisi ruku) namun maksudnya seluruh (salat secara keseluruhan). Karena itu dalam riwayat lain menggunakan redaksi: (a) fashallainaa ar-rak’ata (H.r. Ibnu Khuzaemah), (b) faqadhainaa ar-rak’ata (H.r. Ahmad dan at-Thabrani).
Ungkapan ini telah masyhur digunakan oleh Nabi dan para sahabatnya, seperti kalimat sebelumnya pada hadis itu sendiri:
رَكَعَ بِهِمْ رَكْعَةً
“Dia ruku satu ruku bersama mereka.”
Maksudnya telah melaksanakan shalat satu rakaat bersama mereka.
Kedua, pelajaran dari hadis
- Pada point 1 disebutkan: “Al-Mughirah pernah terlambat salat bersama Rasulullah saw. karena perjalanan” Dalam hadis itu tidak ada kata “karena perjalanan”, jadi dari kalimat mana dapat dipahami bahwa terlambat itu karena perjalanan?
- Pada point 2 disebutkan: “salat berjamaah dengan masyarakat setempat” Dalam hadis itu disebut al-qawm, tapi diartikan masyarakat setempat. Dari kalimat mana dapat dipahami bahwa kaum itu adalah masyarakat setempat? Masyarakat setempat itu di daerah mana?
Padahal dalam riwayat an-Nasai (Sunan an-Nasai, I:83, No. 125) dan Abdurrazaq (al-Mushannaf, I:192, No. 749) tampak begitu jelas bahwa kaum yang dimaksud itu adalah para sahabat yang menyertai safar Rasul ketika itu (rombongan termasuk Abdurrahman bin Auf), dan mereka diperintah untuk berangkat terlebih dahulu, sedangkan al-Mughirah disuruh tinggal menemani Rasul untuk melaksanakan hajatnya
تَخَلَّفْ يَا مُغِيرَةُ وَامْضُوا أَيُّهَا النَّاسُ
“Wahai Mughirah tunggulah, dan hai orang-orang berangkatlah.”
Hadis tersebut sekaligus menunjukkan bahwa point 1 yang menyatakan “al-Mugirah dan Rasul terlambat karena perjalanan” itu keliru, sebab yang benar: “Beliau tertinggal dari rombongan dalam perjalanan dan terlambat salat berjamaah karena qadha hajat. Sedangkan al-Mughirah ikut tertinggal dan terlambat karena menyertai Rasul”
- Pada point 6 disebutkan: “tidak ditemukan al-Mughirah berjamaah kepada Rasul karena tiada kata yang menunjukkannya.”
Wajar beliau menyatakan demikian, sebab terjadi kerancuan dalam kalimat yang dibuatnya sendiri, yaitu “berjamaah kepada Rasul”. Indikasi kerancuannya antara lain, dinyatakan: “al-Mughirah berjamaah kepada Rasul”. Pernyataan itu diambil dari teks matan yang mana? Karena yang benar kalimatnya “salat berjamaah dengan” atau “bermakmum kepada.” Atau dalam bahasa Arabnya: shalla bii atau shallainaa bii, shalla ma’a atau shallainaa ma’a (dia/kami salat berjamaah dengan) atau i’tamma bi (bermakmum kepada).
Karena kerancuan itulah, maka kalimat:
قَامَ رَسُوْلُ اللهِ وَقُمْتُ فَرَكَعْنَا
“Nabi saw. berdiri dan aku pun berdiri, lalu kami shalat.”
dianggap sebagai isyarat bahwa “al-Mughirah berdiri bukan karena Rasulullah saw. berdiri”.
- Benarkah “tidak ada kata yang menunjuki al-Mughirah berjamaah dengan Rasul”?
Untuk menjawab itu perlu sedikit dibuka wawasan melalui perbandingan dengan peristiwa lain yang menggunakan ungkapan sama sebagai berikut:
عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ قَامَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَقَامَ النَّاسُ مَعَهُ فَكَبَّرَ وَكَبَّرُوا مَعَهُ …
Dari Ibnu Abas, ia berkata, “Nabi saw. berdiri dan orang-orang pun berdiri bersamanya, lalu beliau bertakbir dan mereka bertakbir bersamanya…” HR. Al-Bukhari
Apakah dengan kalimat di atas akan dikatakan “orang-orang berdiri bukan karena Rasulullah saw. berdiri?” Kalau bukan karena Rasul berdiri berarti karena apa mereka berdiri? Apakah akan dikatakan “Kalimat di atas lebih memberi isyarat adanya salat masing-masing”? Kalau dikatakan masing-masing, apa maksud kata ma’ahu (bersamanya) di sana?
Atau bandingkan dengan contoh kalimat berikut:
مَرَّتْ جَنَازَةٌ فَقَامَ لَهَا رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- وَقُمْنَا مَعَهُ فَقُلْنَا يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّهَا يَهُودِيَّةٌ
“Jenazah lewat, maka Rasulullah berdiri untuk jenazah itu dan kami pun berdiri bersamanya. Lalu Kami berkata, ‘Wahai Rasul, sesungguhnya itu jenazah wanita Yahudi…” HR. Muslim
Apakah dengan kalimat diatas akan dikatakan: “orang-orang berdiri bukan karena Rasulullah saw. berdiri”? Kalau bukan karena Rasul berdiri berarti karena apa mereka berdiri? Apakah akan dikatakan: “Kalimat di atas lebih memberi isyarat mereka berdiri masing-masing” Kalau dikatakan masing-masing apa maksud kata ma’ahu di situ?
Kalau masih belum cukup, mari bandingkan dengan contoh kalimat berikut:
قَامَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي صَلَاةٍ وَقُمْنَا مَعَهُ
“Rasulullah saw. berdiri pada satu salat dan kami berdiri bersamanya…” HR. Al-Bukhari
Apakah dengan kalimat diatas akan dikatakan “orang-orang berdiri bukan karena Rasulullah saw. berdiri”? Kalau bukan karena Rasul berdiri berarti karena apa mereka berdiri? Apakah akan dikatakan: “Kalimat di atas lebih memberi isyarat mereka salat masing-masing”? Kalau dikatakan masing-masing apa maksud kata ma’ahu di sini?
انْكَسَفَتِ الشَّمْسُ عَلَى عَهْدِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ، فَقَامَ وَقُمْنَا مَعَهُ
“Telah terjadi gerhana pada zaman Rasul, maka Beliau berdiri dan kami pun berdiri bersamanya.” HR.Ibnu Hiban
Apakah dengan kalimat di atas akan dikatakan “orang-orang berdiri bukan karena Rasulullah saw. berdiri”? Kalau bukan karena Rasul berdiri berarti karena apa mereka berdiri? Apakah akan dikatakan: “Kalimat di atas lebih memberi isyarat mereka berdiri masing-masing”. Kalau dikatakan masing-masing apa maksud kata ma’ahu dalam kalimat itu?
Dengan sebagian contoh di atas cukup kiranya menjadi bukti bahwa di dalam hadis tentang Nabi saw. masbuq berjamaah dengan al-Mughirah itu sebenarnya tampak jelas kata yang menunjukkan berjamaah, namun “kata yang menunjukkan” itu sengaja dinyatakan tidak ada karena fiqh Ust Saeful Islam tentang masalah ini agaknya berbeda dengan hadis Nabi saw. Dengan perkataan lain, petunjuk hadis Nabi saw. sengaja ditiadakan karena “membela fiqih” pribadi.
Karena itu untuk memahami hadis masbuknya Rasul dan al-Mughirah secara benar, selain harus objektif membaca teks yang termaktub, kita juga perlu melibatkan berbagai riwayat lainnya untuk memperoleh petunjuk yang lebih jelas. Berbagai riwayat itu akan disampaikan pada edisi berikutnya.
By Amin Muchtar, sigabah.com