Konsep Kepemilikan
F. Intervensi Negara
Kedua, Harta anak yatim
Salah satu hak intervensi negara dalam perekonomian adalah apa yang tersurat dalam firman Allah sebagai berikut:
وَلَا تُؤْتُوا السُّفَهَاءَ أَمْوَالَكُمُ الَّتِي جَعَلَ اللَّهُ لَكُمْ قِيَامًا وَارْزُقُوهُمْ فِيهَا وَاكْسُوهُمْ وَقُولُوا لَهُمْ قَوْلًا مَعْرُوفًا
“Dan janganlah kamu serahkan kepada orang-orang yang belum sempurna akalnya, harta (mereka yang ada dalam kekuasaanmu) yang dijadikan Allah sebagai pokok kehidupan. Berilah mereka belanja dan pakaian (dari hasil harta itu) dan ucapkanlah kepada mereka kata-kata yang baik.” QS. An-Nisaa:5
Harta yang disebutkan dalam ayat di atas, walaupun harta anak yatim, namun sebelumnya harta itu pada hakikatnya merupakan harta masyarakat yang telah diberikan oleh Allah guna menegakan kehidupan. Masyarakat merupakan pemilik pertama dan yang berhak untuk memberdayakan bagi tegaknya kehidupan masyarakat. Para anak yatim atau ahli waris mereka tetap memiliki hak untuk memanfaatkan harta tersebut sepanjang mereka mempunyai kemampuan dan sudah dapat dipercaya untuk mengelolanya, mempunyai kapabilitas untuk mengusahakannya atau melakukan investasi atasnya. Adapun orang safih, yaitu orang yang tidak bisa mengelola harta dengan baik, maka mereka terlarang untuk menerima harta.
Ketiga, Distribusi (Penyaluran) Harta
Termasuk dalam bagian hak intervensi negara adalah proses pendistribusian harta. Negara mempunyai wewenang untuk mengatur pendistribusian harta yang dimiliki oleh kaum muslim. Sebuah upaya untuk mendistribusikan harta kepada setiap individu muslim dalam masyarakat sesuai dengan petunjuk ataupun aturan yang telah ditentukan Nabi, yang kita menyakini bahwa ketentuan itu tidak ditetapkan atas dasar hawa nafsu, namun bimbingan ilahi berdasarkan wahyu.
Rasul telah memerintahkan para sahabat yang berhijrah ke Madinah untuk membentuk ukhuwah (persaudaraan). Persaudaraan antara kaum Muhajirin yang fakir dengan kaum Anshar yang kaya, sebagaimana Rasul mengkhususkan harta Bani Nadhir bagi kaum Muhajirin dan dua orang fakir dari kaum Anshar, sehingga akan tercipta sebuah keseimbangan ekonomi bagi kehidupan kedua golongan. Apa yang diperintahkan oleh Nabi untuk menjalin ukhuwwah diniyyah di antara mereka diterima dengan penuh keridaan oleh kaum Anshar. Atas sikap ini, kaum Anshar mendapatkan pujian dari Allah, sebagaimana diabadikan Al-Quran:
وَالَّذِينَ تَبَوَّءُوا الدَّارَ وَالْإِيمَانَ مِنْ قَبْلِهِمْ يُحِبُّونَ مَنْ هَاجَرَ إِلَيْهِمْ وَلَا يَجِدُونَ فِي صُدُورِهِمْ حَاجَةً مِمَّا أُوتُوا وَيُؤْثِرُونَ عَلَى أَنْفُسِهِمْ وَلَوْ كَانَ بِهِمْ خَصَاصَةٌ وَمَنْ يُوقَ شُحَّ نَفْسِهِ فَأُولَئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ
“Dan orang-orang yang telah menempati kota Madinah dan telah beriman (Anshar) sebelum (kedatangan) mereka (Muhajirin), mereka (Anshar) ‘mencintai’ orang yang berhijrah kepada mereka (Muhajirin). Dan mereka (Anshar) tiada menaruh keinginan dalam hati mereka terhadap apa-apa yang diberikan kepada mereka (Muhajirin); dan mereka mengutamakan (orang-orang Muhajirin), atas diri mereka sendiri, sekalipun mereka dalam kesusahan. Dan siapa yang dipelihara dari kekikiran dirinya, mereka itulah orang orang yang beruntung.” QS. Al-Hasyr:9
Dalam ayat sebelumnya dinyatakan:
مَا أَفَاءَ اللَّهُ عَلَى رَسُولِهِ مِنْ أَهْلِ الْقُرَى فَلِلَّهِ وَلِلرَّسُولِ وَلِذِي الْقُرْبَى وَالْيَتَامَى وَالْمَسَاكِينِ وَابْنِ السَّبِيلِ كَيْ لَا يَكُونَ دُولَةً بَيْنَ الْأَغْنِيَاءِ مِنْكُمْ وَمَا آتَاكُمُ الرَّسُولُ فَخُذُوهُ وَمَا نَهَاكُمْ عَنْهُ فَانْتَهُوا وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ شَدِيدُ الْعِقَابِ # لِلْفُقَرَاءِ الْمُهَاجِرِينَ الَّذِينَ أُخْرِجُوا مِنْ دِيَارِهِمْ وَأَمْوَالِهِمْ يَبْتَغُونَ فَضْلًا مِنَ اللَّهِ وَرِضْوَانًا وَيَنْصُرُونَ اللَّهَ وَرَسُولَهُ أُولَئِكَ هُمُ الصَّادِقُونَ
“Apa saja harta rampasan (fa’i) yang diberikan Allah kepada RasulNya (dari harta benda) yang berasal dari penduduk kota-kota maka adalah untuk Allah, untuk Rasul, kaum kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin dan orang-orang yang dalam perjalanan, supaya harta itu jangan beredar di antara orang-orang kaya saja di antara kamu. Apa yang diberikan Rasul kepadamu, maka terimalah. Dan apa yang dilarangnya bagimu, maka tinggalkanlah. Dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah amat keras hukumannya. (Juga) bagi orang fakir yang berhijrah[yang diusir dari kampung halaman dan dari harta benda mereka (karena) mencari karunia dari Allah dan keridhaan-Nya dan mereka menolong Allah dan RasulNya. Mereka itulah orang-orang yang benar.” QS. Al-Hasyr:7-8
Dari ayat di atas dapat dipahami, bahwa Al-Quran mewajibkan adanya pembagian atas distribusi harta fai’ bagi orang-orang fakir. Dengan tujuan agar harta itu tidak hanya berputar pada golongan orang-orang kaya saja, sehingga harta itu hanya bisa diakses dan dimanfaatkan oleh mereka. Dengan demikian, maka diharapkan akan tercipta sebuah keseimbangan ekonomi di antara individu masyarakat. Dengan adanya distribusi harta kekayaan yang baik, maka tidak akan ditemui sebuah perbedaan tingkat ekonomi. Ataupun kesenjangan sosial yang mendalam di antara anggota msyarakat, sehingga bagi orang yang tidak mempunyai harta yang mencukupi, tidak akan timbul sikap iri ataupun dengki terhadap golongan kaya. Mereka akan terhindar dari keinginan untuk melakukan tindak kejahatan karena tidak bisa mengakses harta tersebut, para kaum fakir akan bisa lebih tenang dan dapat memenuhi kebutuhannya atas adanya proses distribusi harta yang merata.
Keempat, Kepemilikan Umum (Public Property)
Dalam salah satu ayat Allah berfirman:
وَالْأَرْضَ وَضَعَهَا لِلْأَنَامِ
”Dan Allah telah meratakan bumi untuk makhluk-Nya.” QS. Ar-Rahman:10
Para ulama telah menyajikan berbagai macam tafsiran tentang ayat tersebut. Terdapat suatu penafsiran bahwa kepemilikan pribadi dilarang dalam Islam. Islam tidak mengakui kepemilikan pribadi atas harta. Tentu saja, hal ini merupakan sebuah penafsiran sepihak yang hanya bersandarkan atas teks Al-Quran secara lahiriah semata, tanpa mau melihat realitas amal yang terjadi di masa para Rasulullah sebagai bayan (penjelas) atas hal itu. Demikian pula pembahasan yang dikemukakan para sahabat tentang hal itu.
Terdapat pendapat lain, yang masih sejalan dengan pendapat pertama, tentang urgensinya nasionalisasi seluruh aset-aset produksi, seperti tanah, barang tambang, industri-industri raksasa untuk menjadi milik pemerintah. Dalam Islam, telah ditentukan beberapa kaidah yang akan mengatur distribusi kepemilikan yang harus dimiliki oleh negara dan individu masyarakat, yang disebut public sector dan private sector, serta batasan-batasan kepemilikan yang berhak dimiliki masyarakat umum secara luas ataupun pribadi.
Sebagian ulama mewajibkan bahwa kepemilikan umum merupakan milik umat, bukan milik negara. Dalam arti, harta yang akan dikategorikan sebagai kepemilikan umum, harus diakui sebagai milik umat, bukan milik negara. Dengan demikian maka pemanfaatan atas harta tersebut akan digunakan untuk mengakomodasi kepentingan umat, bukan negara semata. Segala aset yang dimiliki negara, baik aset yang bergerak ataupun tidak, merupakan harta rakyat dan mereka merupakan pemilik penuh atas segala manfaatnya, negara hanya mempunyai hak untuk mengelola yang bertujuan untuk mendatangkan kemaslahatan bagi rakyat. Kepemilikan seperti inilah yang ingin digambarkan oleh Abu Dzar al-Ghifari, sebagaimana terekam pada riwayat berikut: “Pada suatu saat Abu Dzar datang kepada Muawiyyah seraya bertanya, ‘Apa yang mendorong anda untuk memakan harta orang muslim dengan alasan harta Allah?’ kemudian Muawiyyah menjawab, ‘Semoga Allah senantiasa memberikan rahmat kepadamu wahai Abu Dzar, bukankah kita adalah hamba Allah, dan harta kita dalah harta Allah?’ kemudian Abu Dzar berkata, ‘Jangan berkata begitu.’ Maka Muawiyyah berkata, ‘Saya akan mengatakan bahwa itu merupakan harta kaum muslimin’.” HR. Ath-Thabari
Penjelasan dari dialog tersebut adalah Abu Dzar berpendapat bahwa harta milik umum yang ada dalam kekuasaan negara, pada hakikatnya merupakan milik rakyat bukan milik negara. Perlu diperhatikan bahwa harta rakyat di sini bukanlah sekadar milik rakyat secara umum, namun merupakan milik bagi setiap individu rakyat. Dengan perkataan lain, harta tersebut haruslah mendatangkan manfaat bagi setiap individu masyarakat atau rakyat. Inilah yang dimaksud oleh Umar Ra. dalam memandang harta umat. Seyogianya, dalam membelanjakan dan mengembangkan harta umat tersebut, haruslah memberikan dampak positif dan bermanfaat bagi setiap individu masyarakat, karena harta itu terwujud dimaksudkan demi mewujudkan kemaslahatan setiap individu.
Berdasarkan kaidah tersebut, negara harus membelanjakan (expenditure) harta tersebut untuk kemaslahatan rakyat, mengakomodasi segala kebutuhan rakyat, menyediakan fasilitas-fasilitas kehidupan yang di harapkan dapat mendatangkan kemanfaatan bagi setiap individu masyarakat. Pada masa Abu Dzar, negara sangat konsen untuk melaksanakan konsep tersebut.
By Amin Muchtar, sigabah.com/beta