Metodologi Penulisan Shahih Al-Bukhari
A. Daya Pikat Shahih al-Bukhari
Penulisan buku ilmu pengetahuan sudah dirintis sejak abad ke-2 Hijriyah/ke-8 Masehi. Pada abad ke-3 Hijriah/ke-9 Masehi, harakah tadwiniyah (gerakan pembukuan) mengalami perkembangan yang cukup pesat. Bahkan sebagian ilmu, seperti hadis mencapai puncaknya pada masa ini. Pada abad ini pula diadakan diversifikasi (penganekaragaman) ilmu pengetahuan, yang membedakan ilmu yang satu dengan ilmu lainnya. Karena itu, lahir berbagai disiplin ulum al-din (ilmu pengetahuan Islam) seperti tafsir, hadis, fiqih, bahasa, sastra, dan sebagainya.
Pada abad ini disusun pula kitab-kitab disiplin al-ulum al-aqliyah (ilmu pengetahuan umum), seperti filsafat, kedokteran, astronomi, mantiq, matematika, dan sebagainya. Demikian pula buku-buku Yunani dan lainnya diterjemahkan ke dalam Bahasa Arab. Ulama Arab menekuni ilmu ini sebagai pendukung ‘ulum al-din yang dikuasainya, sehingga mereka berjasa mewariskan khasanah ilmu pengetahuan.[1] Fenomena ini telah mengantarkan abad ke-3 Hijriah kepada masa keemasan ilmu pengetahuan, terutama tadwin al-hadits (pengumpulan hadis dan kodifikasinya)
Abad ini dianggap sebagai puncak tadwin al-hadits karena terdapat perbedaan mendasar dengan pola penulisan sebelumnya, yaitu (a) penyeleksian terhadap hadis-hadis dengan meneliti kualitas sanad (jalur periwayatan) dan matan (teks hadis); (b) klasifikasi status hadis; shahih, hasan, dha’if, bahkan maudhu’; (c) klasifikasi hadis Rasul, pendapat sahabat, dan fatwa tabi’in; (d) pengembangan tabwib al-‘ilm (pembaban ilmu)
Tadwin al-hadits dengan pola di atas dipelopori oleh Imam al-Bukhari, dengan kitabnya Al-Jami’ al-Shahih al-Musnad al-Mukhtashar min Hadis Rasulillah saw. wa Sunanihi wa Ayyamihi[2], yang lazim disingkat dengan Al-Jami’ al-Shahih, dan populer dengan sebutan Shahih al-Bukhari.
Langkah al-Bukhari ini diikuti oleh ulama pada masa itu, yang juga murid beliau, yaitu Imam Muslim bin al-Hajaj (W. 261 H/874 M) dengan kitab al-Jami’ al-Shahih-nya, yang kemudian populer dengan sebutan Shahih Muslim. Langkah itu diikuti pula oleh para ulama lainnya, meskipun karya mereka tidak mencapai taraf kesahihan kedua kitab itu, bahkan masih banyak kekurangan, di antaranya Abu Daud (W. 275 H/888 ) dengan kitab Sunan-nya. Kemudian menyusul al-Tirmidzi (W. 279 H/892 ) dengan kitab Shahih-nya, walaupun pada kenyataannya masih banyak didapat hadis-hadis yang ternyata daif. Kemudian al-Nasai (W. 303 H/915 M) dengan kitab Sunan-nya. Setelah itu Ibn Majah[3] (W. 273 H/887 M) juga dengan kitab Sunan-nya. Masa ini adalah puncak tadwin al-hadits yang sekaligus dikenal dengan sebutan tabwib al- jam’i (kodifikasi hadis berdasarkan bab)
Kenyataan ini menunjukkan bahwa Shahih al-Bukhari telah mendapatkan perhatian besar dari para ulama pada berbagai generasi. Daya pikat apa yang dimilikinya sehingga mampu “menyihir” para ahli ilmu untuk bertekun-tekun menyimak dan mendiskusikannya. Inilah fakta sejarah yang perlu dikaji. Kami akan mencoba menemukan “ukuran” daya pikat Shahih al-Bukhari.
Hasil pengamatan kami, Paling tidak ada lima faktor yang membuat Shahih al-Bukhari memiliki dayat pikat;
- Konstruksi gagasan, yakni keberhasilan gagasan yang dikandung oleh kitab tersebut dalam menggerakkan pikiran orang yang membacanya. Hal itu dibuktikan dengan lahirnya banyak karya yang mengelaborasi, mengomentari kitab tersebut, baik dalam bentuk syarh, hamisy, maupun ikhtishar. Bahkan tidak sedikit yang mengkritisinya.
- Visi penulis, yakni Imam al-Bukhari memiliki kemampuan menyatukan masa lalu yang jauh (periode Rasulullah saw.) dengan kekinian yang sedang dilakoninya untuk kemudian menengok secara amat menukik pelbagai kemungkinan yang akan terjadi di depan. Hal itu tampak menonjol pada pengelaborasian satu hadis dalam konteks ajaran Islam secara luas (akidah, ibadah, iqtishadiyah (ekonomi), siyasah (politik), dan berbagai topik lainnya)
- “Sosok yang menyejarah”, yakni tampilan visualnya mampu memberikan satu kekhasan atau karakter yang menonjol dari kitab tersebut. Sosok yang saya maksudkan dalam konteks ini ada pada judul, yaitu Al-Jami’ al-Shahih al-Musnad al-Mukhtashar min Umuri Rasulillah saw. wa Sunanihi wa Ayyamihi, yang lazim disingkat dengan Al-Jami’ al-Shahih, dan populer dengan sebutan Shahih al-Bukhari. Di samping itu, kitab itu memiliki waktu edar “abadi”. Ia mampu menaburkan gagasan segar dan baru di setiap zaman, dan pada gilirannya, berhasil menggerakkan para tokoh di setiap zaman untuk menemukan gagasan yang lebih baru dan lebih segar.
- “Bentuk buku yang melangit”, bentuk yang dimaksud adalah bagian kecil sebuah sistem yang dapat ditonjolkan dan mencerminkan salah satu kelebihan atau “daya pikat” kitab tersebut, yaitu nama Imam al-Bukhari yang mewakili autoritas di bidang tema yang dibahasnya. Dan tema yang diangkat mampu menunjukkan bahwa kitab tersebut sangat penting sesuai dengan keadaan yang tengah terjadi. Dalam konteks ini, belum tersusunnya kitab yang khusus memuat hadis-hadis sahih. Di samping itu, kitab tersebut mampu merangsang imajinasi si pembacanya untuk “melayang-layang” bersama kitab tersebut ke masa-masa yang jauh dan sangat panjang serta mampu “menerbangkan” pikiran pembacanya ke wilayah-wilayah terjauh. Dalam konteks ini, periode Rasul, sahabat, tabi’in sampai periode Imam al-Bukhari serta berbagai wilayah yang ter-cover dalam periwayatan pada periode tersebut.
Daya pikat pertama sampai keempat diistilahkan sebagai “tampilan auditori” atau tampilan yang didukung oleh kekuatan teks, kekuatan bahasa. Sedangkan dayat pikat kelima disebut “tampilan visual” atau tampilan yang didukung oleh kekuatan gambar yang menyentuh dan mengutuh. Dalam konteks ini, belum diperoleh standar baku. Pasalnya, desain dan sampul serta hal-hal lain yang berkaitan dengan tampilan fisikal sebuah buku belum begitu berkembang pada masa itu.
Dua daya pikat pertama lahir “dari dalam” Imam al-Bukhari sendiri. Dua daya pikat kedua lahir dari perpaduan antara faktor “dari dalam” dan faktor “dari luar”, yakni penulis dan penerbit. Daya pikat terakhir lahir “dari luar” penulis, yakni penerbit.
Untuk memahami sepenuhnya “ukuran” daya pikat kitab tersebut, ada beberapa aspek yang menjadi fokus pengamatan kami dalam penelitian ini, yaitu sebagai berikut:
A.1. Orientasi Penulisan
Para imam sebelum al-Bukhari tidak membatasi karya mereka dengan hadis sahih semata, tetapi menghimpun pula hadis hasan dan daif. Untuk membedakan ketiga macam hadis tersebut, mereka menyerahkan kepada pembaca untuk menelitinya dan memisahkan antara yang maqbul (diterima) dan yang mardud (tertolak). Keadaan ini mendorong Imam al-Bukhari berinisiatif untuk menyusun kitab yang khusus memuat hadis-hadis sahih dengan nama Al-Jami’ al-Shahih al-Musnad al-Mukhtashar min Hadits Rasulillah saw. wa Sunanihi wa Ayyamihi.[4]
Hasrat penulisan kitab tersebut diperkuat pula oleh dua faktor lainnya, yaitu:
Pertama, anjuran Ishaq bin Rahawaih, salah seorang guru Imam al-Bukhari. Imam al-Bukhari menuturkan, “Ketika aku berada di kediaman Ishaq bin Rahawaih, beliau menyarankan, ‘Hendaklah kalian menghimpun kitab yang singkat yang hanya memuat hadis Rasul saw. semata’. Saran itu sangat membekas dalam hatiku, hingga aku mulai menghimpun kitab al-jami’ ini’.”[5]
Kedua, dorongan moral seperti yang beliau tuturkan sendiri sebagai berikut, “Aku bermimpi bertemu Nabi saw., aku berdiri di hadapan beliau seraya mengipasinya. Setelah itu aku menemui ahli ta’bir mimpi untuk menanyakan arti mimpi itu. Jawabnya, ‘Anda akan menghapus kebohongan daripadanya’. Itulah yang mendorong aku untuk menyusun Al-Jami’ al-Shahih.”[6]
Keterangan-keterangan di atas menunjukkan bahwa orientasi penulisan kitab Shahih al-Bukhari, selain karena tanggung jawab moral juga tuntutan persoalan mendesak, yakni penyeleksian hadis-hadis dengan meneliti kualitas sanad (jalur periwayatan) dan matan (kandungan hadis).
Oleh sebab itu, sebagai penulis kitab hadis beliau telah memberikan sumbangsih yang sangat berharga untuk mempermudah pengkajian hadis bagi generasi selanjutnya.
Orientasi penulisan tersebut merupakan implikasi dari latar belakang pengalaman Imam al-Bukhari, baik pengalaman keilmuan, pergaulan, maupun pengalaman ruhaninya.
Dengan demikian, penulisan kitab tersebut bukan atas kepentingan pribadi untuk mencari riasah ‘ilmiyah (reputasi ilmiah), sebagaimana dituduhkan oleh sebagian kelompok Syiah dan orientalis barat.
A.2. Metode Penelitian Hadis
Dalam meneliti keautentikan suatu hadis, Imam al-Bukhari melakukan tiga pendekatan; aqliyyah, naqliyyah, kasyfiyah. Pendekatan pertama, menggunakan seluruh daya rasional otak dan kemampuan logis rasional melalui ilmu hadis. Pendekatan kedua, merujuk pada kesesuaian dengan nash Alquran dan sunah. Pendekatan ketiga, melalui salat istikharah untuk menentukan laik tidaknya sebuah hadis.
Ketiga bentuk pendekatan ini merupakan originalitas (ciri khas) Imam al-Bukhari. Ciri khas ini semakin populer terutama setelah beliau berhasil menyusun karya yang paling monumental sepanjang sejarah, yakni Shahih al-Bukhari. Melalui ketiga bentuk pendekatan inilah kesahihan Shahih al-Bukhari dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah.
Pendekatan pertama dan kedua telah memberikan inspirasi yang sangat berharga bagi perkembangan metode penelitian hadis yang belum banyak dipergunakan pada masa sebelumnya. Metode tersebut antara lain cross reference (perbandingan atau silang rujuk), yaitu mengumpulkan semua bahan yang berkaitan, membandingkannya secara cermat satu dengan lainnya. Cross reference merupakan metode unggulan Imam al-Bukhari dalam melakukan penelitian hadis.
Secara praktik, metode ini ditempuh melalui tiga cara:
- membandingkan hadis-hadis yang berkaitan dari berbagai murid yang sama gurunya. Metode ini melahirkan kaidah atau teori mutabi’;
- membandingkan hadis-hadis yang relevan dari berbagai murid yang berbeda gurunya. Metode ini melahirkan kaidah atau teori syahid.’
- membandingkan matan (kandungan hadis) dengan ayat Alquran yang berkaitan.
Dengan metode tersebut Imam al-Bukhari senantiasa meriwayatkan satu hadis dari beberapa orang sahabat atau dari seorang sahabat dengan sanad atau thariq (jalur) yang berbeda.
Untuk memahami implikasi sepenuhnya dari metode ini, kami akan mengemukakan salah satu contoh, yaitu hadis tentang nasib Abu Thalib di neraka, yang kemudian dikenal dengan sebutan hadis dhahdhah.
لَعَلَّهُ تَنْفَعُهُ شَفَاعَتِي يَوْمَ الْقِيَامَةِ فَيُجْعَلُ فِي ضَحْضَاحٍ مِنَ النَّارِ يَبْلُغُ كَعْبَيْهِ يَغْلِي مِنْهُ دِمَاغُهُ
“Mudah-mudahan syafa’atku bermanfaat baginya pada hari kiamat, yaitu ia ditempatkan pada dhahdhah neraka, yang mencapai kedua mata kakinya, sehingga mendidih otaknya.”
Hadis ini dicatat oleh Imam al-Bukhari melalui jalur periwayatan sebagai berikut:
- Musaddad, dari Yahya bin Said, dari Sufyan al-Tsauri, dari Abdul Malik bin Umair, dari Abdullah bin al-Harits, dari Abas bin Abd al-Muthalib;[7]
- Musa bin Ismail, dari Abu Awanah, dari Abd al-Malik bin Umair, dari Abdullah bin al-Harits, dari Abas bin Abd al-Muthalib;[8]
- Abdullah bin Yusuf, dari al-Laits, dari Yazid bin Abdullah al-Hadi, dari Abdullah bin Khabab, dari Abu Said al-Khudriy;[9]
- Ibrahim bin Hamzah, dari Abdul Aziz bin Abu Hazim dan Abdul Aziz bin Muhamad al-Darawardi, dari Yazid bin Abdullah al-Hadi, dari Abdullah bin Khabab, dari Abu Said al-Khudriy.[10]
Dari jalur periwayatan di atas dapat kita lihat bahwa hadis tersebut diterima oleh Imam al-Bukhari dari dua orang sahabat (Abas bin Abd al-Muthalib dan Abu Said) melalui empat orang guru, yakni dari Abas melalui Musaddad dan Musa bin Ismail. Sedangkan dari Abu Said melalui Abdullah bin Yusuf dan Ibrahim bin Hamzah.
Untuk memperkuat hasil analisis ilmiahnya, Imam al-Bukhari menulis pula riwayat lain yang semakna dengan riwayat dhahdhah di atas, meskipun pada riwayat ini nama Abu Thalib tidak disebut secara mantuq (eksplisit). Adapun jalur periwayatannya sebagai berikut:
- Muhamad bin Basyar, dari Gundar, dari Syu’bah, dari Abu Ishaq, dari Nu’man bin Basyir;
- Abdullah bin Raja, dari Ismail bin Ulayyah, dari Abu Ishaq, dari Nu’man bin Basyir.
Kedua jalur periwayatan di atas ditempatkan pada kitab al-riqaq, bab sifat al-jannah wa al-nar, hadis ke-16 dan 17. [11]
Jika metode periwayatan di atas kita teliti dengan seksama, maka kita akan melihat betapa cermat dan tajamnya analisis serta daya nalar beliau dalam meneliti suatu hadis.
Di samping menggunakan metode ilmiah, dalam penelitiannya Imam al-Bukhari tidak mengabaikan aspek ruhani. Beliau menyertakan pula pendekatan kasyfiyah, yaitu melakukan salat istikharah dua rakaat setiap kali hendak memasukkan satu hadis ke dalam kitabnya. Salah seorang muridnya yang populer dengan sebutan al-Firabri menyatakan:
قَالَ لِي الْبُخَارِيُّ مَاوَضَعْتُ فِي كِتَابِي الصَّحِيحِ حَدِيْثًا إِلاَّ اغْتَسَلْتُ قبْلَ ذلِكَ وَصَلَّيْتُ رَكْعَتَيْنِ
“Al-Bukhari berkata kepadaku, ‘Aku senantiasa hanya menyimpan suatu hadis pada Kitab al-Shahih setelah aku mandi dan salat istikharah dua rakaat.”[12]
Sejauh penelitian kami, beliaulah yang pertama kali menggabungkan pendekatan rasional dan spiritual dalam penelitian hadis.
By Amin Muchtar, sigabah.com
[1]Lihat, Abu Syahbah, op.cit. hal. 58
[2]Lihat, Al-Asqalani, op.cit., hal. 8
[3]Namanya Muhamad bin Yazid bin Majah al-Qazwaini. Nisbah kepada Qazwin, salah satu kota terkenal di Esfahan, Iran. Lahir pada 209 H/824 M. Beliau disebut Ibn Majah, karena Majah merupakan laqab (gelar) bagi ayahnya. Beliau telah melakukan rihlah ke berbagai negeri untuk mencatat hadis, antara lain Irak, Bashrah, Kufah, Baghdad, Mekah, Syam, Mesir, dan Ray. Salah satu karyanya yang terkenal adalah kitab hadis berjudul al-Sunan al-Mushthafa, atau yang lebih dikenal dengan Sunan Ibn Majah. Kitab ini memuat 4.341 hadis. Sebanyak 3.002 hadis pada kitab ini tercatat pada al-kutub al-khamsah, ataupun pada sebagiannya saja. Sisanya sebanyak 1.339 hadis merupakan zawaid (hadis-hadis tambahan) yang tidak tercantum pada al-kutub al-khamsah. Ibnu Majah tidak memberikan komentar sedikit pun terhadap hadis daif pada kitab itu, sebagaimana dilakukan penyusun kitab-kitab Sunan lainnya. Namun dari segi penyusunan bab-bab fikih, kitab ini merupakan pilihan paling ideal yang memberi kemudahan bagi pencari hadis hukum (Lihat, Syekh Khalil Mamun Syiha, Muqaddimah Tahqiq ‘ala Sunan Ibn Majah, Dar el-Ma’rifah, Beirut, 1996, I:21-28; Abu Syahbah, op.cit. hal. 139-142)
[4]Lihat, Al-Asqalani, op.cit., hal. 8
[5]Lihat, Al-Mizzi, op.cit. XXIV:442; Al-Dzahabi, op.cit. XII: 401.
[6]Lihat, Al-Asqalani, op.cit., hal. 7.
[7]Lihat, Shahih al-Bukhari, Dar el-Fikr, 1981, juz II, hal. 326.
[8]op.cit. juz IV:82 dan 139
[9]op.cit., juz II:326
[10]op.cit., juz IV:138
[11]op.cit., juz IV:138
[12]Lihat, Al-Mizzi, loc. cit.