Aspek Kedua: Nama disiplin Ilmu
Dilihat dari aspek disiplin ilmu di antara ilmu-ilmu syariah, kata ushulfiqh bukan tarkib idhafi tetapi telah menjadi nama disiplin ilmu, sehingga kata itu tidak diartikan secara terpisah: ushul dan fiqih. Karena itu, pengertian ushul fiqh dalam konteks disiplin ilmu tidak menurut pengertian aslinya atau tidak terikat makna bahasa, namun berdasarkan makna urfi (kebiasaan) yang banyak dipergunakan oleh para ahli ushul fiqh. Para ulama madzhab berbeda pendapat dalam mendefinisikan ushul fiqh sebagai nama ilmu sebagai berikut:
Versi Ulama Ushul Fiqh Madzhab As-Syafi’iyyah
هُوَ مَعْرِفَةُ دَلاَئِلِ الْفِقْهِ إِجْمَالاً وَكَيْفِيَّةِ الإِسْتِفَاذَةِ مِنْهَا وَحَالِ الْمُسْتَفِيْذِ
“Ushul fiqh itu adalah pengetahuan dalil-dalil fiqih secara garis besar, tata cara memperoleh hukum dari dalil-dalil itu, dan keadaan mustafidz (yang mencari hukum).”[1]
Versi Ulama Ushul Fiqh Madzhab Hanafiyyah, Malikiyyah, Hanabilah
هُوَ الْقَوَاعِدُ الَّتِيْ يُوَصِّلُ الْبَحْثُ فِيْهَا إِلَى اسْتِنْبَاطِ الأَحْكَامِ مِنْ أَدِلَّتِهَا التَّفْصِيْلِيَّةِ أَوْ هُوَ الْعِلْمُ بِهذِهِ الْقَوَاعِدِ
“Ushul fiqh itu adalah kaidah-kaidah yang dijadikan sarana pembahasan untuk memperoleh hukum-hukum dari dalil-dalilnya yang terperinci. Atau Ushul fiqh itu adalah ilmu tentang kaidah-kaidah ini.”[2]
إِدْرَاكُ الْقَوَاعِدِ الَّتِيْ يَتَوَصَّلُ بِهَا إِلَى اسْتِنْبَاطِ الأَحْكَامِ الشَّرْعِيَّةِ الْفَرْعِيَّةِ عَنْ أَدِلَّتِهَا التَّفْصِيْلِيَّةِ
“Mengetahui kaidah-kaidah yang dijadikan sarana untuk memperoleh hukum-hukum syara’ yang far’i dari dalil-dalilnya yang terperinci.”[3]
Defisini ulama Ushul Hanafiyyah, Malikiyyah, dan Syafi’iyyah diadopsi dengan sedikit modifikasi oleh para ushuliyun kontemporer, misalnya versi Syekh Muhamad al-Khudhari Bik:
الْقَوَاعِدُ الَّتِيْ يَتَوَسَّلُ بِهَا إِلَى اسْتِنْبَاطِ الأَحْكَامِ الشَّرْعِيَّةِ مِنْ الأَدِلَّةِ
“Kaidah-kaidah yang dijadikan sarana untuk memperoleh hukum-hukum syara’ dari dalil-dalil.”[4]
Versi Syekh Abdul Wahab Khalaf:
الْعِلْمُ بِالْقَوَاعِدِ وَالْبُحُوْثِ الَّتِيْ يَتَوَصَّلُ بِهَاإلى إِسْتِفَاذَةِالأَحْكَامِ الشَّرْعِيَّةِالْعَمَلِيَّةِ مِنْ أَدِلَّتِهَا التَّفْصِيْلِيَّةِ
“Ilmu tentang kaidah-kaidah dan pembahasan-pembahasan yang dijadikan sarana untuk memperoleh hukum-hukum syara’ mengenai perbuatan dari dalil-dalilnya yang terperinci.”[5]
Syekh Abdul Wahab Khalaf membuat definisi lain sebagai berikut:
مَجْمُوْعَةُ الْقَوَاعِدِ وَالْبُحُوْثِ الَّتِيْ يَتَوَصَّلُ بِهَا إلى إِسْتِفَاذَةِالأَحْكَامِ الشَّرْعِيَّةِ الْعَمَلِيَّةِ مِنْ أَدِلَّتِهَا التَّفْصِيْلِيَّةِ
“Kumpulan kaidah-kaidah dan pembahasan-pembahasan yang dijadikan sarana untuk memperoleh hukum-hukum syara mengenai perbuatan dari dalil-dalilnya yang terperinci.”[6]
Sementara versi Syekh Muhamad Abu Zahrah sebagai berikut:
الْعِلْمُ بِالْقَوَاعِدِ الَّتِي تُرَسِّمُ الْمَنَاهِجَ لاِسْتِنْبَاطِ الأَحْكَامِ الْعَمَلِيَّةِ مِنْ أَدِلَّتِهَا التَّفْصِيْلِيَّةِ
“Ilmu tentang kaidah-kaidah yang menggariskan jalan-jalan utuk memperoleh hukum-hukum syara’ mengenai perbuatan dan dalil-dalilnya yang terperinci.”[7]
Kesimpulan
- Dilihat dari aspek ilmiah, ushul fiqh dapat dimakani: (a) ilmu, ma’rifah, atau idrak tentang dalil-dalil fiqh, bukan sebagai dalil-dalil fiqh itu sendiri, (b) kaidah-kaidah untuk memperoleh hukum-hukum syariat.
- Ushul Fiqh adalah ilmu yang menjelaskan berbagai metode yang ditempuh oleh imam-imam mujtahid dalam mengambil hukum dari dalil-dalil, baik nushush (berupa nash-nash syariat) maupun ghair nushush (yang disimpulkan dari nash), serta dari maqashidus syariah (kemaslahatan-kemaslahatan yang dimaksud oleh syara’).
Maudhu’ (ObjekPembahasan) Ushul Fiqh
Obyek pembahasan Ushul Fiqh adalah adillah syar’iyah (dalil-dalil syariat) sebagai sumber hukum dalam ajaran Islam. Selain dari membicarakan pengertian dan kedudukannya dalam hukum adillah syar’iyah itu dilengkapi dengan berbagai ketentuan dalam merumuskan hukum dengan mempergunakan masing-masing dalil itu.
Topik-topik dan ruang lingkup yang dibicarakan dalam pembahasan ilmu Ushul Fiqh ini meliputi:
Pertama, bentuk-bentuk dan macam-macam hukum, seperti hukum taklifi, baik dilihat dari aspek khitab (ijab, nadb, tahrim, karahah, ibahah) maupun dari aspek mahkum bih (wajib, sunnat, mubah, makruh, haram) dan hukum wadl’i (sabab, syarat, mani’, ‘illat, shah, batal, azimah dan rukhshah).
Kedua, masalah perbuatan seseorang yang akan dikenal hukum (mahkum fihi) seperti apakah perbuatan itu sengaja atau tidak, dalam kemampuannya atau tidak, menyangkut hubungan dengan manusia atau Tuhan, apa dengan kemauan sendiri atau dipaksa, dan sebagainya.
Ketiga, pelaku suatu perbuatan yang akan dikenai hukum (mahkum ‘alaihi) apakah pelaku itu mukallaf (subjek hukum) atau tidak, apa sudah cukup syarat taklif(padanya atau tidak, apakah orang itu ahliyah(cakap hukum) atau bukan, dan sebagainya.
Keempat, keadaan atau sesuatu yang menghalangi berlakunya hukum, meliputi keadaan yang disebabkan oleh usaha manusia, keadaan yang sudah terjadi tanpa usaha manusia. Jenis pertama disebut awarid muktasabah, yang kedua disebut ‘awaridh samawiyah.
Kelima, masalah istinbath(pengambilan hukum) dan istidlal (pengambilan petunjuk), meliputi makna zhahir nash, takwil dalalah lafazh, mantuq dan mafhum yang beraneka ragam, ‘am dan khas, muthlaq dan muqayyad, nasikh dan mansukh, dan sebagainya.
Keenam, masalah ra’yu(rasio),ijtihad, ittiba’ dan taqlid, meliputi kedudukan ra’yu dan batas-batas penggunannya, fungsi dan kedudukan ijtihad, syarat-syarat mujtahid, bahaya taqlid dan sebagainya.
Ketujuh, masalah adillah syar’iyah (dalil-dalil syariat), meliputi pembahasan Alquran, sunah, ijma’, qiyas, istihsan, istishlah, istishhab, mazhab shahabi, al-‘urf, syar’u man qablana, bara’atul ashliyah, sadduz Dzari’ah, maqashidus syari’ah atau asas syari’ah.
Kedelapan, masa’ah ra’yu dan qiyas, meliputiashal, far’u, illat, masalikul illat, al-washful munasib, as-sabru wat taqsim, tanqihul manath, ad-dauran, as-syabhu, ilgha’ul fariq; dan selanjutnya dibicarakan masalah ta’arudh wat tarjih dengan berbagai bentuk dan penyelesaiannya.
Meski demikian, secara ringkat dapat disimpulkan bahwa objek utama pembahasan Ushul Fiqh kembali kepada:
إِثْبَاتُ الأَدِلَّةِ لِلأَحْكَامِ وَثُبُوْتُ الأَحْكَامِ بِالأَدِلَّةِ
“Menetapkan dalil-dalil untuk (menetapkan) hukum-hukum dan tetapnya hukum-hukum dengan dalil-dalil itu.”
Maksudnya, bahwa pokok bahasan ushul fiqh itu adalah tentang kaifiyat itsbat (tata cara penetapan) dalil-dalil untuk ketetapan hukum secara ijmal (ketentuan umum). Sebagai contoh menetapkan firman Allah: “Aatuu az-zakah (Tunaikanlah zakat)” untuk (hukum) wajibnya zakat dan tetapnya (hukum) wajib zakat dengan firman Allah itu.
Dalam firman Allah di atas, yang jadi objek bahasan Ushul fiqh adalah aspek dalil-dalil ijmali atau kulli-nya, yaitukata aatu adalah bentuk amr (kata perintah). Sedangkan amr menunjukkan wajib. Jadi,menurut ilmu fiqih menunaikan zakat itu hukumnya wajib.
Jadi, pada kalimat aatuz zakahterdapat dua aspek dalil yang dapat diamati secara paralel. Satu aspek disebut dalil ijmal, yaitu menunjukkan perintah. Aspek lain disebut dalil tafshil, yaitu menunjukkan perbuatan tertentu, dalam konteks ini menunaikan zakat. Aspek pertama (dalil ijmal) itu yang dijadikan objek bahasan Ushul fiqh. Sedangkan aspek kedua (dalil tafshil) menjadi objek bahasan ilmu fiqh.
Faidah Ushul Fiqh
Faidah mempelajari Ushul Fiqh adalah mengetahui hukum-hukum Allah serta terhindar dari kehinaan sikap taqlid apabila digunakan sebagaimana mestinya, yaitu (1) mengambil kesimpulan hukum furu’ (perbuatan) dari ushul (dalil-dalil).Proses demikian menjadi tugas para mujtahid. (2) mengembalikan furu’ kepada ushul.Proses demikian menjadi tugas para muttabi’, yaitu pengguna fatwa atau pemakai produk ijtihad para imam.
- Relasi Ushul Fiqh dan Fiqh
Fiqh dan Ushul fiqh memiliki tujuan yang sama, yaitu sampai kepada hukum syariat namun berbeda pendekatan.Ushul fiqh hanya menjelaskan cara sampainya dan cara menetapkan hukumnya, sedangkan fiqh menetapkan hukum suatu perbuatan dengan panduan cara-cara yang telah disusun oleh ilmu ushul fiqh itu.
Relasi Kaidah Ushul Fiqh dan kaidah Fiqh
Qawa’id Ushul Fiqh (kaidah ushul) dan Qawa’id Fiqhiyyah (kaidah fiqih) meski dalam beberapa hal terdapat kesamaan diantara keduanya, namun dari berbagai segi keduanya pun memiliki perbedaan yang signifikan. Karena itu, di sini perlu diuraikan terlebih dahulu definisi dan kegunaannya sebagai berikut:
5.1. Pengertian Kaidah Ushul dan Fiqh
Al-qawa’id bentuk jamak dari kata Qa’idah(kaidah). Para ulama mengartikan qaidah secara etimologis (Bahasa) dan terminologis (istilah). Secara bahasa, qaidah bermakna asas, dasar, atau pondasi, baik dalam arti kongkrit maupu arti abstrak, seperti kata qawa’id al-bait(fondasi rumah), qawa’id ad-din (dasar-dasar agama), qawa’id al-ilm(kaidah-kaidah ilmu). Maknaqawa’iddemikian itu digunakan dalam Al-Qur’an:
وَإِذْ يرَفَعُ إِبْراَهِيْمَ القَواَعِدَ مِنَ الْبَيْتِ وَإِسْماَعِيْلُ
“dan ingatlah ketika Ibrahim meninggikan dasar-dasar Baitullah bersama Ismail.”QS. Al-Baqarah : 127
فَأَتىَ اللهُ بُنْياَنَهُمْ مِنَ الْقَوَاعِدِ
“Allah menghancurkan bangunan mereka dari fondasi-fondasinya….”QS. An-Nahl: 26
Dari kedua ayat tersebut dapat disimpulkan arti kaidah secara bahasa adalah dasar, asas atau fondasi, tempat yang diatasnya berdiri bangunan.
Sedangkan al-Qawa’id al-fiqhiyyah (kaidah-kaidah fikih) secara bahasa adalah dasar-dasar atau asas-asas yang bertalian dengan masalah-masalah atau jenis-jenis fikih.
Dalam memberi batasan qa’idah secara terminologis para ulama berbeda dalam mendefinisikannya.Sebagian memperluas batasannya, namun sebagian lagi mempersempitkannya. Meski begitu, substansinya tetap sama. Sebagai misal:
Imam Tajjuddin al-Subki (w.771 H) mendefinisikan kaidah dengan :
اَلْأَمْرُ الْكُلِّيْ الَّذِيْ يَنْطَبِقُ عَلَيْهِ جُزْ ئِيَّاتٌ كَثِيْرَةٌ يُفْهَمُ أَحْكَا مُهَا مِنْهَا
”Kaidah adalah sesuatu yang bersifat general yang meliputi bagian yang banyak sekali, yang bisa dipahami hukum bagian tersebut dengan kaidah tadi.”[8]
Ibnu Nuzaim (w. 970 H) dalam kitab al-asybâh wa al-nazhâir dan Ibnu Abidin (w. 1252 H) dalam muqaddimah-nya, mengatakan bahwa kaidah itu adalah :
مَعْرِفَةُ الْقَوَاعِدِ الَّتِي تُرَدُّإِلَيْهِ وَفَرَّعُوْا الأَحْكَام عَلَيْهَا
”Sesuatu yang dikembalikan kepadanya hukum dan dirinci dari padanya hukum.”[9]
Menurut Imam as-Suyuthi di dalam kitabnya al-asybâh wa al-nazhâir, kaidah adalah:
كُلِّيٌّ يَنْطَبِقُ عَلَي جُزْئِيَّاتِهِ
”Hukum kulli (menyeluruh, general) yang meliputi bagian-bagiannya.”[10]
Al-Jurjani mendefinisikan kaidah fikih dengan :
قَضِيَةٌ كُلِّيَّةٌ مُنْطَبِقَةٌ عَلَى جَمِيْعِ جُزْئِيَّاتِهاَ
”Ketetapan yang kulli (menyeluruh, general) yang mencakup seluruh bagian-bagiannya.”[11]
Sedangkan Muhammad Abu Zahrah mendefinisikan kaidah dengan :
مَجْمُوْعُ الأَحْكاَمِ الْمُتَشَابِهاَتِ الَّتِي تَرْجِعُ إِلىَ قِيَاسٍ وَاحِدٍ يَجْمَعُهاَ
“Kumpulan hukum-hukum yang serupa yang kembali kepada qiyas (analogi) yang mengumpulkannya.”[12]
Dari berbagai definisi tersebut di atas tampak jelas bahwa kaidah itu bersifat menyeluruh yang meliputi bagian-bagiannya. Dalam pengertian lain,dapat diterapkan kepada juz’iyat (bagian-bagiannya).
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa qawa’id fiqhiyyah adalah kaidah-kaidah yang disimpulkan secara general dari materi fikih dan kemudian digunakan pula untuk menentukan hukum dari kasus-kasus baru yang timbul, yang tidak jelas hukumnya di dalam nash Qur’an maupun Sunnah.
Dari definisi itu tampak jelas bahwa kaidah-kaidah ushul fiqh maupun kaidah-kaidah fiqh dapat disebut sebagai metodologi hukum Islam, meski digunakan dalam proses yang berbeda. Kaidah-kaidah ushulul fiqh sering digunakan di dalamtakhrij al-ahkam, yaituproses mengeluarkan hukum dari dalil-dalilnya (Al-Qur’an dan Al-Hadis). Sedangkan kaidah-kaidah fiqh sering digunakan di dalam tathbiq al-ahkam, yaituproses penerapan hukum atas kasus-kasus yang timbul di dalam bidang kehidupan manusia.
5.2. Kegunaan Kaidah Fikih
Untuk memahami kepentingan dan manfaat dari kaidah-kaidah fikih, di sini dapat ditampilkan berbagai ungkapan para ulama, antara lain :
- Dengan mengetahui kaidah-kaidah fikih kita akan mengetahui asas-asas umum fikih. Sebab, kaidah-kaidah fikih itu berkaitan dengan materi fikih yang banyak sekali jumlahnya.
- Dengan memperhatikan kaidah-kaidah fikih akan lebih mudah menetapkan hukum bagi masalah-masalah yang dihadapinya, yaitu dengan memasukkan masalah tadi atau menggolongkannya kepada salah satu kaidah fikih yang ada.
- Dengan kaidah fikih akan lebih arif di dalam menerapkan fikih, dalam waktu dan tempat yang berbeda untuk keadaan dan adat kebiasaan yang berlainan.
- Dengan menguasai kaidah-kaidah fikih, bisa memberikan jalan keluar dari berbagai perbedaan pendapat di kalangan ulama, atau setidaknya menguatkan pendapat yang lebih mendekati kepada kaidah-kaidah fikih.
- Dengan mengetahui kaidah-kaidah fikih akan mengetahui rahasia-rahasia dan semangat hukum-hukum islam (rûh al-hukm) yang tersimpul di dalam kaidah-kaidah fikih.
- Orang yang menguasai kaidah-kaidah fikih di samping kaidah-kaidah ushul, akan memiliki keluasaan ilmu dan hasil ijtihadnya akan lebih mendekati kepada kebenaran, kebaikan dan keindahan.
Adapun perbedaan pokok antara kaidah Ushul Fiqh dan kaidah Fiqh, adalah sebagai berikut :
- Objek kaidah Ushul Fiqhadalah dalil hukum, sedangkan kaidah Fiqhadalah perbuatan mukallaf(subjek hukum).
- Ketentuan kaidah Ushul Fiqhberlaku bagi seluruh juz’iyyah (bagian-bagiannya), sedangkan kaidah Fiqhberlaku pada sebagian besar (aghlab) juz’iyyah.
- kaidah Ushul Fiqh sebagai sarana istinbath(penetapan) hukum, sedangkan kaidah Fiqhsebagai usaha menghimpun dan mendekatkan ketentuan hukum yang sama untuk memudahkan pemahaman fiqih.
- Kaidah Ushul Fiqhbisa bersifat prediktif, sedangkan kaidah Fiqhbersifat wujud setelah ketentuan furu’
- Kaidah Ushul Fiqhbersifat kebahasaan dan kaidah Fiqhbersifat ukuran.
Untuk lebih memperjelas konsepsi di atas di sini dapat dikemukakan beberapa contoh kaidah Fiqh dan kaidah Ushul Fiqh, sebagai berikut:
Pada umumnya pembahasan kaidah Fiqhberdasarkan pembagian kaidah-kaidah asasidan kaidah-kaidah non asasi. Kaidah-kaidah asasi adalah kaidah yang disepakati oleh paraimam madzhab tanpa diperselisihkan kekuatannya, jumlah kaidah asasiterdapat 5 macam, yaitu:
Pertama:
الأُمُوْرُ بِمَقَاصِدِهَا
“Segala macam tindakan tergantung pada tujuannya.”
Kedua:
الْيَقِيْنُ لاَ يُزَالُ بِالشَّكِّ
“Yakin itu tidak dapat dihilangkan dengan keraguan.”
Ketiga:
الضَّرَرُ يُزَالُ
“Kemudaratan itu harus dihilangkan.”
Keempat:
الْمَشَقَّةُ تَجْلِبُ التَّيْسِيْرُ
“Kesulitan itu dapat menarik kemudahan.”
Kelima:
الْعَادَةُ مُحَكَّمَةٌ
“Kebiasaan itu dapat menjadi landasan hukum.”
Sedangkan kaidah non asasi merupakan kaidah turunan sebagai kaidah pelengkap kaidah asasi. Meski demikian, keabsahannya masih tetap diakui.
Adapun contoh kaidah ushul fiqh adalah sebagai berikut:
الأَصْلُ فِي الأَمْرِ لِلْوُجُوبِ إِلاَّ مَا دَلَّ الدَّلِيلُ عَلَى خِلاَفِهِ
“Perintah itu pada dasarnya menunjukkan wajib kecuali ada dalil yang menunjukkan makna kebalikannya.”
الأَصْلُ فِي النَّهْيِ لِلتَّحْرِيمِ إِلاَّ مَا دَلَّ الدَّلِيلُ عَلَى خِلاَفِهِ
“Larangan itu pada dasarnya menunjukkan haram kecuali ada dalil yang menunjukkan makna kebalikannya.”
الْعَامُّ عُمُوْمُهُ شُمُوْلِيٌّ وَالْمُطْلَقُعُمُوْمُهُ بَدَلِيٌّ
“Lafal‘am itu keumumannya syumuli (mencakup keseluruhan)sedangkanlafal mutlaq itu keumumannya badali (mewakili).”
Aplikasi berbagai kadiah ushul fiqh seperti di atas akan ditampilkan pada topic yang relevan dalam pembahasan selanjutnya.
By Amin Muchtar, sigabah.com