Film adalah media yang begitu pas dalam memberikan influence (pengaruh) bagi masyarakat umum. Penonton film seringkali terpengaruh dan cenderung mengikuti seperti halnya peran yang ada pada film tersebut.
Film sebagai medium komunikasi yang ampuh dan berperan sebagai pengalaman dan nilai disadari betul oleh para tokoh misionaris Syi’ah, antara lain Haidar Bagir, pemilik Mizan Grup. Dia menyatakan bahwa, “Kegiatan pengtransformasian ajaran Islam akan dinilai sia-sia apabila para pelaku dakwah tidak memanfaatkan media sebagai suatu kekuatan dalam pelaksanaan dakwah kontemporer. Oleh karena itu, dalam pandangan misionaris Syiah film dapat menjadi suatu solusi ketika masyarakat mengalami suatu stagnansi dalam penerimaan informasi keislaman.
Indikasi Syiah dalam Film
Film-film Indonesia selama dua dekade 1980-an dan 1990-an terpuruk sangat dalam. Insan film Indonesia seperti tak bisa berkutik menghadapi arus film impor. Masalah yang dihadapi harus diakui sangatlah kompleks.
Di awal millenium baru ini tampaknya mulai ada gairah baru dalam industri film Indonesia terutama film yang mengusung tema Dakwah. Sejak setahun terakhir ini, masyarakat muslim Indonesia mulai membincangkan kembali tentang munculnya beberapa film yang bernuansa dakwah atau paling tidak film tersebut bergenre islami. Kemunculan film-film yang berjudul; Ayat- Ayat Cinta, Kun Fayakun, Mengaku Rasul dan Wanita Berkalung Sorban, sepertinya telah mendapat klaim sebutan dari kalangan masyarakat Islam Indonesia sebagai film Islami.
Dalam konteks industri film bertema “Dakwah” inilah peranan Mizan Grup tidak dapat diabaikan. Karena Mizan secara langsung telah terlibat dalam industri film sejak tahun 2008 ketika memproduksi—besama Miles Films—film Laskar Pelangi (sutradara Riri Riza, rilis 25 September 2008). Film yang diangkat dari novel laris berjudul sama karya Andrea Hirata itu sampai saat ini memegang rekor jumlah penonton film Indonesia hingga saat ini, yaitu sekitar 4,7 juta orang. Ditambah sekitar 70-an layar tancap yang diselenggarakan di pelbagai pelosok, jumlah penonton bisa ditaksir sekitar 5 juta orang. Film-film berikutnya kemudian menyusul, yaitu Garuda di Dadaku (sutradara Ifa Isfansyah; bekerja sama dengan Salto Films, rilis 18 Juni 2009), Emak Ingin Naik Haji (sutradara Aditya Gumay; bekerja sama dengan Smaradhana Pro, rilis 12 November 2009), Sang Pemimpi (sutradara Riri Riza, bekerja sama dengan Miles Films, rilis17 Desember 2011), 3 Hati 2 Dunia 1 Cinta (sutradara Benni Setiawan, rilis 1 Juli 2010), Rindu Purnama (sutradara Mathias Muchus, rilis 10 Februari 2011), seMESTA menduKUNG (sutradara John De Rantau, rilis Oktober 2011; bekerja sama dengan Falcon Pictures) dan Ambilkan Bulan (sutradara Ifa Isfansyah, rilis 29 Desember 2011, bekerja sama dengan Falcon Pictures), sebuah film musikal anak-anak menampilkan lagu-lagu legendaris karya AT. Mahmud. Menyusul tahun ini Ada Surga Di Rumahmu (sutradara Aditya Gumay; rilis 2 April 2015; bekerja sama dengan Nava & Smaradhana Productions). Diangkat dari novel berjudul sama, karya Oka Aurora.
Selain itu, Mizan Productions juga memproduksi beberapa program televisi. Seri Munajat Hati, yaitu empat FTV bercerita tentang pelbagai kisah seputar haji, ditayangkan pada November 2011 di MNCTV. Selain itu telah ditayangkan pula 4 episode Kecil-Kecil Punya Cerita, yaitu FTV untuk anak, yang diangkat dari seri buku laris Kecil-Kecil Punya Cerita terbitan Mizan. Juga menayangkan serial TV 3 Hati 2 Dunia 1 Cinta (diangkat dari film 3 Hati, 2 Dunia, 1 Cinta) sebanyak 15 episode, pada jam yang kurang lebih sama dengan serial terkemuka Para Pencari Tuhan. Serial TV Laskar Pelangi sebanyak 15 episode, ditayangkan di SCTV pada Desember 2011-Januari 2012.
Fenomena menarik dalam konteks pemanfaatan media film sebagai saluran dakwah Syi’ah—saat ini—bukan melulu terletak pada konten filmnya, namun yang lebih penting pada “sosok produsennya”. Karena itu, mengendus indikasi kesyi’ahan pada film-film produksi Mizan saat ini bukan pada konten, sebab konten film-film itu tidak terlalu kental dengan “ajaran dan simbol-simbol kesyi’ahan” secara gamblang dan langsung, namun indikasi itu terletak pada “sosok” Mizan sebagai produsennya yang dimiliki oleh tokoh Syiah Indonesia: Haidar Bagir. Karena bagi Haidar Bagir, film-film yang diproduksinya itu merupakan wujud tanggung jawab dan bagian dari tindakan religiusnya.
Dengan demikian, kategori utama sebuah film disebut film Syi’ah dilihat dari produsernya. Dengan perkataan lain, sebuah film dapat dikategorikan Film Syi’ah, jika diproduseri oleh orang Syi’ah. Baru menyusul syarat yang lain bahwa kontennya mengandung “ajaran dan simbol-simbol kesyi’ahan” baik secara langsung maupun tidak langsung. Indikasi demikian itu telah kami dapatkan pula saat kami menghayati buku-buku yang diproduksi oleh Mizan, sejak 1983—dengan buku perdana: “Dialog Sunnah-Syiah” karya ulama Syiah—hingga sekarang ini.
Dari sini tentu akan memunculkan sebuah pertanyaan besar: “Mengapa Mizan tidak menampilkan ajaran dan simbol-simbol kesyi’ahan secara gamblang dan langsung?”
Jawabannya terletak pada “rumus baku” Mizan: bahwa yang akan menentukan apakah film tesebut mampu mengundang penonton untuk menikmati “wacana keislaman” yang ditawarkan adalah aspek-aspek keseluruhan sinematiknya.
Jadi, hemat kami, menampilkan aspek-aspek keseluruhan sinematik yang bermutu merupakan strategi Mizan mengundang penonton untuk tertarik “menjadi Syi’ah” atau “tidak anti Syi’ah”. Karena saat orang sudah menikmati “wacana keislaman” yang ditawarkan Mizan, orang tersebut akan menolak, bahkan membela saat Mizan dan berbagai produknya dikategorikan sebagai produsen dan produk ajaran Syi’ah.
Sehubungan dengan itu, mengendus ajaran dan simbol-simbol kesyi’ahan secara gamblang dan langsung—mungkin ini dimaksud oleh Asma Nadia dan Ustadz Ahmad Al-Habsyi—dalam film “Ada Surga di Rumahmu” bisa saja tidak berhasil—untuk tidak mengatakan sia-sia—karena aspek itu tidak termasuk dalam “rumus baku” Mizan. Daya tawar film “Ada Surga di Rumahmu” sejatinya terletak pada aspek-aspek keseluruhan sinematiknya.
Dengan begitu, Mizan “telah berhasil” mengundang penonton untuk tidak anti Syi’ah. Karena itu, tidak mengherankan jika terdapat berbagai pihak yang menolak, bahkan membela, saat film “Ada Surga di Rumahmu” dinyatakan sebagai film buatan orang Syi’ah, dengan pembelaan klise: “Ah tidak ada koq unsur Syi’ahnya dalam film itu” Atau dalam ungkapan yang lebih menyeluruh: “Ah, tidak ada unsur Syi’ahnya koq dalam produk-produk Mizan.”
Apa yang dikemukakan ini, merupakan salah satu refleksi dari penghayatan terhadap fungsi dan peranan Mizan dalam Syiahisasi di Indonesia. Dan dalam konteks itulah, endusisasi indikasi Syiah dalam suatu produk pada umumnya, produk Mizan pada khususnya selayaknya dipahami dan dilakukan. Jadi, salam hangat untuk Asma Nadia, Ustadz Ahmad Al-Habsyi, dan pihak-pihak yang berkeberatan. Tenang saja, tak usah kebakaran jenggot—Haidar Bagir saja tenang koq—bila ada pihak lain yang menghayati aroma Syiah dalam film “Ada Surga di Rumahmu.”
By Amin Muchtar, sigabah.com